Menerima Surat Pengalaman Kerja Dimaknai Mengundurkan Diri

LEGAL OPINION
Question: Bila menerima uang pesangon, pegawai dimaknai menerima PHK, maka bagaimana bila yang diterima ialah surat pengalaman kerja dari manajemen tapi belum pernah terima uang kompensasi dalam bentuk apapun dari perusahaan?

Dilema Dibalik Ancaman Pidana yang Selalu Dilanggar

ARTIKEL HUKUM
Kerap muncul pertanyaan hukum yang terdengar sederhana, klise, sekaligus sukar untuk dijawab, dan terbukti tidak pernah dan tidak akan pernah mampu dijawab oleh seorang “Sarjana Hukum Tulen”. Pertanyaan tersebut bahkan menjadi “duri dalam daging” yang ditabukan oleh kalangan “Sarjana Hukum Tulen”, ditutup rapat-rapat, bagai aib, karena bila tidak mampu menjawab, akan tampak tidak kompeten di mata publik. Atau, setidaknya, mengelak dengan cara mengalihkan isu—seperti yang sudah-sudah, dan selalu mampu memuaskan publik lewat atraksi pengalihan isu yang memang pandai dimainkan kalangan Sarjana Hukum lewat permainan kata murahan.
Pertanyaan apakah itu? Mari kita simak bersama: “Jika sudah ada pasal pidana tentang ancaman hukuman, kenapa masih juga dilanggar dan terus terdapat pelanggaran orang warga, seakan tiada habisnya?” Bisakah Anda membantu penulis menjawab pertanyaan yang terkesan lugu, diatas? Mungkin itulah pertanyaan hukum tersukar yang pernah dijumpai Sarjana Hukum yang sekalipun telah banyak malang-melintang dibidang hukum pidana.

Membuat Aturan Main Sendiri, Kejahatan Hakim Praperadilan

ARTIKEL HUKUM
Undang-undang telah membuat limitasi dan pengaturan perihal kebolehan tertentu untuk diputus oleh hakim sebagai fungsi dari “koridor hukum” (yang artinya adanya kebolehan dan kebatasan yang terukur) sekaligus “jaring pengaman” (safety nett) bagi publik dan para warga negara dari kesewenang-wenangan praktik aparat penegak hukum dan praperadilan. Dengan kata lain, tanpa kepastian hukum, maka tiada keadilan apapun yang dapat diusung ataupun ditawarkan.
Namun bagaimana bila seorang hakim, ketika membuat amar putusan, tidak mengindahkan aturan kebolehan dalam undang-undang, tidak juga merujuk yurisprudensi yang ada, juga tidak mendasarkan pertimbangan ataupun vonis yang dijatuhkan olehnya berdasarkan asas-asas hukum hukum? Tepat itulah, yang oleh penulis dapat dikategorikan sebagai “membuat aturan main sendiri”.

Ambivalensi Permohonan PKPU oleh Kreditor

LEGAL OPINION
Question: Apa tepat, bila kreditor yang mengajukan gugatan agar debitor dinyatakan PKPU?

Antara Korupsi Aktif & Korupsi Pasif

ARTIKEL HUKUM
Kemungkinan besar diantara kita pernah mengalami langsung secara pribadi, bagaimana pelayanan Aparatur Sipil Negara / Pegawai Negeri Sipil dalam pelayanannya di instansi negeri, sangatlah tidak bertanggung-jawab. Betapa tidak, tanpa uang “pelicin”, maka segala berkas permohonan yang warga ajukan, tidak akan direspon ataupun ditanggapi.

Pekerja Menuntut Jaminan Dokumen Dikembalikan oleh Pengusaha

LEGAL OPINION
Question: Kalau terkena PHK (pemutusan hubungan kerja) atau berniat mengundurkan diri, sementara ada dokumen penting milik pegawai yang dahulu saat masuk bekerja diminta dan disimpan oleh perusahaan seperti BPKB atau izasah, apa bisa saat sengketa di PHI (Pengadilan Hubungan Industrial), dokumen milik pegawai diminta untuk dikembalikan sekaligus menuntut pesangon?

Menjadi Sarjana Hukum Modern & Progresif

ARTIKEL HUKUM
DIFERENSIASI TALENTA PENYEDIA JASA LAYANAN KONSULTASI HUKUM
Dalam terminologi pendidikan, dikenal istilah “pedagogi”, yang bermakna seni atau kemampuan untuk “transfer of knowledge” yang disesuaikan dengan watak karakter para peserta didik. Karena masing-masing siswa sangat beragam dalam tingkat pemahaman serta latar belakang karakternya, ada yang cepat mencerap materi pelajaran juga ada yang membutuhkan banyak waktu dan usaha lebih keras, maka pendekatan pada masing-masing murid tentunya sangat beragam pula.
Jangan pernah membeli buku-buku yang ditulis oleh seorang jenius, karena penulisnya tidak pernah paham kesukaran yang selama ini dihadapi oleh siswa-siswa yang tidak jenius—demikian orang bijak berpesan, kecuali bila Anda seorang siswa jenius. Bacalah karya-karya tulis yang ditulis oleh seseorang yang bertipe pekerja keras untuk mencapai keberhasilan.

