Makna dan Contoh ETIKA SITUASIONAL

Relasi antara KORUPSI dan PEMERKOSAAN

Korupsi merupakan Pemerkosaan terhadap Ekonomi Kerakyatan

Apa yang menjadi faktor pembeda paling utama antara manusia dan robot? Kemampuan menimbang serta mencermati konteks suatu kondisi yang melingkupi suatu peristiwa, dimana itulah yang kita kenal sebagai “kebijaksanaan” (wise). Tanpa kemampuan dasar seorang manusia demikian, maka seseorang layak diberi gelar sebagai “manusia robot”, “hakim robot”, “polisi robot”, dan lain sebagainya. Terkadang, ketika situasi menuntut kita untuk memecah kebuntuan dan kebekuan, kita memang perlu “melawan arus” alias kecerdasan bersikap fleksibel dan tidak kaku. Prinsip hidup dan idealisme itu penting, namun perlu dibawakan secara cerdas dan bijaksana. Tahu kapan bersikap lunak, dan tahu kapan harus bersikap selayaknya diktator bilamana situasi menuntut untuk itu, merupakan salah satu “seni hidup”—karenanya sesuatu menjadi baik ataupun sebaliknya menjadi buruk, bilamana kita gagal memahami kondisi yang ada.

KODE ETIK Kejaksaan Republik Indonesia

Tebalnya KODE ETIK Profesi, Tidak Berbanding Lurus dengan Tingkat Kepatuhan Aparatur

Teladan merupakan Edukasi Standar Etik Tertinggi

Question: Tidak lama setelah Peraturan Kapolri tentang Kode Etik Polisi terbaru diterbitkan, yang tebalnya “minta ampun” isi Kode Etik bagi kalangan profesi Polisi tersebut, ternyata tidak efektif mencegah menyimpangan maupun untuk meluruskan penyimpangan perilaku para aparatur Kepolisian. Terbukti dengan kasus “Ferdy Sambo” selaku Kepala Divisi Propam POLRI (“polisinya polisi”) yang jahatnya demikian ekstrem, serta penyalah-gunaan kekuasaan oleh “Teddy Minahasa” yang notabene Kepala Polda justru menyalah-gunakan obat-obatan terlarang hasil penyitaan untuk diedarkan kembali ke masyarakat sehingga bertentangan dengan tugas dan kewajiban profesi maupun sumpah jabatannya.

Apakah Kapolri akan kembali menerbitkan Kode Etik POLRI yang lebih baru dan yang sifatnya lebih tebal lagi? Saya pribadi merasa ragu, semua aparatur Kepolisian akan atau telah membaca Kode Etik POLRI setebal itu. Bila tidak ada kasus “Brigadir J” yang tewas akibat pembunuhan berencana Kadiv Propam POLRI ini, maka sang psikopat “Sambo” ini akan terus menjabat sebagai kepala divisi penegak etik POLRI, yang artinya menjadi suri-tauladan bagi para aparatur Kepolisian, apa tidak gawat ini negeri?

Perbedaan antara Norma Hukum dan Etika, yang Satu Menekankan Teks dan Satunya Lagi Bertolak pada Kontekstual Peristiwa

Larangan & Kebolehan Vs. Kepatutan dan Ketidakpantasan

KONTEKS merupakan Domain Etika, sementara TEKS menjadi Domain Norma Hukum

Question: Apakah mungkin dan dimungkinkan, norma hukum mengandung etika dan juga sebaliknya, etika mengandung norma hukum?

5 Alasan mengapa Kriminalitas dan Korupsi Kekal Abadi

Bukan si Penjahat yang Paling Menakutkan, namun Sifat Jahat dan Kejahatan-Kejahatan Mereka yang Paling Menakutkan

Question: Mengapa masih ada saja, pejabat tinggi negara seperti koruptor maupun penjahat-penjahat lainnya (para kriminil) yang tertangkap oleh penegak hukum, sekalipun sudah sedemikian banyak diberitakan oleh jurnalis media mainstream, tentang tertangkap, diadili (disidangkan), serta dijebloskannya mereka ke tahanan maupun penjara sebagai hukumannya? Padahal, sudah sedemikian “gemuk” serta menggunung regulasi atau aturan hukum diterbitkan oleh negara kita, namun seolah tidak sanggup membendung aksi kejahatan. Bukankah Indonesia mengaku sebagai negara agamais, dimana setiap agama sudah mengajarkan adanya alam neraka bagi mereka yang berdosa?

PMH merupakan Wanprestasi dalam Derajat yang Paling Ekstrem / Vulgar

Preseden : Bermula dari Kontrak / Perjanjian, Bermuara pada PMH

Perjanjian yang Disikapi ataupun Dipungkiri dalam Derajat yang Ekstrem, Menjelma PMH, Bukan lagi Sekadar Wanprestasi

Question: Ada sebagian kalangan sarjana hukum semisal akademisi maupun praktisi hukum seperti hakim ataupun pengacara, berpandangan bahwa jika berhulu dari adanya suatu perikatan perdata seperti surat perjanjian, maka tidak bisa pihak yang satu menggugat pihak yang satu lainnya dengan dalil telah terjadi “PMH” (perbuatan melawan hukum), namun hanya dimungkinkan untuk menggugat dengan dalil telah terjadi “wanprestasi” alias “ingkar janji”. Apakah betul demikian, sekalipun bisa jadi dalam praktik perjalanannya dan seringkali terjadi seperti banyak pengalaman yang sudah-sudah, dengan dilandasi itikad tidak baik alias niat buruk, salah satu pihak dalam relasi perjanjian ini (secara) sengaja mengingkari atau bahkan menyimpang sama sekali?

