ARTIKEL HUKUM
Benarkah profesi hukum memasuki masa suram dan kematiannya pada era otomatisasi digital proses hukum yang menjelma mekanistis seperti proses “input” dan “output” sebuah mesin robotik dalam merangkai dan merakit produk berhukum? Jawabannya, mungkin “ya”, dan bisa juga “tidak”, bergantung sepenuhnya bagaimana kita memandang serta menyikapinya.
Namun wacana dan persepsi demikian bukanlah kemustahilan, namun menjelma niscaya, sehingga patut kita sikapi secara arif untuk mulai mengantisipasi sekaligus menyambutnya secara rasional sekaligus aktual. Simak kecemasan kalangan profesi hukum terkait prospek sarjana hukum dimasa yang akan datang, dalam artikel horror bertajuk “Artificial Intelligence dalam Industri Hukum, Menyongsong Masa Depan Dunia Hukum Tanpa Hakim dan Lawyer?”, sebagaimana dikutip dari http: //www.hukumonline. com/berita/baca/lt5ac7289c0b372/artificial-intelligence-dalam-industri-hukum--menyongsong-masa-depan-dunia-hukum-tanpa-hakim-dan-lawyer (diakses tanggal 8 April 2018):
Tantangan bagi sarjana hukum untuk mampu beradaptasi dan berinovasi dengan kemajuan teknologi. (oleh: Normand Edwin Elnizar)
Bayangkan masa depan dunia hukum dimana peradilan dilakukan tanpa kehadiran fisik para pihak di ruang pengadilan karena cukup secara telekonfrensi. Kontrak bisnis bersama-sama disusun mandiri oleh para pihak dalam sambungan internet di depan komputer. Bahkan perusahaan tidak lagi mempekerjakan orang untuk divisi hukum. Dalam kondisi itu, posisi hakim dan lawyer tidak lagi dijalankan sosok manusia bergelar sarjana hukum melainkan artificial intelligence.
Kemajuan teknologi di era revolusi industri 4.0 telah mengubah cara orang-orang di era digital berinteraksi dengan hukum. Tidak hanya memaksa regulator mengubah pendekatannya, para profesional hukum dan aparat penegak hukum pun harus beradaptasi. Ada 3 sebab yang dikemukakan oleh Hakim Aedit Abdullah dari Mahkamah Agung Singapura: kehadiran artificial intelligence, komodifikasi hukum, dan semakin mudahnya komunikasi.
Mewakili otoritas hukum Singapura, Abdullah menjelaskan kepada hadirin Techlaw.Fest 2018, Kamis (5/4), di Suntec Singapore Convention & Exhibition Centre bahwa mungkin suatu saat para pihak yang berperkara tidak lagi membutuhkan advokat sebagai penyedia jasa layanan hukum. Pengguna jasa advokat selama ini mulai dari konsultasi hukum, pembuatan kontrak bisnis, hingga beracara dalam perkara di pengadilan kelak bisa memilih beragam artificial intelligence untuk industri hukum yang saat ini marak dikembangkan.
Sebelumnya hukum terasa rumit bagi banyak orang awam. Kehadiran konsultan hukum sangat dibutuhkan bagi mereka yang berurusan dengan segala urusan hukum. Namun saat ini telah tersedia artificial intelligence yang menampung segala algoritma logika hukum untuk memberikan opini atas beragam situasi hukum. Tersedia pula artificial intelligence yang mampu menyusun rancangan kontrak lengkap cukup dengan memproses input data-data syarat dan ketentuan dari para pihak.
Abdullah menambahkan bahwa ada kenyataan lain soal komodifikasi dimana jasa hukum diperlakukan lebih sebagai komoditas alih-alih upaya memperoleh keadilan. Pengguna jasa hukum mencari efisiensi dalam biaya yang harus dikeluarkan dan efektifitas atas kebutuhannya. Menggunakan jasa lawyer mungkin tidak lagi menarik jika artificial intelligence sudah cukup memenuhinya.
Pada saat yang sama, beragam sistem hukum dunia yang tergabung dalam keluarga hukum besar semakin konsisten menyamakan asas-asas hingga model normatifnya. Hal ini memudahkan komunikasi untuk mencapai kesepahaman atas beragam urusan hukum yang terjadi lintas yurisdiksi.