Hubungan antara Ilmu Hukum & Sosiologi

ARTIKEL HUKUM
Mendalami ilmu hukum tanpa memahami ilmu sosiologi, ibarat mengendarai kendaraan bermotor tanpa pedal rem / deselerasi, atau ibarat diberikan peta yang memandu kita menuju jalan kesesatan saat menjelajah. Apa jadinya, hanya dapat menekan pedal akselerasi tanpa dapat melakukan deselerasi, atau diberikan peta yang tidak sesuai fakta lapangan?
Seperti itulah praktik hukum di Tanah Air, akibat minimnya Sumber Daya Manusia yang bergerak dibidang profesi pembentukan aturan peraturan perundang-undangan maupun para aparatur penegak hukum, yang benar-benar bergerak dari realita untuk mereka yang hidup dalam realita.

Pengadilan Negeri Bersifat Independen terhadap Arbitrase

LEGAL OPINION
Question: Katakanlah antara perkara gugatan perdata diajukan secara paralel, baik di Pengadilan Negeri di Indonesia maupun di lembaga Arbitrase. Pertanyaannya, apakah artinya otomatis proses pemeriksaan di Pengadilan Negeri lokal di Indonesia akan gugur secara sendirinya?

PKWTT Bercorak Jangka Waktu Hubungan Kerja

LEGAL OPINION
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Wajib Didaftarkan Pada Otoritas Ketenagakerjaan sebagai Syarat Mutlak PKWT
TELAAH KASUS BEBAN PEMBUKTIAN SECARA RASIONAL
Question: Kok bisa, hakim bilang kalau PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) yang melanggar jenis pekerjaan yang sebenarnya bersifat tetap atau jenis pekerjaan inti, PKWT itu tidak sah dan batal kecuali tentang jengka waktu berakhirnya kerja? Kalau dari awal ada sepakat kapan berakhirnya hubungan kerja, itu kan karakter dari PKWT, mengapa hakim bisa bilang kalau itu jenis pekerjaan tetap atau inti usaha, tapi disaat bersamaan menyatakan bahwa tanggal berakhirnya hubungan kerja tetap berlaku pada PKWT.

Tidak Selamanya Persekusi Melanggar Hukum

ARTIKEL HUKUM
Sebagai negara hukum, tentunya dan sebagai warga negara yang baik, kita tunduk juga patuh pada hukum yang berlaku di negara ini pada saat suatu waktu aktual, yang dalam terminologi hukumnya disebut sebagai “hukum positif”.
Bila terjadi pelanggaran hukum, maka ditempuh mekanisme aduan berupa laporan kepada pihak berwajib ataupun berupa gugatan perdata, tidak dapat serta-merta “main hakim sendiri”, atau yang lebih tren diistilahkan sebagai “persekusi” (berangkat dari akar kata “persecution” dalam Bahasa Inggris yang sejatinya memiliki makna lebih luas dan lebih keras derajatnya dari sekadar “main hakim sendiri”).

Kurator yang Aktif & Kepailitan yang Ideal

LEGAL OPINION
Question: Apa yang dapat terjadi, bila seandainya direktur melakukan transfer pricing (alias profit shifting), sebelum perusahan berbentuk Perseroan Terbatas masuk dalam keadaan pailit atau bahkan saat perseroan dalam keadaan pailit?

Tahu, Namun Pura-Pura Tidak Tahu

ARTIKEL HUKUM
Semua orang berakal sehat, tahu, bahwa setiap barang dan jasa, ada harganya, maka konsumen bertanya dahulu perihal harga / tarif, bukan sekonyong-konyong meminta dilayani, dengan hanya membayar berupa ucapan: 'Terimakasih'. Hanya seseorang berakal picik sekaligus lebih hina dari seorang pengemis, meminta dilayani tanpa mau menyadari apa yang menjadi kewajibannya terhadap penyedia barang / jasa.
Bahasa Indonesia merupakan “lingua franca” dari mereka yang mengaku sebagai bagian / anggota dari Bangsa Indonesia, yang tidak mengenal sekat kasta maupun stratifikasi sosial untuk memahami bahasa tersebut. Namun hingga saat kini, penulis mendapati kenyataan pahit, bahwa betapa memprihatinkannya pemahaman Rakyat Indonesia terhadap Bahasa Indonesia, bila tidak dapat disebut sebagai kondisi yang memprihatinkan, terutama perihal penguasaan perbendaharaan kata.
Sudah sangat jelas, terdapat perbedaan secara kontras antara “Pengacara” dan “Konsultan Hukum”. Keduanya adalah profesi yang berbeda, yang berangkat dari akar kata yang saling berlainan dan berbeda satu sama lain. Pengacara mencari nafkah dari beracara di persidangan, alias mengambil keuntungan dari sengketa yang dialami sang klien, atau bila perlu membuat sengketa kian keruh dan kian memanas. Sementara itu kalangan profesi Konsultan Hukum, mencari penghasilan secara legal dari menghindari klien agar tidak terjadi sengketa, atau setidaknya memitigasi sengketa yang terjadi dan memadamkan “kebakaran” yang terjadi.

Masalah Hukum Laten, Kegagalan Belajar dari Pengalaman

ARTIKEL HUKUM
Selalu saja berulang, sengketa perjanjian kredit dibawa ke ranah BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) meski Mahkamah Agung RI telah membuat pendirian yang konsisten, bahwa sengketa perjanjian hutang-piutang adalah ranah Pengadilan Negeri, bukan BPSK. Janganlah kita berasumsi bahwa seorang debitor juga adalah seorang konsumen, sebab asumsi demikian tidak laku dimata hukum.
Sama juga dengan selalu saja terjadi, para pengacara mewakili kliennya yang seorang mantan direktur, menggugat perseroan dengan alasan menuntut pesangon, seakan jabatan direksi maupun komisaris adalah “Pekerja” yang tunduk pada Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan.

