SINOPSIS
HUKUM PERLINDUNGAN DEBITOR : Terkait Agunan Tanah
“Milik Beding” adalah istilah yang belum banyak dikenal oleh kalangan
debitor, namun bisa jadi banyak diantara kita yang terperangkap dalam jejaring
praktik “milik beding”. “Milik beding”, ialah sebuah janji bahwa jika debitor
gagal melunasi hutangnya, maka agunan debitor akan menjadi milik sang krebitor,
sekalipun harga agunan jauh melampaui nilai hutang-piutang. Sifatnya ialah
“main hakim sendiri”, dalam arti terjadi penyalahgunaan instrumen hukum yang
bernama Akta (Pemberian) Kuasa Untuk Menjual (Hak Atas Tanah).
Hingga saat buku ini disusun, penulis telah menginventarisir tidak kurang
dari 60 (enam puluh) putusan pengadilan maupun putusan Mahkamah Agung terkait
larangan praktik “milik beding”—yang dalam praktiknya diyakini jauh melampaui
angka tersebut—dimana fenomena yang penulis temui cukup mengejutkan: larangan
“milik beding” sudah dilarang sejak beberapa dekade lampau, namun hingga saat
ini praktik “milik beding” masih kerap dijumpai.
Pada suatu kesempatan penulis berhadapan dengan seorang presiden direktur
sebuah grup usaha di Jakarta. Pengusaha berekonomi kuat tersebut menyatakan
bahwa dirinya membenarkan praktik “milik beding”, dengan alasan Hak Tanggungan
adalah mekanisme yang merepotkan kreditor. Kurang lebih berikut petikan percakapan
antara penulis dengan sang pengusaha:
“Mengapa Bapak mengatakan Akta Kuasa Untuk
Menjual adalah ilegal? Toh debitor sudah berhutang dan cidera janji untuk
melunasi? Sah-sah saja kreditor kemudian mengambil alih kepemilikan agunan.”
“Tidak selamanya kita dalam posisi kuat. Saat ini
Anda superior, Anda mendudukkan diri Anda selaku kreditor. Namun tidak
selamanya Anda menjadi seorang kreditor. Suatu ketika, tiba saatnya Anda
berposisi sebagai seorang debitor. Ketika itu terjadi, apa yang akan Anda
katakan? Jika kita masih mengakui negeri (Indonesia dan otoritasnya) ini, maka
mau tidak mau kita harus menghormati hukum yang berlaku di negeri ini.”
“Bukankah ini berdasar kebebasan berkontrak?”
“Kebebasan berkontrak hanya disakralkan pada abad ke-19. Akta Kuasa
Menjual bukanlah alternatif jaminan alih-alih mengikat hak atas tanah dengan
proses legal seperti Hak Tanggungan dan parate eksekusi yang sarat prosedur.”
“Saya mau yang aman, kredit saya bisa kembali, tapi tak mau pakai repot
dengan lelang eksekusi agunan!”
“Oh, tentu ada caranya.”
“Apa itu?”
“Tak perlu Anda berikan hutang.”
Kalangan pengusaha acapkali menghendaki usaha tanpa mau direpotkan
olehnya. Setiap usaha yang sahih memiliki kerepotan sendiri. Hanya usaha yang
ilegal yang berani menyimpangi prosedur hukum. Menjadi seorang kreditor itu
sendiri pun, merupakan sebuah usaha, bukankah demikian?
Sebagai contoh sederhana, terhadap sebidang tanah yang belum
bersertifikat namun sedang mengajukan permohonan hak atas tanah, atau sedang
mengajukan peningkatan/penurunan status hak atas tanah, sedang dimohonkan pembaharuan
hak karena HGB/U miliknya telah kadaluarsa, ataupun bila sertifikat hak atas
tanah hendak dilakukan pemecahan ataupun pemisahan[1],
secara hukum Hak Tanggungan dapat diajukan pembebanannya bersamaan dengan
permohonan hak tersebut secara simultan, atau menggunakan mekanisme Surat Kuasa
Untuk Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang disediakan hukum secara sahih
sebagai instrumen jaminan pelunasan hutang.
Atau, bila terdapat fisik bangunan yang berdiri diatasnya, untuk
sementara fisik bangunan tersebut dapat diikat jaminan kebendaan berupa
Fidusia. Dengan kata lain, instrumen hukum yang sahih telah disediakan secara
lengkap. Mengapa masih memilih menggunakan Akta Kuasa Untuk Menjual?
Realitanya, mayoritas masyarakat awam tidak menyadari ataupun mengetahui hak
mereka akan larangan “milik beding”, dan kerap dijumpai bahwa praktik “milik
beding” justru di-inisiasi oleh kalangan notaris pembuat akta itu sendiri.
Dalam praktik di lapangan, kalangan notaris mengkampanyekan Akta
Penyerahan Jaminan dan Kuasa (PJDK), bahkan tidak jarang menggelar seminar
tentang promosi praktik “main hakim sendiri” lewat instrumen akta notariil.
Perhatikan kutipan pernyataan berikut dari seorang notaris ternama di Jakarta:
“Oleh karena itu, walau proses
sertifikasi sedang berlangsung, penjamin berjanji akan hadir lagi untuk
menandatangani akta jaminan. Namun, dalam hal sertifikat belum jadi dan debitur
sudah wanprestasi, maka bank berhak mengeksekusi jaminan tersebut dengan
mekanisme kuasa menjual.”[2]
Buku ini menggunakan pendekatan case
law sebagaimana menjadi metode ilmu hukum di negara dengan tradisi common law system di Amerika Serikat dan
Inggris, mengingat larangan praktik “milik beding” di Indonesia bukan bersumber
dari suatu hukum tertulis, namun terbit dari praktik peradilan yang bernama
yurisprudensi.
Bagi masyarakat yang hendak mengetahui hakiki dari kebebasan berkontrak,
buku ini menjadi rujukan utama yang wajib dibaca. Buku ini penulis tujukan pada
khususnya bagi seluruh masyarakat umum, agar mengetahui hak dan kewajibannya di
mata hukum.
Bagi para praktisi maupun akademisi, buku ini menawarkan khazanah serta
konsep-konsep segar di bidang hukum yang tidak hanya sekadar repetisi teori
yang telah mapan. Buku ini disusun dengan kerangka dan penyusunan yang sarat
analisis serta melewati serangkaian riset. Akhir kata, penulis ucapkan selamat menikmati
bacaan praktis ini.
BAB 1
PROLOG
PERLINDUNGAN DEBITOR DALAM “WELFARE
STATE”
Ab abusu ad usum non valet consequentia.
A conclusion about the use of a thing from its
abuse is invalid.[3]
Hakim Agung Asikin Kusumah Atmadja dalam Putusan Mahkamah Agung R.I. No.
