Berikan Contoh Nyata Lewat TELADAN, Bukan Memerintah namun Miskin KETELADANAN
Jika MK RI (Mahkamah Konstitusi RI) itu sendiri tidak menjaring aspirasi rakyat secara luas ketika memutus suatu perkara permohonan uji materiil, maka itu sama artinya otoritarianisme lembaga MK RI yang dikuasai oleh 9 (sembilan) orang yang menjabat sebagai Hakim Konstitusi. Bila telah ternyata MK RI itu sendiri adalah otoritarian, maka atas dasar apakah MK RI menceramahi lembaga pembentuk Undang-Undang agar bersikap “meaningfull participation” saat merancang dan mengesahkan Undang-Undang, mengingat dewasa ini fenomenanya MK RI telah tidak lagi menjadi “Lembaga Yudikatif”, akan tetapi “quasi Legislative” dengan membuat dan membentuk norma-norma hukum baru lewat putusannya.
Perlu kita sadari selaku
anggota masyarakat, bahwa kesembilan Hakim Konstitusi tidaklah dipilih langsung
oleh rakyat, mereka yang menjabat sebagai Hakim Konstitusi sifatnya ialah
“ditunjuk”. Karenanya, masih lebih “demokratis” produk legislasi yang dibentuk
oleh parlemen—para “wakil rakyat” kita yang dipilih langsung lewat mekanisme
Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat—seburuk apapun produk legislasi
tersebut, daripada putusan-putusan kesembilan Hakim Konstitusi. Segala sesuatu
yang sifatnya “ditunjuk”, bukanlah jabatan yang “demokratis” sifatnya, namun
“jabatan politis”. Ironisnya, Mahkamah Konstitusi RI (MK RI) pernah membuat
putusan dalam perkara uji materiil yang pokoknya menyatakan bahwa jabatan Jaksa
Agung tidak lagi boleh bersifat “ditunjuk” oleh Kepala Pemerintahan, karena
“ditunjuk artinya ‘jabatan politis’”, akan tetapi kesembilan Hakim Konstitusi
melupakan bahwa diri mereka sendiri dalam memutus perkara tersebut notabene
ialah para pemangku “jabatan politis”, bukan “jabatan karir”.
Pada satu sisi, dalam berbagai
putusannya, MK RI menyatakan bahwa ini dan itu adalah persoalan “implementasi
norma” belaka ataupun “open legal policy”
yang menjadi domain pembentuk Undang-Undang, dimana permohonan uji materiil
terhadap Undang-Undang oleh warga seketika dinyatakan “ditolak”. Bagai
ber-“muka dua” alias ber-“standar ganda”, MK RI kerap “menjilat ludah”-nya
sendiri dengan secara fetakompli mendudukkan posisinya sebagai “Lembaga
Legislatif” dengan membongkar-pasang serta “mengobrak-abrik” Undang-Undang yang
notabene dibentuk oleh para “wakil rakyat” di parlemen—alias mempermasalahkan
produk hasil buah demokrasi, dimana para hakim pengadil-nya ialah buah “jabatan
politis”.
Tidak ada otoriter yang
bersifat “meaningful participation”.
Otoriter memiliki sifat yang khas, yakni sepihak menetapkan ataupun memutuskan
segala sesuatunya. Sebelum menceramahi dan menggurui para “wakil rakyat” kita
di parlemen, seyogianya MK RI terlebih dahulu bercermin diri serta mulai
instrospeksi diri, apakah selama ini telah “meaningful
participation” atau tidaknya dalam memutuskan suatu perkara yang dihadapkan
kepadanya? Mengingat kesembilan Hakim Konstitusi menjabat berkat “ditunjuk”
alias “jabatan politis”, menjadi tidak mengherankan telah ternyata sepanjang
sejarah berdirinya MK RI, terdapat begitu banyak catatan perihal
putusan-putusan MK RI yang kemudian dibantah sendiri oleh putusan MK RI
berikutnya.
Mulai dari putusan “presidential tresshold”, importasi hewan
ternak dari semula diputus “maximum
security” menjelma diputus “relative
security”, inkonstitusional Undang-Undang Cipta Kerja kemudian Perpu Cipta
Kerja dinyatakan sah meski substansinya identik sama alias serupa, menolak uji
materiil yang diajukan oleh Novel Baswedan terkait usia calon pimpinan KPK (MK
RI menyatakan Novel bisa menunggu hingga usianya cukup untuk mencalonkan diri)
kemudian dibantah sendiri oleh MK RI dalam uji materiil usia calon Wakil
Presiden, hingga dari semula diputus “Pemilu Serentak” menjelma “Pemilu Pusat
dan Lokal Saling Dipisahkan”.
