Definisi CUCI UANG dan CUCI DOSA, saling Serupa dan Identik

SENI PIKIR & TULIS

Korelasi CUCI UANG dan CUCI DOSA, Dekat tapi Mesra, Dibenci namun Faktanya Dicintai

Hanya AGAMA DOSA, yang Mempromosikan dan Mengkampanyekan CUCI DOSA (Penghapusan ataupun Penebusan Dosa)

Semua bentuk-bentuk praktik “pencucian uang” (money laundring), pada dasarnya juga merupakan upaya untuk “mencuci dosa” (sin laundry)—dua sisi wajah dalam satu keping yang sama. Kerap terjadi dan sudah menjadi rahasia umum, para pelaku aksi korupsi (koruptor), rutin melakukan korupsi namun juga rutin menyisihkan sebagian dana hasil korupsi untuk kegiatan amal, seperti menyumbang tempat ibadah, menjadi donatur kegiatan sosial-kemanusiaan, kegiatan amal sedekah, dan lain sebagainya—dalam rangka apakah, jika bukan bertujuan untuk “mencuci dosa”?

Tanda Tangan AJB Terlebih Dahulu ataukah Lunasi Harga Jual-Beli Tanah / Rumah?

LEGAL OPINION

Ambiguitas Fungsi Akta Jual-Beli yang Merangkap sebagai Kuitansi Tanda Bukti Pelunasan Harga Jual-Beli Hak atas Tanah

Question: Sebenarnya jika akan membeli rumah, itu tanda-tangan AJB di depan notaris (PPAT, Pejabat Pembuat Akta Tanah) dahulu baru bayar ataukah bayar lunas dulu, atau cukup bayar “DP” (down payment) terlebih dahulu? JIka diwajibkan bayar lunas terlebih dahulu, nanti jika ternyata penjualnya adalah penipu, bagaimana?

Bukankah kita harus belajar dari banyak pengalaman buruk di luar sana, orang (pembeli) beli tanah namun ternyata bermasalah dikemudian hari meski sudah dibayar lunas dan penuh saat buat AJB. Belum lagi kerepotan harus membawa uang sebanyak itu saat ke kantor notaris, sangat tidak praktis harus dibayar saat itu juga secara sekaligus.

Harga tanah itu bukanlah sesedikit jumlah lembaran uang yang dapat dibawa cukup dengan satu buah koper. Transfer antar rekening bank pun memiliki limitasi nominal dalam satu harinya yang dapat diproses, kecuali memakai instrumen keuangan semacam cek atau bilyet giro yang tidak semua orang memiliki fasilitas keuangan semacam itu dan tidak semua penjual mau menerima alat pembayaran berupa cek ataupun bilyet giro.

Memahami Cara Kerja dan Teknik ANALOGI, Logika Sederhana

LEGAL OPINION

Mahir Keterampilan Penalaran Argumentum per Analogiam

Question: Sebenarnya yang disebut sebagai analogi, itu seperti apa dan apakah ada cara mudah untuk memahaminya?

BUDAYA PRIMITIF, Main Kekerasan Fisik sebagai Cara untuk Menyelesaikan Setiap Masalah

ARTIKEL HUKUM

Mengapa Penulis Lebih Menyukai Komunikasi Tertulis ketimbang Lisan? Ini Alasannya

Medium Komunikasi Digital, OTAK Menggantikan Supremasi OTOT untuk Sepenuhnya

Hampir seluruh waktu penulis dikeseharian, berkomunikasi pada dunia eksternal diri penulis dengan menggunakan medium komunikasi secara tertulis, yang sifatnya terpublikasi secara meluas. Mengapa demikian, dan tidak ber-konvensional diri lagi layaknya cara komunikasi para manusia konvensional kebanyakan? Terdapat beberapa alasan praktis-pragmatis serta berbagai kalkulasi penuh pertimbangan, tidak terkecuali bercermin dari berbagai pengalaman buruk sendiri, mengingat dan menimbang watak masyarakat di Indonesia yang sukar diajak berpikir serta berkomunikasi secara logis dan rasional bila kita berdialog dengan mereka secara lisan.