Merampok Kreditor dengan Mempailitkan Diri Sendiri

LEGAL OPINION
Question: Kalau sebagai kreditor, yang tentunya berkepentingan terhadap harta pailit yang dilikuidasi kurator untuk dibagikan kepada seluruh kreditor yang telah mendafarkan hak tagihnya, apa bisa mengajukan keberatan terhadap pembagian hasil pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh kurator, semisal karena adanya kreditor tertentu yang piutangnya kelewat besar sekaligus tidak wajar?

Dakwaan & Vonis Pemidanaan Kumulatif / Kombinasi

LEGAL OPINION
Question: Yang dimaksud dengan dakwaan kumulatif, itu seperti apa contohnya?

Modus Perampokan secara Legal terhadap Boedel Pailit

LEGAL OPINION
MEMPAILITKAN DEBITOR SAMA ARTINYA MERUGIKAN KREDITOR ITU SENDIRI DAN DISAAT BERSAMAAN MENGGEMUKKAN KURATOR
Question: Siapakah yang sebetulnya paling diuntungkan dengan jatuhnya debitor dalam keadaan pailit ataupun PKPU?

Oknum Prajurit TNI Menjelma Tentara Bayaran, Pidana Diperberat

LEGAL OPINION
Question: Di berbagai kota kerap dijumpai adanya tentara yang jadi bodyguard atau bahkan menjadi satpam. Itu sebetulnya boleh atau tidak? Kok tentara yang sudah digaji dari uang rakyat, seolah seperti dikomersielkan seperti tentara bayaran saja. Banyak juga kendaraan-kendaraan besar dengan plat nomor militer simpang-siur di tempat itu, yang kelihatannya fasilitas negara seperti mobil dan bahkan senjata api, tampaknya telah disalah-gunakan dan dikomersielkan untuk berbisnis. Pasti pejabat tingginya di institusi militer, entah Angkatan Darat, Angkatan Laut, maupun Angkatan Udara, ada terlibat.

Kiat Memaksa Judex Juris Menjelma Judex Factie

LEGAL OPINION
TELAAH KASUS PKWT MENJELMA BUMERANG BAGI PENGUSAHA
Gugatan Yang Buruk, Terbit Putusan Yang Baik Di Tangan Hakim Yang Baik
Question: Katanya putusan Mahkamah Agung tingkat kasasi, itu tidak periksa pembuktian, karena sifatnya judex jure. Gimana jadinya bila Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan Tinggi selaku judex factie, ternyata tidak pernah memeriksa pokok perkara semisalnya karena gugatan penggugat dinyatakan “tidak dapat diterima” oleh Majelis Hakim?

Tidak Tahu Hukum artinya Menipu Diri Sendiri

LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya mana yang lebih bersalah, seseorang yang tahu dilarang oleh hukum tapi tetap melakukan, atau orang yang tidak tahu ada aturan yang melarang namun tetap melakukan?

Skorsing Tanpa Batas Waktu, Sama dengan PHK

LEGAL OPINION
Question: Kalau dikenakan skorsing, hanya saja tanpa batas waktu yang jelas dari pihak perusahaan, itu apa namanya dan bagaimana pandangan hukumnya?

Pembunuhan Berencana oleh Saudara Dekat, Pidana Maksimum

LEGAL OPINION
Question: Kalau kejahatan dilakukan oleh orang dekat keluarga kita sendiri, itu jadi alasan pemberat hukuman penjara, atau sebaliknya?

Upah Minimum Sektoral Vs. Perjanjian Bersama

LEGAL OPINION
Question: Apakah melanggar hukum, membuat dan menyepakati upah dibawah UMS (Upah Minimum Sektoral) dengan para buruh dalam suatu Perjanjian Bersama? Untuk antisipasi saja, kalau-kalau nantinya buruh itu sendiri yang kemudian mencoba memungkiri apa yang sudah disepakati dalam Perjanjian Bersama.

Dirampok / Digelapkan Karyawan, Bukanlah Force Majeour

LEGAL OPINION
Question: Sebetulnya alasan telah terjadi penggelapan barang oleh pegawai di gudang, apa bisa jadi alasan untuk menghindari pembayaran pada pemasok? Maksudnya, apakah bisa kejadian semacam itu dikategorikan sebagai keadaan kahar sehingga dapat terbebas dari beban kewajiban untuk membayar pada suplier perusahaan?

Pidana Sengaja Membawa Senjata Tajam

LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya apa memang tidak ada ancaman hukumannya, bila seseorang mengacung-acungkan senjata tajam ke warga negara lain untuk tujuan sekadar mengancam ataupun untuk tujuan memang untuk membunuh?

Masuk Kerja Namun Tidak Melakukan Pekerjaan

LEGAL OPINION
Question: Itu apa nama hukumnya, jika buruh ada masuk kerja, namun tidak melakukan pekerjaan apapun, juga tidak mau menuruti perintah atasan? Kami menyebutnya sebagai “setoran wajah” saja. Bagaimana pandangan hukumnya atas kejadian semacam itu?

Gugatan PHK Disertai Tuntutan Pengosongan Rumah Karyawan

LEGAL OPINION
Question: Kalau buruh masih menempati rumah dinas dan rencananya akan dipecat, apakah untuk menuntut agar rumah dikosongkan, harus ke PN (Pengadilan Negeri) atau bisa juga di PHI (Pengadilan Hubungan Industrial)?

Sifat Putusan Pengadilan Hubungan Industrial, Kompensasi bagi Pekerja

LEGAL OPINION
Question: Ada pegawai yang sudah bikin fraud sehingga rugikan perusahaan, mau dipecat sekaligus dituntut ganti-rugi, di PHI bisa?

