Kode Etik PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah). Melaporkan Pelanggaran Etik PPAT, serta Mekanisme Penindakan dan Penegakan Etik Profesi

LEGAL OPINION
Question: Ada orang lain yang menggunakan identitas saya dan memalsu tanda-tangan saya, ketika saya mintakan salinan akta jual-beli tanah yang pakai identitas saya itu, pihak pejabat negara pembuat akta tak mau berikan. Sebenarnya jika ada pelanggaran etika oleh penyedia jasa pembuatan akta terkait tanah, itu lapornya ke mana, ke lembaga organisasi ikatan notaris, ke BPN, atau ke manakah?
Brief Answer: PPAT bukanlah “Pejabat Negara”, namun “Pejabat Umum” semata. Yang juga perlu diluruskan, tidak semua PPAT adalah seorang notaris, karena yang bukan notaris sekalipun dapat saja menjabat sebagai seorang PPAT. Yang perlu mulai dipahami oleh masyarakat awam, Notaris tidaklah identik dengan jabatan PPAT (meski seringkali seorang Notaris merangkap juga sebagai seorang PPAT).
Jika yang dipermasalahkan oleh warga pengguna jasa ialah perihal pembuatan akta terkait hak atas tanah, maka hal tersebut menjadi yurisdiksi organisasi yang membawahi profesi PPAT untuk memeriksa laporan dan menegakkan Kode Etik PPAT. Profesi notaris dibawah pengawasan otoritas Kementerian Hukum, sementara profesi PPAT dibawah pengawasan otoritas Badan Pertanahan Nasional.
Meski baik produk hukum berupa akta yang dibuat Notaris maupun PPAT, sama-sama bersifat Akta Otentik, namun pahami terlebih dahulu perbuatan hukum apakah yang dipermasalahkan dari sang Pejabat Umum yang bersangkutan. Pemilahan demikian menjadi penting, guna menentukan ke hadapan yurisdiksi penegak etik manakah warga dapat mengadukan atau melaporkan.
Hal lainnya yang unik khusus untuk jabatan PPAT, pengawasan dan penjatuhan sanksi bukan hanya dapat diterapkan oleh oleh Majelis Kehormatan Etik profesi PPAT, namun laporan pelanggaran / aduan warga masyarakat pengguna jasa juga dapat diajukan ke hadapan Badan Pertanahan Nasional, sehingga seolah terdapat dualisme penegakan disiplin etik jabatan PPAT dalam regulasinya di Indonesia, namun pada muaranya tetap saja Majelis Kehormatan Etik PPAT yang akan menindak-lanjuti laporan / aduan yang diteruskan oleh pihak Kantor Pertanahan—meski pada gilirannya BPN yang akan mengeksekusi setelah Majelis Kehormatan Etik menjatuhkan vonis bagi PPAT terlapor.
Bahkan, lebih jauh lagi, Kepala Badan Pertanahan Nasional telah membuat ragulasi, yang dengan tegas menyatakan supremasinya sebagai otoritas pengawas sekaligus sebagai penindak bagi PPAT yang melanggar etika profesi, tanpa harus melalui birokratisasi Majelis Etik Organisasi PPAT, dengan norma yuridis sebagai berikut:
Dalam hal dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT secara jelas telah terbukti dan nyata, Kepala Kantor Pertanahan dapat langsung memberikan sanksi berupa surat teguran tertulis kepada PPAT tanpa melalui pemeriksaan oleh MPPD.”
PEMBAHASAN:
Bila Kode Etik Notaris dibuat oleh organisasi swasta perhimpunan para profesi Notaris, maka yang cukup membedakan dengan profesi PPAT, ialah Kode Etik-nya dirumuskan dan tetapkan secara terpusat oleh pemerintah cq. Badan Pertanahan Nasional.
Saat uraian yuridis ini disusun oleh SHIETRA & PARTNERS, regulasi terbaru yang berlaku terkait Kode Etik Pejabat Pembuat Akta Tanah ialah berdasarkan Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 112/KEP-4.1/IV/2017 tanggal 27 April 2017.
KODE ETIK
IKATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
[Note SHIETRA & PARTNERS: Yang betul ialah “Kode Etik Pejabat Pembuat Akta Tanah”, bukan Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah”.]
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Kode Etik ini yang dimaksud dengan:
1. Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah disingkat IPPAT adalah perkumpulan / organisasi bagi para PPAT, berdiri semenjak tanggal 24 September 1987, diakui sebagai badan hukum (rechtspersoon) berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 13 April 1989 Nomor C2-3281.HT.01.03.Th.89, merupakan satu-satunya wadah pemersatu bagi semua dan setiap orang yang memangku dan menjalankan tugas jabatannya selaku PPAT yang menjalankan fungsi pejabat umum, sebagaimana hal itu telah diakui dan mendapat pengesahan dari Pemerintah berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tersebut di atas dan telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 11 Juli 1989 Nomor 55 Tambahan Nomor 32.
2. Kode Etik PPAT yang selanjutnya disebut Kode Etik adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh perkumpulan berdasarkan keputusan Kongres dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh anggota perkumpulan IPPAT dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai PPAT, termasuk di dalamnya para PPAT Pengganti.
3. Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
4. Pembina PPAT adalah Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional beserta jajarannya.
5. Pengurus Pusat adalah Pengurus Perkumpulan / Organisasi IPPAT pada tingkat Nasional yang mempunyai tugas, kewajiban serta kewenangan untuk mewakili dan bertindak atas nama perkumpulan, baik di luar maupun di muka Pengadilan.
6. Pengurus Daerah adalah Pengurus Perkumpulan IPPAT pada tingkat Daerah yang meliputi wilayah kepengurusan tempat kedudukan dan/atau tempat tinggal anggota perkumpulan IPPAT.
7. Pengurus Wilayah adalah Pengurus Perkumpulan IPPAT pada tingkat Wilayah yang meliputi wilayah kepengurusan tempat kedudukan dan/atau tempat tinggal anggota perkumpulan IPPAT.
