PRESS RELEASE
ORANG BIJAK MEMILIH PREVENTIF, BUKAN KURATIF
Question: Bila saya dapat menggugat dengan langsung mencari
pengacara, mengapa saya harus menyewa seorang konsultan hukum?
Brief Answer: Sebagian besar sengketa hukum, tidak perlu terjadi seandainya para pihak saling memahami hak dan kewajiban masing-masing, bukan berspekulasi seakan "kebal hukum" atau bahkan merasa sudah paling tahu tentang hukum. Jawaban yang paling singkat dan
paling sederhana ialah: bila Anda dapat menjumpai petugas kantor pajak dan
langsung membayar pajak, mengapa Anda masih juga mencari menemui seorang
Konsultan Pajak?
Jawabnya, karena petugas kantor
pajak bersikap tidak jujur dan ‘asal bunyi’ terhadap wajib pajak, yang
seharusnya tidak perlu membayar pajak dengan nominal sekian, namun secara sumir
dinyatakan wajib bayar. Fungsi utama profesi konsultan hukum, ialah jasa pemetaan fakta-fakta hukum guna memetakan potensi yang ada, kekuatan dan kelemahan, sehingga klien tidak termakan oleh dorongan emosi untuk mengajukan gugatan, guna menghindarkan klien dari kerusakan nama baik, kerugian yang tidak perlu, worthed atau tidaknya gugatan diajukan, serta untuk menghindari "digugat balik" oleh pihak lawan.
Seorang konsultan adalah
seorang ‘rekan’ bisnis dan ‘mitra’ hukum Anda, ibarat seorang ‘dokter keluarga’
yang memahami benar kedudukan dan posisi hukum, serta perjalanan hukum
kliennya. Mengapa banyak korporasi yang menggunakan jasa konsultan hukum, tidak
lain ialah untuk memberi gambaran bagaimana hukum yang berlaku di Indonesia dan
bagaimana hukum tersebut mengikat setiap warga masyarakat.
Ketika klien memahami posisi
dan kedudukan hukum dirinya, hak serta kewajiban dirinya, dengan demikian akan
banyak ‘potential loss’ yang dapat
dihindari sebagai suatu langkah antisipatif dan mitigasi bila sekalipun suatu
permasalahan hukum benar-benar terjadi. Preventif selalu menjadi pilihan ideal, karena menyesal selalu terlambat dan tidak membuat keadaan menjadi lebih baik.
PEMBAHASAN:
Dalam kesempatan ini, SHIETRA & PARTNERS akan menguraikan fungsi dan peran jasa layanan Konsultan Hukum, yang akan kami buka dengan ilustrasi singkat berikut. Suatu waktu,
seorang kreditor dari kalangan perbankan menghadapi debitor yang jatuh dalam
pailit.
Kreditor ini tidak tahu harus berbuat apa, langkah hukum apa yang tepat
untuk ditempuh, lantas membiarkan begitu saja agunan dikuasai oleh kurator
sehingga jatuh pada boedel pailit. Ketika agunan dilakukan pemberesan oleh
kurator, praktis kedudukan kreditor pemegang jaminan kebendaan, jatuh dari
posisi hukum Kreditor Separatis menjadi Kreditor Preferen belaka, sehingga
pelunasan atas piutang senilai puluhan miliar Rupiah menjadi raib dimana
kemudian hanya mendapat nilai pelunasan tidak sampai senilai miliaran Rupiah
karena harus berbagi ‘kue’ dengan para Kreditor Preferen lainnya semisal
piutang buruh tertunggak dari debitor, piutang pajak negara, dsb.
Yang kemudian terjadi, barulah diambil / ditempuh langkah kuratif,
mengajukan berbagai gugatan kepada kurator, yang berujung sia-sia karena telah
salah mengambil langkah sejak semula. Kerugian dua kali lipat, harus ditanggung
oleh sang kreditor yang kehilangan hak pelunasan atas agunan. Sang kreditor pun
mengalami kerugian besar, hapus tagihan dalam pembukuan dan mencetak kerugian
besar.