Perintah Bongkar tidak dapat terhadap Rumah ber-IMB

LEGAL OPINION
Question: Banyak tetangga saya rubuhkan dan dirikan ulang rumah mereka dari baru, tapi tidak ada IMB-nya. Selama ini pemerintah juga tampaknya tidak hirau akan hal-hal yang seolah sudah dilumrahkan terjadi. Yang jadi pertanyaan, jadi apa lagi urgensinya untuk berniat mengajukan IMB, jika bisa bangun tanpa IMB dalam praktiknya seperti yang selama ini terjadi saja dibiarkan pemerintah?

Kematian & Kelahiran Kembali Profesi Hukum

ARTIKEL HUKUM
Benarkah profesi hukum memasuki masa suram dan kematiannya pada era otomatisasi digital proses hukum yang menjelma mekanistis seperti proses “input” dan “output” sebuah mesin robotik dalam merangkai dan merakit produk berhukum? Jawabannya, mungkin “ya”, dan bisa juga “tidak”, bergantung sepenuhnya bagaimana kita memandang serta menyikapinya.
Namun wacana dan persepsi demikian bukanlah kemustahilan, namun menjelma niscaya, sehingga patut kita sikapi secara arif untuk mulai mengantisipasi sekaligus menyambutnya secara rasional sekaligus aktual. Simak kecemasan kalangan profesi hukum terkait prospek sarjana hukum dimasa yang akan datang, dalam artikel horror bertajuk “Artificial Intelligence dalam Industri Hukum, Menyongsong Masa Depan Dunia Hukum Tanpa Hakim dan Lawyer?”, sebagaimana dikutip dari http: //www.hukumonline. com/berita/baca/lt5ac7289c0b372/artificial-intelligence-dalam-industri-hukum--menyongsong-masa-depan-dunia-hukum-tanpa-hakim-dan-lawyer (diakses tanggal 8 April 2018):
Tantangan bagi sarjana hukum untuk mampu beradaptasi dan berinovasi dengan kemajuan teknologi. (oleh: Normand Edwin Elnizar)
Bayangkan masa depan dunia hukum dimana peradilan dilakukan tanpa kehadiran fisik para pihak di ruang pengadilan karena cukup secara telekonfrensi. Kontrak bisnis bersama-sama disusun mandiri oleh para pihak dalam sambungan internet di depan komputer. Bahkan perusahaan tidak lagi mempekerjakan orang untuk divisi hukum. Dalam kondisi itu, posisi hakim dan lawyer tidak lagi dijalankan sosok manusia bergelar sarjana hukum melainkan artificial intelligence.
Kemajuan teknologi di era revolusi industri 4.0 telah mengubah cara orang-orang di era digital berinteraksi dengan hukum. Tidak hanya memaksa regulator mengubah pendekatannya, para profesional hukum dan aparat penegak hukum pun harus beradaptasi. Ada 3 sebab yang dikemukakan oleh Hakim Aedit Abdullah dari Mahkamah Agung Singapura: kehadiran artificial intelligence, komodifikasi hukum, dan semakin mudahnya komunikasi.
Mewakili otoritas hukum Singapura, Abdullah menjelaskan kepada hadirin Techlaw.Fest 2018, Kamis (5/4), di Suntec Singapore Convention & Exhibition Centre bahwa mungkin suatu saat para pihak yang berperkara tidak lagi membutuhkan advokat sebagai penyedia jasa layanan hukum. Pengguna jasa advokat selama ini mulai dari konsultasi hukum, pembuatan kontrak bisnis, hingga beracara dalam perkara di pengadilan kelak bisa memilih beragam artificial intelligence untuk industri hukum yang saat ini marak dikembangkan.
Sebelumnya hukum terasa rumit bagi banyak orang awam. Kehadiran konsultan hukum sangat dibutuhkan bagi mereka yang berurusan dengan segala urusan hukum. Namun saat ini telah tersedia artificial intelligence yang menampung segala algoritma logika hukum untuk memberikan opini atas beragam situasi hukum. Tersedia pula artificial intelligence yang mampu menyusun rancangan kontrak lengkap cukup dengan memproses input data-data syarat dan ketentuan dari para pihak.
Abdullah menambahkan bahwa ada kenyataan lain soal komodifikasi dimana jasa hukum diperlakukan lebih sebagai komoditas alih-alih upaya memperoleh keadilan. Pengguna jasa hukum mencari efisiensi dalam biaya yang harus dikeluarkan dan efektifitas atas kebutuhannya. Menggunakan jasa lawyer mungkin tidak lagi menarik jika artificial intelligence sudah cukup memenuhinya.
Pada saat yang sama, beragam sistem hukum dunia yang tergabung dalam keluarga hukum besar semakin konsisten menyamakan asas-asas hingga model normatifnya. Hal ini memudahkan komunikasi untuk mencapai kesepahaman atas beragam urusan hukum yang terjadi lintas yurisdiksi.
“Misalnya keluarga hukum common law, tidak ada kebutuhan lagi menggunakan jasa lawyer Inggris karena di Singapura sudah ada lawyer yang memahaminya. Nah ditambah saat ini ada artificial intelligence, ada teknologi hukum berbasis internet, 10 tahun kedepan kita di Singapura mungkin sudah bisa berperkara tanpa lawyer,” katanya.
Abdullah membayangkan kecanggihan teknologi ini akan membuat akses terhadap hukum tidak hanya makin mudah namun hanya makin murah. “Saya kira ini sangat baik untuk sistem hukum, membantu lebih banyak orang, tapi buruk bagi lawyer,” lanjutnya.
Secara umum, selain jasa layanan hukum yang kompleks dan masih membutuhkan ‘sentuhan manusia’, akan banyak pekerjaan lawyer yang bisa diambil alih oleh artificial intelligent.
Seng Siew Lim, advokat dari OTP Law Corporation menambahkan bahwa masa depan semacam itu juga akan dihadapi oleh hakim. Dengan teknologi big data yang mampu menganalisis kompleksitas informasi, artificial intelligent juga diprediksinya kelak mampu menggantikan peran hakim dalam memutus perkara.
“Segera kita akan menghadapi mesin yang bisa memutuskan mana yang benar dalam sengketa hukum,” katanya.
Apalagi pekerjaan hakim jauh lebih monoton ketimbang variasi jasa layanan hukum yang ditawarkan oleh lawyer. Lim menampik bahwa hanya advokat yang kelak tidak lagi akan dibutuhkan, namun juga hakim di pengadilan.