Keadilan HUKUM NEGARA Vs. HUKUM KARMA, Pilih yang Mana?

LEGAL OPINION

Penegakan Hukum Negara yang Tidak Keras dan Tidak Tegas, bagaikan Bermain-main terhadap Keadilan dan Derita Korban Pelapor

Question: Hal apa saja, yang perlu dipertimbangkan oleh korban setelah siap secara mental, sebelum hendak melaporkan seseorang yang telah melakukan kejahatan, kepada polisi?

Relevansi antara Penyuapan dan Kerugian Keuangan Negara (Korupsi)

ARTIKEL HUKUM

Kerugian yang Diderita Rakyat akibat Penyalah-Gunaan Kewenangan Aparatur Sipil Negara, merupakan Kerugian Keuangan Negara secara Tidak Langsung

Menerima Dana Suap adalah Tindak Pidana (Penyertaan) Korupsi sebagai Pelaku Penyerta

Apakah menerima “uang suap” (gratifikasi), tidak merupakan bentuk korupsi yang membawa dampak kerugian terhadap keuangan negara secara langsung maupun tidak langsung? Kerap kita temukan, para “pakar” disiplin ilmu pidana dibidang tindak pidana korupsi (Tipikor), berpendapat bahwa tiada kerugian terhadap keuangan negara dalam konteks perbuatan menerima maupun meminta “uang suap” demikian. Namun, betulkan demikian dan apakah memang sesederhana itu duduk permasalahan yang ada selama ini?

Netralitas Komentator, KODE ETIK BEROPINI & BERPENDAPAT, BE PROFESSIONAL!

ARTIKEL HUKUM

Komentar dan Pendapat Masyarakat Rawan Disusupi Provokator dan Manipulator

Bahaya Dibalik Komentar Umum, Belum Tentu Netral dari Penyusup dan Penyaru

Bukan hanya kalangan profesional yang dituntut untuk bersikap netral, imparsial, akuntabel, serta transparan. Masyarakat yang sehat secara mentalitas dalam berbangsa dan bernegara, dicirikan oleh kemampuan dan kesediaan untuk bersikap netral selayaknya “warganegara yang profesional”. Kita tidak pernah tahu, motif tersembunyi (hidden agenda) apa yang sedang disusupkan oleh orang-orang yang beropini pada ruang publik, tidak jelas latar-belakangnya, kompetensi, kredibilitas, maupun akuntabilitas dan transparansi sosok pemberi opini maupun pendapat demikian, benar untuk kepentingan umum ataukah terdapat “pesan-pesan sponsor” dibaliknya secara parsial.

Makna Fungsi PENCEGAHAN pada KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

ARTIKEL HUKUM

Hendaknya Koruptor Dibuat Jera Sejera-Jeranya, KPK Semestinya Bertaring, bukan Tampil Bak Malaikat terhadap Koruptor

Keseriusan Penegakan Hukum yang Separuh Hati, Membuat Jera Koruptor Janganlah Tanggung-Tanggung

Komisi PEMBERANTASAN Korupsi, ataukah Komisi PENCEGAHAN Korupsi?

Tentu kita sepakat, bahwa koruptor perlu dibuat jera agar penegakan hukum benar-benar dapat diharapkan membawa efek jera, sehingga membuat koruptor tersebut maupun para calon koruptor lain tidak tergoda hingga berani mencoba-coba aksi korupsi, kolusi, maupun nepotisme di Tanah Air. Tentu juga telah kita ketahui, bahwa bukanlah berita ataupun kasus baru, dimana seorang tersangka kasus korupsi dekati oleh oknum “mafia hukum” atau “mafia kasus” yang mengaku-ngaku sebagai aparatur penegak hukum yang mampu mengamputasi proses penyidikan maupun penegakan hukum bilamana diberi sejumlah “dana siluman” bagi yang bersangkutan, entah oknum berseragam tersebut benar menjabat dan memiliki kewenangan untuk itu atau bisa jadi hanya sekadar pejabat “gadungan”.