Penipuan Lawyer Urbanisasi dari “URBAN Law Office—Advokat & Legal Consultant”, Modus KUDA TROYA

Pengacara Bernama Urbanisasi, Sarjana (Tukang Langgar) Hukum, Spesialis Langgar-Melanggar

Tidak Menghargai Profesi Kompetitor, bahkan Mencoba Memperdaya Kompetitor secara TIDAK ETIS, Sama artinya Cari Penyakit Sendiri, YOU ASKED FOR IT!

Salah Memilih Lawan atau Menarget Korban, Sama artinya Menenggelamkan Hidup dan Mengubur Karirnya Sendiri (Cari Mati Sendiri)

Disebut sebagai “kerjasama”, merujuk pada suatu situasi mutualisme dimana kedua belah pihak saling menumbuhkan menguntungkan satu sama lainnya (simbiosis mutualisme)—sebaliknya, ketika salah satu pihak tidak mendapatkan kompensasi apapun atau bahkan dirugikan, itu disebut sebagai “mengambil keuntungan dari orang lain”. Ada Sebuah peribahasa Belanda pernah menyebutkan: “Een goed verstaander heeft maar een half woord nodig.” Artinya, orang yang pandai memahami, (cukup) membutuhkan separuh perkataan. Jika masih belum jelas, tahu berbuat apa yang diharapkan dari dia.

But Whatever Has Happened, Don't Choose Despair. Namun Apapun yang Telah Terjadi, Jangan Pilih Putus Asa

HERY SHIETRA, But Whatever Has Happened, Don't Choose Despair. Namun Apapun yang Telah Terjadi, Jangan Pilih Putus Asa

It could be,

Once upon a time we experienced a number of losses,

When trying to make a living or in living life.

But whatever it is,

Always choose not to lose even more.

Cerminan serta Refleksi bagi Negeri Salah Urus dan Salah Didik

Investasi Asing Masuk dengan Derasnya, namun Warga Indonesia justru Mengadu Nasib ke Negeri Asing

Selama ini pemerintah mendengungkan penting serta urgensinya untuk menggelar “karpet merah” bagi investor asing dan selama ini pula meng-klaim tingginya pencapaian atau tercapai serta terlampauinya realisasi pertumbuhan masuknya modal investasi asing ke dalam teritori Indonesia. Namun, suka atau tidak suka kita menjadi merasa miris sekaligus satiris, ironi pada negeri dimana berbagai investor asing kian bercokol, namun anak-anak bangsa lokal-domenstik Indonesia justru sepanjang tahun ini pula menjadi korban “human trafficking” alias “perdagangan orang” dengan modus rekruitmen tenaga kerja ke negeri asing—dimana ternyata mereka dikelabui, dijebak serta terjebak, sebelum kemudian disekap untuk dieksploitasi menjadi pekerja bisnis ilegal seperti “perjud!an online” dan kegiatan penipuan secara daring lainnya yang menjadikan warga di Indonesia sebagai target korban-korbannya.

3 Jenis Model Rumusan Identitas Tergugat (Alm.), bila Lawan Meninggal Sebelum Sempat Digugat

Redaksional Surat Gugatan ketika Tergugat telah Almarhum (Meninggal Dunia)

Question: JIka lawan yang mau kami gugat, telah ternyata sudah meninggal beberapa saat sebelum kami hendak mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri, apakah masih memungkinkan untuk digugat itu si almarhum? Bukankah secara hukum (perdata), tanggung-jawab atau kewajiban juga ikut beralih kepada ahli waris seorang warga termasuk pihak-pihak yang hendak kami gugat namun telah terlanjur meninggal dunia tersebut? Setahu kami, warisan itu isinya berupa harta kekayaan juga termasuk kewajiban-kewajiban seperti hutang almarhum tanpa terkecuali.

Tenaga Kerja MANUSIA Vs. Tenaga Kerja ROBOTIK Asing

Mesin Robot Lebih Produktif, Tidak Menuntut Upah, Pesangon, Cuti, Lembur, Uang Makan, Uang Transport, Cukup Diberi Listrik dan Oli Pelumas

Idealisme Vs. Efisiensi Usaha, Pilih yang Mana? Mengikuti Perkembangan Zaman atau Menentang (Memungkiri) Zaman?

Tidak dapat dipungkiri—alias menjadi aneh bilamana masih juga dipungkiri—bahwa Undang-Undang maupun Perpu mengenai “Cipta Kerja” bersifat mendegradasi hak-hak perburuhan kaum pekerja ataupun buruh di Tanah Air. Namun, tanpa bermaksud mengecilkan peran dan kontribusi ataupun hak-hak konstitusional para kaum buruh / pekerja di Indonesia, tulisan singkat ini sekadar menjadi refleksi sekaligus medium komunikasi-persuasif agar kalangan buruh / pekerja mulai bangun dari mimpi euforia era kejayaan “tenaga kerja MANUSIA”, euforia mana sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan dunia teknologi terutama disrupsi “mesin” (machine) baik itu humanioid, tenaga robotik otomatisasi, proses otomatisasi, kecerdasan buatan (artificial intelligence), digitalisasi, mesin produksi, atau apapun itu nama maupun istilahnya, yang menjurus pada digantikannya peran-peran “tenaga kerja manusia” dengan “tenaga kerja ROBOTIK”.