Konstitusinya masih sama, namun
“output” putusan-putusan lembaganya
sendiri bisa begitu bertolak-belakang 180 derajat. Apakah itu belum cukup
membuktikan, bahwa MK RI ialah murni “Lembaga Politik” ketimbang dikategorikan
sebagai “Lembaga Yudikatif”? Bila selama ini kita mengenal anekdot “ganti
pemimpin, ganti kebijakan”, “ganti menteri, ganti kurikulum”, “ganti presiden,
ganti haluan negara”, dimana telah ternyata “jabatan politis” semacam Hakim
Konstitusi memiliki wajah yang tidak berbeda, dimana “kepastian hukum” begitu
langka dalam praktik di MK RI, mengingat MK RI kerap melanggar preseden atau
yurisprudensi putusan-putusannya sendiri. Alhasil, permohonan uji materiil ke
MK RI menyerupai “aksi spekulasi”, dimana “selera” (kepentingan politik) pribadi
sang Hakim Konstitusi menjadi penentunya—isu subjektivitas tersebut bukanlah
tudingan tanpa dasar, lihat kasus pelanggaran etik Hakim Konstitusi Anwar Usman
terkait uji materiil usia calon Wakil Presiden yang ternyata mengakomodir
kepentingan politis keponakannya sendiri.
Dalam artikel di kesempatan
sebelumnya, penulis pernah menyinggung kelemahan utama “demokrasi tanpa
batasan” alias “demokrasi keblablasan”, yakni “segala sesuatunya dipermasalahkan”,
termasuk “mempermasalahkan apa yang sebelumnya telah pernah dipermasalahkan”
dan “mempermasalahkan apa yang sebetulnya tidak perlu dipermasalahkan”.
Alhasil, bongkar-pasang regulasi dan mekanisme demokrasi tidak berkesudahan
diwacanakan, diperdebatkan, dipertentangkan, ditantang, dikritisi, diretorika, secara
silih-berganti, bahkan yang sekalipun telah “on the track” pun tidak luput untuk berupa dijungkir-balikkan dan kembali
diputar-balikkan. Negeri bernama Indonesia sungguh menyerupai tontonan sirkus
yang penuh akrobatik, berkat “demokrasi keblablasan” ala para “kurang kerjaan”
yang didukung oleh MK RI. Tidak ada habis-habisnya mempermasalahkan segala
sesuatunya dengan mengatas-namakan “demokrasi”. Bukanlah demokrasi yang keliru,
yang patut kita kritisi dan menyadari bahaya dibaliknya, ialah demokrasi yang
“keblablasan” sifatnya, alias sama sekali tanpa suatu ukuran batasan tertentu.
Dari semula diputus oleh MK RI
agar diterapkan sistem demokrasi “pemilu (pemilihan umum) serentak”, lalu
dibantah sendiri oleh putusan MK RI tahun 2025 yang menyatakan agar “pemilihan
dipisah” sehingga tidak lagi serentak sifatnya. Rona atau wajah putusan-putusan
yang inkonsisten dengan putusan-putusan MK RI sebelumnya, kelak pun akan
kembali tampil serta terbit, dimana sejarah akan kembali terulang di negara
yang tidak pernah mau belajar dari sejarah bangsanya sendiri—termasuk oleh para
Hakim Konstitusi yang tidak pernah mau menghormati putusan-putusan lembaganya
sendiri sebelumnya yang bernama preseden atau yurisprudensi. Itulah sebabnya,
sudah sejak lama sistem hukum di Belanda, telah beralih haluan dari Civil Law
menjelma Common Law dimana preseden dihormati dan diakui daya ikatnya. Adapun praktik
peradilan Indonesia, selama ini hakim selalu berlindung dibalik alibi “independensi
hakim”, sekalipun itu menabrak yurisprudensinya sendiri, alhasil para “spekulan”
tergoda untuk “bermain” (memancing di air keruh).