8. Majelis Kehormatan adalah suatu badan atau lembaga yang mandiri dan bebas dari keberpihakan dalam perkumpulan IPPAT yang mempunyai tugas dan/atau kewajiban untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan penertiban maupun pembenahan, serta mempunyai kewenangan untuk memanggil, memeriksa dan menjatuhkan putusan, sanksi atau hukuman kepada anggota perkumpulan IPPAT yang melakukan pelanggaran Kode Etik;
9. Majelis Kehormatan Pusat adalah Majelis Kehormatan pada tingkat nasional dari perkumpulan IPPAT yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan, pengawasan, penertiban dan pembenahan, demikian pula untuk memeriksa, memutus dan menjatuhkan sanksi atau hukuman kepada anggota perkumpulan IPPAT pada tingkat banding dan terakhir serta bersifat final;
10. Majelis Kehormatan Daerah adalah Majelis Kehormatan pada tingkat Daerah dari perkumpulan IPPAT yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan, pengawasan, penertiban dan pembenahan, demikian pula untuk memeriksa, memutus dan menjatuhkan sanksi atau hukuman kepada anggota perkumpulan IPPAT pada tingkat pertama.
11. Pelanggaran adalah semua jenis perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh anggota perkumpulan IPPAT yang dapat menurunkan keluhuran harkat dan martabat jabatan PPAT, sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Kode Etik.
12. Kewajiban adalah sikap, perilaku dan perbuatan atau tindakan berupa apapun oleh anggota perkumpulan IPPAT untuk menjaga dan memelihara citra serta wibawa dan menjunjung tinggi keluhuran harkat dan martabat jabatan PPAT.
13. Larangan adalah sikap, perilaku dan perbuatan atau tindakan berupa apapun yang harus ditinggalkan (tidak boleh dilakukan) oleh anggota perkumpulan IPPAT yang dapat atau setidak-tidaknya dikhawatirkan dapat menurunkan citra serta wibawa lembaga PPAT ataupun keluhuran harkat dan martabat jabatan PPAT.
14. Sanksi adalah suatu hukuman sebagai sarana, upaya dan alat pemaksa ketaatan dan disiplin anggota perkumpulan IPPAT dalam menegakkan Kode Etik ini.
15. Eksekusi adalah pelaksanaan atas sanksi atau hukuman yang dijatuhkan oleh dan berdasarkan putusan Majelis Kehormatan Daerah maupun Majelis Kehormatan Pusat, yang telah mempunyai kekuatan tetap dan pasti untuk dijalankan.
BAB II RUANG LINGKUP BERLAKUNYA KODE ETIK
Pasal 2
Kode Etik ini berlaku bagi seluruh PPAT dan bagi para PPAT Pengganti, baik dalam rangka melaksanakan tugas jabatan (khusus bagi yang melaksanakan tugas jabatan PPAT) ataupun dalam kehidupan sehari-hari.
[Note SHIETRA & PARTNERS: Menjadi kontradiktif, dimana pada Pasal 1 disebutkan bahwa Kode Etik PPAT ditentukan sendiri oleh IPPAT. Pasal 1 Ayat (2) peraturan ini di atas menyebutkan : “Kode Etik PPAT yang selanjutnya disebut Kode Etik adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh perkumpulan berdasarkan keputusan Kongres...”]
BAB III
KEWAJIBAN, LARANGAN DAN HAL-HAL YANG DIKECUALIKAN Bagian Pertama Kewajiban
Pasal 3
Dalam rangka melaksanakan tugas jabatan para PPAT serta PPAT Pengganti ataupun dalam kehidupan sehari-hari, setiap PPAT diwajibkan untuk:
a. berkepribadian baik dan menjunjung tinggi martabat dan kehormatan PPAT;
b. menjunjung tinggi dasar negara dan hukum yang berlaku serta bertindak sesuai dengan makna sumpah jabatan dan kode etik;
c. berbahasa Indonesia secara baik dan benar;
d. mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara;
e. memiliki perilaku profesional dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan nasional, khususnya dibidang hukum;
f. bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, mandiri, jujur, dan tidak berpihak;
g. memberi pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat yang memerlukan jasanya;
h. memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dengan maksud agar masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan anggota masyarakat;
i. memberikan jasanya kepada anggota masyarakat yang tidak atau kurang mampu secara cuma-cuma;
j. bersikap saling menghormati, menghargai serta mempercayai dalam suasana kekeluargaan dengan sesama rekan sejawat;
k. menjaga dan membela kehormatan serta nama baik korps PPAT atas dasar rasa solidaritas dan sikap tolong-menolong secara konstruktif;
l. bersikap ramah terhadap setiap pejabat dan mereka yang ada hubungannya dengan pelaksanaan tugas jabatannya;
m. menetapkan suatu kantor, dan kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi PPAT yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari;
n. melakukan registrasi, memperbaharui profil PPAT, dan melakukan pemutakhiran data PPAT lainnya di Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahaan Nasional;
o. dalam hal seorang PPAT menghadapi dan/atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata di dalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau membahayakan klien, maka PPAT tersebut wajib:
1) memberitahukan kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut;
2) segera setelah berhubungan dengan rekan sejawat yang membuat akta tersebut, maka kepada klien yang bersangkutan sedapat mungkin dijelaskan mengenai hal-hal yang salah dan cara memperbaikinya;
p. melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain:
1) Peraturan Perundang-undangan yang mengatur Jabatan PPAT;
2) Isi Sumpah Jabatan;
3) Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga ataupun keputusan-keputusan lain yang telah ditetapkan oleh Perkumpulan IPPAT, antara lain:
a) membayar iuran,
b) membayar uang duka manakala ada seorang PPAT atau mantan PPAT meninggal dunia,
c) mentaati ketentuan tentang tarif serta kesepakatan yang dibuat oleh dan mengikat setiap anggota perkumpulan IPPAT.
4) ketentuan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan kewajiban PPAT.