Bila saja kreditor tersebut memakai jasa konsultan hukum, setiap ‘cabang’
jalan yang dapat ditempuh dapat dipetakan, dan diberi pemahaman atas setiap
konsekuensi langkah yang akan ditempu dan dijumpai pada masing-masing jalan
yang dapat ditempuh.
Ketika masa insolvensi kepailitan tiba, jika saja Kreditor Separatis
tersebut sudah mulai start mengajukan
lelang eksekusi terhadap agunan yang dikuasainya, maka sekalipun belum laku
dalam masa insolvensi kepailitan debitor selama dua bulan, maka kedudukan
Kreditor Separatis tidak jatuh menjadi Preferen, dan tetap berwenang menguasai
agunan untuk dilelang eksekusi dimana hasil pelunasan sepenuhnya menjadi hak
pelunasan sang Kreditor Separatis.
Hanya dengan membayar fee bagi
konsultan yang tidak seberapa dibanding kerugian yang dapat dihindari, bahkan
jauh tidak seberapa dibanding upaya hukum kuratif seperti gugatan yang
semestinya dapat dihindari, maka sejatinya klien pengguna jasa konsultan hukum
adalah pihak yang sangat terbantu dan tertolong oleh jasa konsultan. Menjadi mengherankan
bila kemudian klien bersikap perhitungan dengan jasa yang telah diberikan sang
konsultan, terlebih menipu konsultannya sendiri dengan tidak membayar fee yang telah disepakati sebelumnya.
Dimanakah letak mahalnya fee
yang tidak seberapa ketimbang ‘potential
loss’ serta biaya langkah hukum
kuratif yang akan ditanggung oleh pengguna jasa? Inilah salah satu pertanyaan
lain yang kerap mengemuka dalam hubungan hukum jasa konsultasi.
Konsultan hukum menspesialisasi dirinya pada ketajaman analisa permasalahan
hukum serta riset regulasi serta kaedah hukum, sebagaimana masing-masing profesi
memiliki spesialisasi tersendiri, dimana konsultan hukum tetaplah paling
terdepan dalam penguasaan substansi hukum.
Penulis baru-baru ini mendapatkan penjelasan logis, berdasarkan
pengalaman pribadi, mengapa gugatan di Indonesia berjumlah sangat masif? Ribuan
gugatan mengalir setiap waktunya dari berbagai penjuru. Persentase paling besar
justru bersumber dari gugatan debitor kredit macet yang mana hampir
keseluruhannya ditolak oleh Majelis Hakim.
Lantas, mengapa gugatan demikian masih terus menjadi tren di pengadilan
meski tiada pokok dalil substansial dari sang debitor yang menunggak yang dapat
dibawa ke ranah meja hijau?
Penjelasan paling logis yang penulis dapati: masyarakat Indonesia cenderung
menjadi seorang spekulan, bahkan ‘ber-ju-di’. Dalam suatu kesempatan, penulis
memberi tahu klien bahwa dirinya tidak akan dapat menang sekalipun dirinya
menggugat. Namun penulis mendapati sikap ngotot untuk terus maju menggugat,
berkata pada konsultannya sendiri bahwa semua itu tergantung usaha dan hakim
yang menentukan.
Semua ini dapat terjadi akibat sikap spekulatif yang tidak objektif dalam
menyikapi sebuah perkara hukum. Sudah jelas salah, namun membuat harapan palsu
dan semu bagi dirinya sendiri, meyakini dirinya dapat menang. itulah mengapa
profesi lawyer tidak pernah sepi di Indonesia,
meski mayoritas ialah klien-klien yang hidup dalam harapan semu demikian.
Peran konsultan adalah memberi wawasan dan pemahaman secara objektif.
