Orang Dungu Tergila-Gila Mengejar Kerugian, Memilih untuk Merugi Lebih Banyak Lagi
Orang Cerdas Memilih untuk Tidak Merugi Lebih Banyak
Lagi
Question: Bukankah menggelikan, mengetahui dari pemberitaan ataupun orang-orang yang kita kenal, telah ternyata begitu kecanduan bermain jud!, sampai-sampai pemerintah harus terpaksa turun-tangan melakukan intervensi dengan memblokir berbagai situs permainan jud! online. Sekalipun, tidak pernah ada contoh orang yang jadi kaya karena main jud! online, dimana diri si pemainnya itu sendiri telah kehilangan banyak, namun masih juga tergila-gila untuk bermain jud! online semacam itu. Bukankah tidak ada bisnis industri yang lebih menggiurkan, daripada mengeksploitasi kebodohan masyarakat, entah itu jud!, politik, farmasi, medis, pangan, tidak terkecuali bisnis yang berjualan agama dan pendidikan itu sendiri?
Brief Answer: Air, secara alamiahnya, bergerak / mengalir ke
arah bawah, bukan mengarah ke arah atas. Manusia bahkan cenderung menyakiti /
merugikan diri mereka sendiri, semisal gemar memakan makanan yang tidak sehat, terobsesi
melakukan sesuatu yang melanggar hukum, asyik menghisap bakaran tembakau,
mengonsumsi obat-obatan terlarang, membuang-buang waktu yang berharga untuk hal
yang tidak berfaedah, bersikap egois dan irasional terhadap diri sendiri maupun
terhadap orang lain, sehingga tidak mengherankan ketika Sang Buddha pernah
bersabda : “Sangkhara bhikkave, anatta.”—yang
bermakna “Kehendak, para bhikkhu,
bukanlah ‘AKU’.”
Sama halnya, semua orang yang masih memiliki akal sehat (common sense) tahu dan sadar bahwa menanam
Karma Buruk tidaklah baik bagi dirinya sendiri di masa mendatang. Akan tetapi sebagaimana
dapat kita saksikan sendiri dalam keseharian, tetap saja banyak diantara anggota
masyarakat kita yang telah ternyata selama hidupnya begitu produktif dan bangga
dapat mengoleksi segudang dosa, berlomba-lomba memproduksi segunung dosa, berbondong-bondong
berkubang dalam samudera dosa, berlama-lama menimbun diri dengan dosa-dosa sebesar
Planet Bumi, serta tersenyum senang dapat bersimbah dosa-dosa. Ciri-ciri orang
dungu, nasibnya ialah “nasib orang dungu”, dimana akalnya ialah “akal sakit
milik orang sakit”.
PEMBAHASAN:
Lucu
dan konyolnya cara hidup orang yang “kecanduan” menyakiti dan merugikan dirinya
sendiri, salah satu diantaranya ialah para pecandu permainan jud!, dapat kita jumpai
lewat khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara
Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID IV”, Judul Asli : “The
Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi
oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun
2015 oleh DhammaCitta Press, dengan kutipan sebagai berikut:
II. Cāpāla
61 (1) Keinginan
“Para bhikkhu, ada delapan
jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah delapan ini?
(1) “Di sini, ketika seorang
bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu
keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia bangkit, berusaha,
dan berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Namun demikian, ia gagal
memperoleh keuntungan. Karena tidak memperoleh keuntungan, ia berduka,
merana, dan meratap; ia menangis dengan memukul dadanya dan menjadi kebingungan.
Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan [294] yang bangkit,
berusaha, dan berupaya untuk memperoleh keuntungan, tetapi tidak
mendapatkannya: ia telah jatuh dari Dhamma sejati.
[Kitab Komentar menerangkan,
“keuntungan” di atas maknanya ialah “untuk memperoleh empat kebutuhan”, yaitu
jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan.]
(2) “Tetapi ketika seorang
bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu
keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia bangkit, berusaha,
dan berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Ia memperoleh keuntungan.
Karena keuntungan itu, ia menjadi mabuk, memunculkan kelengahan, dan hanyut
dalam kelengahan. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan
yang bangkit, berusaha, dan berupaya untuk memperoleh keuntungan, dan
mendapatkannya: ia telah jatuh dari Dhamma sejati.
(3) “Tetapi ketika seorang
bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu
keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia tidak bangkit, tidak
berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Ia tidak
memperoleh keuntungan. Karena tidak memperoleh keuntungan, ia berduka, merana,
dan meratap; ia menangis dengan memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Ini
disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan yang tidak bangkit, tidak
berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan, dan tidak
mendapatkannya: ia telah jatuh dari Dhamma sejati.