Ada pihak yang menyatakan,
bahwa demokrasi artinya warga masyarakat “tidak takut untuk bersuara”, dimana
selama represi terhadap suara atau aspirasi masyarakat masih terjadi, artinya
demokrasi belum terlaksana sebagaimana mestinya, karenanya demokrasi kita di
Indonesia belum mencapai taraf “keblablasan”. Pada mulanya argumentasi demikian
tampak valid, namun telah ternyata mengandung “cacat logika” serta “delusi
empirik” yang mendasar. Silih berganti para “wakil rakyat” di parlemen dipilih
langsung oleh rakyat, namun selalu saja ketidak-percayaan publik kepada lembaga
tersebut terjadi berdekade-dekade lamanya, dan masih saja masyarakat kita
mengikuti pemilihan umum anggota parlemen. Kelak, hasil dari pemilihan anggota
parlemen periode berikutnya, nasibnya pun akan sama.
Tidak ada sistem demokrasi dan
pemilihan umum yang sekompleks dan semahal yang terjadi di Indonesia. Buktinya,
sistem demokrasi yang sederhana pada berbagai negara di dunia, tidak membuat roda
pemerintahan dan jalannya negara menjadi lemah dan tidak optimal. Sebaliknya,
karena segala sesuatunya dipermasalahkan di Indonesia, alhasil bangsa kita
menjadi tidak produktif, lebih menyibukkan diri serta disibukkan untuk
mempermasalahkan apa yang sebetulnya tidak perlu dipermasalahkan. Antara pedal
“rem” dan “gas”, tidak dapat ditekan secara bersamaan sepanjang tahunnya,
karena dapat mengakibatkan “kemacetan” atau kelumpuhan bernegara. Kini, para
pembaca dapat memahami, mengapa Tiongkok dapat semaju itu perkembangannya,
mereka cukup berfokus pada bisnis dan ekonomi tanpa perlu dipusingkan oleh “demokrasi
keblablasan”.
Untuk mengetahui apa itu demokrasi
yang substansial, ilustrasi kejadian nyata berikut dapat menjadi cerminan.
Seringkali penulis merasa terganggu oleh ulah warga di Indonesia, yang
menyembelih hewan ternak saat hari keagamaan mereka di pemukiman penduduk,
penyembelihan dilakukan di halaman depan kediaman penulis, tanpa seizin pemilik
rumah, mengakibatkan halaman depan kediaman penulis menyisakan genangan darah
dan “energi negatif” hasil pembunuhan nyata makhluk hidup. Derita belum cukup
sampai disitu, asap bakaran arang warga yang membakar sate persis dilakukan di
dekat ventilasi kediaman penulis, mengakibatkan penulis yang mengidap alergi
pernafasan mengalami over produksi lendir yang mengakibatkan penulis tidak
dapat bernafas. Penulis menegur, namun lebih galak para warga “agamais”
tersebut, seolah penulis telah meusak “pesta” dan kegembiraan mereka—kesenangan
yang “merampas kedamaian hidup orang lain”.
Ada warga lain yang juga
terganggu, di hari lainnya, karena aksi bakar barbeque terjadi hingga tengah
malam, dimana warga yang menegur dibalas dengan jawaban berikut : “Sesekali aja bakar daging, kok dilarang!”
Di Australia, pernah ada warga Indonesia yang diwawancara oleh sebuah stasiun
radio di Indonesia saat hari agama penyembelihan hewan ternak tersebut, bahwa
warga tidak bisa sembarangan membakar sate di pemukiman. Bila tetangga tidak
memberi izin, lalu ada asap bakaran sate, maka polisi bisa datang dan
menjatuhkan denda. Berikut inilah komentar sang warga Indonesia yang tidak mau
sadar sejatinya sedang berada di “negara orang lain”, dengan nada suara seolah
tidak senang : “Disini BANYAK ATURAN!”
Beda dengan Indonesia, warga gemar dengan bebasnya bakar sampah yang mengandung
plastik sekalipun di tengah-tengah pemukiman berpenduduk, mengemudi melawan
arus dan lebih galak yang melawan arus daripada pejalan kaki yang dipaksa
mengalah, bebas berjualan di trotoar, bebas buang matras dan furniture bekas
atau perabot rusak ke sungai, bebas menyuap pejabat agar mudah diberi izin,
bebas buang sampah sembarangan, preman tumbuh bak jamur di musim penghujan dan
bahkan dipelihara demi kepentingan politik, bebas merampas hak orang lain,
bebas menganiaya sesama warga, bebas menipu sesama rakyat, bebas persekusi,
bebas aksi permanisme, dan lain sebagainya.