Dalam mempersiapkan masa depan profesi hukum di era revolusi industri 4.0 Lim juga mengingatkan lebih jauh soal kemungkinan semakin minimnya prospek pekerjaan bagi mahasiswa hukum.”
Apa yang diulas oleh para pembicara diatas, bukanlah isapan jempol. Profesi jasa hukum akan dapat diambil alih peran sebuah robot. Itulah tepatnya sistem database yang kini kian disempurnakan oleh SHIETRA & PARTNERS dan menjadi salah satu jenis layanan yang ditawakan hukum-hukum.com bagi pengguna jasa “membership” kami yang berminat untuk mengakses secara penuh berbagai database kami, disertai fitur build in seacrh engine didalamnya, maka bekonsultasi seputar hukum semudah memasukkan pertanyaan dalam kolom pencarian, maka jawaban pun dapat dipaparkan seketika itu juga.
Namun sebanyak apapun database terkomputerisasi yang mampu diwujudkan, tetap terdapat keterbasan tertentu yang menjadi kodrat sebuah “robot”. Betul bahwa inovasi adalah terobosan paling penting dalam bisnis dimasa mendatang, ditengah tawaran layanan jasa yang kian kompetitif dan mengerucut, namun terdapat sebuah hal yang gagal untuk diangkat dalam wacana tersebut diatas.
Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis akan mengangkat topik perihal perbedaan antara profesi “robot yang hafal seluruh regulasi hukum” dan seorang “analis hukum”. Pada dasarnya, bahasa tertulis memiliki keterbatasan. Tiada bahasa yang sempurna, terlebih bahasa tertulis bila tidak disertai bahasa tubuh dan non verbal. Kedua, tiada peraturan perundang-undangan yang telah lengkap dan sempurna. Ilmu bersifat tentatif, tidak terkecuali ilmu hukum yang terus berkembang sesuai dinamika masyarakat.
Sudah menjadi rahasia umum, berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia saling tumpang-tindih dan kontradiktif satu sama lain. Bila sebuah kecerdasan buatan atau pun robot diperintahkan untuk menjawab sebuah pertanyaan atau permasalahan hukum, maka dipastikan akan timbul jawaban : “error” akibat konflik norma atau benturan kaedah yang terkandung dalam hukum itu sendiri.
Maka hal demikian dapat terjadi? Karena peraturan perundang-undangan yang saling tumpang-tindih tersebut, hanya dapat dianalisis oleh seorang “legal analyst”, yang mampu mengkalkulasi secara logis setiap kemungkinan yang terjadi atas berbagai skenario yang mampu terjadi, untuk kemudian mengambil sikap dan keputusan lewat olah pikiran yang logis dan “bercita-rasa” tertentu. Seorang analis memiliki keterampilan dalam talenta “unik” mengkomparasi dan men-sintesa setiap input yang masuk dan diproses-olah, untuk kemudian disajikan dan diprediksi.
Seorang sarjana hukum yang mengandalkan daya ingat sebagai keunggulan yang ditawarkan dalam jasa profesinya, adalah sarjana hukum yang ironis, karena akan segera tergantikan oleh peran sebuah mesin, mesin yang mengkompilasi seluruh peraturan perundang-undangan. Fenomena demikian sudah menampakkan gejalanya.
Masyarakat tidak akan lagi membutuhkan peran sarjana hukum demikian, karena fungsinya telah tergantikan sebuah mesin robotik secara lebih akurat, lebih efisien, disamping lebih efektif. Kematian bagi profesi hukum semacam demikian, si “jago menghafal”, dengan sendirinya hanya tinggal menunggu waktu.
Betul bahwa kurikulum pendidikan tinggi hukum di Tanah Air masih sebatas mencetak Sarjana Hukum “jago hafalan”, namun tidak pernah masuk dalam esensi perihal kemampuan untuk bersikap kritis dan menganalisa. Kelak, masyarakat cukup berbekal sebuah cakram disk berisi jutaan gigabyte data, dan dalam sekejap seluruh pertanyaan hukumnya akan terjawab dalam hitungan detik, semudah mengetikkan sejumlah kata pada tuts keyboard.
Profesi pengacara pun akan berangsur-angsur surut dan menjelang ajal, karena siapa anggota masyarakat dapat dengan mudah menyusun surat gugatannya sendiri, lengkap dengan segenap preseden yang mampu dirujuk dan dikutipnya. Draf kontrak baku pun bukan lagi hal sukar untuk dihimpun dan ditemukan serta diakses oleh publik untuk ditiru dan direproduksi secara massal.
Maka, apa lagi yang tersisa dari profesi bagi mereka yang berlatar belakang Sarjana Hukum? Era kematian dan kegelapan bagi Sarjana Hukum “jago hafal”, tidak dapat dihindari, hanya menunggu waktu untuk tenggelam secara perlahan. Arus informasi tidak lagi mampu dibendung di era digital ini, sama seperti tenggelamnya bisnis kartu pos yang digantikan surat elektronik.
Profesi sarjana hukum hanya pernah memasuki masa keemasan ketika era digitalisasi masih terbuka bagi sebagian kalangan tertentu saja beberapa dekade lampau. Dua dekade lampau, Surat Edaran Mahkamah Agung adalah salah satu contoh regulasi yang amat sukar didapatkan oleh publik. Kini, semua peraturan perundang-undangan dapat diakses oleh orang awam manapun dan dari manapun.
Masa depan jasa hukum, dengan demikian dikuasai oleh mereka yang menawarkan layanan akses database tersebut. Inovasi bagi yang membuat seorang sarjana hukum mampu bertahan di tengah gempuranpersaingan yang kian ketat dan gempuran arus teknologi informasi. Bahkan saat ini pun mulai banyak masyarakat yang maju bersidang tanpa diwakili oleh pengacara, sebuah tren yang tidak pernah terbaca oleh mereka yang demikian mendambakan untuk menjadi seorang advokat.