3438 K/Pdt/1985, tanggal 9 Desember 1987, memutuskan:
“… Suatu perjanjian utang piutang dengan
jaminan sebidang tanah, tidak dapat dengan begitu saja menjadi perbuatan hukum
jual-beli tanah, manakala si debitur tidak melunasi utangnya. Syarat yang
dikenal dengan nama milik beding ini sudah lama tidak diperkenankan,
terutama dalam suasana hukum adat.”[4]
“Milik Beding” merupakan terminologi bagi praktik perbuatan “main hakim
sendiri” oleh kreditor dengan mengambil-alih hak kepemilikan atas tanah milik
debitor dengan menjadikannya sebagai pemilik. Larangan ini merupakan
konkretisasi asas hukum “nemo judex in
causa sua”—larangan memutus hal-hal yang menyangkut diri dan kepentingannya
sendiri dimana tersangkut pula kepentingan pihak lain.[5]
Pelaksanaan sanksi merupakan monopoli negara. Warga negara tidak
diperkenankan melaksanakan sanksi untuk menegakkan hukum terhadap warga negara
lain, terlebih menjadi hakim dalam perkaranya sendiri. Tindakan menghakimi
sendiri tidak lain merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendak
sendiri yang bersifat sewenang-wenang. Secara sederhana, tindakan menghakimi
sendiri merupakan pelaksanaan sanksi oleh warga negara.[6]
Tindakan main hakim sendiri (eigenrichting),
ialah suatu istilah yang mengilustrasikan suatu tindakan untuk melaksanakan hak
menurut kehendak serta cara sendiri secara sepihak, tanpa mengikuti prosedur
hukum yang ada, dimana perbuatan hukum ini merupakan pelaksanaan sanksi oleh warga
negara terhadap warga negara lain secara “melangkahi” hukum.[7] Dalam
peristiwa tindakan main hakim sendiri, sang pelaku menjadi “hakim” pemutus
(ajudikasi) bagi dirinya dan bagi warga negara lain.[8]
Larangan “milik beding” terkait erat dengan penyalahgunaan keadaan, telah
lama menjadi suatu larangan yang dikumandangkan lewat praktik peradilan. Arrest
mengenai penyalahgunaan keunggulan kejiwaan disimbolikkan dalam kasus Van
Elmbt/Feierabend, Hoge Raad[9] 29 Mei
1064 (NJ 1965, 104). Kasus ini bermula dari seorang janda bernama Feierabend,
karena terdesak keadaan telah mengagunkan rumahnya kepada seseorang yang
memberikan pinjaman kepadanya guna menghindari suatu eksekusi oleh kreditor
lain. Kredit itu disertai hak opsi untuk membeli bagi sang kreditornya. Si
pemberi pinjaman telah menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan oleh janda
itu kepadanya, sedangkan jelas baginya bahwa janda itu tidak dapat memahami
akibat diberikannya hak opsi tersebut karena situasi kejiwaan yang tertekan dan
kekurangan pengertian dalam masalah-masalah demikian. Ketika sang kreditor
hendak menuntut hak opsinya, si janda menggugat atas dasar penyalahgunaan
keadaan, gugatan mana kemudian dikabulkan pengadilan dan hak opsi bagi sang
kreditor untuk menjadi pemilik agunan dibatalkan (dimana secara mendadak janda
ini dibawa menghadap notaris dimana di sana sudah dipersiapkan perjanjian yang
kemudian disodorkan kepadanya untuk ditanda-tangani—praktik yang hingga kini
masih terjadi).[10]
Berbicara mengenai hukum perlindungan debitor terkait praktik “milik
beding”, maka kita berbicara mengenai ‘Keadilan Protektif’—keadilan yang
memberikan bantuan dan perlindungan kepada setiap warga-negaranya sehingga
tidak seorang pun dapat diperlakukan sewenang-wenang.[11]
Hukum bekerja dengan cara memberi “ruang dan batas” perbuatan seseorang atau
hubungan antara orang-orang dalam masyarakat.[12]
Hans Kelsen membagi dua jenis konsepsi hak: “jus in rem” merupakan hak atas suatu benda, sementara “jus in personam” merupakan hak untuk
menuntut seseorang agar berbuat menurut cara tertentu, yakni hak atas perbuatan
orang lain (misal seorang kreditor mempunyai hak untuk menuntut debitor agar
membayar sejumlah uang).[13] Namun seorang
kreditor tidak dapat mendudukkan dirinya sendiri selaku pengemban “jus in rem”.
Larangan “milik beding” merupakan salah satu bentuk “hadirnya peran
negara”[14] dalam
melindungi para warga negaranya, disamping pengaturan mengenai larangan
“bunga-berbunga”[15] maupun
larangan praktik “rentenir”. Ketiga larangan ini merupakan perlindungan dasar hubungan
kreditor terhadap debitornya.
Putusan Asikin Kusumaatmadja pada tahun 1987 tersebut, hingga saat buku
ini disusun, masih dipegang dan dirujuk secara konsisten atas setiap sengketa
“milik beding” dihadapkan kepada Mahkamah Agung. Mark Constanzo memberikan
ilustrasi atas praktik yurisprudensi:[16]
“Salah satu bagian metode hukum
melibatkan penghargaan terhadap keputusan sebelumnya. Semua budaya dibentuk
oleh sejarah. Tetapi, mereka menunjukkan perbedaan dalam hal nilai yang mereka
berikan pada sejarahnya. Di sebagian budaya, orang memberikan persembahan
kepada arwah leluhurnya dan percaya bahwa leluhurnya itu ikut campur tangan
secara aktif dalam pelbagai masalah kehidupan. Meskipun pengacara dan hakim
tidak memohon petunjuk kepada leluhurnya, tetapi keputusan yang telah lewat
memiliki kekuatan aktif dalam kehidupan profesional mereka. Seperti dikemukakan
oleh Oliver Wndell Holmes: ‘Law is government of the living by the dead.’
(hukum adalah aturan yang diberlakukan pada yang masih hidup oleh yang sudah tiada.)
Jaksa penuntut dan hakim wajib menempatkan fakta-fakta yang ada saat ini di
dalam konteks keputusan yang pernah diambil sebelumnya. Mereka harus meng-kaitkan
antara yang sekarang dengan yang lalu.”[17]
Praktik “milik beding” secara dasariahnya dilarang, mungkin berlandaskan
pada akal-budi suatu bangsa beradab, meminjam istilah Meuwissen, sebagai suatu
“undang-undang kesusilaan alamiah” (lex
naturalis) dimana kaedah yang terkandung didalamnya dengan cara sederhana
dapat dipahami oleh akal manusia awam yang sehat, sebagai suatu “prima principia”.[18]
Salah satu asas utama dalam hukum perjanjian, ialah “tidak boleh main
hakim sendiri”. Asas ini patut digaribawahi, dalam konteks pelanggaran
kesepatan (breach of contract) oleh
salah satu pihak dalam kontrak, yang mana mengakibatkan pihak yang melakukan
wanprestasi demikian dapat dipaksa untuk memenuhi kewajibannya. Untuk
memaksakan pemenuhan itu, tentunya dibutuhkan “causa” yang dibenarkan oleh
hukum[19], salah
satunya ialah asas “tidak main hakim sendiri”. Dengan demikian, meskipun hukum
menjamin hak seseorang sebagai pihak yang beritikad baik, untuk memperoleh
perlindungan atas hak-hak terlanggar, ia dapat menegakkan haknya menurut
prosedur dan ketentuan hukum yang berlaku. Dengan kata lain, yang bersangkutan
tidak diperkenankan sekehendak hati atau dengan cara-caranya sendiri memaksa
pihak lain untuk memenuhi perjanjian.[20]
Dalam hukum berlaku asas: warga negara tidak dibenarkan mejadi hakim bagi
kepentingan perkaranya sendiri. Kreditor yang menghendaki pelaksanaan suatu
perjanjian dari seorang debitor yang cidera janji, harus meminta perantaraan
Pengadilan yang netral dengan bukti-bukti yang relevan. Dengan demikian, kreditor
dapat menempuh upaya gugatan terhadap debitornya di depan pengadilan. Jika
prestasi yang dikehendaki itu berupa pengembalian sejumlah dana, sang kreditor sudah
tertolong jika ia mendapat suatu putusan pengadilan, dimana dengan itu ia dapat
meminta dijalankannya amar putusan dengan menyita dan melelang harta benda sang
debitor.[21] Negara
pun telah memberi alternatif lain seperti prosedur hukum berupa parate eksekusi
Hak Tanggungan dan Fidusia, sehingga tidak lagi terdapat alasan untuk
melanggengkan praktik “milik beding”.