Bagian Kedua Larangan
Pasal 4
Setiap PPAT, baik dalam rangka melaksanakan tugas jabatan maupun dalam kehidupan sehari-hari, dilarang:
a. membuka / mempunyai kantor cabang atau kantor perwakilan;
b. secara langsung mengikut-sertakan atau menggunakan perantara-perantara dengan mendasarkan pada kondisi-kondisi tertentu;
c. mempergunakan media massa yang bersifat promosi;
d. melakukan tindakan-tindakan yang pada hakikatnya mengiklankan diri antara lain:
1) memasang iklan dalam surat kabar, majalah berkala atau terbitan perdana suatu kantor, perusahaan, biro jasa, biro iklan, baik berupa pemuatan nama, alamat, nomor telepon, maupun berupa ucapan-ucapan selamat, dukungan, sumbangan;
2) uang atau apapun, pensponsoran kegiatan apapun, baik sosial, kemanusiaan, olah raga dan dalam bentuk apapun, pemuatan dalam buku-buku yang disediakan untuk pemasangan iklan dan/atau promosi pemasaran;
3) mengirim karangan bunga atas kejadian apapun dan kepada siapapun yang dengan itu nama anggota perkumpulan IPPAT terpampang kepada umum, baik umum terbatas maupun umum tak terbatas;
4) mengirim orang-orang selaku “salesman” ke berbagai tempat / lokasi untuk mengumpulkan klien dalam rangka pembuatan akta; dan
5) tindakan berupa pemasangan iklan untuk keperluan pemasaran atau propaganda lainnya.
e. memasang papan nama dengan cara dan/atau bentuk di luar batas-batas kewajaran dan/atau memasang papan nama di beberapa tempat di luar lingkungan kantor PPAT yang bersangkutan;
f. mengadakan usaha-usaha yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan PPAT, baik langsung maupun tidak langsung, termasuk antara lain pada penetapan jumlah biaya pembuatan akta;
g. melakukan perbuatan ataupun persaingan yang merugikan sesama rekan PPAT, baik moral maupun material ataupun melakukan usaha-usaha untuk mencari keuntungan bagi dirinya semata-mata;
h. mengajukan permohonan, baik lisan maupun tertulis kepada instansi, perusahaan, lembaga ataupun perseorangan untuk ditetapkan sebagai PPAT dari instansi, perusahaan atau lembaga tersebut, dengan atau tanpa disertai pemberian insentif tertentu, termasuk antara lain pada penurunan tarif yang jumlahnya / besarnya lebih rendah dari tarif yang dibayar oleh instansi, perusahaan, lembaga ataupun perseorangan kepada PPAT tersebut;
i. menerima / memenuhi permintaan dari seseorang untuk membuat akta yang rancangannya telah disiapkan oleh PPAT lain, kecuali telah mendapat izin dari PPAT pembuat rancangan.
j. berusaha atau berupaya agar seseorang berpindah dari PPAT lain kepadanya dengan jalan apapun, baik upaya itu ditujukan langsung kepada klien yang bersangkutan maupun melalui perantaraan orang lain;
k. menempatkan pegawai atau asisten PPAT di satu atau beberapa tempat di luar kantor PPAT yang bersangkutan, baik di kantor cabang yang sengaja dan khusus dibuka untuk keperluan itu maupun di dalam kantor instansi atau lembaga / klien PPAT yang bersangkutan, di mana pegawai / asisten tersebut bertugas untuk menerima klien-klien yang akan membuat akta, baik klien itu dari dalam dan/atau dari luar instansi / lembaga itu, kemudian pegawai / asisten tersebut membuat akta-akta itu, membacakannya atau tidak membacakannya kepada klien dan menyuruh klien yang bersangkutan menanda-tanganinya di tempat pegawai / asisten itu berkantor di instansi atau lembaga tersebut, untuk kemudian akta-akta tersebut dikumpulkan untuk ditanda-tangani PPAT yang bersangkutan di kantor atau di rumahnya;
l. mengirim minuta kepada klien-klien untuk ditanda-tangani oleh klien-klien tersebut;
m. menjelek-jelekkan dan/atau mempersalahkan rekan PPAT dan/atau akta yang dibuat olehnya;
n. menahan berkas seseorang dengan maksud untuk “memaksa” orang itu agar membuat akta pada PPAT yang menahan berkas tersebut;
o. menjadi alat orang atau pihak lain untuk semata-mata menanda-tangani akta buatan orang lain sebagai akta yang dibuat oleh/di hadapan PPAT yang bersangkutan;
p. membujuk dan/atau memaksa klien dengan cara atau dalam bentuk apapun untuk membuat akta padanya ataupun untuk pindah dari PPAT lain;
q. membentuk kelompok di dalam tubuh IPPAT (tidak merupakan salah satu seksi dari Perkumpulan IPPAT) dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga secara khusus / eksklusif, apalagi menutup kemungkinan bagi PPAT lain untuk memberikan pelayanan;
r. melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik PPAT, antara lain pada pelanggaran-pelanggaran terhadap:
1) ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Jabatan PPAT dan ketentuan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan tugas pokok PPAT;
2) isi Sumpah Jabatan;
3) hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan/atau keputusan lain yang telah ditetapkan oleh organisasi IPPAT tidak boleh dilakukan oleh anggota perkumpulan IPPAT.
Bagian Ketiga
Hal-hal yang Dikecualikan
Pasal 5
Kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, maka hal-hal tersebut di bawah ini merupakan pengecualian yang tidak termasuk pelanggaran, yaitu:
a. pengiriman kartu pribadi dari anggota perkumpulan IPPAT yang berisi ucapan selamat pada kesempatan-kesempatan ulang tahun, kelahiran anak, keagamaan, adat atau ucapan ikut berduka cita dan lain sebagainya yang bersifat pribadi;
b. pemuatan nama anggota perkumpulan IPPAT oleh perusahaan telekomunikasi atau badan yang ditugasinya dalam lembaran kuning dari buku telepon yang disusun menurut kelompok-kelompok jenis usaha, tanpa pemuatan nama anggota perkumpulan IPPAT dalam box-box iklan lembaran kuning buku telepon itu;
c. pemuatan nama anggota perkumpulan IPPAT dalam buku petunjuk faksimili dan/atau teleks;
d. menggunakan kalimat, pasal, rumusan-rumusan yang terdapat dalam akta yang dibuat oleh atau di hadapan anggota perkumpulan IPPAT lain, dengan syarat (turunan dari) akta tersebut sudah selesai dibuat dan telah menjadi milik klien;
e. memperbincangkan pelaksanaan tugasnya dengan rekan sejawat bilamana dianggap perlu.
