Akar dan Sebab Musabab Ideologi Radikal Intoleran bernama TEROR!SME

ARTIKEL HUKUM

Mungkinkah Teror!sme Punah dari Muka Bumi? Bila Teror!sme merupakan Gejala, maka Sepanjang Akar Penyebabnya masih Eksis, bagai Api dalam Sekam, Sewaktu-Waktu Mencuat ke Permukaan dengan Kobaran Api yang Dahsyat dan Merenggut Korban Jiwa

Makna kata TEROR!SME, Fanatisme yang Estrim Disertai Radikalisme Pertumpahan Darah yang Haus akan Darah

Kalangan medik maupun kriminolog selalu mengumandangkan tanpa pernah bosan, bahwasannya selama akar penyakitnya masih eksis (sebagai penyebab), maka selamanya gejala (yang merupakan akibatnya), akan tetap eksis sampai kapan pun. Ramuan antara ideologi intoleransi yang diracik bersama dengan gerakan radikalisme, itulah yang kita sebut sebagai “teror!sme”. Intoleran akibat fanatisme yang tidak berlebihan, adalah sah-sah saja sepanjang tidak masuk dalam tataran kekerasan fisik, intimidasi, ancaman, represif, hingga perampasan hak atsa hidup milik orang lain, terlebih pertumpahan darah. Namun, paham teror!sme selalu berkelindan antara intoleransi dan radikalisme. Fanatisme yang berlebihan, menjurus pada radikalisme, dimana radikalisme selalu menuntut fanatisme yang berlebihan.

Etika Komunikasi dan Cara Bertamu yang Buruk, Jangan Bersikap Seolah-olah Tuan Rumah adalah Kurang Kerjaan Diharuskan Meladeni Permainan Teka-Teki Sang Tamu

ARTIKEL HUKUM

Tamu yang Tidak Diundang, Tidak Perlu Dilayani, Datang Tidak Diundang maka Pergi Tidak Perlu Diantar (Diusir Saja)

Konon, Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat penuh sopan-santun. Namun mengapa fakta realita empirik lapangan justru menyatakan sebaliknya, tiada sopan santun, tiada penghormatan, tiada penghargaan, etika komunikasi yang memprihatinkan, serta cerminan EQ (Emotional Quotient) yang lebih mengenaskan, sebagaimana salah satu contohnya ialah ulasan yang mengangkat sebuah penggalan kecil tutur-kata yang kerap penulis dan pastinya para pembaca juga alami dikeseharian, mengganggu dan terganggu tanpa introspeksi diri betapa tidak etisnya berkomunikasi yang tidak dilandasi sikap penuh hormat terhadap waktu maupun hak-hak personal seseorang yang kita hubungi via pesawat telepon maupun pesan teks aplikasi messenger pada gadget.

Uji Mandiri Tes SQ, Spiritual Quotient

ARTIKEL SENI HIDUP

Kecerdasan Spiritual ternyata Berkorelasi Linear dengan Tingkat Tinggi atau Rendahnya IQ, Intelektual Quotient, dimana IQ tidak Terlepas dari EQ, Emotional Quotient

Kurang tepat bila disebutkan bahwa, tes kecerdasan hanya memungkinkan untuk sebatas “tes IQ”? Sejatinya, barometer atau parameter untuk menguji EQ (Emotional Quotient) maupun SQ seseorang, bukanlah hal yang mustahil, untuk bahkan kita melakukan “self-test” terhadap diri kita sendiri, sekaligus dapat menjadi “tools” bagi kita dalam rangka “mengukur” kedalaman ataupun kedangkalan SQ yang bersarang dalam jiwa dan pikiran seseorang. Dalam kesempatan ini, penulis akan mengajak para pembaca untuk mencoba menguji tingkat kecerdasan kita sendiri, pada khususnya pada level manakah tingkat SQ kita.