“Misalnya keluarga hukum common law, tidak ada kebutuhan lagi menggunakan jasa lawyer Inggris karena di Singapura sudah ada lawyer yang memahaminya. Nah ditambah saat ini ada artificial intelligence, ada teknologi hukum berbasis internet, 10 tahun kedepan kita di Singapura mungkin sudah bisa berperkara tanpa lawyer,” katanya.
Abdullah membayangkan kecanggihan teknologi ini akan membuat akses terhadap hukum tidak hanya makin mudah namun hanya makin murah. “Saya kira ini sangat baik untuk sistem hukum, membantu lebih banyak orang, tapi buruk bagi lawyer,” lanjutnya.
Secara umum, selain jasa layanan hukum yang kompleks dan masih membutuhkan ‘sentuhan manusia’, akan banyak pekerjaan lawyer yang bisa diambil alih oleh artificial intelligent.
Seng Siew Lim, advokat dari OTP Law Corporation menambahkan bahwa masa depan semacam itu juga akan dihadapi oleh hakim. Dengan teknologi big data yang mampu menganalisis kompleksitas informasi, artificial intelligent juga diprediksinya kelak mampu menggantikan peran hakim dalam memutus perkara.
“Segera kita akan menghadapi mesin yang bisa memutuskan mana yang benar dalam sengketa hukum,” katanya.
Apalagi pekerjaan hakim jauh lebih monoton ketimbang variasi jasa layanan hukum yang ditawarkan oleh lawyer. Lim menampik bahwa hanya advokat yang kelak tidak lagi akan dibutuhkan, namun juga hakim di pengadilan.
Dalam mempersiapkan masa depan profesi hukum di era revolusi industri 4.0 Lim juga mengingatkan lebih jauh soal kemungkinan semakin minimnya prospek pekerjaan bagi mahasiswa hukum.”
Apa yang diulas oleh para pembicara diatas, bukanlah isapan jempol. Profesi jasa hukum akan dapat diambil alih peran sebuah robot. Itulah tepatnya sistem database yang kini kian disempurnakan oleh SHIETRA & PARTNERS dan menjadi salah satu jenis layanan yang ditawakan hukum-hukum.com bagi pengguna jasa “membership” kami yang berminat untuk mengakses secara penuh berbagai database kami, disertai fitur build in seacrh engine didalamnya, maka bekonsultasi seputar hukum semudah memasukkan pertanyaan dalam kolom pencarian, maka jawaban pun dapat dipaparkan seketika itu juga.
Namun sebanyak apapun database terkomputerisasi yang mampu diwujudkan, tetap terdapat keterbasan tertentu yang menjadi kodrat sebuah “robot”. Betul bahwa inovasi adalah terobosan paling penting dalam bisnis dimasa mendatang, ditengah tawaran layanan jasa yang kian kompetitif dan mengerucut, namun terdapat sebuah hal yang gagal untuk diangkat dalam wacana tersebut diatas.
Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis akan mengangkat topik perihal perbedaan antara profesi “robot yang hafal seluruh regulasi hukum” dan seorang “analis hukum”. Pada dasarnya, bahasa tertulis memiliki keterbatasan. Tiada bahasa yang sempurna, terlebih bahasa tertulis bila tidak disertai bahasa tubuh dan non verbal. Kedua, tiada peraturan perundang-undangan yang telah lengkap dan sempurna. Ilmu bersifat tentatif, tidak terkecuali ilmu hukum yang terus berkembang sesuai dinamika masyarakat.
Sudah menjadi rahasia umum, berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia saling tumpang-tindih dan kontradiktif satu sama lain. Bila sebuah kecerdasan buatan atau pun robot diperintahkan untuk menjawab sebuah pertanyaan atau permasalahan hukum, maka dipastikan akan timbul jawaban : “error” akibat konflik norma atau benturan kaedah yang terkandung dalam hukum itu sendiri.
Maka hal demikian dapat terjadi? Karena peraturan perundang-undangan yang saling tumpang-tindih tersebut, hanya dapat dianalisis oleh seorang “legal analyst”, yang mampu mengkalkulasi secara logis setiap kemungkinan yang terjadi atas berbagai skenario yang mampu terjadi, untuk kemudian mengambil sikap dan keputusan lewat olah pikiran yang logis dan “bercita-rasa” tertentu. Seorang analis memiliki keterampilan dalam talenta “unik” mengkomparasi dan men-sintesa setiap input yang masuk dan diproses-olah, untuk kemudian disajikan dan diprediksi.