Kendala Paling Utama saat Tergugat Meninggal Dunia Sesaat Sebelum Perkara Gugatan Diputus Pengadilan Negeri

Negara yang Tidak Kompeten, ketika Rakyat Dibiarkan Seorang Diri mencari Perlindungan dan Jalan Keluar, Tidak Solutif

Ketika Tugas dan Tanggung Jawab Negara justru Dibebankan kepada Rakyat Sipil yang Tidak Memiliki Kewenangan, Republik (Serba) Salah Kaprah

Rakyat Harus Belajar Keterampilan Bergerilya Ditengah Republik yang Tidak Pernah Eksis Pemerintahnya bagi Warga Sipil

Question: Ketika pihak tergugat atau salah satu pihak tergugat secara mendadak meninggal dunia tanpa diduga-duga ataupun diharapkan, maka penggugat diharuskan pengadilan untuk menyerahkan daftar rincian berisi nama-nama serta alamat ahli waris “almarhum tergugat” untuk dipanggil oleh jurusita pengadilan dalam rangka menggantikan posisi atau kedudukan hukum “almarhum tergugat” dalam gugat-menggugat ini. Tampaknya majelis hakim telah cukup akomodatif, karena tidak secara serta merta menyatakan gugatan sebagai “gugur” akibat meninggal dunianya pihak tergugat atau salah satu pihak tergugat.

Namun yang menjadi masalah bagi kami selaku warga sipil pencari keadilan ialah, bagaimana mungkin kami dapat mengetahui siapa saja nama dan berapa orang maupun alamat-alamat anak-anak atau ahli waris tergugat yang meninggal dunia ini? Jika membuat aturan yang mewajibkan seperti itu, mengapa tidak memberikan juga akses solusinya? Jelas pihak keluarga “almarhum tergugat” tidak akan terbuka dan transparan tentang informasi ini, apakah artinya ini yang disebut sebagai “justice denied”, dimana hukum acara perdata begitu formalistis namun warga sipil yang terbatas kewenangannya dibiarkan berjuang seorang diri, seolah-olah negara tidak pernah hadir untuk menawarkan solusi bagi kami selaku rakyat kecil. Mengapa di republik ini, akses terhadap keadilan dan hukum begitu sukar, terbendung oleh tembok tebal bernama birokrasi dan prosedural yang kaku?

Tes Level SQ Anda Disini : Pendosa yang Minta untuk Dihormati, Salah Alamat, HANYA PENDOSA YANG BUTUH PENGHAPUSAN DOSA

IQ Mungkin Bukan Segalanya, namun (yang Jelas) Segalanya Butuh IQ

IQ juga merupakan Pemberian dan Anugerah Terbesar Tuhan, mengapa Terjadi Diskredit seolah SQ Lebih Tinggi Derajatnya daripada IQ?

Jika SQ dan EQ Tidak Bertopang pada Pilar Penopang bernama IQ, maka Pada Apakah? Pada Otak Reptil yang Bersarang di Kepala Anda?

Setelah selama puluhan tahun mengamati masyarakat kita di Indonesia yang serba “agamais”—negeri kita tidak pernah kekurangan para “agamais” namun disaat bersamaan penjara selalu mengalami masalah klise, “overcapacity”—maka dapat penulis petakan pola tabiat atau watak para “agamais” yang membanjiri masyarakat kita, pola mana dapat para pembaca jumpai sendiri dalam kehidupan sehari-hari, antara lain: [DISCLAIMER : Silahkan bagi Anda bila hendak membantah atau mendebat, itu pun bila Anda sanggup, akibat terbiasa dan dibisakan meremehkan peran krusial IQ. Tuhan tidak pernah butuh seorang “penjilat”, dunia ini tidak pernah kekurangan “pendosa penjilat penuh dosa”]

Beda antara PMH dan Wanprestasi, Tidak Prinsipil

Ada Itikad Buruk, maka Terjadilah Perbuatan Melawan Hukum

Contoh Sengketa PMH sekaligus Wanprestasi

Question: JIka seseorang ingkar janji lalu juga melakukan “perbuatan melawan hukum”, apakah terhadap yang bersangkutan hanya dapat digugat dengan kriteria “wanprestasi” ataukah dapat dijadikan satu-kesatuan yang tidak terpisahkan antara terjadinya ingkar janji dan “perbuatan melawan hukum” tersebut sebagai satu rangkaian kejadian? Apakah dengan bermodalkan surat perjanjian, lantas artinya pihak bersangkutan bisa seenaknya melakukan berbagai “perbuatan melawan hukum” yang merugikan pihak lainnya, lalu hanya dapat dsebut sekadar sebagai “ingkar janji”? Bukankah itu terlampau menyederhanakan masalah?

Akal Buta Milik Orang Buta, Kacamata (Milik) Orang Buta

Akal Sehat Milik Orang Sehat Vs. Akal Sakit Milik Orang Sakit

Masyarakat yang sehat, adalah masyarakat yang berjiwa ksatria antar sesama warga / penduduk, dalam artian “berani berbuat, maka harus berani bertanggung-jawab”. Jangankan diharapkan bersikap ksatria, korban yang sekadar menjerit kesakitan pun masih pula dirudung sebagai “sudah gila” atau “tidak sopan”—seolah-olah perilaku sang pelaku yang telah menyakiti / merugikan / melukai sang korban adalah “sudah sopan”. Bahkan, maling pun berkeberatan disebut sebagai maling, jika perlu “maling teriak maling”. Bahkan pula, seakan tidak tabu, berbagai pemuka agama maupun tempat ibadah alih-alih mengumandangkan serta mengkampanyekan gaya hidup “higienis dosa”, justru mempromosikan “permohonan penghapusan / pengampunan / penebusan dosa”, namun disaat bersamaan berceramah perihal hidup suci, jujur, dan bersih.

If Only From The Beginning We Knew It... Jika Saja dari Sejak Awal Kita Mengetahuinya...

Hery Shietra, If Only From The Beginning We Knew It... Jika Saja dari Sejak Awal Kita Mengetahuinya...

What is self-delusion about?

A simple self-introspection is sufficient,

To dismantle the game behind the delusions that have hijacked our way of thinking and many people in our midst.