Menjadi Jenius, Berkah ataukah Kutukan? Resiko Mengidap Bipolar sebagai Harga dari Kecerdasan

ARTIKEL

Gen JENIUS dan Gen BIPOLAR bagai Pinang Dibelah Dua.Relasi antara Genetik JENIUS dan Genetik Penyebab Kondisi BIPOLAR, Cenderung Identik. Kreativitas adalah Genetik, sehingga Jenius adalah Dilahirkan, Bukan Dibuat

Orang Jenius Bisa Jadi Gila, tapi Orang Gila Tidak Bisa Jadi Jenius. Orang Jenius Mengolah Pikiran-Pikiran Gilanya menjadi Konstruktif, sementara Orang Gila Justru Membuat Pikiran-Pikiran Konstruktifnya menjadi Destruktif

Manusia Indonesia selama ini tidak menjadikan tabu, “penyakit fisik” seperti diabetes, obesitas, kolesterol, dan berbagai penyakit lain yang bahkan dicari-cari sendiri sifatnya (mencari penyakit sendiri) seperti menghisap bakaran produk tembakau, meminum minuman beralkohol, hingga mengkonsumsi obat-obatan terlarang, tidak malu berduyun-duyun antri penuh sesak pada berbagai pusat kesehatan masyarakat maupun pada berbagai rumah sakit di seantero kota dan desa di Indonesia yang tidak pernah sepi dari pasien yang berobat.

Supremasi Aturan Tidak Tertulis dan Bahaya yang Mengancam Dibaliknya, Berpotensi Merongrong Wibawa Aturan Tertulis maupun Konstitusi Negara

ARTIKEL HUKUM

Aturan Tidak Tertulis, Kadang Menyerupai Racun Berbahaya yang Tidak Berwarna, Tidak Berbau, dan Tidak Berasa, Warga menjadi Abai serta Gagal Menaruh Waspada terhadap Ancaman Dibaliknya

Tekanan Sosial, Terkadang Lebih Suprematif daripada Norma Hukum yang Dibiarkan Terbengkalai Tidak Tegak Sebagaimana Mestinya. Faktor keterpaksaannya sebagai “konformitas”, dilakukannya karena itulah satu-satunya “cara untuk diterima masyarakat” yang mewajibkan ataupun yang melarang. Sebuah Tinjauan Sosiologi Hukum

Apakah “aturan tidak tertulis” kalah penting terhadap “aturan tertulis”? Faktanya, jarang sekali kalangan hukum di Indonesia yang menyentuh aspek “aturan tidak tertulis”, semacam hukum adat, norma kebiasaan atau kultur bangsa ataupun semacam budaya organisasi suatu lembaga dan komunitas, faktor politik dan sosiologis, tekanan psikis-psikologis, desakan budaya sosial masyarakat mayoritas, relasi dominasi yang tidak sejajar semisal antara guru-murid, orangtua-anak, penguasa-rakyat, hingga “arus mainstream” itu sendiri dimana melawan arus sama artinya menjelma “aneh sendiri” dan terkucilkan.

Relasi antara Egoisme, Narsistik, Tidak Peka, Tidak Takut Dosa, Menyepelekan, Meremehkan, Kesombongan, serta Arogansi, Penyakit Seribu Wajah

ARTIKEL HUKUM

Rakyat yang Bodoh akan Dibodohi Pemerintahnya, Kodrat Bangsa Bodoh, Wabah pun Dijadikan Objek Lelucon

Republik serta Bangsa Indonesia telah mencetak sejarah, yakni sejarah “kebijakan berlarut-larut tunggu vaksin ketika wabah akibat pandemik virus menular mematikan muncul di muka bumi”, membiarkan puluhan ribu rakyatnya bergelimpangan menjadi korban jiwa keganasan wabah yang tidak terkendalikan selama bertahun-tahun hingga vaksin ditemukan dan diproduksi secara massal, atau menunggu secara pasrah kebaikan dan kemurahan hati sang virus agar tidak lagi demikian ganas dalam tingkat penularannya setelah meminta puluhan ribu korban jiwa di Indonesia saja seperti tatkala Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang menjadi “global pandemic” turut melanda Indonesia.

