Ciri-Ciri Preman dan Makna Premanisme

ARTIKEL HUKUM
Orang Waras, Takut dan Malu untuk Berbuat Jahat, Sekecil Apapun Bentuknya.
Sementara, si Dungu Merasa Hebat dapat Berbuat Jahat, Ditakuti / Disegani karena Kejahatannya, dan Mengumpulkan Perbuatan Buruk Sepanjang Hidupnya
Siapakah diantara kita yang belum pernah menghadapi ulah kalangan preman dan direpotkan oleh aksi-aksi premanisme, baik “preman pasar” hingga “preman berdasi” maupun “preman berbaju seragam loreng”? Bila tidak membuat ulah, tentulah mereka tidak akan disebut sebagai “preman”. Sebelum kita membahas perihal preman dan premanisme, tentunya kita perlu memberikan definisi perihal “premanisme” dan pelakunya, sang “preman”.
Terjemahan penulis sangatlah berbeda dari apa yang dapat kita jumpai pada kamus pada umumnya, mengingat penulis mencoba memperkenalkan definisi perihal “preman” dan “premanisme” secara konkret dan secara lugas, bukan secara abstrak. Namun, alih-alih memberikan definisi secara tersurat, penulis lebih memilih untuk memberikan ciri-ciri “preman” dan aksi “premanisme”, yakni dengan unsur-unsur sebagai berikut:
1. Orang-orang yang tidak malu melakukan perbuatan jahat;
2. Orang-orang yang tidak takut berbuat jahat;
3. Orang-orang yang tidak akan segan melakukan cara-cara curang seperti menggunakan senjata tajam melawan seorang korban yang sejatinya hanya “bertangan kosong”, bahkan melakukan aksi “keroyokan” terhadap seorang korbannya yang hanya seorang diri;
4. Orang-orang yang tidak bertanggung-jawab dan sangat sukar untuk dimintakan pertanggung-jawaban;
5. Mau menang sendiri, bahkan justru mempersalahkan korban mereka dan lebih “galak” daripada korban mereka; serta
5. Orang-orang yang tidak pandai dalam melakukan penyesalan diri (terlebih meminta maaf) dan terus mengulangi kejahatan serupa setiap kali ada kesempatan.
Seorang preman, tidak pernah menggunakan akal sehat ketika berhadapan dengan orang lain, namun senantias menggunakan “hukum rimba” dan “hukum otot”—alias menggunakan cara-cara ilegal seperti ancaman, intimidasi, dan kekerasan. Kontras dengan cara berpikir seorang preman, hanya orang-orang berakal sehatlah yang merasa takut untuk menjahati, merugikan, terlebih melukai orang lain.
Sebaliknya, kontras dengan orang-orang berakal sehat, menghadapi seorang preman yang tidak pernah menggunakan akal sehat, namun senantiasa memakai “hukum otot” semata (yang mana otot sama sekali tidak memiliki otak), justru para korbannya yang paling harus merasa takut disakiti dan dilukai oleh seseorang yang berperilaku layaknya seorang preman. Terlebih ironis, saat kini maupun sejak saat dahulu kala, tampaknya premanisme dianggap sebagai suatu bentuk profesi itu sendiri, bukan lagi sekadar ciri-ciri perangai.
Bagi mereka, yang “berprofesi” sebagai seorang “preman”, dibutuhkan reputasi yang dibangun justru dari aksi kejahatan demi kejahatan, kekerasan demi kekerasan, ancaman demi ancaman, dan perilaku ilegal demi ilegal lainnya. Bila orang-orang berakal sehat memandang perilaku tercela sebagai cela dan noda yang dapat merusak reputasi mereka sebagai orang-orang baik, maka sebaliknya, bersikap “tahu aturan” dan penuh penghormatan terhadap hak-hak warga negara lainnya dianggap sebagai noda dan cela dalam reputasi seorang “preman”.
Mereka berpandangan, jika ingin menjadi seorang “bajingan”, hendaknya tidak tanggung-tanggung, jadilah “bajingan paling biadab” seutuh dan sepenuhnya, bajingan sejati, agar tidak ambigu. Jika menjadi seorang pria, jadilah pria seutuhnya. Jika menjadi seorang wanita, tampillah sebagai wanita sepenuhnya. Mereka menyebutnya sebagai, profesionalisme. Sebetulnya, hal demikian memiliki sedikit atau banyaknya kesamaan antara seorang “preman” dan kalangan profesi “pengacara”.
