Aturan Hukum DWANGSOM, Uang Paksa

Uang Paksa (Dwangsom) Tidak Berlaku terhadap Tindakan untuk Membayar Sejumlah Uang

Konsistensi Yurisprudensi DWANGSOM, UANG PAKSA

Question: Apakah semua jenis gugatan perdata di pengadilan, dapat menuntut “uang paksa” agar tergugat yang kalah dalam gugatan dan dihukum oleh hakim di pengadilan, mau patuh untuk cepat laksanakan isi amar putusan hakim sehingga tidak menjadi masalah baru bagi pihak penggugat yang menang gugatan?

Besar Nominal DWANGSOM, Uang Paksa

Objek Sengketa berupa Hak Kekayaan Intelektual, Bisakah Dijatuhi Amar Putusan Penghukuman Membayar DWANGSOM, Uang Paksa?

Question: Sebenarnya berapa besaran nilai “dwangsom” (“uang paksa”) boleh dituntut oleh Penggugat dan dapat dikabulkan oleh Hakim di Pengadilan saat mengajukan gugatan?

Memahami Legalisir Dokumen Publik dengan Apostille, Latar Belakang, Tujuan, dan Contoh

Legalisir Dokumen Publik dengan Apostille, Makna dan Aplikasinya secara Sederhana

Question: Bisakah dijelaskan dan diterangkan dalam bahasa yang mudah dipahami oleh orang awam, apa maksud dan tujuan legalisasi dengan memakai legalisir apostille?

Bisakah MAKSIAT Diberantas dari Muka Bumi dan dari Indonesia? JIka Tidak, mengapa Tidak Dilegalkan?

MAKSIAT, Ilegal namun Tumbuh Subur di Ruang Temaram, Negara Melarang namun Tidak Melindungi Rakyatnya yang Mencandu dan menjadi Pelanggan Tetap MAKSIAT

MAKSIAT, Dibenci namun Dicintai, bahkan Perintah Larangan Tuhan lewat Nabi-Nya pun Gagal Total

Ulasan ini adalah sebuah wacana, namun niscaya meski akan mengundang kontroversi, tanpa bermaksud untuk mempromosikan “maksiat”, dimana konteksnya ialah hanya seputar isu sosial dan isu hukum bernama praktik “perjud!an”, sehingga mohon para pembaca tidak menariknya secara lebih melebar untuk konteks “maksiat-maksiat” lainnya yang lebih ekstrem seperti “lokalisasi” maupun legalisasi barang “madat” sumber candu obat-obatan terlarang—sekalipun “perjud!an” juga “memabukkan” dan “mencandu” akibat adiksi. Saat ulasan ini disusun, “hukum positif” di Indonesia masih menjadikan praktik “perjud!an” sebagai ilegal dan terlarang, berbeda dengan beberapa negara bagian di Amerika Serikat yang bahkan melegalkan “rumah jud!” bernama “kas!no” ataupun mesin-mesin “jack pot”.

Asas-Asas Hukum saling Berkonflik, Ketidakpastian Hukum dalam Ilmu Perundang-Undangan

Kajian Hukum yang Paling Di-tabu-kan para Akademisi Hukum di Fakultas Hukum : Antar Asas Hukum Saling Tumpang-Tindih, Deadlock dalam Ilmu Peraturan Perundang-Undangan

Question: Apakah mungkin saja terjadi, asas-asas dalam ilmu peraturan perundang-undangan saling berbenturan satu sama lainnya? Entah mengapa saya merasa ada yang luput dari pengamatan dan tidak saya sadari meski dapat saya rasakan ada yang kurang jelas di sini, namun seakan sengaja tidak dibahas oleh dosen saya di kampus hukum.

Makna PROFESIONAL dan PROFESIONALISME

Hubungan antara Profesionalisme dan Otoritatif

Seni Pikir dan Tulis bersama Hery Shietra

Makna profesional bukanlah patuh atau tidaknya suatu pengemban profesi pada Sumpah Jabatan maupun Kode Etik Profesinya, namun melakukan suatu tugas pokok dan fungsi-nya secara optimal dan bertanggung-jawab, kenal maupun tidak kenal terhadap sang warga masyarakat pemakai jasa ataupun sipil ketika memohon pelayanan publik ataupun juga terhadap sesama anggota korps yang bersangkutan—dengan demikian, kata kuncinya ialah “kenal maupun tidak kenal”, tetap bertugas dan melaksanakan kewajibannya secara optimal serta bertanggung-jawab, tanpa tebang pilih, tanpa pilih kasih, tanpa mengistimewakan, juga tanpa menganak-emaskan segelintir pihak dan menganak-tirikan pihak-pihak lainnya.

Manusia ketika Lemah, Jinak. Ketika menjadi Kuat, Ganas dan Buas. ITULAH "NATURE" MANUSIA, Sejarah yang Selalu Berulang

Belum Beradab, Memegang Kekuasaan Kecil sudah Langsung Korup

Lord Acton, “Power tends to corrupt. Absolute power, corrupts absolutely.

Dalam kajian anthropologi pada kesempatan sebelumnya, penulis sempat menguraikan kiat menguji watak asli seseorang, yakni dengan memberikannya kekuasaan. Orang yang lemah tanpa kuasa cenderung pasif dan tidak berdaya, karenanya cenderung menyembunyikan dalam-dalam taring berbisa miliknya dan “play innocent”, pola yang penulis temukan selalu seperti itu. Namun, tatkala bandul berubah dan bergeser, dan dirinya kini memiliki kekuasaan, maka tabiat serta wataknya akan jauh berubah seratus delapan puluh derajat dari semula pendiam menjelma menjadi arogan serta tidak jarang menjurus otoriter. Monster beringas, seganas apapun saat dewasa dikala tubuhnya kuat, adalah menakutkan dan mengerikan. Namun, ibarat seekor harimau cilik, tampak tidak berbahaya dan “kalem” bahkan menggemaskan untuk dijadikan hewan peliharaan dan teman bermain.

Kerugian Moril / Immateriel, Subjektif namun Personal dan Real Sifatnya, hanya saja Tidak Kasat Mata sehingga Sukar Diukur Hakim di Pengadilan

Pengadilan Hanya Mampu Mendekati Keadilan, Tiada Menegakkan Keadilan Setegak-Tegaknya

Hakim di Pengadilan hanya Mengukur “Panjang X Lebar X Tinggi”, Tidak terhadap “Kedalaman” maupun “Bobot”, Rasa, dsb.

Mencari Keadilan, maka Pendekatannya ialah HUKUM KARMA. Mencari Kepuasan Batin Dibalik Pertarungan, maka Pendekatannya ialah HUKUM NEGARA

Baru-baru ini seorang Klien pengguna jasa konsultasi seputar hukum yang penulis selenggarakan, membuat penulis cukup lama merenungkan hakekat lembaga peradilan, terutama perihal pertanyaan “apakah pengadilan sungguh dapat diandalkan untuk menegakkan dan mencari keadilan bagi masyarakat yang mengajukan gugatan perdata?”—hal tersebut juga relevan pertanyaan yang sama dalam konteks perkara pidana bagi korban pelapor. Adakah keadilan di pengadilan? Apakah hakim yang mengadili, identik dengan keadilan?