Ambiguitas Asuransi, demi Kepentingan Siapakah?

ARTIKEL HUKUM

Asuransi artinya ALIH RESIKO, namun Siapakah yang Mengalihkan Resiko, Pembeli dan Pembayar Polis Asuransi ataukah menjadi Alibi bagi Penyedia Barang / Jasa untuk Lepas dari Tanggung Jawab?

Resiko Konsumen, Hanyalah Sebatas Membayar Harga Barang / Jasa. Menjadi Aneh, bila Alih Resiko Dibebankan kepada Pihak Konsumen, Seolah-olah Pelaku Usaha Tidak Memiliki Resiko Usaha

Pastilah diantara kita pernah memiliki pengalaman, sebagai seorang konsumen yang memesan barang atau produk pada suatu marketplace, dan ditawarkan opsi tambahan berupa “asuransi produk yang dipesan” dengan disertai tambahan biaya polis asuransi yang harus dibayarkan oleh pihak pembeli. Namun, tidak banyak diantara kita yang memahmi, bahwa praktik demikian ialah salah-kaprah sekaligus “menyesatkan”. Betapa tidak, penjual barang memiliki tanggung-jawab hukum untuk menyerahkan barang pesanan kepada pihak pembeli serta menjamin bebas dari “cacat tersembunyi”. Penyedia jasa penitipan, memiliki kewajiban untuk menjaga keutuhan serta keselamatan barang yang dititipkan. Sementara itu penyedia jasa angkutan, memiliki kewajiban hukum untuk mengirim dan mengantarkan barang kiriman ataupun penumpang hingga sampai tujuan dengan selamat dan tanpa cedera. Lantas, mengapa juga pembeli atau konsumen, yang harus membeli dan membayar asuransi? Itulah keganjilan yang seolah terus dipelihara lewat pengabaian regulator dibidang hukum asuransi di Indonesia, dari segi praktik maupun aturan main hukum asuransi.

Akibat Hukum Asuransi Kredit, Hak dan Kewajiban Perusahaan Penerbit Polis Asuransi Kredit, Kreditor Penerima Manfaat, dan Debitor Pembayar Polis

LEGAL OPINION

Salah Kaprah Subrogasi dalam Asuransi Kredit, Asuransi Kredit adalah Demi Kepentingan Debitor ataukah Kreditor?

Question: Saya salah satu nasabah debitor pada salah satu bank “plat merah” BUMD, saat mengajukan permohonan kredit modal kerja, ada komponen biaya premi asuransi yang harus kami bayarkan dan dipotong dari dana fasilitas kredit yang dikucurkan kreditor, dan itu tidak murah harga polisnya dan diwajibkan kreditor. Saat dikemudian hari ternyata terjadi kredit macet dari pihak saya selaku debitor, karena terjadi masalah pada usaha yang dimodali dana kredit ini, pihak kreditor tidak dapat mempertanggung-jawabkan hasil klaim asuransi kredit yang telah saya bayarkan premi asuransinya, dengan alasan dari pihak bank bahwa jika pihak asuransi yang membayarkan kredit yang macet maka perusahaan asuransi memiliki hak subrogasi untuk menagih kredit kepada pihak debitor.

Saya curiga mereka (kreditor) telah menagih klaim ke pihak asuransi, sementara itu disaat bersamaan masih juga menagih hutang kepada saya selaku debitornya. Rasanya ada yang tidak masuk diakal dan tidak beres disini, bagaimana pandangan hukum SHIETRA & PARTNERS, tentang posisi hukum saya selaku debitor, karena tampaknya pihak bank hendak memakan agunan yang saya jadikan jaminan kredit? Mengapa kesannya, pihak bank selalu mau menang sendiri? Sudah ada objek jaminan sebagai agunan, tapi masih juga harus bayar ini itu, salah satunya polis asuransi gedung dan asuransi kredit.