Dalam ilmu ekonomi, dikenal apa
yang disebut sebagai “teori marginal”, teori yang menggambarkan bahwa “makan
jeruk adalah menyenangkan”. Namun, cobalah Anda makan jeruk tersebut untuk
butir ke-5, butir ke-9, butir ke-14, maka dapat dipastikan grafik atau
kurvannya justru menukik turun ke bawah : Anda menjadi muak dan muntah, dari “pleasure” menjadi “pain”. Grafik ber-demokrasi kita di Indonesia, sudah sejak lama
menunjukkan gejala serupa, meski tidak banyak yang menyadarinya. Ilustrasi
nyata tambahan berikut, akan lebih membuktikan betapa “demokrasi” di Indonesia
bukan lagi bersifat “keblablasan”, namun telah menjelma “sakit”, alias
“demokrasi yang sakit”.
Pada suatu siang, terdapat
warga di pinggir jalan pemukiman warga sehabis melakukan ibadah di rumah
ibadah, yang mana mereka bebas menutup jalan umum mengatas-namakan “ibadah”, memakai
busana agamais, dan sebuah kendaraan mobil roda empat berada tepat di depan
kendaraan bermotor roda dua yang penulis kendarai. Pengendara mobil di depan
penulis, melajukan kendaraannya bak “keong”, sekalipun ruas jalan pemukiman
tersebut begitu sempit, sehingga menyukarkan penulis untuk lewat. Belum cukup
sampai di situ, sang pengemudi mobil kemudian
menghentikan laju mobilnya, lalu asyik berbincang-bincang dengan warga
berbusana “agamais” yang ada di pinggir jalan. Penulis awalnya mencoba
bersabar, namun hampir satu menit itu terjadi lamanya, dan penulis mulai membunyikan
klakson untuk menegur. Akan tetapi sang warga “agamais” justru memaki penulis :
“ORANG LAGI NGOBROL, KENAPA KAMU KLAKSON-KLAKSON?!”
Tidak ada yang melarang mereka mengobrol, namun mengapa mengobrol dengan cara
merampas hak orang lain atas jalan umum?
Setiap hari Jum’at siang tengah
hari, selama dua jam kediaman penulis “dikurung” tidak bisa keluar ataupun
masuk dari dan ke dalam ataupun keluar kediaman milik sendiri, oleh jejeran
motor para “agamais” yang beribadah dalam jarak hampir seratus meter dari tempat
ibadah mereka, sekalipun mereka bisa saja mencari tempat parkir yang tidak
berada tepat di depan pagar kediaman warga. Sekalipun, para warga “agamais”
tersebut adalah warga setempat yang cukup berjalan kaki dari rumahnya tanpa
perlu membawa kendaraan bermotor. Ketika beribadah saja, mereka “merampas
kemerdekaan” orang lain, maka bagaimana ketika mereka tidak sedang beribadah
dan tidak sedang berbusana “agamais”? Untuk setiap harinya sebanyak lima kali
sehari, terjadi “polusi suara” yang begitu membahana lewat speaker eksternal
tempat ibadah mereka sehingga merampas hak orang lain untuk beribadah sesuai
agama masing-masing maupun untuk bekerja dan beristirahat, disertai
ceramah-ceramah yang pada pokoknya ialah mengutuk kaum nasrani dan yahudi
sebagai penghuni neraka.
Juga ketika ada warga “agamais”
yang meninggal dunia anggota keluarganya, para warga “agamais”
berbondong-bondong memarkir kendaraannya berjejeran tepat di depan pagar rumah
warga (lagi-lagi “merampas kemerdekaan” penghuni pemilik tanah), dan ketika
ditegur oleh pemilik rumah, warga “agamais” tersebut justru lebih galak : “KAMI SEDANG MELAYAT, BISA TOLERAN TIDAK
KAMU!” Bangga, melimpahkan “Karma Buruk” bagi almarhum yang mereka layat.