Seorang sarjana hukum yang mengandalkan daya ingat sebagai keunggulan yang ditawarkan dalam jasa profesinya, adalah sarjana hukum yang ironis, karena akan segera tergantikan oleh peran sebuah mesin, mesin yang mengkompilasi seluruh peraturan perundang-undangan. Fenomena demikian sudah menampakkan gejalanya.
Masyarakat tidak akan lagi membutuhkan peran sarjana hukum demikian, karena fungsinya telah tergantikan sebuah mesin robotik secara lebih akurat, lebih efisien, disamping lebih efektif. Kematian bagi profesi hukum semacam demikian, si “jago menghafal”, dengan sendirinya hanya tinggal menunggu waktu.
Betul bahwa kurikulum pendidikan tinggi hukum di Tanah Air masih sebatas mencetak Sarjana Hukum “jago hafalan”, namun tidak pernah masuk dalam esensi perihal kemampuan untuk bersikap kritis dan menganalisa. Kelak, masyarakat cukup berbekal sebuah cakram disk berisi jutaan gigabyte data, dan dalam sekejap seluruh pertanyaan hukumnya akan terjawab dalam hitungan detik, semudah mengetikkan sejumlah kata pada tuts keyboard.
Profesi pengacara pun akan berangsur-angsur surut dan menjelang ajal, karena siapa anggota masyarakat dapat dengan mudah menyusun surat gugatannya sendiri, lengkap dengan segenap preseden yang mampu dirujuk dan dikutipnya. Draf kontrak baku pun bukan lagi hal sukar untuk dihimpun dan ditemukan serta diakses oleh publik untuk ditiru dan direproduksi secara massal.
Maka, apa lagi yang tersisa dari profesi bagi mereka yang berlatar belakang Sarjana Hukum? Era kematian dan kegelapan bagi Sarjana Hukum “jago hafal”, tidak dapat dihindari, hanya menunggu waktu untuk tenggelam secara perlahan. Arus informasi tidak lagi mampu dibendung di era digital ini, sama seperti tenggelamnya bisnis kartu pos yang digantikan surat elektronik.
Profesi sarjana hukum hanya pernah memasuki masa keemasan ketika era digitalisasi masih terbuka bagi sebagian kalangan tertentu saja beberapa dekade lampau. Dua dekade lampau, Surat Edaran Mahkamah Agung adalah salah satu contoh regulasi yang amat sukar didapatkan oleh publik. Kini, semua peraturan perundang-undangan dapat diakses oleh orang awam manapun dan dari manapun.
Masa depan jasa hukum, dengan demikian dikuasai oleh mereka yang menawarkan layanan akses database tersebut. Inovasi bagi yang membuat seorang sarjana hukum mampu bertahan di tengah gempuranpersaingan yang kian ketat dan gempuran arus teknologi informasi. Bahkan saat ini pun mulai banyak masyarakat yang maju bersidang tanpa diwakili oleh pengacara, sebuah tren yang tidak pernah terbaca oleh mereka yang demikian mendambakan untuk menjadi seorang advokat.
Perlahan namun pasti, profesi lawyer akan menuju titik-balik, kepunahan—meski tidak bisa sepenuhnya punah akibat beberapa sektor regulasi masih memberi kewenangan monopolistik bagi pengacara seperti rezim hukum kepailitan, dimana pemohon pailit wajib diwakili oleh pengacara untuk menghadap pengadilan.
Namun demikian, tanpa perlu bersikap apatis dan berkutat dalam putus asa, SHIETRA & PARTNERS akan mengungkap satu ranah hukum yang tidak mungkin dapat diambil-alih fungsi “kecerdasan buatan” manapun. Masih terbuka kesempatan berkarir sebagai Sarjana Hukum saat kini maupun dimasa mendatang.
Ilustrasi berikut dapat menjadi simulasi sederhana testing terhadap pembaca yang berlatar belakang hukum, untuk menguji apakah kita mampu survive dalam era tantangan masa depan profesi hukum. Mari kita simak dan mulai simulasi konkret berikut:
Pasal 144 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU PT):
(1) Direksi, Dewan Komisaris atau 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, dapat mengajukan usul pembubaran Perseroan kepada RUPS.
(2) Keputusan RUPS tentang pembubaran Perseroan sah apabila diambil sesuai dengan keten tuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dan Pasal 89.
(3) Pembubaran Perseroan dimulai sejak saat yang ditetapkan dalam keputusan RUPS.”