Akal sehat awam saya berpikir, itu perusahaan asuransi adalah anak usaha punya bank, kalau perusahaan asuransi itu masih juga menagih dari pihak debitor dengan alasan adanya subrogasi, artinya buat apa saya harus bayar mahal-mahal polis asuransi, kan itu bank maupun perusahaan asuransi, adalah satu grub usaha. Lebih baik pihak bank itu saja yang menagih kepada saya, tanpa perlu saya bayarkan polis asuransi apapun. Atau lebih baik saya pakai dan bayar polis asuransi dari perusahaan asuransi lain yang bukan anak usaha milik bank, agar klaim asuransi saya sendiri yang lakukan dan tidak aneh-aneh ada ancaman semacam subrogasi seolah-olah tidak ada artinya saya beli asuransi kredit.

Kiat menjadi Pembicara yang Baik dan Efektif

ARTIKEL HUKUM

Materi Pembicaraan dan Gaya Berbicara, Keduanya Sama Pentingnya, namun Manakah yang Terpenting?

Bukanlah soal apa yang kita sampaikan ataupun materi yang kita bicarakan, namun bagaimana cara dan pendekatan kita menyampaikannya, demikian para pakar komunikasi pernah menyampaikan. Sebagai salah seorang praktisi dan penyedia jasa seminar, pelatihan, konsultasi, hingga bimbingan bagi mahasiswa yang menempuh ujian akhir, penulis sedikit banyaknya bersentuhan dengan dunia komunikasi dan dialog. Disamping itu, penulis pun mencoba mengamati gaya berbicara banyak pembicara lainnya secara lisan baik di media massa seperti radio maupun pada berbagai kesempatan seperti seminar, lokakarya, dan sebagainya, telah ternyata tidak sedikit diantaranya yang bukanlah tergolong seorang pembicara yang efektif.

Bila Agama adalah Ranah Privat Personal, mengapa Menjadi Mata Pelajaran / Kuliah Wajib di Sekolah / Kampus?

ARTIKEL HUKUM

Agama Anu, Anu yang Mana? Sekte yang Mana? Aliran yang Mana? Yang Konservatif, Moderat, ataukah yang Liberal?

Seagama, Namun Beragam (Bhineka, Kemajemukan) Keyakinan (pada Aliran dalam Satu Agama yang Sama), Dipaksa Duduk Bersama-Sama pada Satu Kelas Pelajaran Agama, Sama Artinya Melanggar Konstitusi yang Menyatakan Kebebasan Memilih dan Memeluk Agama (serta Sekte) Sesuai Keyakinan Masing-Masing

Sebagian kalangan pendidik dan akademisi di Indonesia yang tampaknya nyaman berada dalam kondisi mapan dalam “menjual agama” (mencari nafkah dari agama), tampaknya cukup “genit” untuk bersikap “sok moralis” dengan secara reaktif, berlebihan, serta tendensius menentang wacana penghapusan mata pelajaran agama di sekolah, tanpa menghiraukan argumentasi logis sebagian kecil kalangan pemerhati pendidikan yang pro terhadap wacana demikian, seolah hendak menjadi “pahlawan moral” agar dapat mendulang simpatisan dan pencitraan sebagai “agamais” di dalam bangsa “agamais”.

Daya Ikat Norma Hukum Konstitusi Undang-Undang Dasar RI 1945

LEGAL OPINION

Sekolah Negeri adalah Milik Publik (Semangat Kebhinekaan sebagai Wadah Kemajemukan Latar Belakang Siswa-Siswi), Bukan Sekolah Privat Milik Lembaga Keagamaan Eksklusif Tertentu

Peran Penting Peraturan Pelaksana Peraturan Perundang-Undangan

Question: JIka memang tidak ada peraturan pelaksana yang menegaskan ketentuan dalam konstitusi negara, apa artinya sekalipun konstitusi seperti UUD Republik Indonesia 1945 disebut sebagai hukum tertinggi, tidak akan ada artinya bila belum ada peraturan pelaksananya? Apa betul, semua pasal dalam UUD Republik Indonesia 1945, sudah ada dan diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksananya? Jika ternyata ada beberapa pasal di dalam UUD Republik Indonesia 1945 ternyata belum diatur dalam peraturan pelaksananya, apa artinya ketentuan dalam konstitusi dapat dilanggar tanpa sanksi apapun dan tidak dapat diterapkan karena tidak memiliki daya pemaksa, semata karena belum diatur dalam peraturan pelaksananya? Itu sama artinya, omong kosong konstitusi ataupun undang-undang, bila norma hukumnya belum diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksananya?