NEGARA Vs. SIPIL, Menggugat Perbuatan Melawan Hukum Pemerintah ke Pengadilan Tata Usaha Negara

Perbuatan Aktif maupun Pasif Pemerintah (Sengaja ataupun Abai), merupakan Objek Gugatan Warga ke PTUN

Question: Bukanlah lucu, militer digaji dan diberi anggaran oleh negara yang bersumber dari pajak yang dibayar oleh masyarakat sipil, dengan tugas utama untuk melindungi rakyat sipil, namun justru bersikap arogan terhadap rakyat sipil dengan melakukan segala bentuk intimidasi dengan maksud menyerobot tanah milik kami secara “main hakim sendiri” (eigenrichting). Preman-preman berseragam loreng yang diberi kewenangan menggunakan tank dan peralatan tempur demikian, apa bisa kami gugat selaku warga yang telah sangat dirugikan (hak-hak sipil maupun keperdataannya) oleh perbuatan militer kita yang sudah meresahkan warga? Semestinya militer kita merasa malu, hanya beraninya mengintimidasi rakyat sipil, namun akan ciut nyalinya menghadapi militer negara asing, seolah-olah mereka memang hanya dilatih untuk beraninya terhadap sipil yang tidak bersenjata dan berdiri seorang diri, masih pula mereka mengintimidasi dengan menurunkan sejumlah personil tentara alih-alih “satu lawan satu”.

Alasan Surga dan Neraka Pasti Ada setelah Kematian

Jangankan Neraka, Penjara pun Banyak yang Tidak Percaya & Menantang sehingga Benar-Benar Dijebloskan ke Dalamnya

Untung dan Rugi menjadi Orang Baik ataupun Jahat, Sistem Merit sebagai Hukum Alam

Question: Apakah ada argumentasi yang cukup logis dan rasional, untuk membuktikan bahwa alam surga dan alam neraka memang ada bagi manusia setelah kematiannya?

SENI HIDUP : Bersikaplah Adil terhadap Diri Anda dengan Cara Bersikap Adil terhadap Orang Lain

Ketika Seseorang Tidak Menghargai dan Bersikap Tidak Adil terhadap Orang Lain, Sejatinya si Pelakunya sedang Mengutuk (Curse) Dirinya Sendiri

Menghargai Orang Lain dan Lawan Bicara, artinya Anda Menghargai Diri Anda Sendiri

Ketika seseorang tidak menghargai martabat ataupun eksistensi orang / warga lain yang hidup pada satu “global village” habitat maupun ekosistem bersama dirinya, maka sejatinya diri yang bersangkutan sedang tidak menaruh hormat terhadap dirinya sendiri. Begitupula, ketika kita gagal menghargai pribadi atau individu lainnya maupun lawan bicara, sejatinya kita sedang tidak menghargai diri kita sendiri. Terdengar klise, namun berapa banyak diantara kita yang benar-benar memahami makna dibaliknya, sehingga penulis merasa perlu untuk mengangkat topik ini secara khusus.

UPAYA HUKUM Vs. UPAYA POLITIS, Makna dan Contoh

Upaya Hukum Vs. Upaya (yang) Mengada-Ada : Penetapan Perlindungan Hukum terhadap Putusan Inkracht, TIDAK SAH

Delusi Dibalik Upaya Menganulir Putusan Pengadilan yang telah Berkekuatan Hukum Tetap

Modus Berkelit dari Penghukuman dari Putusan Pengadilan yang telah Berkekuatan Hukum Tetap

Question: Apa benar memang ada “kartu sakti” untuk dapat menganulir eksekusi terhadap putusan (perdata) yang telah inkracht?

Distingsi Kapan Murni WANPRESTASI, serta Kapan Naik Derajat Menjelma PERBUATAN MELAWAN HUKUM dalam Gugat-Menggugat Perdata

Semua Perjanjian Investasi Modal Usaha (Pasti) Diperjanjikan dan Menyepekati bahwa Peminjam Modal Investasi akan Mengembalikan dan Melunasi Pinjaman Modal Usahanya

Tidak Ada Investor Pemilik Modal Usaha yang Membuat Perjanjian bahwa Penerima Modal Investasinya akan MENGGELAPKAN Modal Pinjamannya

Menggelapkan artinya Menyimpang dari Itikad Baik serta juga Menyimpangi Perjanjian dengan Itikad Buruk = PERBUATAN MELAWAN HUKUM

Question: Apakah suatu hubungan hukum keperdataan kontraktual, yang maksudnya bermula dari suatu perikatan perdata berupa perjanjian kerjasama, bisnis, jual-beli, investasi, atau apapun itu, dapat bermuara pada gugatan “perbuatan melawan hukum” (PMH) tidak lagi murni sebagai “wanprestasi”, ketika salah satu pihak yang bersepakat dalam perjanjian tersebut memiliki itikad tidak baik terhadap pihak lainnya dalam perjanjian demikian? Apa betul, ada teori ataupun pandangan akademisi dibidang hukum, yang mengatakan bahwa suatu “perbuatan melawan hukum” terjadi tanpa adanya kesepakatan ataupun perjanjian antara kedua belah pihak yang saling bersengketa ini?