Para pihak dalam suatu kontrak, memandang satu sama lain sebagai individu
yang berhadapan dengan individu. Sementara dalam konsep Ilmu Negara lewat
konsepsi “kontrak sosial”, pihak-pihak tersebut dilihat sebagai entitas warga
negara terhadap entitas warga negara lainnya. Untuk itu setiap warga negara,
warga negara mana pun itu yang tunduk dibawah yurisdiksi negara, maka tunduk pula
pada hukum negara. Dengan demikian, “hukum publik” sejatinya ialah “hukum
perdata dalam arti skala makro”.[22]
Buku ini disusun bagi masyarakat umum, dimana kegiatan usaha tidak lekang
dari faktor modal (capital) yang acapkali
bersumber dari dana kredit. Untuk itu karya tulis ini diharapkan mampu
membangkitkan rasa berdaya secara hukum. Bagi pembaca yang tidak bermaksud
untuk tenggelam dalam wacana teoretis, dapat langsung merujuk pada bab “Studi Kasus”
guna melihat tren perkembangan terbaru kasus-kasus perkara “milik beding”.
Ketika seseorang hidup seorang diri, hukum tidak dibutuhkan. Ketika
komunitas menjadi kompleks penuh kepentingan masing-masing yang bisa jadi
saling bertenturan satu sama lain, maka diperlukan peran negara dalam fungsinya
sebagai penegak “kontrak sosial” yang bernama hukum, sehingga warga negara yang
lemah tidak termarjinalisasi oleh kelompok atau pihak yang lebih kuat.
Sehingga, menurut Sudikno Mertokusumo, manusia di dalam masyarakat
memerlukan perlindungan kepentingan, yang tercapai dengan terciptanya peraturan
hidup yang menentukan bagaimana manusia harus bertingkah laku dalam masyarakat
agar tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri.[23]
Dalam sejarahnya, ketika negara hukum formal terbentuk, sendi-sendi
kehidupan sipil dibiarkan bebas, pemerintah hanya menjadi “penjaga malam”. Yang
terjadi kemudian, kebebasan sipil menjadi tidak terkendali.[24]
Kesenjangan kian lebar akibat pihak yang kuat “mengisap” sumber daya pihak yang
lemah. Dalam konsep negara kesejahteraan (welfare
state), pemerintah lewat berbagai regulasinya melakukan langkah intervensi,
baik preventif maupun kuratif sehingga hak-hak setiap warga negara terjamin
keberadaannya. Sejak saat itu, kebebasan berkontrak antar sipil tidak lagi
bersifat mutlak. Negara lewat hukum serta aparaturnya menjadi simbol
representasi “kontrak sosial”.[25] Dengan
demikian, setiap penduduk dan generasi penerusnya, secara hukum mewarisi
“kontrak sosial” tersebut. Negara lewat otoritasnya ialah representasi rakyat,
sehingga bila satu warga negara dilukai berarti negara telah dicederai,[26] yang
mana sebagai responnya undang-undang mengambil sikap.[27]
Secara akurat Hestu Cipto Handoyo mengilustrasikan fenomena metamorfosis
fungsi negara:[28]
“Mengingat semakin beragamnya
dinamika kehidupan masyarakat dengan berbagai dimensi yang ada di dalamnya.
Pola-pola kehidupan dan kegiatan dari warga negara makin lama sukar untuk
dipisahkan dengan pola dan kegiatan yang dilakukan oleh negara (pemerintah). Di
lingkungan warga negara muncul organisasi-organisasi yang manifestasinya juga
mengarah kepada kekuasaan, seperti partai politik, golongan fungsional, dan
lain sebagainya.
“Oleh sebab itulah fungsi dan tugas
negara mulai mengalami pergeseran dan penambahan disana-sini. Negara tidak
hanya sebatas sebagai pencipta hukum untuk menjaga keamanan dan ketertiban,
melainkan sudah mulai ikut terlibat dalam meningkatkan kesejahteraan umum
dari warga negaranya. Unsur-unsur negara hukum formil yang dulunya begitu
kuat untuk dipertahankan (negara sebagai penjaga malam) mulai mengalami
pergeseran dan ditambah, yaitu kewajiban bagi negara untuk ikut terlibat dalam
membantu meningkatkan kesejahteraan umum warga negara. Dari sinilah konsepsi
negara hukum formil berikut unsur-unsur yang terkandung di dalamnya mulai
berganti dengan konsep negara hukum modern atau negara kesejahteraan (welfare
state) yang lazim juga disebut sebagai negara hukum materiil.”
Intervensi negara didasarkan pada konsep welfare state yang menugaskan negara membangun kemajuan dan
kesejahteraan masyarakat sehingga negara tidak boleh pasif, melainkan harus aktif.
Alfred Stepan menuliskan:[29]
“Konsep kebaikan umum ... , membuka
kesempatan bagi negara untuk merumuskan dan dengan inisiatif sendiri memaksa
perubahan-perubahan kepada sebuah masyarakat yang sudah mapan supaya dapat
diciptakan sebuah masyarakat baru yang lebih baik.”
Hal ini kemudian, urai Philip Schmitter, diikuti dengan tampilnya negara
yang kuat dan cenderung campur-tangan secara masif dalam hampir seluruh aspek
kehidupan masyarakat. Senada dengan itu, Alfred Stepan menyebutkan bahwa negara
mempunyai hak istimewa untuk mengawasi berbagai kelompok kepentingan di
masyarakat dengan berbagai cara supaya dapat mencegah timbulnya tuntutan
“sempit” berdasarkan kelas sosial yang mengandung benih persengketaan.[30]
Hukum ialah aturan-aturan kehidupan yang mengatur hubungan antar manusia
yang hidup bersama dalam satu komunitas atau masyarakat. Teori “kontrak sosial”
sebagaimana menjadi maskot Jean Jacques Rousseau, memiliki ide utama bahwa
manusia yang membentuk masyarakat untuk hidup bersama dan dengan demikian
berkesempatan untuk mengembangkan kemampuan dan bakat mereka, dengan
mengorbankan kebebasan penuh yang ada padanya, menyerahkan kepada otoritas atau
organisasi publik (negara) yang dipercaya untuk memerintah mereka demi kebaikan
bersama (common virtue).[31]
Yang dimaksudkan Rousseau dengan kehendak umum (volente generale), ialah asumsi adanya konsensus diantara anggota
masyarakat untuk menciptakan suatu negara. Setelah negara itu berdiri, mereka
masih harus menyatakan kehendaknya untuk bergerak, ini dilakukan dengan membuat
suatu undang-undang. Jadi dengan demikian, lembaga pembentuk undang-undang itu
mesti harus ada dan ia harus bertujuan untuk melaksanakan kepentingan umum.
Untuk itu, kemudian rakyat menjalankan dan melaksanakan undang-undang. Sebab,
bilamana rakyat ingin melaksanakan pemerintahan sendiri, maka akibatnya ialah
akan timbul kekacauan antau anarki. Secara umumnya, yang menjadi tujuan negara
ialah menyelenggarakan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya, atau
menyelenggarakan masyarakat adil dan makmur.[32]
Teori hukum klasik[33]
menyebutkan, bahwa asas “kebebasan berkontrak” (pacta sunt servanda) disebut juga dengan asas kepastian hukum,
dimana hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat
oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Otoritas tidak
boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para
pihak.[34] Teori
tersebut hanya benar dalam konteks negara hukum klasik (rechtsstaat) yang sudah lama ditinggalkan, bukan ciri negara
kesejateraan (welfare state).