Hak Asasi Manusia merupakan HAK RESIDU

ARTIKEL HUKUM

Hukum Negara pada Dasarnya Bersifat Membatasi Kebebasan Ruang Gerak Warga

Konon, setiap individu merupakan “born to be free”, terlahir bebas dan merdeka. Namun, itu dulu, sebelum hukum negara dibentuk dan negara berdiri, lebih tepatnya ketika masih diberlakukan “hukum rimba”. Secara falsafah, sifat dasariah dari hukum (the nature of law) bersifat membatasi kebebasan setiap warga yang menjadi subjek hukumnya (para pengemban hukum). Apa yang menjadi makna serta fungsi pembatasan ini, ilustrasi sederhana dikeseharian berikut, dapat menjadi analogi yang memudahkan pemahaman para pembaca, betapa segala sesuatunya, sifatnya harus dibatasi dan diberi batasan, semata agar orang lain tidak bisa seenaknya terhadap diri kita maupun terhadap sesama warga penduduk lainnya.

Perihal Hak Asasi KORBAN, Hak untuk Mengekspresikan kekecewaan serta Hak untuk Menjerit Kesakitan

ARTIKEL HUKUM

Manusia yang Korban Perbuatan Jahat / Buruk Orang Lain, Bukanlah Mayat yang Hanya dapat Pasrah Seribu Bahasa Menerima Kenyataan Pahit

Hak Asasi MANUSIA (termasuk KORBAN), bukan Hak Asasi MAYAT

Koruptor yang Cerdik, akan Memprovokasi Publik agar Mengolok-Olok sang Koruptor Sebelum Dijatuhi Vonis Hukuman oleh Hakim di Pengadilan, menjadi Alibi untuk Minta Keringanan Hukuman

Bila kita sepakat bahwa “menjerit kesakitan” merupakan “hak asasi KORBAN”, maka mengapa budaya sosial maupun budaya praktik di ruang peradilan di Indonesia, masih juga menjadikan posisi korban serba-salah, dimana untuk menjerit kesakitan pun masih juga dipandang sebagai “tabu”, dianggap sebagai “tidak sopan” (seolah-olah perbuatan pelaku yang telah menyakiti, melukai, maupun merugikan sang korban, adalah sudah “sopan” dan tidak tercela), dicela secara salah alamat (celaan justru ditujukan kepada sang korban, alih-alih kepada sang pelaku yang telah berbuat jahat atau tidak patut), dituntut untuk diam bungkam bagai mayat yang terbaring dan terbujur kaku. Budaya irasional demikian, amat mendiskreditkan posisi korban yang menjelma terjepit dan kian terpojokkan—cerminan rendahnya kecerdasan emosional (EQ, yang dicirikan dengan kemampuan ber-empati), disaat bersamaan mengklaim sebagai bangsa ber-SQ tinggi sebagai “agamais”.

Fakta Adanya KELAHIRAN KEMBALI, Komunikasi Bahasa Perdamaian Universal

SENI PIKIR & TULIS

Fanatisme Keagamaan yang Destruktif, Melahirkan dan Terlahir Kembali dalam Kerusakan, suatu Kesia-Siaan

Sang Buddha : “Pandangan (yang) salah artinya, tidak meyakini kebenaran adanya Hukum Karma dan adanya Kelahiran Kembali.”

Bila ada diantara kita, yang tidak meyakini atau bahkan menolak “determinisme Karma”, maka Anda harus menjawab pertanyaan mengapa umat manusia menjadi objek dari “deterministik GENOM” (pakar kode genetik manusia telah menemukan, betapa kode genetik memainkan peranan secara demikian dominannya terhadap pembentukan fisik maupun tendensi sifat)? Faktanya pula, darimanakah “deterministik GENOM” kita bila bukan dari “deterministik Karma”? Bila segalanya “jatuh dari langit” secara begitu saja, itulah diskriminasi, ketidak-adilan terbesar, menyerupai kesenjangan ekonomi dan sosial yang kian senjang dewasa ini.

Disiplin Diri merupakan Pangkal Kebebasan

SENI PIKIR & TULIS

Pilih “Free FROM Wanting” ataukah “Free TO Wanting”?

DISIPLIN DIRI Versus KEBEBASAN, Pilih yang Mana?