BAB IV
SANKSI-SANKSI
Pasal 6
(1) Sanksi yang dikenakan terhadap anggota perkumpulan IPPAT yang melakukan pelanggaran Kode Etik dapat berupa:
a. teguran;
b. peringatan;
c. schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan IPPAT;
d. onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan IPPAT; dan
e. pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan IPPAT.
(2) Penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap anggota perkumpulan IPPAT yang melakukan pelanggaran Kode Etik disesuaikan dengan frekuensi dan kualitas pelanggaran yang dilakukan anggota perkumpulan IPPAT tersebut.
(3) Penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) akan berakibat pada penjatuhan sanksi yang akan diberikan kemudian oleh Pembina PPAT.
BAB V
TATA CARA PENEGAKAN KODE ETIK
Bagian Pertama
Pengawasan
Pasal 7
Pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik ini dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. pada tingkat pertama oleh Pengurus Daerah IPPAT dan Majelis Kehormatan Daerah bersama-sama dengan Pengurus Wilayah dan seluruh anggota perkumpulan IPPAT;
b. pada tingkat terakhir oleh Pengurus Pusat IPPAT dan Majelis Kehormatan Pusat.
Bagian Kedua
Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi
Paragraf 1
Alat Kelengkapan Perkumpulan Yang Berwenang
Pasal 8
Majelis Kehormatan Daerah dan Majelis Kehormatan Pusat merupakan alat kelengkapan organisasi yang berwenang melakukan pemeriksaan atas pelanggaran terhadap Kode Etik dan menjatuhkan sanksi kepada pelanggarnya sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Paragraf 2
Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi pada Tingkat Pertama
Pasal 9
(1) Apabila ada anggota perkumpulan IPPAT yang diduga melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik, baik dugaan tersebut berasal dari pengetahuan Majelis Kehormatan Daerah sendiri maupun karena laporan dari Pengurus Wilayah ataupun pihak lain kepada Majelis Kehormatan Daerah, maka selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari Majelis Kehormatan Daerah wajib segera mengambil tindakan dengan mengadakan sidang Majelis Kehormatan Daerah untuk membicarakan dugaan terhadap pelanggaran tersebut.
(2) Apabila menurut hasil pembicaraan dalam sidang Majelis Kehormatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ternyata ada dugaan kuat terhadap pelanggaran Kode Etik, maka dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal sidang tersebut, Majelis Kehormatan Daerah berkewajiban memanggil anggota perkumpulan IPPAT yang diduga melanggar tersebut dengan surat tercatat untuk didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri.
(3) Majelis Kehormatan Daerah baru akan menentukan putusannya mengenai terbukti atau tidaknya pelanggaran Kode Etik serta penjatuhan sanksi terhadap pelanggarnya (apabila terbukti) setelah mendengar keterangan dan pembelaan diri dari anggota perkumpulan IPPAT yang bersangkutan dalam sidang Majelis Kehormatan Daerah yang diadakan untuk keperluan itu, dengan perkecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) pasal ini.
(4) Penentuan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan oleh Majelis Kehormatan Daerah baik dalam sidang itu, maupun dalam sidang lainnya dari Majelis Kehormatan Daerah, asal saja penentuan keputusan melanggar atau tidak, dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 15 (lima belas) hari setelah tanggal dari sidang Majelis Kehormatan Daerah itu, di mana PPAT tersebut telah didengar.
(5) Dalam putusan sidang Majelis Kehormatan Daerah dinyatakan terbukti ada pelanggaran terhadap Kode Etik, maka sidang itu sekaligus menentukan sanksi terhadap pelanggarnya.
(6) Dalam hal anggota perkumpulan IPPAT yang dipanggil tidak datang atau tidak memberi kabar apapun dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah dipanggil Majelis Kehormatan Daerah, maka Majelis Kehormatan Daerah akan mengulangi panggilannya sebanyak 2 (dua) kali lagi dengan tenggang waktu 7 (tujuh) hari untuk setiap panggilan.
(7) a. Dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah panggilan ke 3 (tiga) ternyata masih juga tidak datang atau tidak memberi kabar, maka Majelis Kehormatan Daerah akan tetap bersidang untuk membicarakan pelanggaran yang diduga dilakukan oleh anggota perkumpulan IPPAT yang dipanggil tersebut dan menentukan putusannya.
b. Selanjutnya mutatis mutandis berlaku bagi yang ditetapkan pada ayat (5), ayat (6) dan ayat (9).
(8) Terhadap sanksi schorsing (pemberhentian sementara) atau onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan IPPAT, maka sebelum sanksi itu diputuskan, Majelis Kehormatan Daerah wajib berkonsultasi terlebih dahulu dengan Pengurus Daerahnya.
(9) Putusan sidang Majelis Kehormatan Daerah wajib dikirim oleh Majelis Kehormatan Daerah kepada anggota perkumpulan IPPAT yang melanggar dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi dan tembusannya kepada Pengurus Daerah, Pengurus Wilayah, Pengurus Pusat, Majelis Kehormatan Pusat, dan Pembina PPAT, semuanya itu dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah dijatuhkan putusan oleh sidang Majelis Kehormatan Daerah.
(10) a. Apabila pada tingkat kepengurusan Pengurus Daerah belum dibentuk Majelis Kehormatan Daerah, maka Majelis Kehormatan Pusat berkewajiban dan mempunyai wewenang untuk menjalankan kewajiban serta kewenangan Majelis Kehormatan Daerah dalam rangka penegakan Kode Etik atau melimpahkan tugas kewajiban dan kewenangan Majelis Kehormatan Daerah tersebut kepada Kewenangan Majelis Kehormatan Daerah terdekat dari tempat kedudukan atau tempat tinggal anggota perkumpulan IPPAT yang melanggar Kode Etik tersebut.
b. Hal tersebut berlaku pula apabila Majelis Kehormatan Daerah tidak sanggup menyelesaikan atau memutuskan permasalahan yang dihadapinya.
c. Ketidaksanggupan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf b tersebut karena antara lain:
i. Ketiadaan sumber daya manusia;
ii. Adanya benturan kepentingan dengan anggota perkumpulan IPPAT yang diduga melakukan pelanggaran;
iii. Menolak dengan alasan lain yang dapat diterima oleh MKP.