Ketika praktik monopoli usaha menunjukkan riaknya pada abad ke-20, mulai
terjadi peningkatan intervensi pemerintah dalam tatanan sosial, hukum diberikan
perhatian pada kepentingan yang imbang sehingga menjamin koordinasi keseluruhan
masyarakat terhadap beberapa tujuan yang diinginkan.[35]
Pengadilan dipandu oleh ideal-ideal koordinasi guna mempertahankan stabilitas
dalam masyarakat. Otoritas negara menjadi aktif dalam keterlibatannya terhadap
ekonomi dan masyarakat untuk menyeimbangkan sejumlah kepentingan bagi
“kesejahteraan umum”. Pengadilan kemudian memutuskan apa yang merupakan “itikad
baik” dengan cara menyeimbangkan kepentingan. Ringkasnya, pengadilan
merefleksikan renpons terhadap kondisi yang berubah dalam bidang ekonomi yang (dahulu)
disimbolikkan oleh gerakan-gerakan kapitalisme. Prinsip, standar, dan case law merupakan produk kebutuhan dan
dinamika internal tatanan politik ekonomi yang berubah.[36]
Sebagai contoh, terhadap praktik monopoli usaha maupun kartel[37]
penetapan komoditas barang yang dilakukan warga negara terhadap warga negara
lain, pemerintah melakukan intervensi dan pengawasan terkontrol kuat, karena
praktik demikian telah membuat kontrak tak tertulis berskala masif yang timpang
tanpa disadari antara para konsumen dan pelaku kartel. Tanpa campur-tangan pemerintah,[38] pemodal
besar akan menggerus pesaing yang lemah guna memonopoli pangsa pasar yang pada
gilirannya akan merugikan konsumen.[39]
Dua dekade lampau Sunaryati Hartono meramalkan, perangkat-perangkat Hukum
Ekonomi Indonesia belum siap dan sigap menghadapi praktik-praktik bisnis yang
curang dan bersembunyi dibelakang klausula-klausula kontrak bisnis. Dalam
pranata hukum yang berisi kebijakan untuk mengarahkan kehidupan ekonomi ke
suatu arah yang tertentu, yakni pemerataan dan keadilan, tidak dapat bertumpu
pada asas kebebasan berkontrak, sebagaimana kita dapat belajar dari sejarah
tahun 1930 dimana asas kebebsan berkontrak pula yang telah menyeret masyarakat
Eropa dan seluruh dunia kedalam jurang pengangguran dan kelaparan, sehingga
pemerintah di Perancis dan lain-lain negara Eropa merasa perlu untuk ikut
campur tangan dalam hal kontrak-mengontrak ini. Dengan lain perkataan, Droit Economique atau Hukum Ekonomi
(dalam arti sempit) merupakan peraturan-peraturan Hukum Administrasi Negara
yang membatasi kebebasan berkontrak demi pemerataan, keadilan, dan
kesejahteraan bangsa.[40]
Rutten berpendapat, bahwa tindakan menghakimi sendiri pada asasnya tidak
dibenarkan. Akan tetapi, apabila peraturan yang ada tidak cukup memberi
perlindungan, maka tindakan menghakimi sendiri itu secara tidak tertulis
dibenarkan.[41] Namun
dalam konteks hubungan hutang-piutang, tiada terdapat alasan yang dapat
dibenarkan untuk melakukan perbuatan “main hakim sendiri”. Hukum negara telah
memberikan fasilitas berupa mekanisme pengikatan Hak Tanggungan guna jaminan
pelunasan piutang. Lembaga Hak Tanggungan telah berjalan cukup mapan dan dapat
dijadikan sarana parate eksekusi.[42]
Hanya ketika menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap aparatur kantor
lelang negara selaku penyelenggara parate
eksekusi maupun fiat eksekusi,
ketika reputasi aparatur penegak hukum jatuh hingga titik nadir, atau aparatur
penegak hukum tidak cukup efektif untuk diandalkan, barulah tindakan “main
hakim sendiri” mendapat legitimasinya dan menjadi bagian dari dinamika masyarakat
yang tidak dapat dipersalahkan secara etika dan moril sebagai satu-satunya
jalan keluar ketika sruktur hukum tidak memberikan solusi alternatif. Mengutip
pernyataan yang baik dari Kementerian Perdagangan:
“Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik benang merah bahwa pemerintah dalam hal ini termasuk juga Kementerian Perdagangan telah memberikan akses kepada masyarakat untuk dapat menyelesaikan permasalahan, baik itu di lakukan di luar pengadilan maupun melalui pengadilan, sehingga diharapkan akses tersebut dapat meminimalisir atau bahkan menghilangkan upaya-upaya penyelesaian masalah / sengketa dengan main hakim sendiri (eigenrichting).”[43]
Tren praktik hukum kontemporer melahirkan berbagai modus canggih guna
mengelabui pihak kantor pertanahan, lewat berbagai disparitas simbol dan
atribut yang menyamarkan fakta hukum yang sebenarnya terjadi ialah
hutang-piutang, bukan jual-beli. Larangan “milik beding” dinodai oleh tataran
praktik para kreditor yang berkelindan dengan praktik para notaris “nakal”.[44] Penyimpangan-penyimpangan
lewat modus-modus canggih digambarkan secara lugas dan gamblang dalam buku ini,
mengilustrasikan praktik “rimba” hukum pertanahan di Indonesia.
Ketika kreditor melakukan praktik “main hakim sendiri” dengan menjual
sendiri hak atas tanah milik sang debitor, bahkan mengalihkan kepemilikan hak
atas tanah tersebut keatas nama sang kreditor itu sendiri, maka negara bagaikan
negeri tanpa hukum.[45] Tepat
kiranya bila penulis kutipkan pandangan Montesquieu:[46]
“Kekuatan masing-masing
individu tidak bisa disatukan tanpa adanya titik temu diantara kehendak mereka.
Titik temu dari kehendak-kehendak itulah, seperti yang dikatakan dengan tepat
oleh Gravina, yang kita istilahkan sebagai keadaan sipil.”
Sebagaimana kita ketahui bersama, hukum privat (hukum keperdataan yang
mengatur hubungan hukum antara satu warga negara dengan warga negara lainnya)
dibentuk dan diberikan ruang dalam suatu koridor tertentu oleh negara, sehingga
negara pulalah yang memiliki kedaulatan untuk membatasi “keliaran” praktik hukum
keperdataan dengan membuat penegasan-penegasan ataupun berbagai pembatasan.
Menurut sejarah, hukum dibentuk sebagai suatu konsensus sebagai instrumen
pengatur dan penertib atas konflik sosial yang terjadi di tengah pergaulan
masyarakat. Alasan keberadaan hukum, kepentingan suatu warga negara dapat
saling berbenturan dengan kepentingan warga negara lain, sehingga hukum sebagai
representasi otoritas memiliki peran simbolik yang memiliki peran penting
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Buku ini diharapkan mampu mengedukasi masyarakat agar terhindar dari
praktik “main hakim sendiri”[47],
sekaligus mengarahkan praktik kalangan kreditor secara sehat dan legal.
Berbagai telaah dan praktik yang diilustrasikan dalam buku ini merupakan
praktik nyata yang terjadi di tengah masyarakat dan masih berlangsung hingga
kini.
Seperangkat hak (termasuk hak asasi), lahir karena keberadaan kewajiban
(termasuk kewajiban asasi manusia).[48]
Dari berbagai ketentuan mengenai hak, konstitusi Republik Indonesia yakni UUD
RI 1945 menjadi landasan hak konstitusional, kaedah relevan yang dapat
dielaborasi, yakni:
-
Pasal 28 G Ayat (1) UUD RI 1945: “Setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi.”
