KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

KREDITOR MURNI Vs. KREDITOR TERAFILIASI DEBITOR, Konteks Kepailitan dan PKPU

Tiada Istilah KREDITOR dalam Transaksi Afiliasi antar Perusahan dalam Satu Grub Usaha yang Sama, baik antar SISTER COMPANY maupun antara ANAK USAHA (SHELL COMPANY) dan INDUK USAHA (HOLDING COMPANY)

Sudah sejak beberapa dasawarsa lampau, alias bukan fenomena baru, berbagai korporasi “memecah” setiap divisi operasionalnya menjadi berbagai badan hukum yang seolah-olah tampak berdiri sendiri, namun saling bertransaksi satu sama lain meski “beneficial owner”-nya adalah “holding company” yang sama—alias modus “transaksi ‘antar anak usaha’ maupun ‘antara anak usaha dan induk usaha’ dalam satu grub usaha”. Sebagai contoh, dalam satu perusahaan yang bergerak dibidang produksi barang kebutuhan rumah tangga, divisi logistik disitribusinya didirikan badan hukum tersendiri, divisi penyulai bahan bakunya didirikan badan hukum tersendiri, divisi “tenaga alih daya”-nya didirikan badan hukum tersendiri, divisi penyediaan catering makan siang untuk pegawainya didirikan badan hukum tersendiri, hingga divisi “mematikan kompetitor” (dengan membuat produk serupa yang homogen, namun maksud dan tujuan untuk merusak harga pasar dan mematikan pesaing), dan lain sebagainya.

Seni Bertanya, Menjawab, dan Berbicara

Ciri Orang Menghargai atau Tidaknya Lawan Bicara, menurut Buddhisme

Kaitan / Korelasi antara IQ, EQ, dan SQ, Tinggi atau Rendahnya IQ Menentukan dan Memengaruhi Tinggi maupun Rendahnya EQ maupun SQ Diri Seseorang—Boleh Percaya (juga) Boleh Tidak Percaya

Peka atau sensitif terhadap perasaan lawan bicara, serta menghargai lawan bicara, merupakan keterampilan berkomunikasi yang paling mendasar, bila tidak dapat kita sebut sebagai berometer kapasitas EQ seseorang. Ternyata, mayoritas masyarakat kita di Indonesia masih tergolong memiliki tingkat EQ dibawah rata-rata—cobalah perhatikan fenomena keseharian kita dalam bersosialisasi dan berkomunikasi, sebagai contohnya ialah ketika lawan-bicara kita berbicara dengan kita, sekalipun dirinya mengetahui bahwa penulis beragama berbeda dengan yang bersangkutan, dalam setiap ucapan dan perbincangan ia selalu memakai istilah-istilah agama yang bersangkutan, sehingga membuat penulis merasa sedang “diperkosa agama”-nya, sekalipun Sumpah Pemuda telah menetapkan : “berbahasa satu, yakni Bahasa Indonesia” (bukan bahasa Arab, Inggris, maupun bahasa-bahasa dengan terminologi keagamaan tertentu).

Perbedaan antara AGAMA dan IDEOLOGI, yang Satu Mengawasi Diri Sendiri dan yang Satu Lagi ialah Menghakimi Orang Lain

AGAMAIS Vs. RITUALIS Vs. ORANG BAIK, Pilih yang Mana?

Beribadah secara KERAS Vs. Beribadah secara CERDAS, Anda yang Manakah?

Semua orang sanggup, mau, serta mampu saja menjadi seorang “pendosa penjilat penuh dosa”—meski, hanya sebagian kecil diantara mereka yang memilih untuk “melawan arus”, yakni memasuki disiplin ketat dan praktik mawas diri bernama “self-control”. Namun, tidak semua orang mampu dan punya kemauan untuk menjadi orang baik, hidup higienis dari dosa, inderawi terkontrol, memurnikan pikiran, jiwa yang bersih, terlebih menjalani jalan hidup suci yang sunyi karena sepi peminat. Walau demikian, senyatanya mayoritas masyarakat kita masih meng-kultus-kan gaya hidup ritualis yang notabene hanya berupa seremonial—sembah-sujud, melantunkan nyanyian maupun paduan suara berisi sanjungan, puja-puji, berdoa sebelum makan, ritual beberapa kali dalam sehari, dan lain sebagainya. Kesemua itu merupakan kesibukan yang miskin esensi, menyerupai orang-orang yang “kerja keras” namun hasilnya nihil, mengingat mereka tidak memilih untuk “kerja cerdas”. Bila seorang presiden selaku kepala negara, memilih untuk dikelilingi oleh “Kabinet Kerja” alih-alih “Kabinet Penjilat”, terlebih Tuhan?