Pernah penulis jumpai seseorang yang berprofesi sebagai Legal Officer pada suatu perusahaan yang melakukan berbagai perbuatan ilegal demi kepentingan dan demi memenuhi perintah sang pengusaha. Dirinya menyatakan pada penulis, “daripada menjadi seorang Legal Officer perusahaan korup yang hobi melanggar hukum dengan menjadikan diri kita sebagai bumber dan lewat tangan-tangan kita yang menjadi kotor karenanya, lebih baik sekalian saja kita menjadi pengacara, bajingan sepenuhnya daripada menjadi sekadar bajingan setengah-setengah.”
Perlu penulis ulangi sebagai penegasan, semestinya para penjahat itu sendiri yang paling perlu merasa takut untuk berbuat jahat, bukan justru para korbannya yang paling harus perlu merasa takut dijadikan sebagai korban kejahatan. Namun, penjahat manakah yang memakai akal sehat dan rasionya? “Menggali lubang kubur sendiri” bagi mereka sendiri dengan menyakiti ataupun merugikan dan melukai orang lain, justru seolah menjadi suatu “prestasi” tersendiri bagi para preman pelaku aksi premanisme—alih-alih merasa takut ataupun ketakutan akan ancaman sanksi dari Hukum Negara maupun Hukum Karma.
Jika sang preman masih memiliki akal sehat yang tersisa, maka tentunya diri mereka tidak akan melakukan hal-hal yang sebodoh itu, dan itulah sebabnya mereka hanya berakhir nasibnya sebagai seorang preman yang “mau sampai kapan dirinya dan tubuhnya sanggup mengintimidasi dan menakut-nakuti orang lain”? Ketika tubuh dan pikiran masih sehat dan kuat, alih-alih membangun reputasi kebaikan demi investasi bagi kemudian hari di hari tua, dirinya ketika masih muda justru membangun reputasi sebagai “sampah masyarakat”, yang kemudian harus ditanggung olehnya saat menjelang tua. Tidak jarang pula penulis menjumpai nasib seorang “pengacara preman” (pengacara yang berperilaku layaknya seorang preman), tiada seorang pun diantaranya yang memiliki reputasi baik di mata publik, sekalipun mereka kini telah menjalang tutup usia.
Kini, mari kita bahas satu persatu masing-masing unsur yang menggambarkan perilaku seorang preman yang melakukan aksi premanisme. Bila saja seorang preman hanya bermain dengan cara-cara jantan dan adil, maka tiada yang akan ada warga yang merasa takut pada seorang preman. Karena sudah menjadi rahasia umum, seorang atau para preman selalu menggunakan cara-cara curang ketika dirinya tersudut dan diperkirakan akan menemui kekalahan saat menghadapi seorang warga, yakni bisa berupa menggunakan senjata tajam, atau meminta teman-temannya untuk mengeroyoki korban secara beramai-ramai.
Itulah sebabnya, jika saja seorang preman bermain adil dan jujur, maka tiada seorang pun yang perlu menakuti sosok seseorang yang berpenampilan bak preman, dan tiada seorang preman pun yang akan ditakuti terlebih disegani oleh warga negara lainnya. Selama ini, kalangan preman membangun “reputasi” mereka yang ditakuti, karena memang kerap memeras, mengintimidasi, dan menyakiti korbannya dengan cara-cara curang, seperti melakukan pemerasan secara berkeroyokan (dengan jumlah yang timpang), menggunakan senjata tajam, menyerang di kegelapan tatkala korban tanpa persiapan, meneror, merusak properti, serta menjadikan target orang-orang yang lebih lemah dan lebih muda daripada sang preman. Sehingga, antara kata “preman” dan “senjata tajam”, telah saling berasosiasi—ingat preman, ingat senjata tajam dan “keroyokan”.