Perlahan namun pasti, profesi lawyer akan menuju titik-balik, kepunahan—meski tidak bisa sepenuhnya punah akibat beberapa sektor regulasi masih memberi kewenangan monopolistik bagi pengacara seperti rezim hukum kepailitan, dimana pemohon pailit wajib diwakili oleh pengacara untuk menghadap pengadilan.
Namun demikian, tanpa perlu bersikap apatis dan berkutat dalam putus asa, SHIETRA & PARTNERS akan mengungkap satu ranah hukum yang tidak mungkin dapat diambil-alih fungsi “kecerdasan buatan” manapun. Masih terbuka kesempatan berkarir sebagai Sarjana Hukum saat kini maupun dimasa mendatang.
Ilustrasi berikut dapat menjadi simulasi sederhana testing terhadap pembaca yang berlatar belakang hukum, untuk menguji apakah kita mampu survive dalam era tantangan masa depan profesi hukum. Mari kita simak dan mulai simulasi konkret berikut:
Pasal 144 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU PT):
(1) Direksi, Dewan Komisaris atau 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, dapat mengajukan usul pembubaran Perseroan kepada RUPS.
(2) Keputusan RUPS tentang pembubaran Perseroan sah apabila diambil sesuai dengan keten tuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dan Pasal 89.
(3) Pembubaran Perseroan dimulai sejak saat yang ditetapkan dalam keputusan RUPS.”
Pasal 146 Ayat (1) UU PT:
Pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan atas:
a. permohonan kejaksaan berdasarkan alasan Perseroan melanggar kepentingan umum atau Perseroan melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan;
b. permohonan pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan adanya cacat hukum dalam akta pendirian;
c. permohonan pemegang saharn, Direksi atau Dewan Komisaris berdasarkan alasan Perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan.”
Siapakah yang dimaksud dengan “pihak yang berkepentingan”? Tidak dijtelaskan oleh undang-undang. Namun bila isu hukumnya ialah perihal cacat hukum akta pendirian, merujuk Pasal 33 UU PT:
(1) Paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 harus ditempatkan dan disetor penuh.
(2) Modal ditempatkan dan disetor penuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah.
(3) Pengeluaran saham lebih lanjut yang dilakukan setiap kali untuk menambah modal yang ditempatkan harus disetor penuh.”
Penjelasan Resmi Pasal 33 UU PT:
(2) Yang dimaksud dengan ‘bukti penyetoran yang sah’, antara lain bukti setoran pemegang saham ke dalam rekening bank atas nama Perseroan, data dari laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan, atau neraca Perseroan yang ditanda-tangani oleh Direksi dan Dewan Komisaris.
(3) Ketentuan ini menegaskan bahwa tidak dimungkinkan penyetoran atas saham dengan cara mengangsur.”
Pertanyaannya, apakah artinya salah satu pemegang saham, kemudian dapat begitu saja dibenarkan mengajukan pembubaran perseroan dengan alasan saat pendirian tidak terjadi setoran modal dasar secara konkret, namun baru beberapa tahun kemudian modal dasar disetorkan oleh pendiri. Keadaan aktualnya, perseroan telah berdiri belasan tahun, dimana asetnya saat kini telah mencapai jauh diatas modal dasar.
Apa yang kemudian menjadi jawaban dari “sarjana hukum robot”? Kecerdasan buatan sebuah robot, hanya mampu memberi jawaban: “Bubar karena adanya cacat hukum dalam akta pendirian.” Titik, hanya sampai disitu dan sejauh itu saja kemampuan dari kecerdasan buatan, tanpa cita-rasa apapun.
Seorang analis hukum, akan secara tegas menyatakan: ketentuan diatas tidak dapat diimplementasi secara kaku / membuta, mengingat: salah pemegang saham tersebut telah turut menikmati jalannya operasional perseroan, perseroan kini telah memiliki aset yang jauh melampaui modal dasar, pemegang saham mengetahui sejarah pendirian perseroan dan turut terlibat dalam pendirian dan perihal penyetoran (ada kontribusi kesalahan sehingga tidak patut menggugat kekeliruan pihak penggugat sendiri selaku pendiri), perseroan telah berdiri selama belasan tahun dan selama ini RUPS tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut, dan TIADA KERUGIAN BAGI PIHAK KETIGA ATAU PIHAK MANAPUN. Disamping: moral hazard bila perseroan sampai dibubarkan hanya karena alasan sepele.
Bila Anda mampu menjawab persis seperti uraian tersebut diatas, maka “selamat” untuk Anda, bahwa Anda akan mampu survive dimasa mendatang sebagai profesional hukum. Seorang analis tidak menyerah atau bersikap pasrah dan tunduk begitu saja secara membuta dan membeo pada bunyi ketentuan berbagai peraturan perundang-undangan yang mungkin saja mengandung cacat falsafah. Seorang analis, sesuai nama perannya, melakukan analisa dan olah data serta olah rasio. Kalkulasi rasio itulah yang menjadi ciri khas kecerdasan manusia yang bersifat “unik” dan tidak tergantikan.
Sepanjang kita memahami dengan baik titik tumpu jasa layanan profesi hukum, maka tidak ada kematian bagi profesi hukum, yang ada ialah transformasi dan kelahiran kembali (rebirth / reborn). Seorang sarjana hukum yang kreatif menumbuhkan asa, bukan menyerah tanpa daya pada kemajuan zaman.
Tuntutan kebutuhan dunia bisnis masih terbuka lebar bagi profesi hukum di Tanah Air, sepanjang kita menghidupkan dan menumbuhkan kecerdasan manusia dalam keterampilan berhukum kita, bukan sekadar lulus sebagai Sarjana Hukum “membeo”. Masih banyak pekerjaan untuk dikerjakan oleh kalangan Sarjana Hukum yang kreatif dan terus berinovasi. Kami menyebutnya sebagai jembatan asa “keniscayaan dibalik keniscayaan”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Novum Bersifat Diluar Diri Pemohon Peninjauan Kembali