AGAMA DOSA : Mengajarkan Kiat Mencurangi Hidup bagi Dosawan (Pendosa)

AGAMA KSATRIA : Mempromosikan Gaya Hidup Penuh Tanggung Jawab bagi para Ksatriawan

AGAMA SUCI : Mengkampanyekan Gaya Hidup Higienis dari Dosa bagi Kalangan Suciwan

Kalangan pendosa manakah, yang tidak ingin tetap sibuk “business as usual” memproduksi dosa, mengoleksi segudang dosa, menimbun diri segunung dosa, berkubang dalam dosa, dan bersimbah dosa—seperti menyakiti, merugikan, ataupun melukai pihak lain—namun disaat bersamaan dijanjikan (diiming-imingi) masuk alam surgawi setelah para pendosa / penjahat tersebut meninggal dunia (too good to be true). Semua orang sanggup dan mau menjadi seorang “pendosa penjilat penuh dosa”, namun tidak semua orang sanggup dan memiliki kemauan berkomitmen—serta tidak kenal kompromi—untuk menjadi seseorang berjiwa ksatria yang penuh tanggung-jawab terhadap para korban yang telah ia lukai / rugikan secara disengaja maupun secara tidak disengaja, terlebih untuk menjadi seorang suciwan yang penuh mawas diri terhadap perbuatan dan pikirannya sendiri (terlatih ketat dalam disiplin “self-control”).

Bahaya Dibalik Hidup Berdampingan dengan AGAMAIS, Inilah Alasannya

Hanya PENJAHAT / PENDOSA yang Butuh PENGHAPUSAN DOSA (Abolition of Sins)—AGAMA BAGI PENJAHAT / PENDOSA, AGAMA DOSA

Kabar Gembira bagi PENJAHAT / PENDOSA, merupakan Kabar Buruk / Duka bagi KORBAN.

Terhadap Dosa dan Maksiat, Begitu Kompromistik. Namun Terhadap Kaum yang Berbeda Keyakinan, Begitu Intoleran—Tuhanis, Humanis, Premanis, ataukah Hewanis?

Dosa Warisan? Harta Warisannya di-Korup Siapa?!

Seorang Ksatria Tidak Cuci Tangan ataupun Lempar Tanggung Jawab, namun Memilih untuk BERTANGGUNG-JAWAB—AGAMA KSATRIA

Orang Suci Penuh Mawas Diri dan Kendali Diri, Terlatih Ketat dalam SELF-CONTROL—AGAMA SUCI

Bila disebutkan bahwa semua manusia dilahirkan untuk menjadi pendosa (born to be a SINNER), maka dogma demikian sejatinya sudah membuktikan bahwa agama bersangkutan tidak layak menyandang gelar sebagai “Agama SUCI”, melainkan “Agama DOSA” yang bersumber dari “Kitab DOSA”. Jika kita asumsikan dogma demikian adalah benar adanya, maka : 1.) bukan salah bunda mengandung, sifat nakal dan jahat manusia adalah ciptaan siapa? 2.) untuk apa juga menjadi sekadar “maling sandal” ataupun “maling ayam”, jadilah KORUPTOR kelas kakap; jangan menjadi pendosa yang “tanggung-tanggung”; 3.) apakah “are we SAFE”, hidup berdampingan dengan para pendosa yang merasa wajar dan normal saja hidup sebagai seseorang pendosa yang terjangkiti “virus dosa”, virus pikiran yang membuat yang bersangkutan merasa bebas berbuat dosa terhadap orang lain (menyakiti, melukai, maupun merugikan) seolah tanpa bahaya / konsekuensi dibaliknya? 4.) umur umat manusia sudah setua usia Planet Bumi ini, dimana jumlah nenek-moyang kita tidak lagi terhitung jumlahnya, apakah artinya seluruh nenek-moyang kita adalah pendosa dan masuk neraka? (sungguh Anda generasi yang “durhaka”, mengutuk nenek-moyang Anda sendiri); 5.) kekotoran batin dilestarikan dan dipelihara, lantas dimana letak “suci”-nya selain sekadar judul sampul “kitab / agama suci”?

Perbedaan GUGATAN dan PERMOHONAN ke Pengadilan Negeri, Serupa namun Tidak Sama

HUKUM ACARA PERDATA, Cacat Formil Mengakibatkan Gugatan maupun Permohonan Bermuara pada Amar “Tidak Dapat Diterima

Question: Memang apa bedanya, antara gugatan dan permohonan ke pengadilan negeri?