The Guardian of Constitution Bukanlah Mahkamah Konstitusi RI, namun Rakyat Pemilih Kita Itu Sendiri

Jangan Bersikap seolah-olah Tidak Ada Anggota Masyarakat Kita yang Lebih Layak Dicalonkan dan menjadi Calon Anggota Legislatif maupun Kepala Daerah

Hanya Bangsa Korup yang Memilih Koruptor (Pendosa) sebagai Pemimpin Terpilih

Bahaya dan Resiko Memilih Koruptor (Pendosa) sebagai Pemimpin

Pemerintah maupun pembentuk peraturan perundang-undangan telah beritikad baik dengan mempersulit mantan narapidana tindak pidana korupsi (Tipikor) untuk mencalonkan dirinya paska / selepas menjalani hukuman pidana penjara (dengan dipotong masa hukuman dengan “bebas bersyarat” plus obral remisi, tentunya) dalam pemilihan umum (Pemilu) Kepala Daerah maupun Anggota Legisllatif baik daerah kabupaten, kota, provisi, maupun pusat. Namun Mahkamah Agung RI telah menerbitkan putusan terhadap gugatan uji materiil terkait calon Kepala Daerah eks-napi tindak pidana korupsi, dengan membolehkan sang koruptor (sekali melakukan Tipikor, maka selamanya ialah “koruptor”, bukan “eks-koruptor”, seorang pelaku extra-ordinary crime. Sama seperti Adolf Hitler, disebut sebagai diktator yang otoriter, alih-alih menyandang gelar sebagai “ex”) untuk kembali mengikuti Pemilu dan terpilih untuk menjabat sebagai Kepala Daerah, dimana untuk kali berikutnya kembali tertangkap karena aksi korupsi maupun kolusi yang sama untuk kedua kalinya—dan benar-benar pernah terjadi lebih dari satu kali peristiwa di republik bernama Indonesia ini, dimana masyarakat kita tampaknya tidak pernah mau belajar dari pengalaman dan belum benar-benar siap untuk sistem “demokrasi penuh”, mengingat masyarakat kita belum benar-benar dewasa dan “cerdas” secara politik.

Ambiguitas Makna HARTA BERSAMA alias HARTA GONO-GINI, Bersifat Separuh ataukah Renteng?

HARTA BERSAMA = KEWAJIBAN BERSAMA. Hutang Suami merupakan / menjadi Hutang Istri Juga

Perkawinan Putus karena Perceraian, KEWAJIBAN BERSAMA Tetap Mengikat Kedua Mantan Pasangan Suami Istri Atas Hutang yang Terbit Saat Perkawinan Berlangsung

Question: Sebenarnya yang disebut dengan “harta bersama” atau yang juga kita kenal dengan istilah “harta gono-gini”, itu sifatnya renteng ataukah separuh-separuh antara si suami dan si istri? Jika semisal kami atau salah satu dari kami digugat orang lain, kewajiban masing-masing suami-istri ini bagaimana perhitungannya menurut hukum di Indonesia?

Membayar dan Mencicil, Dihitung sebagai Pembayaran Pokok Hutang ataukah Bunga?

Aspek Hukum Pembayaran Separuh Hutang alias Membayar Cicilan Hutang, Mengurangi Pokok Hutang ataukah untuk Menutup Tagihan Bunga Hutang?

Question: Ketika debitor melakukan pembayaran berupa cicilan atas tunggakan hutangnya, disebut sebagai cicilan hutang karena bukan berupa pelunasan terhadap seluruh hutangnya secara seketika dan sekaligus, maka pembayarannya tersebut secara hukum adalah diperhitungkan untuk mengurangi komponen “pokok hutang” ataukah untuk membayar “bunga dari hutang”? Apa boleh juga, bila debitor mencoba mendesak kreditornya untuk menerima aset tanah miliknya alias tukar-guling aset tanah dengan sisa tunggakan hutangnya yang berupa uang?

RESIKO PROFESI Penjahat, Dibunuh dan Terbunuh oleh Korban yang Melawan atau Membela Diri

Serba Salah Posisi Korban saat Mengalami Kejahatan atau Berhadapan dengan Penjahat

Penjahat Dilukai dan Dibunuh oleh Korban yang Melawan, YOU ASKED FOR IT!

Resiko menjadi Orang Baik-Baik, Dijadikan Korban Kejahatan bahkan Dikriminalisasi ketika Membela Diri, Pilihan yang Serba Sulit dan Serba Salah

Pelaku usaha yang mengeluh letih atas usahanya kepada konsumen, merupakan pelaku usaha yang tidak profesional. Mengapa pengusaha semacam demikian, disebut sebagai pelaku usaha yang tidak profesional? Karena ia tidak mau menyadari, bahwasannya konsumennya pun selama ini harus “banting tulang” mencari nafkah agar dapat membayar produk / jasa yang dibeli olehnya dari sang pelaku usaha, juga menghadapi segala kesukaran dan kerepotan disamping resiko usahanya sendiri masing-masing. Alasan kedua, sang pelaku usaha bersikap kekanakan, seolah-olah hanya diri ia seorang yang selama ini merasakan letihnya sebuah pekerjaan.

Makna TRANSPARANSI Vs. AKUNTABILITAS Lembaga Peradilan

Putusan Hakim yang Tidak Lolos UJI MORIL, Putusan yang Tidak Akuntabel

Transparan namun Minus Akuntabilitas, PHP (Pemberi Harapan Palsu)

Apakah menurut hemat para pembaca, integritas lembaga peradilan ditentukan oleh transparansi produk peradilan berupa putusan hakim baik itu perkara pidana maupun perkara perdata? Tidak, bukan itu jawabannya. Selama ini, Lembaga Yudikatif berupa Mahkamah Agung RI maupun jajaran peradilan dibawahnya ataupun Mahkamah Konstitusi RI, telah mempublikasikan seluruh putusan pengadilan, baik yang diapresiasi publik maupun putusan-putusan yang kontroversial dan mengundang cibiran masyarakat luas. Namun, seganjil dan se-absurd apapun putusan-putusan yang sekalipun jelas-jelas mengandung “moral hazard” serta tidak sejalan dengan kampanye “patuh hukum” ataupun semangat penegakan pemberatasan korupsi, kritik demi kritik mengalir ke lembaga peradilan di bawah atap kedua Mahkamah tersebut, tetap saja mereka yang selama ini hidup di atas menara gading sehingga “berjarak dari masyarakat konstituennya”, bergeming sembari balik mencibir sinis:

SO WHAT?! Tetap saja setiap tahunnya berbagai gugatan membanjiri institusi kami untuk diputus oleh hakim-hakim kami. Ini, masih banyak putusan ‘aneh bin ajaib’ lainnya, dan akan menyusul putusan-putusan ‘aneh bin ajaib’ lainnya akan kami publikasikan, ERGA OMNES! Para rakyat ‘menggonggong’, para hakim berlalu acuh tak acuh, business as usual.