-
Pasal 28 H Ayat (4) UUD RI 1945: “Setiap
orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh
diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.”
Sementara itu antinomi nilai yang menjadi landasan utama ketentuan
mengenai larangan “milik beding”, sebagai simbol hadirnya negara sekaligus representasi
pembatasan “kebebasan berkontrak”[49], ialah
dua pasal “pamungkas” berikut:
-
Pasal 28I UUD RI 1945: “Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab
negara, terutama pemerintah.” ß Mensyaratkan keterlibatan
aktif pemerintah dan negara.
-
Pasal 28J Ayat (1) UUD RI 1945: “Setiap
orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” ß Larangan tindakan “main hakim
sendiri”.
Tujuan dibuatnya perjanjian, ialah agar perikatan[50]
yang ada di dalamnya dapat dieksekusi dan dilaksanakan tanpa resiko dibatalkan
oleh pengadilan alias bilamana dilaksanakan maka tidak terdapat ancaman
kebatalan dari pihak lain dalam perjanjian. Apalah gunanya menyusun kontrak
yang tidak terdapat jaminan untuk dapat dieksekusi?
Larangan “milik beding” telah dibentuk oleh putusan pengadilan beberapa
dekade lampau. Namun, menjadi pertanyaan besar, mengapa praktik “milik beding”
masih terus berlangsung hingga saat ini? Dalam praktik, penulis melihat suatu
penyimpangan, yakni kreditor melakukan praktik “milik beding” atas dasar advice kalangan notaris, kemudian
“berjudi” dengan praktik demikian, mengingat tak semua debitor menyadari hak
dan kewajibannya dimata hukum. Ketidaktahuan ini yang kemudian dimanfaatkan
sehingga praktik “milik beding” tidak mendapat perlawanan berarti. Kemungkinan
itulah sebabnya praktik “milik beding” masih berlangsung secara masif.
Fenomena tersebut kerap kita jumpai dalam praktik, disinyalir pula lebih
banyak praktik “milik beding” yang tidak mendapat perlawanan berarti dari debitor
yang awam hukum. Tak semua korban “milik beding” mengajukan upaya hukum
terhadap kreditornya. Oleh sebab itu, buku ini diangkat dengan satu visi utama:
disadarinya hak dan kewajiban debitor atas jaminan hak atas tanah yang diberikannya
sehingga praktik “milik beding” tidak kembali berulang.
Satu hal untuk menjadi pegangan kita bersama dalam menyikapi berbagai
praktik demikian, yakni: negeri Indonesia adalah negeri hukum dan berhukum.
...
Judul : HUKUM
PERLINDUNGAN DEBITUR: Terkait Agunan Tanah
Penulis :
Hery Shietra,
S.H.
Bahasa :
Indonesia
Penerbit :
SHIETRA PUBLISHER
Tahun terbit :
2017
File E-book : pdf, dapat dibaca dan dibuka pada
berbagai aplikasi, baik mobile, smartphone, tablet, maupun personal computer
(PC).
Harga : Rp. 72.000;- Bebas ongkos kirim, e-Book akan dikirimkan kepada pembeli via e-mail. Secara esklusif hanya dijual oleh hukum-hukum.com.
Lisensi : "END USER AGREEMENT", HANYA DIJUAL KEPADA PEMBELI ORANG-PERORANGAN (Pembeli Individual), BUKAN UNTUK KEPERLUAN PERKANTORAN, PERPUSTAKAAN, ATAU SEJENISNYA. Lisensi 1 eBook HANYA UNTUK 1 ORANG PEMBELI. Dapat dibaca untuk SEUMUR HIDUP pembeli, kapanpun dan dimanapun.
Lisensi : "END USER AGREEMENT", HANYA DIJUAL KEPADA PEMBELI ORANG-PERORANGAN (Pembeli Individual), BUKAN UNTUK KEPERLUAN PERKANTORAN, PERPUSTAKAAN, ATAU SEJENISNYA. Lisensi 1 eBook HANYA UNTUK 1 ORANG PEMBELI. Dapat dibaca untuk SEUMUR HIDUP pembeli, kapanpun dan dimanapun.
Cara Pemesanan :
Kirimkan email pemesanan Anda kepada alamat email legal.hukum@gmail.com , agar dapat kami berikan instruksi tata cara pemesanan serta 'syarat dan ketentuan'. Paling lambat e-Book akan kami kirimkan 3 x 24 jam setelah
klarifikasi penerimaan dana pembelian. (PERINGATAN : Menyalahgunakan alamat email ini ataupun nomor kontak kerja kami untuk peruntukan lain diluar pemesanan eBook, akan kami kategorikan sebagai pelanggaran terhadap “syarat dan ketentuan” dalam website profesi kami ini. Hanya klien pembayar tarif jasa konsultasi yang berhak menceritakan ataupun bertanya tentang isu hukum, karena Anda pastilah menyadari serta telah membaca keterangan sebagaimana header maupun sekujur website ini bahwa profesi utama kami ialah mencari nafkah sebagai Konsultan Hukum dengan menjual jasa berupa konseling seputar hukum.)
DAFTAR ISI
PENGANTAR
... 6
BAB
I : Prolog—Perlindungan Debitor dalam “Welfare State” ... 9
BAB
II : Wajah Lain Kebebasan Berkontrak ... 21
BAB
III : Law as a Tool of Crime ataukah Law as a Tool of Crime Control ... 28
Hukum Sebagai
Instrumen yang Sakral ... 29
Penyalahgunaan
Keadaan dalam Perspektif Hukum ... 31
Pendirian
Pengadilan Atas Praktik Penyalahgunaan Keadaan: Telaah Putusan Mahkamah Agung
RI. No. _____ Tanggal 18 Februari
2009 ... 38
Bahaya Laten Dibalik
Topeng “Kebebasan Berkontrak” ... 42
Intervensi
Hukum Negara Terhadap Hukum Privat dalam Telaah Praktik Rentenir ... 50
Perbuatan
Melawan Hukum yang Bersumber dari Hubungan Kontraktual ... 54
BAB
IV : Studi Kasus ... 57
Putusan
Pengadilan Tinggi Maluku Utara dalam Register Perkara No. _____
tanggal 04 Februari 2013: Kebulatan Sikap Pengadilan akan Larangan Praktik
“Milik Beding” ... 61
Putusan
Pengadilan Tinggi Banten dalam Register Perkara Nomor _____ tgl 19 Maret 2015:
Perjanjian Tetap Sah Terkecuali “Milik Beding” ... 68
Putusan
Pengadilan Negeri Kebumen dalam Register Perkara _____ tgl 08 Februari 2011: “Milik Beding”
Sebagai Dasar Pembatalan Parsial ... 74
Putusan
Mahkamah Agung dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 30 Januari 2014: Milik Beding
Tetap Tidak Dibenarkan ... 78
Putusan
Pengadilan Negeri Banjarmasin dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 20 September
2013: “Milik Beding” sebagai Penyalahgunaan Keadaan yang Dilarang Hukum ... 79
Putusan
Pengadilan Negeri Mataran dalam Register Perkara No. _____
tanggal 29 Oktober 2010: “Milik Beding” Bertentangan dengan Ketertiban Umum ...