Rahasia Gelap Kalangan Profesi Notaris maupun PPAT terkait Akta Otentik

LEGAL OPINION

“Akta Otentik” Vs. “Akta Dibawah Tangan”, Apa Bedanya dan Pilih yang Mana?

Notaris Bertanggung Jawab (Menjamin) secara Formil dan Materiil terhadap Akta Otentik yang Dibuat Olehnya, Kekuatan Pembuktian Formil dan Materiil, Ternyata MITOS Hanya Sebatas TEORI

Question: JIka buat perjanjian hutang-piutang atau jual-beli dan kesepakatan bisnis lainnya, pakai akta dari notaris, tapi akhirnya tetap saja pihak lawan bisa gugat kita sekalipun katanya akta notaris itu akta otentik yang tidak bisa lagi dibantah oleh pihak internal ataupun oleh pihak eksternal perjanjian. Kalau begitu, buat apa kita bayar mahal jasa notaris ini? Bukankah itu artinya cukup kita buat akta “dibawah tangan” saja, untuk semua keperluan usaha dan perjanjian bisnis dan niaga kita?

Lagipula sekalipun pakai akta “dibawah tangan”, pihak lawan tidak bisa seenaknya memungkiri tanda-tangan dia sendiri di akta itu, tanpa didahului adanya putusan pidana yang telah “inkracht” (berkekuatan hukum tetap) yang menyatakan bahwa tanda-tangannya pada akta “dibawah tangan” ini adalah palsu. Tanpa adanya putusan pidana tentang pemalsuan tanda-tangan, akta “dibawah tangan” artinya tetap diakui juga sebagai benar adanya oleh pengadilan.

Artinya, bukankah juga kita bisa buat kesimpulan bahwa akta notaris itu hanya lebih kuat sedikit karena ada saksi dalam proses penanda-tanganan para pihak yang bersepakat, dan pada akta “dibawah tangan” juga kita bisa buat konstruksi serupa, memakai satu atau dua orang saksi yang turut menyaksikan dan tanda-tangan di dalam akta itu, dengan maksud untuk lebih menguatkan pembuktiannya sebagai antisipasi jika ada sengketa dikemudian hari terutama bila pihak yang hendak memungkiri telah tanda-tangan di akta itu. Bila dinilai masih belum cukup juga, akan bisa kita buat juga daftar hadir disertai cap jari maupun foto dokumentasi agar lebih lengkap, maka mau berkelit seperti apa lagi mereka jika sudah seperti itu?

Menggugat Monopolistik Kewenangan Notaris / PPAT, Pejabat Pembuat Akta Tanah

ARTIKEL HUKUM

Nafkah yang Bersumber dari Kewenangan Monopolistik, Sama Artinya PEMERASAN TERSELUBUNG Jual-Beli Akses Kebutuhan Pokok Rakyat Umum

Bila dahulu kala, sebelum era berlakunya “eCourt” dan “eLitigation” yang memungkinkan publik umum secara luas untuk  mengakses lembaga dan ruang peradilan tanpa lagi bergantung pada profesi Pengacara sebagai kuasa hukum yang selama ini memonopolisir akses menuju peradilan, begitupula format-formal surat gugatan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di republik ini, maka profesi Advokat menjadi primadona di mata para anak muda yang memilih fakultas dan jurusan studi, seolah berhasil menyandang gelar Advokat merupakan pencapaian tertinggi, seakan telah terjamin hidup makmur bergelimang harta-materi dari jasa memonopolisir akses menuju keadilan.

Gelar Akademik, Berkah ataukah Belenggu Penghambat yang Kontraproduktif bagi Sang Penyandang Title?

