Menang Diatas Kertas, namun Ditagih SUCCESS FEE oleh Pengacara = Merugi Dua Kali

Bahaya / Ancaman Mengintai Dibalik SUCCESS FEE Advokat

Idealnya Menggugat Tanpa Jasa Pengacara

Bukanlah isu hukum baru, namun masih tetap relevan serta “klise” hingga dewasa kini, berbagai putusan perkara perdata sifatnya “menang diatas kertas”. Banyak diantara anggota masyarakat kita yang ber-euforia ketika kuasa hukumnya (dalam ini kalangan profesi pengacara) berhasil memenangkan gugatan melawan suatu pihak, berwujud amar putusan berupa perintah atau penghukuman agar pihak Tergugat membayar sejumlah ganti-rugi nominal tertentu kepada pihak Penggugat, dengan nilai nominal yang bombastis. Sampai di situ saja, persepsi masyarakat pengguna jasa pengacara diliputi oleh asumsi bahwa sengketa ataupun masalah hukum telah selesai dan tuntas, dimana sang pengacara menagih sejumlah “SUCCESS FEE” sebagaimana telah disepakati sebelumnya, seolah-olah “sukses”—namun “sukses” memenangkan gugatan tidak selalu identik dengan “solusi”—karena sang pengguna jasa pengacara membayarkan sejumlah “SUCCESS FEE” yang ditagihkan kepada sang pengacara.

Dualisme Daya Ikat Yurisprudensi di Indonesia, Praktik Berhukum yang Ambigu

Mungkinkah Tercipta KEADILAN HUKUM bila Tiada KEPASTIAN HUKUM yang Ditawarkan oleh Praktik Lembaga Peradilan?

Kesenjangan dan Disparitas menjadi Harga Mahal Dibalik Inkonsistensi Pendirian Lembaga Peradilan Pemutus Perkara

Dalam kesempatan ini, penulis mencoba mengajak para pembaca untuk merenungkan sebuah isu hukum yang “ringan namun menggelitik” berikut ini perihal praktik peradilan di Indonesia. Cobalah tanyakan kepada diri Anda sendiri, apakah putusan Mahkamah Konstitusi tidak termasuk sebagai “yurisprudensi” itu sendiri? Sejumlah pengamat, akademisi, maupun penyiar pada berbagai media massa kerap mengutip ataupun merujuk hukum yang berlaku semisal “berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor ...”, dimana kemudian para pihak tersebut patuh dan tunduk pada putusan Mahkamah Konstitusi demikian.

KELIRUPAHAM, Paham namun Keliru : Mewajibkan Apa yang Bukan Kewajiban Orang Lain

Jangan Bersikap Seolah-Olah Kita Tidak Memiliki DAYA TAWAR dan PILIHAN BEBAS

Jangan Bersikap Seolah-Olah Kita Bukanlah Individu / Pribadi yang BEBAS dan MERDEKA

Jangan Bersikap Seolah-Olah Orang Lain adalah seorang BUDAK JAJAHAN Bangsa Terjajah

Suka atau tidak suka, faktanya mentalitas masyarakat kita di Indonesia—yang bisa disebut sebagai kultur, mengingat polanya masif dan merata—ialah gemar “mengkriminalisasi” warga lainnya atas apa yang sebetulnya bukan sebuah kejahatan ataupun kesalahan yang patut dicela maupun dipermasalahkan oleh para bijaksanawan. Yang tidak bersalah, dipandang dan dituding sebagai bersalah. Yang tidak memiliki kewajiban, dibebankan kewajiban, sekalipun dirinya sendiri tidak punya hak untuk mewajibkan pihak yang ia wajibkan. Pada muaranya, ialah ajang persekusi alias “main hakim sendiri” baik secara verbal maupun secara fisik—pola khas bangsa kita, “menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan fisik maupun intimidasi verbal” dalam rangka pemaksaan kehendak ataupun perampasan hak orang lain. itulah yang disebut sebagai “keliru-paham” atau “gagal-paham”, paham namun secara melenceng.

Vonis Hukuman Ringan, Membuat Jera KORBAN alih-alih Menjerakan Pelaku Kejahatan

Tarik-Menarik Keadilan bagi KORBAN Vs. Kepentingan PELAKU KEJAHATAN (TERDAKWA)

Tentu kita publik di Indonesia masih ingat kejadian yang menimpa seorang mantan penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi bernama Novel Baswedan, yang satu bola mata sebagai indera penglihatannya rusak permanen untuk sepenuhnya sementara itu satu bola mata lainnya mengalami kerusakan permanan untuk separuhnya, akibat secara jahat dan disengaja yang tentunya juga direncanakan oleh pelakunya menggunakan “air keras” yang disiram ke arah wajah sang pemberantas korupsi. Sekalipun Novel Baswedan menderita untuk seumur hidupnya akibat kebutaan permanen, pada saat ulasan ini disusun bisa jadi para pelakunya telah dibebaskan dari penjara mengingat hanya dijatuhi vonis pidana penjara dua tahun sekian bulan oleh Majelis Hakim di pengadilan—belum lagi mendapat pembebasan bersyarat, obral remisi, cuti masa hukuman, diskon masa hukuman pada hari raya negara maupun hari raya keagamaan, dan lain sebagainya.