LAW IN CONCRETO Syarat Pailit & PKPU “Made in Pengadilan Niaga”

Syarat Minimum Pembuktian Adanya Kreditor Lain dalam Memohon Kepailitan / PKPU

Dikehendaki oleh Minimum Dua Kreditor, dan Kedua Tagihannya telah Jatuh Tempo serta Tidak Tertagihkan

Question: Apakah benar bahwa kini informasi keberadaan atau adanya “kreditor lain” sebagaimana dalam print-out SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan) tidak lagi laku ataupun berharga di mata hakim Pengadilan Niaga ketika seorang kreditor hendak memohon pailit ataupun PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) terhadap debitor yang berdasarkan NIK (Nomor Induk Kependudukan) data informasi hutangnya tercantum dalam SLIK tersebut? Bukankah SLIK merupakan bukti otentik dari Otoritas Jasa Keuangan?

Menang Diatas Kertas, namun Ditagih SUCCESS FEE oleh Pengacara = Merugi Dua Kali

Bahaya / Ancaman Mengintai Dibalik SUCCESS FEE Advokat

Idealnya Menggugat Tanpa Jasa Pengacara

Bukanlah isu hukum baru, namun masih tetap relevan serta “klise” hingga dewasa kini, berbagai putusan perkara perdata sifatnya “menang diatas kertas”. Banyak diantara anggota masyarakat kita yang ber-euforia ketika kuasa hukumnya (dalam ini kalangan profesi pengacara) berhasil memenangkan gugatan melawan suatu pihak, berwujud amar putusan berupa perintah atau penghukuman agar pihak Tergugat membayar sejumlah ganti-rugi nominal tertentu kepada pihak Penggugat, dengan nilai nominal yang bombastis. Sampai di situ saja, persepsi masyarakat pengguna jasa pengacara diliputi oleh asumsi bahwa sengketa ataupun masalah hukum telah selesai dan tuntas, dimana sang pengacara menagih sejumlah “SUCCESS FEE” sebagaimana telah disepakati sebelumnya, seolah-olah “sukses”—namun “sukses” memenangkan gugatan tidak selalu identik dengan “solusi”—karena sang pengguna jasa pengacara membayarkan sejumlah “SUCCESS FEE” yang ditagihkan kepada sang pengacara.

Dualisme Daya Ikat Yurisprudensi di Indonesia, Praktik Berhukum yang Ambigu

Mungkinkah Tercipta KEADILAN HUKUM bila Tiada KEPASTIAN HUKUM yang Ditawarkan oleh Praktik Lembaga Peradilan?

Kesenjangan dan Disparitas menjadi Harga Mahal Dibalik Inkonsistensi Pendirian Lembaga Peradilan Pemutus Perkara

Dalam kesempatan ini, penulis mencoba mengajak para pembaca untuk merenungkan sebuah isu hukum yang “ringan namun menggelitik” berikut ini perihal praktik peradilan di Indonesia. Cobalah tanyakan kepada diri Anda sendiri, apakah putusan Mahkamah Konstitusi tidak termasuk sebagai “yurisprudensi” itu sendiri? Sejumlah pengamat, akademisi, maupun penyiar pada berbagai media massa kerap mengutip ataupun merujuk hukum yang berlaku semisal “berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor ...”, dimana kemudian para pihak tersebut patuh dan tunduk pada putusan Mahkamah Konstitusi demikian.

KELIRUPAHAM, Paham namun Keliru : Mewajibkan Apa yang Bukan Kewajiban Orang Lain

Jangan Bersikap Seolah-Olah Kita Tidak Memiliki DAYA TAWAR dan PILIHAN BEBAS

Jangan Bersikap Seolah-Olah Kita Bukanlah Individu / Pribadi yang BEBAS dan MERDEKA

Jangan Bersikap Seolah-Olah Orang Lain adalah seorang BUDAK JAJAHAN Bangsa Terjajah

Suka atau tidak suka, faktanya mentalitas masyarakat kita di Indonesia—yang bisa disebut sebagai kultur, mengingat polanya masif dan merata—ialah gemar “mengkriminalisasi” warga lainnya atas apa yang sebetulnya bukan sebuah kejahatan ataupun kesalahan yang patut dicela maupun dipermasalahkan oleh para bijaksanawan. Yang tidak bersalah, dipandang dan dituding sebagai bersalah. Yang tidak memiliki kewajiban, dibebankan kewajiban, sekalipun dirinya sendiri tidak punya hak untuk mewajibkan pihak yang ia wajibkan. Pada muaranya, ialah ajang persekusi alias “main hakim sendiri” baik secara verbal maupun secara fisik—pola khas bangsa kita, “menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan fisik maupun intimidasi verbal” dalam rangka pemaksaan kehendak ataupun perampasan hak orang lain. itulah yang disebut sebagai “keliru-paham” atau “gagal-paham”, paham namun secara melenceng.