AGAMAIS Vs. ROBOT, Pilih yang Mana?

Agamais yang Bengkok (Penuh Lekuk), Cacat (Bopeng), dan Ketidaksempurnaan (Kotor) adalah para MANUSIA SAMPAH

Kaum AGAMAIS, Tidak Lebih Diandalkan daripada ROBOT (Kecerdasan Buatan)

Anda lebih Memilih Berhadapan dengan Siapa, ROBOT ataukah ORANG AGAMAIS?

Negeri kita yang tercinta ini, Republik Indonesia, tidak pernah kekurangan kaum “agamais” yang rajin beribadah, berbusana agamais, bertutur-kata istilah-istilah keagamaan, serta memakan makanan pilihan tertentu secara selektif—bahkan berdelusi sebagai kaum yang paling superior. Namun, telah ternyata para penyusun kebijakan kita di pemerintahan pusat, lebih memilih untuk menggunakan robot untuk menangani berbagai bidang pelayanan publik, dengan pertimbangan pragmatis : menghindari sentuhan langsung antara aparatur dan masyarakat agar tidak terjadi kolusi—penyalah-gunaan kekuasaan / kewenangan seperti memeras, ataupun sebaliknya seperti menerima uang suap—sehingga dapat menekan angka terjadinya berbagai “pungutan liar” yang merusak reputasi negeri “agamais” ini (menyembunyikan borok mentalitas bangsa “agamais”, agar tampak seolah-olah sudah beradab).

Bergelar Profesor ataupun Doktor Hukum, Bukan Bermakna Memonopoli Kebenaran maupun Keadilan

Akibat Mencari Sensasi, Sekalipun Sudah Memiliki Sederet Gelar Akademik, Karir Sukses dengan Jabatan TInggi, Banyak Sumber Pendapatan, Masih Juga Ingin Memiliki Gelar KORUPTOR

Korupsi, TIDAK AKAN MEMUASKAN Dahaga Mental Miskin, Adapun Justru Kian Dikuasai Rasa Haus, Terjerumus Kian Dalam Tanpa Jalan Kembali

Sekali Anda melakukan korupsi karena menyalah-gunakan kekuasaan—lebih tepatnya kolusi—maka Anda akan terseret masuk pada zona “point of no return” pada saat itu juga, menjadi kecanduan pada adiktifnya korupsi. Seperti yang kerap penulis sebutkan pada berbagai kesempatan, ada hal yang tidak perlu kita lakukan, ada hal yang tidak perlu kita ucapkan, ada juga hal-hal yang tidak perlu kita konsumsi, serta ada pula hal-hal yang tidak perlu kita bantah ataupun perdebatkan.

Salah Satu Mempelai KABUR Saat Menjelang Resepsi Pernikahan, Dihukum Bayar Ganti-Rugi oleh Mahkamah Agung

Melarikan Diri (Kabur) dari Rumah Menjelang / Mendekati Hari Pernikahan, merupakan Pembatalan Perkawinan Secara Sepihak

PHP (Pemberi Harapan Palsu) merupakan PMH (Perbuatan Melawan Hukum)

Berbagai drama fiktif terutama dengan genre romansa, kerap mengambil tema yang cenderung sensasional untuk menarik minat penonton, semisal dikisahkan bahwa salah satu mempelainya, entah mempelai calon suami ataukah mempelai calon istri, kabur alias melarikan diri saat sang mempelai calon pasangan hidupnya akan melangsungkan atau bahkan saat sedang memasuki detik-detik resepsi pernikahan. Siapa yang akan menyangka, dalam kejadian nyata peristiwa dramatis demikian benar-benar terjadi, dimana telah ternyata pula mengandung konsekuensi hukum yang sangat fatal, yakni dinyatakan sebagai suatu “perbuatan melawan hukum” oleh Mahkamah Agung disamping diberikan “hadiah” berupa ganjaran hukuman pembayaran sejumlah ganti-kerugian yang tidak main-main nilai nominal hukumannya : miliaran rupiah, sebagai kompensasi bagi calon pasangan yang telah dipermainkan dan merasa dipermalukan.

PERCERAIAN Vs. PEMBATALAN PERKAWINAN, Serupa Namun Tidak Sama

Beda antara PERKAWINAN PUTUS KARENA PERCERAIAN dan PEMBATALAN PERKAWINAN

Pembatalan Perkawinan Berbentuk GUGATAN, Bukan PERMOHONAN

Question: Memangnya ada bedanya, antara bercerai dan membatalkan perkawinan menurut hukum di Indonesia?