3 Jenis Model Rumusan Identitas Tergugat (Alm.), bila Lawan Meninggal Sebelum Sempat Digugat

Redaksional Surat Gugatan ketika Tergugat telah Almarhum (Meninggal Dunia)

Question: JIka lawan yang mau kami gugat, telah ternyata sudah meninggal beberapa saat sebelum kami hendak mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri, apakah masih memungkinkan untuk digugat itu si almarhum? Bukankah secara hukum (perdata), tanggung-jawab atau kewajiban juga ikut beralih kepada ahli waris seorang warga termasuk pihak-pihak yang hendak kami gugat namun telah terlanjur meninggal dunia tersebut? Setahu kami, warisan itu isinya berupa harta kekayaan juga termasuk kewajiban-kewajiban seperti hutang almarhum tanpa terkecuali.

Tenaga Kerja MANUSIA Vs. Tenaga Kerja ROBOTIK Asing

Mesin Robot Lebih Produktif, Tidak Menuntut Upah, Pesangon, Cuti, Lembur, Uang Makan, Uang Transport, Cukup Diberi Listrik dan Oli Pelumas

Idealisme Vs. Efisiensi Usaha, Pilih yang Mana? Mengikuti Perkembangan Zaman atau Menentang (Memungkiri) Zaman?

Tidak dapat dipungkiri—alias menjadi aneh bilamana masih juga dipungkiri—bahwa Undang-Undang maupun Perpu mengenai “Cipta Kerja” bersifat mendegradasi hak-hak perburuhan kaum pekerja ataupun buruh di Tanah Air. Namun, tanpa bermaksud mengecilkan peran dan kontribusi ataupun hak-hak konstitusional para kaum buruh / pekerja di Indonesia, tulisan singkat ini sekadar menjadi refleksi sekaligus medium komunikasi-persuasif agar kalangan buruh / pekerja mulai bangun dari mimpi euforia era kejayaan “tenaga kerja MANUSIA”, euforia mana sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan dunia teknologi terutama disrupsi “mesin” (machine) baik itu humanioid, tenaga robotik otomatisasi, proses otomatisasi, kecerdasan buatan (artificial intelligence), digitalisasi, mesin produksi, atau apapun itu nama maupun istilahnya, yang menjurus pada digantikannya peran-peran “tenaga kerja manusia” dengan “tenaga kerja ROBOTIK”.

Kendala Paling Utama saat Tergugat Meninggal Dunia Sesaat Sebelum Perkara Gugatan Diputus Pengadilan Negeri

Negara yang Tidak Kompeten, ketika Rakyat Dibiarkan Seorang Diri mencari Perlindungan dan Jalan Keluar, Tidak Solutif

Ketika Tugas dan Tanggung Jawab Negara justru Dibebankan kepada Rakyat Sipil yang Tidak Memiliki Kewenangan, Republik (Serba) Salah Kaprah

Rakyat Harus Belajar Keterampilan Bergerilya Ditengah Republik yang Tidak Pernah Eksis Pemerintahnya bagi Warga Sipil

Question: Ketika pihak tergugat atau salah satu pihak tergugat secara mendadak meninggal dunia tanpa diduga-duga ataupun diharapkan, maka penggugat diharuskan pengadilan untuk menyerahkan daftar rincian berisi nama-nama serta alamat ahli waris “almarhum tergugat” untuk dipanggil oleh jurusita pengadilan dalam rangka menggantikan posisi atau kedudukan hukum “almarhum tergugat” dalam gugat-menggugat ini. Tampaknya majelis hakim telah cukup akomodatif, karena tidak secara serta merta menyatakan gugatan sebagai “gugur” akibat meninggal dunianya pihak tergugat atau salah satu pihak tergugat.