Pasal 146 Ayat (1) UU PT:
“Pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan atas:
a. permohonan kejaksaan berdasarkan alasan Perseroan melanggar kepentingan umum atau Perseroan melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan;
b. permohonan pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan adanya cacat hukum dalam akta pendirian;
c. permohonan pemegang saharn, Direksi atau Dewan Komisaris berdasarkan alasan Perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan.”
Siapakah yang dimaksud dengan “pihak yang berkepentingan”? Tidak dijtelaskan oleh undang-undang. Namun bila isu hukumnya ialah perihal cacat hukum akta pendirian, merujuk Pasal 33 UU PT:
(1) Paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 harus ditempatkan dan disetor penuh.
(2) Modal ditempatkan dan disetor penuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah.
(3) Pengeluaran saham lebih lanjut yang dilakukan setiap kali untuk menambah modal yang ditempatkan harus disetor penuh.”
Penjelasan Resmi Pasal 33 UU PT:
(2) Yang dimaksud dengan ‘bukti penyetoran yang sah’, antara lain bukti setoran pemegang saham ke dalam rekening bank atas nama Perseroan, data dari laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan, atau neraca Perseroan yang ditanda-tangani oleh Direksi dan Dewan Komisaris.
(3) Ketentuan ini menegaskan bahwa tidak dimungkinkan penyetoran atas saham dengan cara mengangsur.”
Pertanyaannya, apakah artinya salah satu pemegang saham, kemudian dapat begitu saja dibenarkan mengajukan pembubaran perseroan dengan alasan saat pendirian tidak terjadi setoran modal dasar secara konkret, namun baru beberapa tahun kemudian modal dasar disetorkan oleh pendiri. Keadaan aktualnya, perseroan telah berdiri belasan tahun, dimana asetnya saat kini telah mencapai jauh diatas modal dasar.
Apa yang kemudian menjadi jawaban dari “sarjana hukum robot”? Kecerdasan buatan sebuah robot, hanya mampu memberi jawaban: “Bubar karena adanya cacat hukum dalam akta pendirian.” Titik, hanya sampai disitu dan sejauh itu saja kemampuan dari kecerdasan buatan, tanpa cita-rasa apapun.
Seorang analis hukum, akan secara tegas menyatakan: ketentuan diatas tidak dapat diimplementasi secara kaku / membuta, mengingat: salah pemegang saham tersebut telah turut menikmati jalannya operasional perseroan, perseroan kini telah memiliki aset yang jauh melampaui modal dasar, pemegang saham mengetahui sejarah pendirian perseroan dan turut terlibat dalam pendirian dan perihal penyetoran (ada kontribusi kesalahan sehingga tidak patut menggugat kekeliruan pihak penggugat sendiri selaku pendiri), perseroan telah berdiri selama belasan tahun dan selama ini RUPS tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut, dan TIADA KERUGIAN BAGI PIHAK KETIGA ATAU PIHAK MANAPUN. Disamping: moral hazard bila perseroan sampai dibubarkan hanya karena alasan sepele.
Bila Anda mampu menjawab persis seperti uraian tersebut diatas, maka “selamat” untuk Anda, bahwa Anda akan mampu survive dimasa mendatang sebagai profesional hukum. Seorang analis tidak menyerah atau bersikap pasrah dan tunduk begitu saja secara membuta dan membeo pada bunyi ketentuan berbagai peraturan perundang-undangan yang mungkin saja mengandung cacat falsafah. Seorang analis, sesuai nama perannya, melakukan analisa dan olah data serta olah rasio. Kalkulasi rasio itulah yang menjadi ciri khas kecerdasan manusia yang bersifat “unik” dan tidak tergantikan.
Sepanjang kita memahami dengan baik titik tumpu jasa layanan profesi hukum, maka tidak ada kematian bagi profesi hukum, yang ada ialah transformasi dan kelahiran kembali (rebirth / reborn). Seorang sarjana hukum yang kreatif menumbuhkan asa, bukan menyerah tanpa daya pada kemajuan zaman.
Tuntutan kebutuhan dunia bisnis masih terbuka lebar bagi profesi hukum di Tanah Air, sepanjang kita menghidupkan dan menumbuhkan kecerdasan manusia dalam keterampilan berhukum kita, bukan sekadar lulus sebagai Sarjana Hukum “membeo”. Masih banyak pekerjaan untuk dikerjakan oleh kalangan Sarjana Hukum yang kreatif dan terus berinovasi. Kami menyebutnya sebagai jembatan asa “keniscayaan dibalik keniscayaan”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.