Paragraf 3
Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi pada Tingkat Banding
Pasal 10
(1) Putusan yang berisi penjatuhan sanksi schorsing (pemecatan sementara) atau onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan IPPAT dapat diajukan / dimohonkan banding kepada Majelis Kehormatan Pusat.
(2) Permohonan untuk banding wajib dilakukan oleh anggota perkumpulan IPPAT yang bersangkutan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal penerimaan surat putusan penjatuhan sanksi dari Majelis Kehormatan Daerah.
(3) a. Permohonan banding dikirim dengan surat tercatat oleh anggota perkumpulan IPPAT yang bersangkutan kepada Majelis Kehormatan Pusat dan tembusannya kepada Majelis Kehormatan Daerah, Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, dan Pengurus Daerah.
b. Majelis Kehormatan Daerah dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima surat tembusan permohonan banding wajib mengirim semua salinan / fotokopi berkas pemeriksaan kepada Majelis Kehormatan Pusat.
(4) a. Setelah menerima permohonan banding, maka Majelis Kehormatan Pusat wajib memanggil anggota perkumpulan IPPAT yang mengajukan banding selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima permohonan naik banding dengan surat tercatat.
b. Anggota perkumpulan IPPAT yang mengajukan banding dipanggil, didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri dalam sidang Majelis Kehormatan Pusat.
(5) Majelis Kehormatan Pusat wajib memberi putusan dalam tingkat banding melalui sidangnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah anggota perkumpulan IPPAT yang bersangkutan dipanggil, didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri.
(6) Dalam hal anggota perkumpulan IPPAT yang dipanggil tidak datang dan tidak memberi kabar dengan surat tercatat, maka sidang Majelis Kehormatan Pusat tetap akan memberi putusannya dalam waktu yang ditentukan pada ayat (5) di atas.
(7) Majelis Kehormatan Pusat wajib mengirim putusannya kepada PPAT yang mengajukan banding dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi dan tembusannya kepada Majelis Kehormatan Daerah, Pengurus Daerah, Pengurus Wilayah, Pengurus Pusat IPPAT dan Pembina PPAT, semuanya itu dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah sidang Majelis Kehormatan Pusat menjatuhkan keputusannya atas banding tersebut.
(8) Dalam hal belum terbentuknya Majelis Kehormatan Daerah, maka pemeriksaan dan penjatuhan sanksi dalam tingkat pertama yang telah dilakukan oleh Majelis Kehormatan Pusat tersebut merupakan keputusan tingkat pertama sekaligus terakhir.
Bagian Ketiga
Eksekusi atas Sanksi-Sanksi dalam Pelanggaran Kode Etik
Pasal 11
(1) Putusan yang ditetapkan oleh Majelis Kehormatan Daerah maupun yang ditetapkan oleh Majelis Kehormatan Pusat dilaksanakan oleh Pengurus daerah.
(2) a. Pengurus Daerah wajib mencatat dalam buku anggota perkumpulan IPPAT yang ada pada Pengurus Daerah atas setiap keputusan yang telah ditetapkan oleh Majelis Kehormatan Daerah dan/atau oleh Majelis Kehormatan Pusat mengenai kasus Kode Etik berikut nama anggota perkumpulan IPPAT yang bersangkutan.
b. Selanjutnya nama anggota perkumpulan IPPAT tersebut, kasusnya dan keputusan dari Majelis Kehormatan Daerah / Majelis Kehormatan Pusat diumumkan dalam Media Perkumpulan berikutnya yang terbit setelah pencatatan dalam buku anggota perkumpulan IPPAT tersebut.
(3) Putusan tersebut selanjutkan dilaporkan kepada Pembina PPAT yang akan dimasukan ke dalam basis data Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional.
BAB VI
PEMECATAN SEMENTARA (SCHORSING) ANGGOTA PERKUMPULAN IPPAT
Pasal 12
Tanpa mengurangi ketentuan yang mengatur tentang prosedur atau tata cara maupun penjatuhan sanksi-sanksi secara bertingkat yang berupa peringatan dan teguran, maka pelanggaran-pelanggaran yang oleh Pengurus Pusat secara mutlak harus dikenakan sanksi pemecatan sementara sebagai anggota perkumpulan IPPAT disertai usul Pengurus Pusat kepada Kongres untuk memecat anggota perkumpulan IPPAT yang bersangkutan sebagai anggota perkumpulan IPPAT ialah pelanggaran-pelanggaran yang disebut dalam:
a. Pasal 4 huruf k, l, n, o, dan p tersebut di atas;
b. Peraturan Jabatan PPAT yang berakibat terhadap anggota perkumpulan IPPAT yang bersangkutan dinyatakan bersalah berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
BAB VII
KEWAJIBAN PENGURUS PUSAT
Pasal 13
Pengenaan sanksi schorsing (pemecatan sementara), demikian juga sanksi onzetting (pemecatan) maupun pemberhentian dengan tidak hormat sebagai anggota perkumpulan IPPAT terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 wajib diberitahukan oleh Pengurus Pusat kepada Menteri / instansi yang berwenang dengan tembusan kepada Mahkamah Agung.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
(1) Semua PPAT diwajibkan menyesuaikan praktiknya maupun perilaku dalam menjalankan jabatannya dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam peraturan dan/atau Kode Etik ini.
(2) Hanya Pengurus Pusat dan/atau Majelis Kehormatan Pusat atau alat perlengkapan yang lain dari Perkumpulan IPPAT atau anggota perkumpulan IPPAT yang ditunjuk olehnya dengan cara yang dipandang baik oleh organisasi tersebut berhak dan berwenang untuk memberikan sosialisasi seperlunya kepada masyarakat tentang seluk-beluk dan hal-ikhwal Kode Etik PPAT dan/atau Majelis Kehormatan IPPAT dengan maksud dan tujuan agar dengan penerangan itu masyarakat memperoleh perlindungan hukum yang diakibatkan oleh anggota perkumpulan IPPAT yang melakukan pelanggaran Kode Etik.

-----

BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No.395, 2018
KEMEN-ATR/BPN. Pembinaan dan Pengawasan PPAT.
PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG / KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
NOMOR 2 TAHUN 2018
TENTANG
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG / KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,
Menimbang :
a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, perlu diatur pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang dilaksanakan oleh Menteri;
b. bahwa pengaturan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang dilakukan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional, telah diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah;
c. bahwa untuk efektivitas dan efisiensi pembinaan dan pengawasan dalam peraturan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, perlu diatur kembali pembinaan dan pengawasan terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah yang dilaksanakan oleh Menteri;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Pembinaan dan Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3746) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5893);
4. Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 18);
5. Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 21);
6. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 10 Tahun 2017 tentang Tata Cara Ujian, Magang, Pengangkatan dan Perpanjangan Masa Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 967);
7. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 694);
8. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 38 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1874);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG / KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
2. Pembinaan adalah usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan oleh Menteri terhadap PPAT secara efektif dan efisien untuk mencapai kualitas PPAT yang lebih baik.
3. Pengawasan adalah kegiatan administratif yang bersifat preventif dan represif oleh Menteri yang bertujuan untuk menjaga agar para PPAT dalam menjalankan jabatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional yang selanjutnya disebut Kementerian adalah Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria / pertanahan dan tata ruang.
5. Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional yang selanjutnya disebut Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria / pertanahan dan tata ruang.
6. Direktur Jenderal adalah pimpinan pada Direktorat Jenderal yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengaturan, penetapan, dan pendaftaran hak tanah, pembinaan Pejabat Pembuat Akta Tanah, serta pemberdayaan hak atas tanah masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
7. Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional yang selanjutnya disebut Kantor Wilayah BPN adalah instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional di Provinsi yang berada di bawah dan bertanggung-jawab langsung kepada Menteri.
8. Kantor Pertanahan adalah instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional di Kabupaten / Kota yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah BPN.
9. Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya disingkat IPPAT adalah organisasi profesi jabatan PPAT yang berbentuk perkumpulan yang berbadan hukum.
10. Kode Etik IPPAT yang selanjutnya disebut Kode Etik adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh perkumpulan berdasarkan keputusan Kongres dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh anggota perkumpulan IPPAT dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai PPAT, termasuk di dalamnya para PPAT Pengganti.
[Note SHIETRA & PARTNERS : Bila Kode Etik disejajarkan dengan “Kaedah Moril”, kuranglah tepat. Oleh sebab, norma moral dalam penerapan, penegakan, pengawasan, serta sanksinya berangkat dan berpulang pada moralitas diri pribadi yang bersangkutan semata, tidak dapat dijatuhi sanksi oleh pihak-pihak diluar diri bersangkutan, terlebih diberi sanksi pemecatan ataupun schorsing yang bersifat koersif dan imperatif serta dapat dieksekusi oleh pihak lain.]
11. Majelis Pembina dan Pengawas PPAT adalah majelis yang diberi kewenangan oleh Menteri untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT.
12. Majelis Pembina dan Pengawas PPAT Pusat yang selanjutnya disingkat MPPP adalah Majelis Pembina dan Pengawas PPAT yang berkedudukan di Kementerian.
13. Majelis Pembina dan Pengawas PPAT Wilayah yang selanjutnya disingkat MPPW adalah Majelis Pembina dan Pengawas PPAT yang berkedudukan di Kantor Wilayah BPN.
14. Majelis Pembina dan Pengawas PPAT Daerah yang selanjutnya disingkat MPPD adalah Majelis Pembina dan Pengawas PPAT yang berkedudukan di Kantor Pertanahan.
BAB II
MAKSUD, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
(1) Peraturan Menteri ini dimaksudkan sebagai pedoman pelaksanaan pembinaan dan pengawasan serta penegakan aturan hukum melalui pemberian sanksi terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kementerian.
(2) Peraturan Menteri ini bertujuan untuk mewujudkan PPAT yang profesional, berintegritas dan melaksanakan jabatan PPAT sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan Kode Etik.
Pasal 3
(1) Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi:
a. pembinaan dan pengawasan PPAT;
b. pembentukan majelis pembina dan pengawas PPAT;
c. tata kerja pemeriksaan dugaan pelanggaran PPAT; dan
d. bantuan hukum terhadap PPAT.
(2) PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. PPAT;
b. PPAT Sementara;
c. PPAT Pengganti; dan
d. PPAT Khusus;
BAB III
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 4
(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT dilakukan oleh Menteri.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di daerah dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN dan Kepala Kantor Pertanahan.
Bagian Kedua
Pembinaan
Pasal 5
(1) Pembinaan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dapat berupa:
a. penentuan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas jabatan PPAT;
b. pemberian arahan pada semua pihak yang berkepentingan terkait dengan kebijakan di bidang ke-PPAT-an;
c. menjalankan tindakan yang dianggap perlu untuk memastikan pelayanan PPAT tetap berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
d. memastikan PPAT menjalankan tugas dan fungsi sesuai dengan Kode Etik.
(2) Pembinaan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN dan Kepala Kantor Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), dapat berupa:
a. penyampaian dan penjelasan kebijakan yang telah ditetapkan oleh Menteri terkait pelaksanaan tugas PPAT sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. sosialisasi, diseminasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan pertanahan;
c. pemeriksaan ke kantor PPAT dalam rangka pengawasan secara periodik; dan/atau
d. pembinaan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi PPAT sesuai Kode Etik.
Pasal 6
Selain pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Kepala Kantor Pertanahan atau petugas yang ditunjuk melakukan pemeriksaan atas akta yang dibuat oleh PPAT pada saat pendaftaran pemindahan hak dan pembebanan hak.
Pasal 7
(1) Kepala Kantor Wilayah BPN dan/atau Kepala Kantor Pertanahan melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) sesuai dengan tugas dan kewenangannya.
(2) Pembinaan berupa penyampaian dan penjelasan kebijakan yang telah ditetapkan oleh Menteri terkait pelaksanaan tugas PPAT sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan sosialisasi, diseminasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan pertanahan, dan pelaksanaan tugas dan fungsi PPAT sesuai dengan Kode Etik, dilaksanakan secara berkala.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibantu oleh Majelis Pembina dan Pengawas PPAT sesuai dengan tugas dan kewenangannya.