Seni Hidup : Berani untuk DIAM dan Keberanian TIDAK MENJAWAB

Diam dan Bergeming sebagai Bentuk Pertahanan dan Perlindungan Diri, serta merupakan Jawaban Itu Sendiri. Diam sebagai Jawaban sekaligus sebagai Pertahanan Diri Terbaik

Hak untuk Diam dan Hak untuk Tidak Menjawab, Hak Asasi Manusia

Ciri khas dari bangsa yang telah benar-benar beradab ialah, disadari serta dihormatinya hak masing-masing individu warga untuk “diam” serta hak untuk “tidak menjawab”. Tampaknya masyarakat kita di Indonesia, masih belum benar-benar layak untuk disebut sebagai bangsa yang beradab, mengingat penghormatan terhadap hak orang lain yang paling mendasar seperti “hak untuk diam” serta “hak untuk tidak menjawab”, sama sekali tidak dihormati, bahkan tidak dihargai. Praktik sosial yang terjadi di lapangan selama ini, masyarakat Indonesia kerap mempertontonkan “putar-balik logika moril”, seolah-olah individu / warga lainnya bukanlah subjek yang bebas dan merdeka dari bentuk-bentuk penjajahan siapapun.

DEMOKRASI yang Sehat, Tahu BATAS serta Ada BATASAN

Babak Baru Catur Perpolitikan di Indonesia, Fenomana “Demokrasi yang Patah” akibat Dipaksakan

Demokrasi yang Tanpa Batasan, Menjelma Kontraproduktif terhadap Ketatanegaraan—Malapetaka bagi Bangsa Bersangkutan

Cerminan Rakyat yang Kekanakan, Menuntut Demokrasi Tanpa Batasan. Masyarakat yang telah Dewasa Cara Berpikirnya, Cukup dengan Demokrasi yang Mendasar dan Kenal Batasan, karena “Ada Hal Lain yang Lebih Penting untuk Dikerjakan”

Demokrasi adalah hal yang “baik”, sistem pemerintahan yang paling “ideal” diantara sistem-sistem pemerintah lainnya yang terburuk. Namun, “baik” dalam derajat atau batasan koridor tertentu, dimana bilamana batasan itu dilampaui, akibatnya justru melahirkan efek yang bertolak-belakang dari semangat dan tujuan awal pembentukan negara yang demokratik. Ada istilah dalam Bahasa Inggris, ketika seseorang telah bersikap atau bertindak melampaui ambang batas toleransi seseorang lainnya, maka orang tersebut telah “hit my bottom line”—atau ketika seseorang bersepakat untuk bekerjasama namun dengan syarat-syarat tertentu, itulah ketika ia “draw the line”, dimana orang-orang yang berhadapan dengannya tidak diperkenankan untuk melampaui “line” tersebut. Sama halnya, ada titik atau kondisi, dimana demokrasi tidak boleh dibiarkan terlampau “liar” dan melewati batas, semata agar tidak menjelma kontraproduktif.

Resiko Dibalik Omnibus Law, Hukum menjadi Terlampau Teknokratik

OMNIBUS LAW, Model Norma Hukum yang TEKNOKRATIK, Kontra Kepentingan Rakyat

Undang-Undang OMNIBUS LAW Vs. Undang-Undang TEMATIK, manakah yang Lebih “Reader Friendly”?

Setelah penulis mencoba bersentuhan dengan membaca apa isi Undang-Undang yang disusun dan diterbitkan oleh negara secara “omnibus law”, kesan pertama serta kesan yang paling kentara penulis—dan yang juga akan masyarakat luas pada umumnya—jumpai serta temui ialah : betapa rumit dan kompleksnya norma hukum peraturan perundang-undangan yang diterbitkan pemerintah dewasa ini. Betapa tidak, Undang-Undang yang disusun dan diterbitkan secara “omnibus law” demikian adalah sarat nuasa teknokratik, seolah-olah pemerintah (bersama parlemen) membentuk serta menerbitkan “omnibus law” untuk mereka baca sendiri, bukan untuk dibaca oleh masyarakat umum meski rakyat notabene adalah subjek hukum pengemban hak dan kewajiban berdasarkan norma hukum (erga omnes).

Ambiguitas Hak Mempailitkan Manajer Investasi, Menyandera Hak Investor Pasar Modal

Manajer Investasi Selaku Profesi ataukah Individu Penyandang Status?

Otoritas Jasa Keuangan Memonopolistik Kewenangan Mempailitkan Manajer Investasi, SALAH KAPRAH Penyusun Kebijakan yang Mispersepsi Aturan yang Dirancang dan Diterbitkannya Sendiri

Regulasi di Indonesia mengatur bahwa seseorang yang berprofesi sebagai Manajer Investasi, hanya dapat dimohonkan pailit dan dipailitkan atas dasar permohonan pemerintah—dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK)—ke hadapan Pengadilan Niaga, sehingga tertutup peluang warga negara perorangan ataupun badan hukum swasta untuk mempailitkan seorang Manajer Investasi. Namun demikian, penulis menilai pengaturan demikian adalah blunder adanya, mengingat para investor yang menuntut haknya atas dana investasinya yang tidak dapat dicairkan oleh sang Manajer Investasi, tergolong sebagai “Kreditor Separatis”, mengingat seluruh dana investasi yang dikelola oleh sang Manajer Investasi dipisahkan serta terpisah (separated) dari harta kekayaan pribadi sang Manajer Investasi.