Bila saja warga “agamais” tersebut cukup ber-otak atau setidaknya memiliki
“akal sehat milik orang sehat”, maka mereka dapat mencari lahan yang “bukan
PAGAR rumah warga” sebagai tempat parkir yang layak dan semestinya (proper). Sehingga terkesan, tidaklah
“afdol” bila ibadah mereka tidak merampas hak orang lain ataupun merugikan
orang lain, sebagaimana ayat berikut:
Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH
DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH , menghadap kiblat kami, memakan sembelihan
kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut,
niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka. [Hadist Tirmidzi No. 2533]
“Masih untung kamu tidak kami
BUNUH!”, seperti itulah kesan dari tatapan dan nada bicara warga “agamais”
tersebut, mengingat penulis ialah etnis Tionghua dan “NON”. Itulah, akibat atau
bahaya dibalik “menggadaikan otak demi iman setebal tembok beton yang tidak
tembus oleh cahaya ilahi apapun”. Sang Buddha untuk itu pernah bersabda:
[dikutip dari Dhammapada dan Angguttara Nikaya]
316. Barangsiapa malu
terhadap hal tak memalukan, tidak malu terhadap hal memalukan; mereka yang
memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.
317. Juga, barangsiapa takut
terhadap hal tak menakutkan, tidak takut terhadap hal menakutkan; mereka yang
memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.
318. Barangsiapa menganggap
tercela terhadap hal tak tercela, menganggap tak tercela terhadap hal tercela;
mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.
319. Sebaliknya, barangsiapa
menyadari hal tercela sebagai yang tercela, menyadari hal tak tercela sebagai
yang tak tercela; mereka yang memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam
bahagia.
~0~
“Para bhikkhu, ada empat jenis
orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang mengikuti arus; orang
yang melawan arus; orang yang kokoh dalam pikiran; dan orang yang telah
menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan
yang tinggi.
(1) “Dan apakah orang yang mengikuti
arus? Di sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan
perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.
(2) “Dan apakah orang yang melawan
arus? Di sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau
melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan
kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan
spiritual yang lengkap dan murni. Ini disebut orang yang melawan arus.
~0~
“Para bhikkhu, dengan memiliki
lima kualitas, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.
Apakah lima ini?
(1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang
layak dicela.
(2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang
layak dipuji.
~0~
“Para bhikkhu, dengan memiliki
lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah
dibawa ke sana. Apakah lima ini?
(1) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang
layak dicela.
(2) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang
layak dipuji.
Mengapa, “selera moral”
Bangsa Indonesia begitu tumpul, sejajar dengan tingkat IQ-nya yang hanya
terpaku pada skor 78 (skor IQ 70 sudah tergolong “disfungsi kognitif”) namun
masih juga berdelusi sebagai kaum paling superior dari segi moralitas maupun
SQ, sehingga merasa berhak menghakimi kaum lain dengan menjadi “polisi moral”? Selama
ini yang mereka peluk dan jalani ialah “Agama SUCI dari Kitab SUCI’ ataukah “Agama
DOSA dari Kitab DOSA”?—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:
- No.
4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi
bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan
ampunan sebesar itu pula.”
- No.
4857 : “Barang siapa membaca
Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus
kali dalam sehari, maka dosanya akan
dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.”
- No.
4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a;
Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”
- No.
4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk
Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian
disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini
warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku,
kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku
rizki).”
- No.
4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya
saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha
Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu
memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
selamatkanlah aku,”
- Aku
mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja
yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya,
‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih
Bukhari 6933]
- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah
ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap
kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi.
Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai
setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi
ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan
sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan
sepenuh bumi pula”. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No.
3540]
PENDOSA,
namun hendak menceramahi seluruh penduduk dunia perihal akhlak, hidup jujur,
bersih, murni, mulia, agung, luhur, baik, ahimsa, dermawan, adil, bijak, serta
lurus? Itu ibarat orang BUTA yang hendak menuntun para BUTAWAN lainnya, neraka
pun diyakini sebagai surga dan sebaliknya, berbondong-bondong para BUTAWAN
tersebut riang-gembira melaju deras menuju lembah jurang nista yang gelap,
sembari yakin seyakin-yakinnya naik ke atas langit, membuatnya lebih berbahaya
daripada ideologi terlarang semacam komun!sme yang bahkan tidak mengkampanyekan
“PENGHAPUSAN DOSA” (bagi PENDOSA alias KORUPTOR DOSA, tentunya)—juga masih
dikutip dari Hadis Muslim:
- No.
4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah
tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah
menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa
sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan
yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang
do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia
menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku
lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari keburukkan
sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku
lakukan.’”
- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan
perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku, serta ampunilah
kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada
diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas
dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang
aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya
daripada aku,”
- Aisyah
bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya
bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu
maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi
seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR
Bukhari Muslim]