85
Putusan
Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam Register Perkara Nomor _____ tgl 17 Juli 2014:
“Milik Beding” yang Menjadi Bumerang ... 88
Putusan
Pengadilan Tinggi Yogyakarta dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 5 Januari
2015: “Milik Beding”, Sekali Dilarang Tetap Terlarang ... 92
Putusan
Pengadilan Negeri Pekanbaru dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 14 Oktober
2014: “Milik Beding” yang Penuh Kontroversi ... 94
Putusan
Pengadilan Tinggi Jambi dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 10 Januari
2013: Sekalipun Diperjanjikan, “Milik Beding” Tetap Terlarang ... 101
Putusan
Pengadilan Negeri Bale Bandung dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 14 Maret
2011: Ketika Debitor Korban Praktik “Milik Beding” Bersuara dan Menggugat ... 105
Putusan
Mahkamah Agung RI dalam tingkat Peninjauan Kembali dalam Register Perkara Nomor
_____ tanggal 05 Mei 2011:
Pelaku “Milik Beding” Tidak Dilindungi oleh Hukum ... 114
Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 27 Desember
2012 : Antara “Milik Beding” dan Hutang-Piutang ... 119
Putusan
Mahkamah Agung RI dalam perkara Peninjauan Kembali dalam Register Perkara Nomor
_____tanggal 25 Mei 2011:
Pelaku “Milik Beding” Patut Mendapat Hukuman ... 119
Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Timur dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 6 Maret 2014
: “Milik Beding”, Sekali Dilarang, Tetap Dilarang ... 122
Putusan
Pengadilan Tinggi Bandung dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 20 Oktober
2014 : Modus Variasi “Milik Beding”, Gadai Tanah ... 124
Putusan
Pengadilan Negeri Kelas I A Bandung dalam Register Perkara No. _____ tanggal 26 November
2014 : Akta Kuasa Menjual yang Kontroversial ... 129
Putusan
Pengadilan Tinggi Bandung dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 17 November
2014 : Pemulihan Hak Debitor Korban Praktik “Milik Beding” ... 135
Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 24 April
2014 : Modus Canggih yang Menyelubungi Praktik “Milik Beding” ... 139
Putusan
Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi Register Perkara Nomor _____ tanggal 6 Agustus
2014 : Praktik “Milik Beding” Tidak Dapat Dibenarkan oleh Pengadilan ... 148
Putusan
Mahkamah Agung RI dalam tingkat Kasasi Register Perkara Nomor _____ tanggal 27 Desember
2012 : “Milik Beding” Tidak Sah Sekalipun Dengan Akta Notaris ... 150
Putusan
Mahkamah Agung RI dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 28 Maret 2007: Perintah
Menjual-Lelang Dimuka Umum Alih-Alih Mengabulkan “Milik Beding” ... 152
Putusan
Mahkamah Agung RI dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 11 Agustus 2014 : Penolakan
Praktik “Milik Beding” oleh Pengadilan Bukan Diartikan Membenarkan Wanprestasinya
Debitor ... 154
Putusan
Mahkamah Agung RI dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 14 September 2011 :
Perjanjian “Milik Beding” ialah Batal Demi Hukum ... 159
Putusan
Mahkamah Agung RI dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 12 Februari 2013 : Tiada
Alasan “Milik Beding” yang Dapat Dibenarkan Keberlakuannya ... 161
Putusan
Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor _____ tanggal 10 April 2012 : Ketidakadilan
“Milik Beding” ... 164
Putusan
Mahkamah Agung dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 30 April 2012 : “Milik
Beding” adalah Perwujudan Niat Batin dengan Itikad Buruk ... 166
Daya
Persuasif Sebuah Yurisprudensi serta Preseden Berbagai Putusan Pengadilan Atas
Perkara Serupa ... 175
Keadilan
Dimata Hukum ... 179
BAB
V : Hakekat Akta (Pemberian) Kuasa Untuk Menjual (Hak Atas Tanah) ... 182
Surat
Kuasa Mutlak dan Korelasinya dengan Perbuatan “Main Hakim Sendiri” ... 183
Aspek
Yuridis Pemberian Kuasa ... 185
Alasan
Keberadaan suatu Akta Pemberian Kuasa Untuk Menjual ... 190
Contoh
Kasus Akta Kuasa Mutlak Untuk Menjual Tanah yang Dibatalkan Pengadilan ... 191
Dibebaskan
dari Hak, Bukanlah Kebebasan ... 195
Hakiki
Hukum Privat Modern Bertumpu pada Konsep Kewarganegaraan ... 197
BAB
VI : Catatan Penutup ... 199
Otoritas
Negara sebagai Otoritas Penerap Sanksi ... 203
Kontrak
yang Tidak Seimbang, Selalu dibayangi “Kebatalan” ... 206
Perjanjian
yang Mengandung Perikatan dengan Causa yang Tidak Sahih ... 210
Hukum
adalah Ilmu Prediksi ... 211
Intervensi
Hukum Negara dalam Hubungan Kontraktual Perdata ... 213
Kreditor
dan Debitor, Sebuah Relasi yang Membingungkan ... 217
Urgensi
Hukum Nasional Dibidang Perikatan Perdata ... 219
Potret
Budaya Berhukum ... 219
Evolusi
Hukum Perikatan Perdata ... 221
“Milik
Beding” = Perikatan Tidak Sempurna ... 225
Praktik
“Milik Beding”, Melampaui Alas Hak ... 227
Tak
Selamanya Kontrak/Perjanjian Berlaku Sebagai Undang-Undang bagi para Pihak yang
Mengikatkan dirinya ... 228
“Itikad
Baik”, Makhluk Apakah Itu ? ... 229
Pembuatan
Kontrak yang Melanggar Hukum Negara = “Perbuatan Melawan Hukum” ... 232
Kotak
Pandora “Milik Beding” ... 236
Penghujung
Diskursus Praktik “Milik Beding” dan “Penyalahgunaan Keadaan” ... 237
LAMPIRAN:
1. Instruksi Menteri Dalam
Negeri Nomor 14 Tahun 1982 Tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan
Hak Atas Tanah.
2. Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 Tentang Perjanjian Baku.
...
Untuk membaca uraian selengkapnya
Praktik Hukum Perlindungan Debitur, kirimkan email pemesanan Anda kepada kami pada
alamat legal.hukum@gmail.com
Paling lambat 3 x 24 jam
setelah dana pembelian E-Book kami terima, E-book akan kami kirimkan pada email
Anda.
Mengapa E-Book menjadi evolusi
modern media sastra? Karena sifatnya praktis dan mobile, mudah serta dapat
dibawa kemana pun sebagai teman bacaan via gadget, tidak rusak termakan kutu
buku, serta tidak memakan ruang/tempat. Dengan membeli eBook, berarti kita telah turut menjaga kelestarian lingkungan hidup.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.
[1] Pemecahan hak
atas tanah berbeda konsep yuridis dengan pemisahan hak atas tanah (istilah
“pemecahan/pemisahan sertifikat” kurang tepat). Pemecahan hak atas tanah,
mengakibatkan sertifikat hak atas tanah semula menjadi gugur dan terbit dua
atau lebih sertifikat hak atas tanah baru hasil “pencacahan” bidang tanah dari
sertifikat asal yang dipecahkan. Sementara dalam konsep pemisahan hak atas
tanah, sertifikat hak atas tanah induk tetap eksis, tidak gugur, hanya saja
terjadi perubahan data fisik semisal surat ukur, dimana disaat bersamaan terbit
sertifikat hak atas baru lainnya seluas bagian bidang tanah yang dipisahkan
dari sertifikat hak atas induk.
[2] Adalah
pernyataan menyesatkan ketika “main hakim sendiri” disama-artikan dengan
“eksekusi”. Eksekusi adalah ranah otoritas negara.
[3] Legal Maxim
dari Black’s Law Dictionary, 9th Edition. Yang kurang lebih
diterjemahkan secara bebas sebagai: “Sebuah kesimpulan terhadap penggunaan
sesuatu secara tidak layak, adalah tidak sah.”