(4) “Tetapi ketika seorang
bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu
keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia tidak bangkit, tidak
berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Namun demikian,
ia memperoleh keuntungan. Karena keuntungan itu, ia menjadi mabuk, memunculkan
kelengahan, dan hanyut dalam kelengahan. Ini disebut seorang bhikkhu yang
menginginkan keuntungan yang tidak bangkit, tidak berusaha, dan tidak berupaya
untuk memperoleh keuntungan, dan ia mendapatkannya, menjadi mabuk dan lengah:
ia telah jatuh dari Dhamma sejati.
(5) “Tetapi ketika seorang
bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu
keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia bangkit, berusaha,
dan berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Namun demikian, [295] ia gagal
memperoleh keuntungan. Ia tidak berduka, tidak merana, dan tidak meratap karena
tidak memperoleh keuntungan; ia tidak menangis dengan memukul dadanya dan tidak
menjadi kebingungan. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan
keuntungan yang bangkit, berusaha, dan berupaya untuk memperoleh keuntungan,
dan walaupun tidak mendapatkannya, ia tidak bersedih atau meratap: ia tidak
jatuh dari Dhamma sejati.
(6) “Tetapi ketika seorang
bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu
keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia bangkit, berusaha,
dan berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Ia memperoleh keuntungan. Ia
tidak menjadi mabuk, tidak memunculkan kelengahan, dan tidak hanyut dalam
kelengahan karena keuntungan itu. Ini disebut seorang bhikkhu yang
menginginkan keuntungan yang bangkit, berusaha, dan berupaya untuk memperoleh
keuntungan, dan setelah mendapatkannya, ia tidak menjadi mabuk atau lengah: ia
tidak jatuh dari Dhamma sejati.
(7) “Tetapi ketika seorang
bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu
keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia tidak bangkit, tidak
berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Ia tidak
memperoleh keuntungan. Ia tidak berduka, tidak merana, dan tidak meratap karena
tidak mendapat keuntungan; ia tidak menangis dengan memukul dadanya dan tidak
menjadi kebingungan. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan
yang tidak bangkit, tidak berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh
keuntungan, dan setelah tidak mendapatkannya, ia tidak berduka atau meratap: ia
tidak jatuh dari Dhamma sejati.
(8) “Tetapi ketika seorang
bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu
keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia tidak bangkit, tidak
berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Namun demikian,
ia memperoleh keuntungan. Ia tidak menjadi mabuk, tidak memunculkan kelengahan,
dan tidak hanyut dalam kelengahan karena keuntungan itu. Ini disebut seorang
bhikkhu yang menginginkan keuntungan yang tidak bangkit, tidak berusaha, dan
tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan, dan setelah ia mendapatkannya, ia
tidak menjadi mabuk atau lengah: ia tidak jatuh dari Dhamma sejati.
“Ini adalah kedelapan jenis
orang itu yang terdapat di dunia.” [296]
Meskipun demikian, melampaui segala jenis maupun
bentuk kasar kemabukan di atas, telah ternyata ada yang lebih konyol dan lebih “mabuk”
daripada kampanye “gaya hidup mabuk” hingga taraf “kecanduan” berikut,
membuktikan bahwa kaum “agamais” juga merupakan kaum “pemabuk tulen penyuka
spekulasi”, dimana kaum tersebut justru lebih sibuk berdoa memohon dan
menghadap dihapus dosa-dosanya ketimbang menggunakan waktu yang ada untuk
bertanggung-jawab terhadap korban-korban mereka ataupun untuk melatih disiplin diri
yang ketat bernama “self-control”—kesemuanya
dikutip dari Hadis Sahih Muslim:
- No.
4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi
bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan
ampunan sebesar itu pula.”
- No.
4857 : “Barang siapa membaca
Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus
kali dalam sehari, maka dosanya akan
dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.”
- No.
4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a;
Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”
- No.
4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk
Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian
disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini
warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku,
kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku
rizki).”
- No.
4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya
saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha
Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu
memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
selamatkanlah aku,”
- Aku
mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja
yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya,
‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih
Bukhari 6933]
- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah
ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap
kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi.
Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai
setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi
ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan
sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan
sepenuh bumi pula”. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No.
3540]
Siapakah
yang paling mengharap dihapus dosa-dosanya? Tentunya para PENDOSA. Semakin
BERDOSA, semakin sang PENDOSA tergila-gila mencandu dan mabuk “PENGHAPUSAN DOSA”.
Mabuk “DOSA-DOSA UNTUK DIHAPUSKAN” dan disaat bersamaan juga mabuk “PENGHAPUSAN
DOSA”, lewat teladan mabuk serta kecanduan sang nabi pemabuk junjungan para
pemabuk berikut yang dijadikan patokan “standar moral” mayoritas penduduk di Indonesia—juga
masih dikutip dari Hadis Muslim:
- No.
4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah
tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah
menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa
sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan
yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang
do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia
menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku
lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari keburukkan
sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku
lakukan.’”
- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan
perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku, serta ampunilah
kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada
diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas
dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang
aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya
daripada aku,”
- Aisyah
bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya
bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu
maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi
seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR
Bukhari Muslim]