LEGAL OPINION
Question: Bisa tidak, dokumen buatan terdakwa dijadikan sebagai alat bukti baru atau novum dalam permohonan peninjauan kembali kasus pidana? Masalahnya jaksa pakai dokumen tulisan tangan terdakwa untuk menuntut diri terdakwa, padahal coret-coret tulisan tangan itu hanya dibuat terdakwa untuk berimajinasi dan berandai-andai perihal kalkulasi finansial, bukan dimaksudkan sebagai perhitungan keadaan laporan real keuangan perusahaan. Kemungkinan besar juga kertas tulisan tangan itu, didapat jaksa dari tong sampah kantor perusahaan.

Kurang Pihak dalam Gugatan Perkara Tanah

LEGAL OPINION
Question: Biasanya dalam pokok permintaan di gugatan (petitum) maupun amar putusan hakim masalah hukum tanah, ada bunyi seperti ini: “Menghukum Tergugat atau pihak ketiga terkait objek sengketa yang mendapat hak diatasnya, untuk mengosongkan objek sengketa”. Artinya apa itu “pihak ketiga”? Apa artinya juga memang bisa, putusan perkara tanah itu mengikat orang lain yang tidak kita kenal atau bahkan tidak ikut digugat dalam suatu gugatan terkait tanah?

Pekerja Dituduh Melanggar SOP Meski Perusahaan Tidak Memiliki SOP

LEGAL OPINION
ASAS LEGALITAS DALAM HUBUNGAN INDUSTRIAL
Question: Bagaimana hasil sengketa hukumnya, bila seandainya pegawai dituduh melanggar SOP (Standar Operation Procedure), sementara dari pihak kepala pabrik sendiri, selama ini tidak pernah mengeluarkan SOP apapun terhadap pekerjaan setiap pegawainya, atau mungkin ada tapi tidak pernah disosialisasikan ke internal pegawai perusahaan? Namun tiba-tiba dikatakan melanggar SOP. Alasan semacam itu, mengada-ngada!

Urgensi Audit Sosial dan Survey Lingkungan Pra Kontrak

LEGAL OPINION
Question: Sebagai kontraktor yang telah teken perjanjian pembangunan pabrik, namun ditengah jalan pihak pemberi kerja memutus perjanjian begitu saja, dengan alasan pembangunan tidak selesai tepat pada waktunya. Tidak kami pungkiri, namun proses pembangunan tidak bisa berlangsung sebagaimana mestinya, karena faktor eksternal adanya penolakan dari warga setempat.
Apa bisa, kami keberatan atas pemutusan kontrak sepihak demikian, dan mengklaim adanya penipuan atau cacat tersembunyi, dimana kami baru tahu jika ternyata ada penolakan dari warga setempat saat proses pembangunan dimulai?

Kupas Tuntas Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017

ARTIKEL HUKUM
Pada tanggal 19 Desember 2017, Mahkamah Agung RI kembali menerbitkan kaedah yang berlaku secara umum dengan mengikat publik layaknya “quasi undang-undang”, yakni Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2017, yang berisi berbagai kaedah hukum hasil “tambal-sulam” terhadap regulasi peraturan perundang-undangan di Tanah Air yang penuh dengan “lubang” dan “simpang-siur” antar regulasi—meski ironisnya, disaat bersamaan SEMA terbitan MA RI juga tidak kalah tambal-sulam terhadap SEMA-SEMA sebelumnya—bagai sedang bereksprerimen, dengan nasib rakyat banyak sebagai taruhannya.
Tidak tinggal diam menghadapi berbagai ketidak-lengkapan dan ketidak-sempurnaan regulasi yang ada, Mahkamah Agung kembali masuk dalam ranah “pesudo legislatif”, dengan menerbitkan:

