KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

NEGATIVE THINKING merupakan Hak Asasi Manusia, Dunia ini Tidak Pernah Kekurangan Orang-Orang yang Suka Ingkar Janji

LEGAL OPINION

Ini adalah Dunia Manusia dimana Manusia menjadi Serigala bagi Sesamanya, bukan Surga yang Penghuninya Baik Semua

Vaksin Korban Keadaan Memakan atau Dimakan, NEGATIVE THINKING sebagai suatu Keharusan

Bela dan Jaga Diri merupakan Hak setiap Warganegara, yakni Hak untuk ber-NEGATIVE THINKING itu sendiri

Question: Ada sebagian orang, yang justru mengkritik dan menghakimi kita karena protektif menjaga diri, disebut sebagai berpikiran negatif (negative thinking) yang lalu menggurui atau bahkan mendikte kita untuk berpikiran positif (positive thinking). Sebenarnya bagaimana, pandangan yang benar atau cara menghadapi tekanan sosial semacam itu?

Ambiguitas Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari Penyidik Kepolisian kepada Kejaksaan

ARTIKEL HUKUM

Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) semestinya Bukan hanya Tidak Wajib, namun juga Tidak Perlu Disampaikan Penyidik Kepolisian kepada Institusi Kejaksaan

Seorang Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI, bernama Jaya Surya, pernah membuat putusan dengan kalimat yang sangat tegas serta tepat mengena pada jantung masalah yang kerap dihadapkan kepada pengadilan untuk diputuskan, yakni : “Akal sehat ialah SOP tertinggi.”—yang mana bila kita elaborasi secara lebih progresif, “Akal sehat ialah hukum acara tertinggi” bila kita berbicara konteks prosedur penegakan hukum, baik perdata maupun pidana.

Apakah Swasembada Pangan Sama Artinya dengan Ketahanan Pangan?

SENI PIKIR & TULIS

Swasembada bukan Jaminan Tiada Kartel yang Menguasai Pasar dan Mendikte Rakyat. Pemerintah seolah Tidak Berdaya di Hadapan Swasta Korporasi

Akuntabilitas dan Transparansi Berbisnis Tidak Pernah Menyengsarakan Rakyat Sekalipun Belum Swasembada

Dahulu kala, disebutkan (mitos yang selalu didengung-dengungkan dan diagung-agungkankan oleh pemerintah lewat propagandanya yang penuh narasi yang “naif”), bahwa nasib kedaulatan dan ketahanan sebuah negara ditentukan oleh telah swasembada atau belumnya bangsa tersebut, baik dari segi pangan, alutsista (alat utama sistem persenjataan), ekonomi, manufaktur, bahan baku, teknologi, mata uang, dan lain sebagainya. Lagu klasik tersebut terlihat amat jelas sebagai utopis, terbukti saat kini negeri kita telah swasembada dari berbagai aspek bidang dan usaha, namun tetap saja rakyat kita seolah masih “terjajah” baik dari segi pangan, ekonomi, papan, hingga budaya.

Modus Terselubung Mahkamah Konstitusi RI Dibalik Putusan Uji Materiil Undang-Undang Cipta Kerja

ARTIKEL HUKUM

Kejahatan yang Berkedok, Mengatasnamakan dan Membonceng Nama Konstitusi, Kejahatan Konstitusional

Kejahatan terhadap Konstitusi Terbesar Terjadi di Mahkamah Konstitusi Itu Sendiri, menjadikan Undang-Undang Cipta Kerja sebagai “Pseudo Undang-Undang” yang Tidak Tersentuh Hukum, Tidak Tampak (Hilang Objeknya) namun Berkuasa atas Rakyat dan Publik Umum

Apa yang akan penulis ungkap dalam bahasan ini, adalah “bukti argumentasi” (silahkan bantah, itu pun bila Anda sanggup), bukan sekadar prasangka, tuduhan, dugaan, maupun spekulasi, bahwasannya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) saat memutus uji materiil Undang-Undang tentang Cipta Kerja, telah secara tersistematik melakukan “kejahatan terhadap konstitusi Republik Indonesia”, sehingga adalah sebentuk penghalusan yang tidak etis (pengerdilan isu hukum yang sama sekali tidak sepele, penyepelean) ketika disebutkan bahwa putusan MK RI terkait Undang-Undang Cipta Kerja merupakan kompromi politis alih-alih pembangkangan yuridis terhadap Hukum, Undang-Undang, dan Konstitusi, sekalipun kesembilan hakim MK RI menyebut diri mereka sebagai “the guardian” konstitusi.