Itulah sebabnya, sebetulnya seorang preman jauh lebih lemah daripada korban-korbannya. Kesatu, mereka tidak pernah berani untuk bekerja secara jujur dalam mencari nafkah sebagaimana para korbannya bekerja keras—para preman tersebut terlampau lemah dan terlampau pengecut untuk bekerja keras dengan memeras keringat sendiri. kedua, jika seorang preman memang benar-benar kuat dan hebat, tidak pernah mereka mengancam korbannya dengan senjata tajam, terlebih harus ditemani oleh temannya sesama preman ketika menghadapi korban yang hanya seorang diri. Ketika, para preman demikian tidak pernah berani menghadapi orang-orang yang lebi kuat, lebih besar, dan lebih banyak dalam jumlah daripada si preman. Mereka hanya berani terhadap yang lebih lemah, yang hanya berjalan seorang diri, bahkan tanpa malu menodong seorang wanita tua yang tanpa daya dan diketahuinya akan tanpa perlawanan.
Kita kembali membahas unsur pertama dari ciri-ciri seorang preman ketika melakukan aksi premanisme, yakni “tidak akan bertanggung jawab”. Meladeni seorang preman, sama artinya kita harus siap untuk merugi. Tidak jarang penulis mendengar langsung, seorang preman mengaku akan membayar ganti rugi ketika menyakiti korbannya, namun menghilang begitu saja selamanya tanpa membuktikan ucapannya. Karenanya, antara “preman” dan “kerugian besar” selalu saling terasosiasi.
Yang paling berbahaya dari kesemua itu ketika kita menghadapi seorang preman maupun aksi premanisme ialah, seorang preman tidak pernah takut akan ancaman “neraka”. Bagi mereka, menjadi raja jalanan dan raja dunia adalah segala-galanya. Mereka adalah makhluk yang bahkan demikian “egois terhadap dirinya sendiri” karena tiada pernah takut akan akibat buah karma yang harus mereka petik dikemudian hari. Itulah yang paling membahayakan dari seorang preman, sehingga mereka dapat “tega” melakukan kejahatan yang sejahat-jahatnya tanpa merasa perlu untuk mengontrol dirinya.
Berdebat dengan akal sehat dengan eorang preman, sama artinya selalu membuang-buang waktu bagi kita. Karakter “mau menang sendiri” sangatlah kental pada perilaku seorang preman. Berbicara dengan seseorang yang menggunakan “akal sakit”, maka berbicara dengan “akal sehat” tidak akan pernah saling berjumpa dalam kesamaan alur berpikir. Para preman, menggunakan “logika kekuatan” ataupun “logika kekuasaan”—bisa berwujud, otot, senjata, kekuatan jumlah massa, hingga kekuatan uang suap, dan berbagai kekuasaan politis lainnya.
Ciri khas lainnya dari seorang preman, korban yang akan justru mereka persalahkan dan “hakimi”, sebagaimana pun korban telah “terzolimi”, sang preman akan tetap mencela, mempersalahkan, dan “menghakimi” para korbannya dengan menggunakan “logika otot” dan “akal sakit” milik sang preman. Ketika korban menolak memenuhi keinginan sang preman, dan melakukan perlawanan, maka seorang preman akan tampil lebih galak daripada para korbannya.
Itulah ciri khas paling mencolok dari seorang preman, memeras dan menganiaya korbannya namun merasa berhak pula untuk “menghakimi” dan “menggurui” korbannya—tentu saja, dengan “logika otot” dan “akal sakit” milik sang preman. Tiada yang lebih bijak daripada sebisa mungkin menghindari pergaulan ataupun lingkungan yang mengandung muatan premanisme. Bersentuhan dengan seorang preman, selalu dapat menjadi sebuah malapetaka.
Karenanya, bila kita merujuk pada keseluruh unsur-unsur guna mendefinisikan karakteristik seorang preman, sejatinya bukan hanya seorang “preman pasar” yang dapat disebut melakukan aksi premanisme, namun juga “preman berdasi”, “preman yang bermobil mewah”, “preman berseragam polisi”, hingga bentuk-bentuk “preman elite” lainnya.
Sepanjang kita memahami keseluruh ciri-ciri yang telah penulis deskripsikan tersebut di atas, kita menjadi mampu mewaspadai ketika kita menjumpai seseorang dengan penampilan layaknya eksekutif, rapih, dan mentereng, lengkap dengan tata bahasa yang elegan, namun ternyata menampilkan berbagai ciri-ciri sebagaimana ciri khas seorang preman, maka itulah saatnya kita patut menaruh “curiga”—dan tidak perlu heran bila kita mendapati dirinya melakukan aksi-aksi premanisme pada suatu saat dan suatu waktu.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.