Bangsa Barat menjadikan kebebasan sebagai supremasi sipil tertinggi, bahkan bersanding dengan sakralitas konstitusi negara mereka. Sayangnya, itu hanyalah utopia, alias sekadar jargon yang tidak akan kita jumpai realitanya di negara-negara Barat mana pun. Hukum negara itu sendiri, bersifat membatasi kebebasan warganya (tiada norma hukum yang tidak membatasi), merasmpas sebagian hak mereka, dengan menyisakan sisa-sisa hak mereka sebagai hak-hak sipil warganegara—penulis menyebutnya sebagai “hak residu”, alias hak-hak yang tidak dirampas oleh otoritas pemerintah negara bersangkutan. Sebagai contoh, sebelum negara dan hukum negara berdiri serta diterbitkan, semua warga berhak untuk menyandang senjata api serta “main hakim sendiri”, namun kesemua hak tersebut dirampas oleh negara, sementara hak untuk hidup dan hak untuk beraspirasi sebagai contoh, dibiarkan tanpa dirampas oleh otoritas.

HUKUM KARMA Menegasikan PENGHAPUSAN DOSA, sementara KELAHIRAN KEMBALI Menegasikan PENEBUSAN DOSA

SENI PIKIR & TULIS

Ketika Iblis Melakukan Kebaikan dan Ketika Pendosa Melakukan Kesucian, mungkinkah Niscaya seseorang Menegasikan Dirinya Sendiri dengan Cara Demikian?

Selama Ada Demand (Pendosa yang Berdosa), maka akan Selalu Ada Supply (Dogma Iming-Iming Penghapusan / Pengampunan / Penebusan Dosa)

Dalam kesempatan yang akan “mendebarkan hati serta denyut jantung” ini, para pembaca akan diajak memasuki alam teologis, yang mungkin cukup menakutkan pada mulanya, namun akan cukup menyejukkan ketika pamahaman baru telah diperoleh. Sebagai pembuka, jawablah pertanyaan sederhana berikut ini : Apakah yang akan terjadi, bila seorang / seekor Iblis, melakukan kebaikan? Ngomong-ngomong, Iblis digambarkan memiliki ekor yang pada ujungnya berbentuk runcing menyerupai tombak atau anak panah, sehingga mungkin lebih tepat dilekatkan frasa nomina “seekor” Iblis.

Pemaksaan secara EKSPLISIT Vs. Pemaksaan secara TERSELUBUNG

ARTIKEL HUKUM

Pemerintah yang Pada Muaranya Direpotkan Menegakkan Hukum, ketika Pemuka Agama dan Kalangan Guru maupun Orangtua telah Gagal Menjalankan Fungsi dan Perannya Sebagaimana-Mustinya

Masih saja dapat kita jumpai Sarjana Hukum generasi muda yang sama “kolot” dengan generasi Sarjana Hukum “tua” sebelumnya, yang berpendirian secara kukuh namun kurang dilandasi logika yang rasional, bahwasannya hukum tidak identik dengan sanksi pemaksa. Mereka tidak bersedia memahami, bahwa alat atau instrumen pemaksa dalam norma peraturan perundang-undangan, tidak hanya berupa pemaksaan secara eksplisit, namun juga dapat berupa pemaksaan secara terselubung atau secara implisit sifat keberlakuan norma pemaksanya.

Ketika Gereja Kristiani Memperkosa Profesi Konsultan, Masih Pula Melecehkan sang Korban Perkosaan Kristen, Kasus Perkosaan oleh Pengurus GBI Rayon Mall of Indonesia (Kini Menjabat Pengurus GBI Tapak Siring)

PELANGGAR

Tidak Bersedia Membayar SEPESER PUN Tarif Layanan Jasa Profesi, namun Mengharap serta Menuntut Dilayani, bukankah itu SINTING dan SERAKAH?

Alih-Alih Berterimakasih, justru Membalas Budi Baik Pengorbanan Penulis dalam Membuat Website Publikasi Hukum ini dengan Perkosaan. Memperkosa Profesi Orang Lain yang sedang Bersusah-Payah Mencari NAFKAH, sungguh Perilaku IBLIS yang LEBIH HINA DARIPADA PENGEMIS!