SEMA Nomor 01 Tahun 2018 tentang Larangan Pengajuan Praperadilan Bagi Tersangka yang Melarikan Diri atau Sedang dalam Status Daftar Pencarian Orang

ARTIKEL HUKUM
Hukum bukanlah alat legitimasi bagi seorang spekulan, karena hukum hanya memberi perlindungan bagi warga negara yang menunjukkan itikad baik terhadap proses hukum. Mungkin itulah esensi dari pembahasan dalam artikel ini, tekait Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2018 tentang Larangan Pengajuan Praperadilan Bagi Tersangka yang Melarikan Diri atau Sedang dalam Status Daftar Pencarian Orang (DPO), yang diterbikan pada tanggal 23 Maret 2018, yang ditujukan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia.
Untuk selengkapnya, mari kita simak selengkapnya substansi dari SEMA No. 1 Tahun 2018 tersebut:

Aspek Hukum Cacat Tersembunyi Sertifikat Hak atas Tanah

LEGAL OPINION
SEKALIPUN TERDAPAT CACAT TERSEMBUNYI PADA OBJEK JUAL-BELI TANAH DAN PENJUAL TELAH DIPIDANA PENJARA, PEMBELI YANG BERITIKAD BAIK DILINDUNGI OLEH HUKUM
Question: Ini hakim bilang, sekalipun kalau kita tidak tahu ada cacat di sertifikat tanah yang kita beli, ketidak-tahuan itu katanya tidak bisa jadi alasan pembenar untuk kuasai tanah yang sudah kita beli. Pertanyaannya, gimana bisa kita tahu apa ada cacat atau tidaknya, pada sertifikat tanah yang resmi dikeluarkan oleh instansi BPN, dan jual-beli di hadapan notaris pula? Buat apa ada setifikat tanah, kalau begitu caranya?

Performance Bond sebagai Instrumen Garansi yang Mengikat

LEGAL OPINION
Question: Sebetulnya kalau calon rekan bisnis menjanjikan diberi “performance bond”, apa artinya sudah benar-benar aman, atau musti direpotkan oleh segala tetek-bengek untuk menuntut pencairan ganti-rugi, bila pihak rekanan ternyata ingkar janji dikemudian hari? Katakan, seandainya nanti rekanan benar-benar tidak melaksanakan perjanjian, maka yang dituntut itu siapa, si rekanan yang memberi garansi, atau perusahaan asuransi yang menerbitkan polis performance bond? Apa bisa, perusahaan penerbit polis hanya mau mencairkan separuh dari nilai klaim dalam performance bond, dengan alasan si rekan bisnis telah melaksanakan pengerjaan mencapai 50% dari total proyek?

Antara Kehilangan & Menghilangkan Mobil Jaminan Fidusia

LEGAL OPINION
Question: Beli mobil dengan leasing ke perusahaan pembiayaan, lalu saat cicilan mobil belum lunas, ternyata mobil itu dibawa lari oleh supir. Masak, saya yang dituntut pidana fidusia? Kalau mau, tangkap dulu itu supir yang melarikan diri dan melarikan mobil leasing, baru bisa bilang saya sudah langgar hukum atau dia si supir ini yang langgar hukum.

Konsekuensi Hukum Suami Menjual Harta Gono-Gini Tanpa Persetujuan Istri

LEGAL OPINION
Question: Apa setiap kali mau bayar pembelian barang, harus dapat persetujuan istri? Letih sekali, jika harus ada didampingi istri setiap hari jam kerja untuk tanda-tangan pengeluaran kas bon. Masak juga kalau ada pembeli, pembeli itu harus dituntut bukti apakah ada persetujuan istri untuk membayar? Memangnya aturan hukum tentang harta gono-gini, itu seperti apa?
Lalu juga bagaimana, jika saat tanda-tangan akad kredit, istri ikut tanda-tangan. Lalu ketika mau jadikan tanah kami sebagai jaminan hutang, apa masih harus ajak istri juga? Apa sekaku itu? Bisa kabur nanti pelanggan kalau ditanya-tanya soal kehidupan rumah-tangganya, apa nikahnya sah, apa ada pisah harta, ribet.

Pemegang Saham Nominee, Tidak Punya Hak Suara

LEGAL OPINION
KIAT MENGATASI PENYALAHGUNAAN MANDATORY CONVERTIBLE BOND OLEH PEMEGANG SAHAM MAYORITAS
TELAAH YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG SAHAM MINORITAS
Question: Sebagai pemegang saham yang punya share perseroan sebesar 20%, maka kedudukan saya adalah pemegang saham minoritas. Yang saya permasalahkan, ternyata pemegang saham mayoritas yang memegang 80% share, adalah seorang nominee yang punya “nominee agreement” dengan seseorang dibalik layar.
Setelah diselidiki, ternyata orang yang berada dibalik layar yang punya perjanjian nominee saham itu, duduk atau menjabat pula secara merangkap sebagai direktur perusahaan. Itu bagaimana hukumnya? Jelas-lah, segala kekotoran pengelolaan perusahaan seketika itu juga dilegitimasi oleh pemegang saham nominee yang dikendalikan oleh orang yang sama.
Baru-baru ini mereka berniat mengadakan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) dengan agenda acara peningkatan modal dasar dengan menerbitkan saham baru berbentuk obligasi yang dikonversi menjadi saham. Apa ada yang harus saya waspadai, yang tampaknya ada gelagat terselubung dibalik rencana itu, karena saat ini kondisi kami mulai timbul percikan dispute?