[4] Pasal 22
Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia serta yang senada dapat kita
temukan pada ketentuan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman: “Pengadilan
dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya.” Dalam masyarakat, hukum memiliki dua
kategorisasi: “hukum tertulis” berupa peraturan perundang-undangan, serta
“hukum tidak tertulis” berupa potensi hukum yang hidup dalam masyarakat (living law of the people) yang kemudian
dikonkretkan lewat putusan pengadilan—dapat berupa hukum adat maupun kebiasaan
yang kemudian di-saneer (disaring)
dan diadopsi oleh praktik pengadilan.
[5] Unsur pembeda
antara “penentuan nasib sendiri” dengan “main hakim sendiri”, terletak pada
derajat keterlibatan antara para pihak dalam hubungan kontraktual keperdataan.
[6] Sudikno
Mertokusumo, Mengenal Hukum, Edisi
Kelima, (Yogyakarta: Liberty, 2003), hlm. 23.
[7] Diadaptasi dari
kamus hukum yang diunduh dari http://www.pn-amurang.go.id/pics/kamus%20hukum.pdf,
diakses pada tanggal 26 Desember 2015.
[8] Penulis berupaya
menghindari penggunaan frasa “individu” ataupun “perorangan”, karena dalam
konsepsi “kontrak sosial”, setiap subjek hukum dipandang sebagai “warga negara”
yang merupakan bagian dari “rakyat”, dimana “warga negara” memiliki
“pemerintahan” serta “negara” yang diakui dan tempatnya tunduk. Sehingga, tidak
lagi terdapat dalil-dalil akrobatik mengenai “kebebasan berkontrak” yang
demikian liar, karena dibatasi oleh konsepsi-konsepsi hukum bernegara serta
kedaulatan yang telah “diserahkannya” kepada negara. Ketika terdapat warga
negara yang menyatakan keberatan akan “penyerahan” kedaulatan tersebut kepada
negara, dengan harapan dirinya dapat membuat hukum dirinya sendiri, maka dengan
demikian hukum negara tidak dapat melindungi dirinya ketika hak-haknya dilukai
oleh warga negara lain. Benar bahwa konsep “kontrak sosial” berangkat dari
asumsi dasar, sebagai suatu organisasi masyarakat secara makro, namun konsep
ini dilandasi oleh suatu semangat kepercayaan berbangsa serta jiwa
satu-kesatuan yang merupakan akar pembentuk tertib bermasyarakat guna kohesi
sosial atas masyarakat yang majemuk.
[9] Julukan bagi
Mahkamah Agung Belanda di Negeri Belanda.
[10] H.P.
Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan
Sebagai Alasan (Baru) Untuk Pembatalan Perjanjian, Edisi Revisi Kedua, (Yogyakarta:
Liberty, 2010), hlm. 59—61.
[11] Dudu Duswara
Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum: Sebuah Sketsa,
Cetakan Kedua, (Bandung: Refika Aditama, 2003), hlm. 25.
[12] Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008), hlm. 10.
[13] Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara,
Penerjemah: Raisul Muttaqien, (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 109.
[14] Dalam suatu
entitas negara beradab, lalu-lintas pergaulan penduduknya tidak lagi tunduk
pada hukum “rimba” survivor of the
richest. Rousseau merumuskan hukum dari hukum rimba sebagai: “hak untuk menaklukkan tidak mempunyai dasar
lain kecuali hukum bagi yang terkuat... Bila
tidak ada pemimpin bersama untuk mengatur hubungan antara seseorang dengan
(publik) umum, maka dalam beberapa hal setiap orang akan menjadi hakim bagi
kepentingannya sendiri, dan segera akan terjadi anggapan demikian pada setiap
hal. Dengan demikian keadaan alami akan kembali seperti sedia kala (hukum
rimba), dan akibatnya akan timbul tirani dan kehancuran. Akhirnya setiap orang memberikan dirinya
untuk umum, dan tidak lagi terdapat individu yang berdiri sendiri. Setiap kita
menempatkan diri dalam kebersamaan, semua daya kekuatan ditempatkan di bawah
tujuan utama dari kehendak umum.” (Jean Jacques Rousseau, Kontrak Sosial, Penerjemah: Sumardjo,
(Jakarta: Erlangga, 1986), hlm. 12 dan hlm. 15) Perhatikan kalimat terakhir
dari pernyataan Rousseau tersebut, public
person tersebut menjadi konsekuensi logis konsepsi “kontrak sosial”.
[15] Istilah bagi
praktik “bunga majemuk” atau “bunga berjenjang” (compunded interest), dimana terhadap bunga maupun denda yang tidak
terbayar pada periode sebelumnya dikenakan sebagai dasar acuan bersama pokok
hutang untuk menentukan besaran beban bunga bulan berjalan. Perhatikan Pasal 17
Ayat (7) Butir (d) Peraturan Bank Indonesia No.14/2/PBI/2012 tanggal 6 Januari
2012 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu:
“Penghitungan bunga yang timbul atas
transaksi Kartu Kredit wajib dilakukan oleh Penerbit Kartu Kredit dengan
memperhatikan paling kurang hal-hal sebagai berikut: biaya dan denda, serta
bunga terutang dilarang digunakan sebagai komponen penghitungan bunga.”
Perhatikan pula ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/17/DASP
tanggal 7 Juni 2012 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Kartu: “Dalam rangka
perlindungan Pemegang Kartu Kredit, perhitungan bunga yang timbul atas
transaksi Kartu Kredit wajib dilakukan oleh Penerbit Kartu Kredit dengan
ketentuan sebagai berikut: biaya terutang, denda terutang, bunga terutang, dan
tagihan yang belum jatuh tempo, dilarang digunakan sebagai komponen
penghitungan bunga Kartu Kredit.”
[16] Mark Constanzo,
Aplikasi Psikologi dalam Sistem Hukum,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 16—17.
[17] Terdapat
pepatah latin yang berbunyi: A bove
majori discit arare minor. Dari sapi yang lebih tua, yang muda belajar
untuk membajak sawah. (berbagai pepatah latin dikutip dari
http://wordinfo.info)
[18] Meuwissen, Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum,
Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Penerjemah: B. Arief Sidharta, (Bandung:
Refika Aditama, 2009), hlm. 69.
[19] Istilah
causa/kausa (pangkal sebab), yang dalam bahasa Inggris diistilahkan sebagai consideration, menurut Arrest Hoge Raad
tgl 29 Desember 1911, dulu orang menganggap bahwa causa atau consideration merupakan kewajiban
(promise) saja. Karena pengertian consideration
harus merupakan suatu kontra-janji (kewajiban) sudah tidak diikuti lagi maka
sebab yang dimaksudkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata itu adalah sebab perjanjian,
yaitu dapat sebagai kewajiban (promise) atau dapat sebagai prestasi/syarat (performance). (Elly Erawati dan Herlien
Budiono, Penjelasan Hukum tentang
Kebatalan Perjanjian, (Jakarta: Nasional Legal Reform Program: 2010), hlm.
81.)
[20] Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, edisi revisi,
(Jakarta: Kesaint Blanc, 2004), hlm. 31—32.
[21] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta:
Intermasa, 2008), Hlm. 123—124.
[22] Dari sudut
sistem objektif atau sistem komunitas yang dibentuk oleh individu-individu, dalam
pandangan Hans Kelsen, tidak ada individu bebas sama sekali; yaitu, tidak ada
individu bebas yang bisa dipahami begitu saja dengan kognisi yang difokuskan
pada sistem sosial. Individu, dalam konteks negara dipandang sebagai sebuah
komponen terikat dari komunitas tersebut. (Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum (Introduction to the Problems of Legal Theory),
Penerjemah: Siwi Purwandari, (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2010), hlm. 91)
[23] Sudikno
Mertokusumo, Mengenal Hukum, Edisi
Kelima, (Yogyakarta: Liberty, 2003), hlm. 4.