“Maka datanglah seorang perempuan Kanaan dari daerah itu dan berseru: “Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud, karena anakku perempuan kerasukan setan dan sangat menderita.” Tetapi Yesus sama sekali tidak menjawabnya. Lalu murid-muridNya datang dan meminta kepada-Nya: “Suruhlah ia pergi, ia mengikuti kita dengan berteriak-teriak.” Jawab Yesus: “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.” Tetapi perempuan itu mendekat dan menyembah Dia sambil berkata: “Tuhan, tolonglah aku.” Tetapi Yesus menjawab: “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” (Matius 15:22-26)

Dengan demikian, umat Kristiani yang meneladani Yesus, akan menolak menolong umat Non-Kristiani, dimana umat Non-Kristiani dipandang sebagai seekor “anjing”. Namun, tampaknya umat Kristiani itu sendiri yang merampok roti dan nasi dari piring milik Non-Kristiani. Seorang penipu dengan nomor seluler 081255769743, mengaku dari sebuah perusahaan di Bontang, dan menyebut namanya seperti sedang “kumur-kumur” sehingga tidak dapat terdengar jelas oleh kami (modus sang pelaku yang tampaknya memang licik penuh akal bulus untuk mengecoh kami) dari seberang telepon saat dirinya mengganggu dengan menelepon kami. TUKANG PERKOSA dari nomor tersebut berani dengan lancang berulang-kali menelepon kami yang mana sangat mengganggu pekerjaan kami, menuntut dilayani tanpa bersedia membayar SEPERAK PUN! Setelah dirinya kami tegur secara keras karena menghubungi kami dengan melanggar peringatan di website, dirinya tetap secara berani bersikap lancang kembali memaksa kami untuk meladeninya tanpa mau membayar tarif SEPESER PUN (bahkan menanyakan tarif kami pun tidak, terlebih menyatakan kesediaan membayar tarif layanan jasa).

Ahmad Musadad, Manusia GEMBEL yang LEBIH HINA DARIPADA PENGEMIS

PELANGGAR

Ahmad Musadad Tidak Bersedia Membayar SEPESER PUN Tarif Layanan Jasa Profesi, namun Mengharap serta Menuntut Dilayani, bukankah itu SINTING dan SERAKAH?

Alih-Alih Berterimakasih dan Memberikan Kontribusi Berupa Sumbangsih Finansial, Ahmad Musadad justru Membalas Budi Baik Pengorbanan Penulis dalam Membuat Website Publikasi Hukum ini dengan Perkosaan. Ahmad Musadad Memperkosa Profesi Orang Lain yang sedang Bersusah-Payah Mencari NAFKAH, sungguh Perilaku IBLIS yang LEBIH HINA DARIPADA PENGEMIS!

Ahmad Musadad (pemilik akun <musadadadad81 @gmail.com>) telah menyalah-gunakan info kontak berisi email KERJA kami dari website profesi kami selaku penulis dan penerbit buku serta profesi utama kami selaku Konsultan Hukum, yang jelas-jelas untuk peruntukkan KERJA, PROFESI, dan diperuntukkan bagi KLIEN PEMBAYAR TARIF LAYANAN JASA HUKUM maupun bagi pembeli produk-produk hukum seperti buku hukum yang kami terbitkan dan kami perjual-belikan dengan sejumlah harga.

Advokat Agustinus Mudjiman Menggembel seperti GEMBEL, MENGEMIS-NGEMIS seperti PENGEMIS. Anda itu Pengacara atau TUNAWISMA?

PELANGGAR

Tidak Bersedia Membayar SEPESER PUN Tarif Layanan Jasa Profesi, namun Mengharap serta Menuntut Dilayani, bukankah itu SINTING dan SERAKAH?

Alih-Alih Berterimakasih, justru Membalas Budi Baik Pengorbanan Penulis dalam Membuat Website Publikasi Hukum ini dengan Perkosaan. Memperkosa Profesi Orang Lain yang sedang Bersusah-Payah Mencari NAFKAH, sungguh Perilaku IBLIS yang LEBIH HINA DARIPADA PENGEMIS!

