No Need to be Afraid, be Tough and be Resilience. Tidak Perlu Takut, menjadi Tegar dan Tangguhkanlah Diri Kita

No Need to be Afraid, be Tough and be Resilience. Tidak Perlu Takut, menjadi Tegar dan Tangguhkanlah Diri Kita

When “strong” is defined as unbreakable,

So it would be better if we choose to be someone who is “tough”,

Instead of being someone strong.

A “tough” personality and a “tough” soul means,

Have fallen and can still be dropped by others,

But rise again,

And will keep getting back up every time you fall or be dropped,

And move on.

Memahami Makna ANICCA, DUKKHA, dan ANATTA dalam Contoh yang Paling Sederhana

SENI PIKIR & TULIS

Bila Fakta selalu Pahit, maka Kebenaran terlampau Menakutkan. Itulah yang Kita Sebut sebagai REALITA, Bukan Utopia

Itulah sebabnya Buddhisme hanya Diperuntukkan bagi Umat yang Berani Melihat dan Mengakui Realita, bukan yang hanya Pandai Menipu Diri dalam Delusi

Seorang filsuf bernama Rene Descartes, pernah berspekulasi dengan melontarkan pernyataan yang termasyur, “AKU berpikir, maka AKU ada.” Seakan menunjuk kepada spekulasi sang filsuf tersebut, Sang Buddha bertanya, AKU? AKU yang mana? Yang mana yang bernama AKU? Karenanya, Rene Descartes merupakan seorang delusif yang mengutarakan pendapat semata berdasarkan spekulasi yang spekulatif (seorang penghayal), alias kekelirutahuan, tahu namun (sayangnya) keliru. Sebaliknya, Sang Buddha tidak sedang berspekulasi, namun menemukan, melihat, serta menembus langsung dengan usahanya sendiri, apa yang kini dikenal dengan istilah “the four noble truths” (empat kebenaran mulia)—yang terdiri dari dukkha, penyebab dukkha, akhir dari dukkha, dan jalan menuju akhir dari dukkha.

Ambivalensi Jaminan Pensiun & Hari Tua

ARTIKEL HUKUM

Bukankah Hari Tua artinya Usia Pensiun Itu Sendiri?

Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Tidak Benar-Benar Mampu Menjamin Masa Tua Pekerja yang Dipensiunkan

Jika regulator dibidang ketenagakerjaan kita di Indonesia (Kementerian Tenagakerja) itu sendiri “keblinger”, maka akan terlebih “keblinger” kalangan pelaku usaha maupun para buruh / pekerja kita yang diatur olehnya—bagai orang buta yang dituntun oleh orang buta lainnya. Sedari sejak semula, penulis secara pribadi menemukan kerancuan paradigma berpikir para penyusun regulasi kita dibidang Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, dimana dibedakan antara “jaminan hari tua” dan “jaminan pensiun” disamping “jaminan pemutusan hubungan kerja” (terkait hak atas pesangon).

Tidak Ada yang Benar-Benar dapat Kita Curangi dalam Hidup ini, itulah Pesan HUKUM KARMA untuk Kita Renungkan

SENI PIKIR & TULIS

TANGGUNG-JAWAB dan BERTANGGUNG-JAWAB, adalah dalam Rangka untuk Kepentingan Utama Siapakah, Pihak Korban ataukah Pelaku Itu Sendiri?

Anda Pikir dapat Mencurangi Kehidupan dan Orang Lain? Mau Mencurangi HUKUM KARMA?!

Kita mulai bahasan ini dengan salah satu pertanyaan SQ (Spiritual Quotient, Kecerdasan Spiritual) favorit penulis, dimana selengkapnya dapat para pembaca cari dengan menggunakan “kata kunci” di internet “self test SQ”, yakni pertanyaan berikut : Apabila korban yang menderita luka, kerugian, ataupun sakit akibat perbuatan buruk kita, tidak berhasil meminta pertanggung-jawaban dari kita, karena kita berkelit atau “hit and run” (tabrak lari), sang korban takut terhadap keganasan pelakunya, atau karena sang korban bahkan tidak menuntut tanggung-jawab sehingga kita menjadikan itu sebagai “alasan pembenar” untuk berkelit dari kewajiban berupa tanggung-jawab, apakah itu artinya sebentuk keuntungan bagi pelakunya dan kerugian bagi korban, ataukah sebaliknya?

Manusia adalah Makhluk KEKANAKAN, Childish & Childlike (Emotionally Immature)

SENI PIKIR & TULIS

Tubuh sudah Pasti akan Menua, Rambut akan Memutih, Badan akan Membesar, namun bila Kebijaksanaan dan Kedewasaan Berpikir masih Dibiarkan Tetap Kerdil, itukah KEKANAK-KANAKAN

Tubuh Rutin Diberi Makanan Bergizi, Jiwa Diberi Asupan Nutrisi Ketenangan Batin, maka Pikiran juga Perlu Diberi Informasi serta Pemikiran yang Bermanfaat dan Positif, Itulah Cara Mengasuh Diri, Diri Kita Sendiri sebagai Guru Terbaik

Bila anak-anak si “manusia bermain” kerap tergoda mengikuti delusi karena memang dunia mereka adalah dunia fantasi yang tidak rasional, maka orang dewasa bisa tumbuh menjadi budak delusi sekalipun rasio mereka (semestinya) telah cukup berkembang. Ketika delusi seorang manusia dewasa justru kalah ketika berhadapan dengan delusi yang selama ini dipelihara dan bersarang di dalam kepalanya, itulah ketika para orang dewasa disebut sebagai bersifat “kekanak-kanakan” atau “menyerupai seorang kanak-kanak”. Seorang manusia, belajar dan mengeksplorasi dalam rangka untuk menjadi rasional, bukan sebaliknya menyuburkan dan melestarikan delusi diri yang tidak “membumi”.

Mana yang Lebih Berat, menjadi ORANG BAIK atau ORANG JAHAT?

SENI PIKIR & TULIS

Mengapa Tidak Semua Orang Mau menjadi Orang Baik sekalipun Mereka Mampu?

Karena menjadi Orang Baik adalah Menakutkan, Penuh Jalan Terjal, Minoritas, serta Senantiasa Dijadikan MANGSA EMPUK SASARAN KEBUASAN MANUSIA PERDATOR

Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bukanlah perkara mudah menjadi orang lemah yang tertindas dan tidak berdaya. Namun bukan berarti bagi yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, patut bersenang hati, karena semua orang adalah lemah di hadapan kekuatan alam seperti bencana alam maupun penyakit serta kematian yang tidak dapat selamanya kita hindari, sekalipun selama ini Anda mampu “membeli” orang-orang lewat pengaruh uang. Akan tetapi, terdapat satu jenis tipe kepribadian yang jauh lebih sukar untuk dilakoni, yakni menjadi orang baik. Jika menjadi orang baik adalah semudah itu, mengapa sungguh langka dapat kita jumpai orang yang baik dan jujur di luar sana ataupun di dalam kediaman kita sendiri?