Vonis Hukuman Ringan, Membuat Jera KORBAN alih-alih Menjerakan Pelaku Kejahatan

Tarik-Menarik Keadilan bagi KORBAN Vs. Kepentingan PELAKU KEJAHATAN (TERDAKWA)

Tentu kita publik di Indonesia masih ingat kejadian yang menimpa seorang mantan penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi bernama Novel Baswedan, yang satu bola mata sebagai indera penglihatannya rusak permanen untuk sepenuhnya sementara itu satu bola mata lainnya mengalami kerusakan permanan untuk separuhnya, akibat secara jahat dan disengaja yang tentunya juga direncanakan oleh pelakunya menggunakan “air keras” yang disiram ke arah wajah sang pemberantas korupsi. Sekalipun Novel Baswedan menderita untuk seumur hidupnya akibat kebutaan permanen, pada saat ulasan ini disusun bisa jadi para pelakunya telah dibebaskan dari penjara mengingat hanya dijatuhi vonis pidana penjara dua tahun sekian bulan oleh Majelis Hakim di pengadilan—belum lagi mendapat pembebasan bersyarat, obral remisi, cuti masa hukuman, diskon masa hukuman pada hari raya negara maupun hari raya keagamaan, dan lain sebagainya.

Seni Hidup : Berani untuk DIAM dan Keberanian TIDAK MENJAWAB

Diam dan Bergeming sebagai Bentuk Pertahanan dan Perlindungan Diri, serta merupakan Jawaban Itu Sendiri. Diam sebagai Jawaban sekaligus sebagai Pertahanan Diri Terbaik

Hak untuk Diam dan Hak untuk Tidak Menjawab, Hak Asasi Manusia

Ciri khas dari bangsa yang telah benar-benar beradab ialah, disadari serta dihormatinya hak masing-masing individu warga untuk “diam” serta hak untuk “tidak menjawab”. Tampaknya masyarakat kita di Indonesia, masih belum benar-benar layak untuk disebut sebagai bangsa yang beradab, mengingat penghormatan terhadap hak orang lain yang paling mendasar seperti “hak untuk diam” serta “hak untuk tidak menjawab”, sama sekali tidak dihormati, bahkan tidak dihargai. Praktik sosial yang terjadi di lapangan selama ini, masyarakat Indonesia kerap mempertontonkan “putar-balik logika moril”, seolah-olah individu / warga lainnya bukanlah subjek yang bebas dan merdeka dari bentuk-bentuk penjajahan siapapun.

DEMOKRASI yang Sehat, Tahu BATAS serta Ada BATASAN

Babak Baru Catur Perpolitikan di Indonesia, Fenomana “Demokrasi yang Patah” akibat Dipaksakan

Demokrasi yang Tanpa Batasan, Menjelma Kontraproduktif terhadap Ketatanegaraan—Malapetaka bagi Bangsa Bersangkutan

Cerminan Rakyat yang Kekanakan, Menuntut Demokrasi Tanpa Batasan. Masyarakat yang telah Dewasa Cara Berpikirnya, Cukup dengan Demokrasi yang Mendasar dan Kenal Batasan, karena “Ada Hal Lain yang Lebih Penting untuk Dikerjakan”

Demokrasi adalah hal yang “baik”, sistem pemerintahan yang paling “ideal” diantara sistem-sistem pemerintah lainnya yang terburuk. Namun, “baik” dalam derajat atau batasan koridor tertentu, dimana bilamana batasan itu dilampaui, akibatnya justru melahirkan efek yang bertolak-belakang dari semangat dan tujuan awal pembentukan negara yang demokratik. Ada istilah dalam Bahasa Inggris, ketika seseorang telah bersikap atau bertindak melampaui ambang batas toleransi seseorang lainnya, maka orang tersebut telah “hit my bottom line”—atau ketika seseorang bersepakat untuk bekerjasama namun dengan syarat-syarat tertentu, itulah ketika ia “draw the line”, dimana orang-orang yang berhadapan dengannya tidak diperkenankan untuk melampaui “line” tersebut. Sama halnya, ada titik atau kondisi, dimana demokrasi tidak boleh dibiarkan terlampau “liar” dan melewati batas, semata agar tidak menjelma kontraproduktif.

Resiko Dibalik Omnibus Law, Hukum menjadi Terlampau Teknokratik

OMNIBUS LAW, Model Norma Hukum yang TEKNOKRATIK, Kontra Kepentingan Rakyat

Undang-Undang OMNIBUS LAW Vs. Undang-Undang TEMATIK, manakah yang Lebih “Reader Friendly”?

Setelah penulis mencoba bersentuhan dengan membaca apa isi Undang-Undang yang disusun dan diterbitkan oleh negara secara “omnibus law”, kesan pertama serta kesan yang paling kentara penulis—dan yang juga akan masyarakat luas pada umumnya—jumpai serta temui ialah : betapa rumit dan kompleksnya norma hukum peraturan perundang-undangan yang diterbitkan pemerintah dewasa ini. Betapa tidak, Undang-Undang yang disusun dan diterbitkan secara “omnibus law” demikian adalah sarat nuasa teknokratik, seolah-olah pemerintah (bersama parlemen) membentuk serta menerbitkan “omnibus law” untuk mereka baca sendiri, bukan untuk dibaca oleh masyarakat umum meski rakyat notabene adalah subjek hukum pengemban hak dan kewajiban berdasarkan norma hukum (erga omnes).

Ambiguitas Hak Mempailitkan Manajer Investasi, Menyandera Hak Investor Pasar Modal

Manajer Investasi Selaku Profesi ataukah Individu Penyandang Status?