Agustinus Mudjiman telah menyalah-gunakan info kontak berisi nomor KERJA penulis dari website profesi penulis selaku Konsultan Hukum, yang jelas-jelas untuk peruntukkan KERJA, PROFESI, dan diperuntukkan bagi KLIEN PEMBAYAR TARIF LAYANAN JASA HUKUM. Lantas seketika itu pula Agustinus Mudjiman tanpa memperkenalkan diri (pemerkosa mana pula yang hendak memperkenalkan diri?) memperkosa profesi penulis dengan tanpa izin mengajukan pertanyaan hukum tanpa menyatakan kesediaan membayar tarif juga tanpa bertanya perihal besaran tarif—sehingga apa lagi tujuannya selain “memperkosa? Profesi Konsultan Hukum?

Apakah Saksi Wajib Hadir Panggilan Polisi dan Tanda-Tangan BAP?

LEGAL OPINION

Pasal yang Berisi Kewajiban / Larangan disertai Ancaman Hukuman, namun Tidak Pernah Ditegakkan, Pasal “Macam Ompong” yang Menyesatkan

Saksi Memberikan Keterangan yang Memberatkan Tersangka di BAP Penyidik, namun kemudian Memberikan Kesaksian Meringankan Terdakwa di Persidangan

Baca UNDANG-UNDANG Vs. Riset PRESEDEN, antara Norma Undang-Undang versus Hukum Kebiasaan dalam Praktik “Best Practice

Question: Sebenarnya apa memang benar, ada aturan hukumnya dipanggil untuk menjadi saksi (guna memberikan kesaksian dalam suatu perkara pidana) ada sanksinya bila tidak datang untuk hadir? Lalu, sebagai saksi, apa juga ada keharusan untuk tanda-tangan berkas BAP (Berita Acara Penyidikan) ataukah ada kebebasan untuk memilih tidak tanda-tangan itu BAP yang dibuat penyidik kepolisian? Bagaimana juga bila sebagai saksi yang telah pernah dibuatkan BAP, dikemudian hari baru berubah pikiran atau baru ingat ingatan yang sebetulnya saat hari dipanggil ke persidangan untuk dimintai kesaksian oleh hakim?

Contoh Komunikasi Publik yang Tidak Efektif dan Tidak Tepat Sasaran (dalam Konteks Wabah)

ARTIKEL HUKUM

Meninggal Dunia, adalah Hal Wajar, Siapapun Pasti Mengalaminya. TERBUNUH, maka terdapat PEMBUNUH yang telah MEMBUNUH sang Korban

Akibat Wabah yang Melanda, Korban Jiwa sebagai MENINGGAL ataukah TERBUNUH?

Komunikasi publik yang efektif, dapat membuat pemerintah mampu menjalankan tugasnya secara tepat guna, dengan menyatukan hati segenap rakyatnya untuk mencapai suatu tujuan bersama, membentuk kolaborasi, alih-alih mencipatkan “distrust” yang mengandung bahaya dibaliknya bagi eksistensi kedaulatan suatu negara demokrasi. Sebelum itu, patut kita pahami, sifat dari negara demokrasi ialah “dihantui” oleh suatu fenomena kohesi sosial maupun kohesi berupa relasi pemerintah—rakyat yang kurang solid, cenderung terfragmentasi, liquid / cair, serta segregasi yang terkadang saling berhadap-hadapan, sehingga mobilisasi segenap rakyat oleh pemerintah kerap kurang efektif. Karena itulah, bukan tiada harga yang harus kita bayarkan dibalik sebuah konsep negara demokrasi dimana segenap rakyat serta penguasa dan pemangku kepentingannya berjalan serta memiliki kepentingan masing-masing yang tidak jarang saling bersinggungan satu sama lain atau bahkan saling berlainan arah semata karena bukan satu komando secara terpusat.