Bagian Ketiga
Pengawasan
Pasal 8
Pengawasan terhadap PPAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dapat berupa:
a. pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan PPAT; dan
b. penegakan aturan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang PPAT.
Pasal 9
(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan PPAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dilakukan untuk memastikan PPAT melaksanakan kewajiban dan jabatan PPAT-nya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pelaksanaan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. tempat kedudukan kantor PPAT;
b. stempel jabatan PPAT;
c. papan nama, dan kop surat PPAT;
d. penggunaan formulir akta, pembuatan akta dan penyampaian akta;
e. penyampaian laporan bulanan akta;
f. pembuatan daftar akta PPAT;
g. penjilidan akta, warkah pendukung akta, protokol atau penyimpanan bundel asli akta; dan
h. pelaksanaan jabatan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 10
(1) Pengawasan atas pelaksanaan jabatan PPAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilakukan dengan pemeriksaan ke kantor PPAT atau cara pengawasan lainnya.
(2) Pemeriksaan ke kantor PPAT atau cara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh:
a. Kepala Kantor Wilayah BPN, dilaksanakan secara berkala; dan
b. Kepala Kantor Pertanahan, dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(3) Kepala Kantor Wilayah BPN dan/atau Kepala Kantor Pertanahan dapat menugaskan pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan pemeriksaan ke kantor PPAT.
(4) Dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dibantu oleh Majelis Pembina dan Pengawas PPAT sesuai dengan tugas dan kewenangannya.
(5) Dalam hal pemeriksaan ke kantor PPAT dibantu oleh Majelis Pembina dan Pengawas PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilaksanakan dengan ketentuan:
a. mendapat penugasan dari Ketua Majelis Pembina dan Pengawas PPAT; dan
b. dilakukan paling sedikit 2 (dua) orang.
(6) Hasil pemeriksaan dibuat dalam bentuk risalah sesuai dengan format tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(7) Dalam hal terdapat temuan pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT, ditindak-lanjuti dengan pemeriksaan oleh Majelis Pembina dan Pengawas PPAT.
Pasal 11
(1) Hasil pemeriksaan ke kantor PPAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilaporkan secara berkala kepada Menteri.
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berjenjang, dengan ketentuan:
a. Kepala Kantor Pertanahan menyampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN, paling lambat pada minggu pertama awal bulan;
b. Kepala Kantor Wilayah BPN menyampaikan pelaporan di wilayahnya dan pelaporan dari Kantor Pertanahan kepada Direktur Jenderal, paling lambat pada minggu kedua awal bulan; dan
c. Direktur Jenderal meneruskan laporan Kepala Kantor Pertanahan dan Kepala Kantor Wilayah BPN kepada Menteri.
(3) Tindak lanjut pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai pertimbangan dalam pengambilan kebijakan di bidang PPAT.
Pasal 12
(1) Pengawasan berupa penegakan aturan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang PPAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dilaksanakan atas temuan dari Kementerian terhadap pelanggaran pelaksanaan jabatan PPAT atau terdapat pengaduan atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT.
(2) Pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
a. pelanggaran atas pelaksanaan jabatan PPAT;
b. tidak melaksanakan kewajiban yang diatur dalam peraturan perundang-undangan;
c. melanggar ketentuan larangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan; dan/atau
d. melanggar Kode Etik.
(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berasal dari:
a. masyarakat, baik perorangan/badan hukum; dan/atau
b. IPPAT.
(4) Pengaduan terhadap dugaan pelanggaran oleh PPAT dapat disampaikan secara tertulis kepada Kementerian atau melalui website pengaduan, aplikasi Lapor atau sarana pengaduan lainnya yang disediakan oleh Kementerian.
(5) Dalam hal pengaduan dari masyarakat diterima oleh Kementerian, Kantor Wilayah BPN, Kantor Pertanahan, Majelis Pembina dan Pengawas PPAT atau IPPAT maka pengaduan diteruskan kepada MPPD.
(6) Pengaduan yang disampaikan secara tertulis oleh pelapor harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. harus jelas menyebutkan identitas pelapor dan terlapor; dan
b. melampirkan bukti yang berkaitan dengan pengaduan.
(7) MPPD menindak-lanjuti laporan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan melakukan pemeriksaan terhadap PPAT terlapor.
Pasal 13
(1) Pemberian sanksi yang dikenakan terhadap PPAT yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dapat berupa:
a. teguran tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.
(2) Pemberian sanksi berupa pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf d dapat diberikan langsung tanpa didahului teguran tertulis.
(3) Pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan hormat atau dengan tidak hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d, dapat didahului dengan pemberhentian sementara.
(4) Jenis pelanggaran dan sanksi tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 14
(1) Pemberian sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan.
(2) Pemberian sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT berupa pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b, dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN.
(3) Pemberian sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT berupa pemberhentian dengan hormat atau tidak hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c dan huruf d, dilakukan oleh Menteri.
BAB IV
PEMBENTUKAN MAJELIS PEMBINA DAN PENGAWAS PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 15
(1) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Menteri dapat membentuk Majelis Pembina dan Pengawas PPAT.
[Note SHIETRA & PARTNERS : Bandingkan secara kontras dengan Ikatan Notaris Indonesia (INI) maupun Majelis Etik Notaris yang bersifat murni swasta sipil.]
(2) Majelis Pembina dan Pengawas PPAT bertugas untuk membantu Menteri dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan PPAT.
(3) Majelis Pembina dan Pengawas PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(4) Majelis Pembina dan Pengawas PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terdiri atas:
a. MPPP;
b. MPPW; dan
c. MPPD.
Pasal 16
(1) Keanggotaan Majelis Pembina dan Pengawas PPAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 terdiri atas unsur:
a. Kementerian; dan
b. IPPAT.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Majelis Pembina dan Pengawas PPAT dibantu oleh sekretaris.
(3) Sekretaris bukan merupakan anggota majelis dan bertugas menangani bidang administrasi.
(4) Sekretaris dapat dibantu paling sedikit 2 (dua) orang yang berbentuk Sekretariat.
Bagian Kedua
Susunan Keanggotaan
Paragraf 1
Majelis Pembina dan Pengawas
Pejabat Pembuat Akta Tanah Pusat
Pasal 17
(1) MPPP dibentuk dan ditetapkan oleh Menteri dan berkedudukan di Kementerian.