Otoritas Jasa Keuangan Memonopolistik Kewenangan Mempailitkan Manajer Investasi, SALAH KAPRAH Penyusun Kebijakan yang Mispersepsi Aturan yang Dirancang dan Diterbitkannya Sendiri

Regulasi di Indonesia mengatur bahwa seseorang yang berprofesi sebagai Manajer Investasi, hanya dapat dimohonkan pailit dan dipailitkan atas dasar permohonan pemerintah—dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK)—ke hadapan Pengadilan Niaga, sehingga tertutup peluang warga negara perorangan ataupun badan hukum swasta untuk mempailitkan seorang Manajer Investasi. Namun demikian, penulis menilai pengaturan demikian adalah blunder adanya, mengingat para investor yang menuntut haknya atas dana investasinya yang tidak dapat dicairkan oleh sang Manajer Investasi, tergolong sebagai “Kreditor Separatis”, mengingat seluruh dana investasi yang dikelola oleh sang Manajer Investasi dipisahkan serta terpisah (separated) dari harta kekayaan pribadi sang Manajer Investasi.

Kriteria yang Layak dan Tidak “Worthed” Mempidanakan Pelaku Kejahatan

Kiat Membuat Pertimbangan apakah Korban akan Mempidanakan Pelaku Kejahatan ataukah Membiarkan Hukum Karma yang Mengadili dan Mengeksekusinya

KEADILAN HUKUM PIDANA, antara Ada dan Delusi?

Question: Apa ada pertimbangan tertentu yang dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi seorang korban untuk memutuskan akan melaporkan atau tidak perlu malaporkan pelakunya ke pihak berwajib agar diproses pidana hingga dituntut di depan hakim pengadilan serta dihukum penjara?

Tahun 2040 : Pertamina, GAME OVER. Negara Penghasil Minyak Bumi, IS OVER

Selamat Datang Motor / Mobil Listrik, HONDA dan YAMAHA Tinggal Sejarah, Gigit Jari, dan menjadi Penonton

Era Sumber Energi Baru : Negara Penghasil Nikel (Bahan Baku Manufaktur Baterai Mobil / Motor Listrik) akan Berjaya dan Negara Sumber Minyak Fosil akan Tiarap dan Gulung Tikar

Tentu kita masih ingat perjalanan sejarah perkembangan teknologi, dalam satu generasi mampu mengubah wajah dan perilaku kita dalam berkehidupan sehari-hari, sehingga adalah niscaya revolusi serta disrupsi kita dalam berkendara pun dapat berubah drastis hanya dalam hitungan satu generasi tanpa perlu menunggu dua generasi dari sekarang. Ambil contoh sederhana, dahulu kita memasak atau menanak nasi menggunakan kayu bakar beralih menjadi minyak tanah, sebelum kemudian beralih menjadi gas elpiji. Kini, hampir semua rumah tangga di perkotaan maupun di pedesaan (bahkan di perkampungan) telah beralih menjadi peralatan “rice cooker” bersumberkan energi listrik. Kereta api, pada mulanya benar-benar ditenagai oleh uap, batubara, dan pemanasan oleh api. Kini, kereta yang efisien dan efektif kesemuanya ditenagai oleh listrik. Semua menjadi bisa, karena terbiasa dan dibiasakan—demikianlah cara kerja “the new normal”.

A Clear Mind and Common Sense, when We are Happy or Sad. Pikiran yang Jernih serta Berakal Sehat, disaat sedang Gembira maupun Duka

HERY SHIETRA, A Clear Mind and Common Sense, when We are Happy or Sad. Pikiran yang Jernih serta Berakal Sehat, disaat sedang Gembira maupun Duka

Nicola Tesla once said,

Think clearly,

Instead of thinking deeply.

At first,

As we previously assumed,

We really need a clear mind and common sense only when we are overcome by angry emotions,

Jangan Buat Akta Perdamaian setelah Terlapor Resmi dijadikan Tersangka / Terdakwa

Modus Berkelit dari Jerat Pidana maupun Perdata, Korban Pelapor Perlu Tahu 1001 Modus Kejahatan Penjahat maupun Niat Buruk yang Menyertainya

Question: Yang kami laporkan ada menawarkan damai, saat kini ia ditahan di rutan (rumah tahanan) untuk menjalani proses persidangan (menjalani proses dakwaan dan penuntutan) di pengadilan nantinya. Apa ada resikonya, bila kami selaku pelapor saling bernegosiasi dan bersepakat untuk damai dengan pihak yang kami laporkan tersebut?

“Acta Van Vergelijk” (Akta Perdamaian di dalam Pengadilan) TIDAK DAPAT DIEKSEKUSI

Melalaikan Kesepakatan dalam Acta Van Vergelijk, Bisakah Digugat Wanprestasi?

Question: Bila memang betul bahwa “acta van vergelijk” tidak dapat dieksekusi oleh Pengadilan Negeri, maka bisakah bilamana salah satu pihak dalam Akta Perdamaian tersebut (lagi-lagi) ingkar atau kembali lalai terhadap apa yang telah disepakati dan dijanjikan olehnya didalam perdamaian, maka pihak tersebut digugat untuk kali keduanya sebagai telah wanprestasi terhadap Akta Perdamaian ini?

Menggugat Cerai di Pengadilan pada Kota Berbeda dari Kota Asal Perkawinan

Gugatan Perceraian dapat Diajukan ke Hadapan Pengadilan Negeri Kota / Daerah Manapun

Question: Apakah menggugat cerai, harus diajukan ke pangadilan dimana letak Kantor Catatan Sipil dimana dulu mendaftarkan pernikahan saat terjadinya perkawinan? Bagaimana bila kini pasangan suami-istri telah tinggal dan menetap di kota atau provinsi lain dari kota semula atau dahulu menikah, saat hendak gugat-menggugat dalam rangka “putusnya perkawinan akibat perceraian” ini?