Pandemik akibat Wabah Virus merupakan Batu Ujian bagi Pemeluk Agama SAINS, yang Selama ini Meremahkan Agama

SENI PIKIR & TULIS

Pesan dari Wabah, Hidup Tidaklah Enak-Enak Amat, Terlebih Disebut Nikmat

Jika Anda Diberikan Kesempatan untuk Memilih, Anda Memilih Tetap Dilahirkan atau Tidak Pernah Terlahirkan dalam Rahim Manapun di Alam Dunia Manapun?

Banyak yang mengira, serangan wabah yang mulai menjajah Republik Indonesia maupun dunia global, merupakan batu “ujian” bagi kalangan agamawan serta para pemuka agama disamping para umatnya. Namun, benarkah demikian, atau mungkin ada yang luput serta terlewatkan oleh perhatian kita, satu buah agama yang jarang mendapat sentuhan publik karena memang tidak disadari oleh sebagian besar umat beragama. Agama apakah itu? Itulah, “agama sains”, dimana mereka yang menyebut dirinya sebagai ilmuan ataupun pembelajar teori sains, menjadikan “text book” sebagai Kitab Suci-nya serta laboratorium untuk eksperimen sebagai cara ibadahnya dalam beritual harian, dimana sains itu sendiri yang menjadi “Tuhan”-nya—alias memper-Tuhan-kan sains atau menjadikan sains sebagai Tuhan.

Wabah, 1 Orang Tewas (adalah) TRAGEDI, 1.000 Orang Tewas (hanyalah) STATISTIK, Kebijakan Kepala Negara Republik Serba Berlarut-Larut

ARTIKEL HUKUM

Ironis, Bendera Merah Putih Berkibar disaat Wabah Menjajah Negeri Kian Tidak Terkendalikan, Pemerintah Menyerah Sebelum Benar-Benar Berperang

Merdeka, Merdeka dari Apa Dulu? Ekonomi, Melarat. Kesehatan, Korban Jiwa Bertumbangan. Keluar Rumah, Pembunuh Berkeliaran, Silent Killer. Pemerintah Republik Indonesia : “Hiduplah berdampingan dengan Mesin Pembunuh, wahai rakyatku!

Sungguh ingin sekali penulis mengajukan pertanyaan kepada sang Bapak Presiden, “Menurut Bapak Presiden yang terhormat, berapakah harga sebuah nyawa yang menjadi korban kebijakan berlarut-larut ‘yang penting bukan lockdown’ (dikala wabah)? Semurah itukah harganya, ribuan nyawa korban jiwa rakyat bangsa sendiri?” Pemerintah Republik Indonesia selama ini menerapkan kebijakan “yang penting bukan lockdown, APAPUN HARGANYA (yang harus dibayarkan baik uang triliunan rupiah hingga korban jiwa)” sebagai strategi satu-satunya dalam menghadapi peperangan melawan pandemik yang diakibatkan oleh virus menular mematikan antar manusia.

Kombinasi Ramuan 3 Jenis Manusia Paling Berbahaya, Beracun, dan Mematikan di Muka Bumi

SENI PIKIR

Ramuan yang Terdiri dari Racikan Bumbu Tiket Terjamin Masuk Surga, Kompromistis terhadap Dosa / Maksiat, dan Iming-Iming Penghapusan Dosa = Resep Kejahatan Sempurna

Hanya seorang Pendosa, yang Membutuhkan Keyakinan Penuh Korupsi bernama “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, sementara Suciwan Memilih Tidak Menodai Dirinya dengan Dosa, dan para Ksatria Memilih untuk Bertanggung-Jawab terhadap Korban alih Melarikan Diri dari Tanggung-Jawab

Untuk dapat menilai suatu bangsa sebagai telah beradab ataukah masih “biadab” bermental purbakala, bukanlah perkara sukar. Indikator tingkat peradaban suatu bangsa, bukan dinilai dari tolak-ukur semacam “agamais” atau tidaknya. Tidak ada yang sukar menjadi pelaku aksi “lip service”, siapapun bisa dan sanggup, bahkan Presiden Republik Indonesia pun dianugerahi gelar “the King of Lip Services”, obral klaim kesuksesan melayani masyarakat, dan lebih sibuk mengumbar klaim daripada menyingsingkan lengan baju untuk real bekerja bagi masyarakat.