ARTIKEL HUKUM

Ketika Gelar Akademik menjadi Kutukan yang Menyandera, Bebaskan Diri dari Belenggu Sempit bernama Gelar Kesarjanaan untuk Membuka Peluang Tanpa Batas dan Memasuki Dunia Bisnis yang Luas Seluas Cakrawala

Dunia Tidak Selebar Daun Kelor, Hidup Tidak Sekecil Kerah Baju, dan Dunia Usaha Tidak Sesempit Gelar Akademik

Steve Jobs, menjadi legenda karena berani “melawan arus” dengan memilih untuk “Drop Out” dari kampus dan mendirikan perusahaannya sendiri bersama seorang temannya dari dalam sebuah garasi rumah, yang kemudian dikenal dengan logo-nya “apel dengan bekas gigitan” yang kini menjadi fenomenal serta produk IT paling termasyur abad ini. Ketika dipecat dari perusahaan yang didirikannya sendiri, Steve Jobs mendirikan perusahaan video animasi serta mendirikan sebuah produsen chip mikroprosesor. Mengapa peluang usaha bagi sang legenda, seolah tidak terbatas? Jawabannya ialah, Steve Jobs tidak “dikutuk” oleh belenggu mengikat bernama “gelar akademik” bidang tertentu—yang mana justru selama ini dikejar dan dibanggakan oleh mereka yang kurang percaya diri untuk mengandalkan kemampuan internal dirinya sendiri ketimbang “kemasan gelar akademik”.

Nakal Namun Tidak Jahat, Usil. Nakal Namun Jahat, Berbahaya, Hindari, Antisipasi, dan Jaga Jarak

ARTIKEL HUKUM

Hanya Berjodoh dengan Orang-Orang Baik, adalah “Berkah Utama”. Berjodoh dengan Orang Jahat, adalah “Petaka Utama”.

Modus Komplotan Penjahat Sukar untuk Dihindari. Seribu Satu Cara, Niat Jahat bagaikan Libido-Birahi, Sang Penjahat akan Menyasar Korbannya dengan Berbagai Cara Jahat Hingga Berhasil Memangsa Target

Hanya berjodoh dengan orang-orang baik, adalah “berkah utama”; demikian Sang Buddha pernah bersabda. Indonesia, negeri “agamais” dimana orang-orang baik dan para “Ahimsa” senantiasa menjadi “mangsa empuk”, sekaligus negeri dimana bangsanya kerap “menggunakan cara-cara kekerasan fisik untuk menyelesaikan setiap masalah” akibat meneladani ajaran salah satu keyakinan keagamaan yang bahkan sama sekali tidak menjadikan “tabu” perilaku kekerasan fisik secara ekstrim seperti memenggal kepala ataupun membunuh individu lainnya—bahkan masih juga diberikan “hadiah” bernama “penghapusan dosa” ataupun “penebusan dosa”, membuat para korban mereka kian “gigit jari” di dunia maupun di akherat.

Kriminalisasi Anggota Keluarga Koruptor, Cara Baru Memberantas Niat untuk Korupsi

ARTIKEL HUKUM

Istri dan Anak Koruptor, Wajib Turut Dihukum Dipidana, karena Vonis Pidana Mati maupun Dimiskinkan Terbukti Gagal Membendung Libido Birahi untuk Korupsi

Tampaknya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga yang akan terus eksis secara permanen di Indonesia. Mengapa? Sebagaima namanya, Komisi Pemberantasan Korupsi, namun faktanya korupsi tumbuh subuh ibarat “mati satu tumbuh seribu”, alias “diberantas satu tumbuh koruptor lain” di lain tempat atau bahkan pada lembaga yang sama yang sebelumnya telah pernah disentuh oleh sang lembaga pemberantas oknum-oknum pelaku korupsi di Republik Indonesia, sehingga karena sifatnya menyerupai “mission impossible” untuk dituntaskan, maka misi suci lembaga satu ini ialah tampaknya “never ending stories”.