Namun yang menjadi masalah bagi kami selaku warga sipil pencari keadilan ialah, bagaimana mungkin kami dapat mengetahui siapa saja nama dan berapa orang maupun alamat-alamat anak-anak atau ahli waris tergugat yang meninggal dunia ini? Jika membuat aturan yang mewajibkan seperti itu, mengapa tidak memberikan juga akses solusinya? Jelas pihak keluarga “almarhum tergugat” tidak akan terbuka dan transparan tentang informasi ini, apakah artinya ini yang disebut sebagai “justice denied”, dimana hukum acara perdata begitu formalistis namun warga sipil yang terbatas kewenangannya dibiarkan berjuang seorang diri, seolah-olah negara tidak pernah hadir untuk menawarkan solusi bagi kami selaku rakyat kecil. Mengapa di republik ini, akses terhadap keadilan dan hukum begitu sukar, terbendung oleh tembok tebal bernama birokrasi dan prosedural yang kaku?

Tes Level SQ Anda Disini : Pendosa yang Minta untuk Dihormati, Salah Alamat, HANYA PENDOSA YANG BUTUH PENGHAPUSAN DOSA

IQ Mungkin Bukan Segalanya, namun (yang Jelas) Segalanya Butuh IQ

IQ juga merupakan Pemberian dan Anugerah Terbesar Tuhan, mengapa Terjadi Diskredit seolah SQ Lebih Tinggi Derajatnya daripada IQ?

Jika SQ dan EQ Tidak Bertopang pada Pilar Penopang bernama IQ, maka Pada Apakah? Pada Otak Reptil yang Bersarang di Kepala Anda?

Setelah selama puluhan tahun mengamati masyarakat kita di Indonesia yang serba “agamais”—negeri kita tidak pernah kekurangan para “agamais” namun disaat bersamaan penjara selalu mengalami masalah klise, “overcapacity”—maka dapat penulis petakan pola tabiat atau watak para “agamais” yang membanjiri masyarakat kita, pola mana dapat para pembaca jumpai sendiri dalam kehidupan sehari-hari, antara lain: [DISCLAIMER : Silahkan bagi Anda bila hendak membantah atau mendebat, itu pun bila Anda sanggup, akibat terbiasa dan dibisakan meremehkan peran krusial IQ. Tuhan tidak pernah butuh seorang “penjilat”, dunia ini tidak pernah kekurangan “pendosa penjilat penuh dosa”]

Beda antara PMH dan Wanprestasi, Tidak Prinsipil

Ada Itikad Buruk, maka Terjadilah Perbuatan Melawan Hukum

Contoh Sengketa PMH sekaligus Wanprestasi

Question: JIka seseorang ingkar janji lalu juga melakukan “perbuatan melawan hukum”, apakah terhadap yang bersangkutan hanya dapat digugat dengan kriteria “wanprestasi” ataukah dapat dijadikan satu-kesatuan yang tidak terpisahkan antara terjadinya ingkar janji dan “perbuatan melawan hukum” tersebut sebagai satu rangkaian kejadian? Apakah dengan bermodalkan surat perjanjian, lantas artinya pihak bersangkutan bisa seenaknya melakukan berbagai “perbuatan melawan hukum” yang merugikan pihak lainnya, lalu hanya dapat dsebut sekadar sebagai “ingkar janji”? Bukankah itu terlampau menyederhanakan masalah?

Akal Buta Milik Orang Buta, Kacamata (Milik) Orang Buta

Akal Sehat Milik Orang Sehat Vs. Akal Sakit Milik Orang Sakit

Masyarakat yang sehat, adalah masyarakat yang berjiwa ksatria antar sesama warga / penduduk, dalam artian “berani berbuat, maka harus berani bertanggung-jawab”. Jangankan diharapkan bersikap ksatria, korban yang sekadar menjerit kesakitan pun masih pula dirudung sebagai “sudah gila” atau “tidak sopan”—seolah-olah perilaku sang pelaku yang telah menyakiti / merugikan / melukai sang korban adalah “sudah sopan”. Bahkan, maling pun berkeberatan disebut sebagai maling, jika perlu “maling teriak maling”. Bahkan pula, seakan tidak tabu, berbagai pemuka agama maupun tempat ibadah alih-alih mengumandangkan serta mengkampanyekan gaya hidup “higienis dosa”, justru mempromosikan “permohonan penghapusan / pengampunan / penebusan dosa”, namun disaat bersamaan berceramah perihal hidup suci, jujur, dan bersih.