Fenomena di Indonesia yang penulis jumpai dalam praktik, masyarakat tidak mampu
melihat masalah hukumnya secara objektif, selalu hendak menggugat meski
sejatinya dirinya yang telah merugikan pihak lawan. Selalu tertanam asumsi
bahwa dirinya benar, dan tidak membutuhkan sesi konseling dengan seorang
konsultan.
Alhasil, alih-alih menang dalam gugatan, karena merasa lebih pintar dari
konsultan hukumnya, dirinya mengalami kekalahan pahit karena digugat balik
(rekonpensi) oleh pihak lawan yang digugatnya, dan mengalami kekahalan besar
disamping kehilangan biaya, waktu, tenaga, serta perhatian.
Peran konsultan ialah memberi edukasi kepada klien apa yang menjadi hak
dan kewajibannya, posisi hukumnya, dan dengan demikian memitigasi kerugian
lebih lanjut, disamping memberi rekomendasi hukum yang objektif. Namun
tampaknya masyarakat Indonesia lebih menyukai tipe gugat-menggugat, apapun
keadaan dan posisi dirinya, yang terpenting menggugat, tidak perduli bagaimana
akhirnya, tidak perduli bagaimana hukum yang mengatur.
Konsultan juga berperan memberi solusi praktis atas masalah hukum,
sehingga klien tidak melulu berorientasi untuk menggugat. Solusi hukum bukan
hanya lewat gugatan, namun dikenal upaya langkah mediatif, alternatif skema
langkah hukum yang dapat ditempuh, serta gambaran hukum atas masing-masing opsi
tindakan yang dapat ditempuh.
Tidak banyak masyarakat yang menyadari, bahwa putusan terbuka bagi umum,
sehingga melakukan langkah gugatan sejatinya dapat membuka aib sendiri.
Konsultan berfungsi sebagai intermediasi yang sekaligus membuka pemahaman
klien, apakah worthed bila
langkah gugatan ditempuh.
Sebenarnya bukan salah kaum pengacara di Indonesia, mereka hanya
menjalankan tugas dan fungsi profesi mereka untuk menggugat sebagaimana diminta
oleh klien para kantor pengacara. Yang keliru ialah sikap keras kepala klien
yang apapun posisi hukumnya, apapun keadaannya, hendak ‘ber-ju-di’ dengan
peruntungan di meja hijau, merasa sudah tahu akan hukum, dan menaruh harapan
selama bertahun-tahun penantian selama proses gugatan berkekuatan hukum tetap, agar
hakim berlaku khilaf sehingga menjatuhkan dirinya sebagai pemenang.
Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, guna memberi konfirmasi
dan klarifikasi atas banyaknya pertanyaan-pertanyaan serupa lainnya yang
dialamatkan kepada SHIETRA & PARTNERS. Agar dapat dimaklumi dan dipahami
dengan baik oleh segenap stakeholder. Tiada bangunan yang kokoh tanpa landasan pondasi hukum yang kuat dan solid.
©
SHIETRA & PARTNERS Copyright.
Frequently Asked Question
Question: Saya mau tanya tentang hukum, tapi tidak mau bayar fee konsultasi, boleh?
Answer: Masalah Anda bukanlah urusan kami. Seorang pengemis tidak memiliki masalah hukum, juga tidak memiliki sengketa tanah ataupun ketenagakerjaan. Silahkan baca sendiri
seluruh undang-undang yang diterbitkan dari tahun 1800, silahkan baca sendiri
ribuan judul buku hukum, silahkan baca sendiri jutaan putusan pengadilan. Apakah
selama ini Anda bekerja sesuai profesi Anda tanpa pernah menuntut upah? Anda bahkan tidak punya hak untuk "memperkosa" profesi orang lain. Seorang pengemis pun bahkan tidak begitu hinanya sampai-sampai merampok nasi dari piring profesi orang lain.