[24] Dum felis dormit, mus gaudet et exsilit
antro. Ketika kucing jatuh tertidur, tikus bersuka ria dan melompat dari
lubangnya.
[25] suatu keadaan
konsensus antar anggota masyarakat yang diasumsikan menjadi prasyarat utama
pembentukan negara hukum dengan suatu tujuan bersama.
[26] Dalam
bermasyarakat, urai Wirjono Prodjodikoro, seorang manusia tidaklah hidup
tersendiri, melainkan bersama-sama dengan orang-orang lain. Masyarakat baru
dapat dikatakan berada dalam keadaan makmur sejahtera bila terdapat
keseimbangan pada suasana hidup didalamnya. Maka dapat dikatakan juga,
“perkosaan” terhadap suatu kepentingan seorang anggota masyarakat, bagaimana
pun kecilnya tentu mengakibatkan kegoncangan pada neraca keseimbangan dalam
masyarakat. Oleh karenanya, setiap perbuatan melanggar hukum, memiliki
konsekuensi logis yang berdampak pada kepentingan masyarakat seluruhnya.
Kepentingan dari seorang perseorangan baru mendapat perlindungan dari hukum
berupa adanya suatu peraturan hukum yang melarang atau sebaliknya, apabila
kepentingan masyarakat juga menuntut supaya kepentingan orang perseorangan
tersebut dilindungi. (Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan
Melawan Hukum: Dipandang dari Sudut Hukum Perdata, (Bandung: Mandar Maju,
2000), hlm. 14.)
[27] Stat pro ratione voluntas populi. The will
of the people stands in place of a reason.
[28] Hestu Cipto
Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia,
(Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2009), hlm. 19—20.
[29] Alfred Stepan, Ther State and Society (1978),
sebagaimana dikutip Mahfud M.D., Politik
Hukum di Indonesia, edisi revisi, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 225.
[30] Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia, Ibid, hlm. 226.
[31] Mochtar
Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar
Ilmu Hukum: Buku I, (Alumni:
Bandung. 2000), hlm. 14 dan hlm. 19.
[32] Soehino, Ilmu Negara, (Liberty: Yogyakarta,
2005), hlm. 122 dan hlm. 148.
[33] Yang ironisnya,
masih terus didengung-dengungkan dalam teks-teks ilmu hukum saat kini.
[34] Salim, Wiwiek
Wahyuningsih, dkk, Perancangan Kontrak & MoU, (Sinar Grafika: Jakarta,
2008), hlm. 2—3.
[35] Abundans cautela non nocet. Perhatian
yang berkelimpahan tidaklah menyakiti.
[36] Anthon F.
Susanto, Hukum dari Consilience Menuju
Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif, (Bandung: Refika Aditama, 2007),
hlm. 115.
[37] Apakah terjadi
kesepakatan harga antara pelaku kartel dengan konsumen? Tidak. Yang sepakat
mengenai harga ialah para pelaku usaha yang menggabungkan diri dalam asosiasi
kartel dan mematok “harga mati” atas komoditas di pasaran. Masyarakat, yakni
dalam hal ini konsumen, hanya tunduk pada harga yang ditetapkan pelaku usaha
kartelisasi yang memiliki daya tawar kuat dalam menetapkan harga, karena tiada
pilihan lain bagi konsumen kecuali mengikuti “aturan main” para pelaku usaha
kartel tersebut.
[38] Kita ambil salah
satu ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 11
mengatur mengenai larangan kartel: “Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang
bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran
suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”
[39] Inilah yang
kemudian penulis sebut sebagai hukum perdata privat bernuansa publik.
[40] Sunaryati
Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem
Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1991), hlm. 118—119) Mungkin adalah
terlampau berani jika penulis menyatakan bahwa Hukum Administrasi Negara = Hukum
Perdata dalam skala masif. Dalam konsep “kontrak sosial”, negara merupakan
simbolisasi rakyat. Dengan demikian, ketika hukum perdata/sipil mengandung
komponen warga negara terhadap warga negara lainnya, dalam Hukum Administrasi
Negara yang saling berhadapan ialah warga negara terhadap simbolisasi rakyat.
[41] Sudikno
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata
Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hlm. 3.
[42] Untuk lebih
jelas, telaah buku Penulis berjudul Praktik
Hukum Jaminan Kebendaan, diterbitkan oleh PT. Citra Aditya Bakti (Bandung,
2016). Dalam teori, larangan “main hakim sendiri” setidaknya mengundang dua
pandangan. Ada yang mengatakan tindakan menghakimi sendiri itu sama sekali
tidak dibenarkan (van Boneval Faure). Alasannya, hukum acara perdata telah
menyediakan prosedur untuk memperoleh perlindungan hukum bagi para pihak
melalui pengadilan, maka segala bentuk tindakan yang diluar prosedur hukum,
dilarang. Pandangan demikian, menurut Sudikno Mertokusumo, telah ditinggalkan.
Pandangan yang lebih moderat menyatakan, tindakan menghakimi sendiri pada
asasnya tidak dibenarkan, akan tetapi bilamana peraturan yang ada tidak cukup
memberi perlindungan, maka tindakan menghakimi sendiri itu secara ‘tidak
tertulis’ dibenarkan (Rutten). (Dikutip dari Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Op. Cit.)
[43] Didit Akhdiat
suryo, “Akses Bagi Masyarakat Dalam Penyelesaian Sengketa Di Bidang Perdagangan”,
dalam Sosi Pola (editor), Jendela
Informasi Hukum Bidang Perdagangan, (Jakarta: Biro Hukum Kementerian
Perdagangan, 2011), hlm. 16.
[44] Acta exteriora indicant interiora secreta. Tindakan-tindakan
lahiriah mengindikasikan pikiran-pikiran tersembunyi dibaliknya.
[45] Aliquis non debet esse judex in propria
causa, quia non potest esse judex et pars. Seseorang tidak diperkenankan
menjadi hakim atas kepentingannya sendiri, karena ia tidak dapat bertindak baik
sebagai hakim dan disaat bersamaan sebagai para pihak terlibat.
[46] Montesquieu, The Spirit of Laws, Penerjemah: M.
Khoiril Anam, (Nusa Media: Bandung, 2007), hlm. 93.
[47] Actus judidarius coram non judice irritus
habetur. A judicial act before one not a judge (or without jurisdiction) is
void.
[48] Ubi ius (jus), ibi officium. Dimana ada
hak, disitu terletak pula kewajiban.
Keistimewaan tidaklah muncul dari ketiadaan berbagai tanggung-jawab.
(dikutip dari http://wordinfo.info/unit/3483?letter=L&spage=3)
[49] Asas kebebasan
berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
(Salim, Hukum Kontrak: Teori &
Praktik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 9.)
-
membuat atau tidak membuat perjanjian;
-
mengadakan perjanjian dengan siapapun;
-
menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya.
[50] J. Satrio
mendefinisikan “Perikatan (hukum)” sebagai: suatu hubungan hukum antara dua
pihak, dimana disatu pihak ada hak dan dilain pihak ada kewajiban. (J. Satrio, Hukum Perjanjian: Perjanjian pada Umumnya,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), hlm. 3.) Sementara itu Subekti mengartikan
“Perikatan (perdata)” adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, dimana
pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak
yang lain tersebut berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. (Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa,
2005), hlm. 1.)