(2) Susunan keanggotaan MPPP, terdiri atas:
a. 1 (satu) orang ketua, dari unsur Kementerian yang dijabat oleh Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk;
b. 1 (satu) orang wakil ketua, yang dijabat oleh unsur IPPAT; dan
c. 9 (sembilan) orang anggota, dengan komposisi 5 (lima) orang dari unsur Kementerian dan 4 (empat) orang dari unsur IPPAT.
Paragraf 2
Majelis Pembina dan Pengawas
Pejabat Pembuat Akta Tanah Wilayah
Pasal 18
(1) MPPW dibentuk dan ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri dan berkedudukan di Kantor Wilayah BPN.
(2) Susunan keanggotaan MPPW, terdiri atas:
a. 1 (satu) orang ketua, dari unsur Kementerian yang dijabat oleh Kepala Kantor Wilayah BPN atau pejabat yang ditunjuk;
b. 1 (satu) orang wakil ketua, yang dijabat oleh unsur IPPAT; dan
c. 7 (tujuh) orang anggota, dengan komposisi 4 (empat) orang dari unsur Kementerian dan 3 (tiga) orang dari unsur IPPAT.
Paragraf 3
Majelis Pembina dan Pengawas
Pejabat Pembuat Akta Tanah Daerah
Pasal 19
(1) MPPD dibentuk dan ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN atas nama Menteri dan berkedudukan di Kantor Pertanahan.
(2) Susunan keanggotaan MPPD, terdiri atas:
a. 1 (satu) orang ketua, dari unsur Kementerian yang dijabat oleh Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk;
b. 1 (satu) orang wakil ketua, yang dijabat oleh unsur IPPAT; dan
c. 5 (lima) orang anggota, dengan komposisi 3 (tiga) orang dari unsur Kementerian dan 2 (dua) orang dari unsur IPPAT.
(3) MPPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dibentuk di daerah yang jumlah PPATnya paling sedikit 10 (sepuluh) orang PPAT.
(4) Dalam hal di Kantor Pertanahan tidak dibentuk MPPD karena tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), untuk melaksanakan tugas pembinaan dan pengawasan:
a. dibantu oleh MPPW; atau
b. dibentuk tim gabungan MPPD dari daerah lain.
(5) Dalam hal di daerah kabupaten/kota terdapat jumlah PPAT lebih dari 100 (seratus) orang PPAT, Kepala Kantor Wilayah BPN dapat menambah jumlah anggota MPPD sesuai dengan kebutuhan.
(6) Penambahan jumlah anggota MPPD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan ketentuan:
a. setiap kelipatan 100 (seratus) PPAT dalam daerah kabupaten / kota ditambahkan 2 (dua) anggota MPPD; dan
b. penambahan jumlah anggota MPPD tidak boleh melebihi jumlah anggota MPPP.
(7) Penambahan jumlah anggota MPPD sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dengan perhitungan komposisi paling sedikit 60% (enam puluh persen) dari Kementerian dan 40% (empat puluh persen) dari IPPAT.
Paragraf 4
Sekretariat Majelis Pembina dan Pengawas
Pejabat Pembuat Akta Tanah
Pasal 20
(1) Dalam membantu pelaksanaan jabatan Majelis Pembina dan Pengawas PPAT, dibentuk sekretariat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dan ayat (4).
(2) Sekretaris dan anggotanya ditetapkan oleh:
a. Direktur Jenderal, untuk MPPP;
b. Kepala Kantor Wilayah BPN, untuk MPPW; dan
c. Kepala Kantor Pertanahan, untuk MPPD.
(3) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan dukungan administrasi, teknis pemeriksaan, penyusunan program kerja, sumber daya manusia, anggaran, sarana, prasarana, dan laporan kepada Majelis Pembina dan Pengawas PPAT.
(4) Kedudukan sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kantor sekretariat sesuai dengan kedudukan Majelis Pembina dan Pengawas PPAT.
(5) Jumlah Anggota sekretariat ditetapkan oleh:
a. Direktur Jenderal, untuk MPPP;
b. Kepala Kantor Wilayah BPN, untuk MPPW; dan
c. Kepala Kantor Pertanahan untuk MPPD.
(6) Sekretaris dan anggota sekretariat berasal dari unsur Kementerian.
Bagian Ketiga
Pengangkatan Majelis Pembina dan Pengawas
Pejabat Pembuat Akta Tanah
Paragraf 1
Persyaratan
Pasal 21
(1) Persyaratan pengangkatan sebagai Majelis Pembina dan Pengawas PPAT, yaitu:
a. berkewarganegaraan Indonesia;
b. berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau pejabat di Kementerian yang mempunyai pengalaman di bidang hak tanah dan pendaftaran tanah;
c. tidak sedang ditetapkan sebagai tersangka dengan ancaman hukuman pidana paling sedikit 5 (lima) tahun; dan
d. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipenuhi, Menteri, Kepala Kantor Wilayah BPN atau Kepala Kantor Pertanahan dapat langsung menunjuk pegawai Kementerian sebagai Majelis Pembina dan Pengawas PPAT.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan melampirkan dokumen:
a. fotokopi kartu tanda penduduk atau tanda bukti diri lain yang sah;
b. tanda bukti kepegawaian untuk pegawai/pejabat di Kementerian;
c. kartu tanda anggota IPPAT, bagi unsur IPPAT;
d. fotokopi ijazah sarjana yang bersangkutan atau Surat Keputusan Pengangkatan sebagai pejabat di Kementerian;
e. surat pernyataan tidak pernah dihukum.
Paragraf 2
Pengusulan
Pasal 22
(1) Pengusulan anggota MPPP diajukan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal, dengan ketentuan:
a. anggota dari unsur Kementerian, diajukan oleh Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk; dan
b. jabatan wakil ketua dan anggota dari unsur IPPAT, diajukan oleh pengurus pusat IPPAT.
(2) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan pertimbangan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(3) Jabatan wakil ketua dan anggota ditetapkan oleh Menteri berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal Menteri tidak menyetujui usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menunjuk jabatan wakil ketua atau anggota MPPP.
Pasal 23
(1) Pengusulan anggota MPPW diajukan kepada Direktur Jenderal melalui Kepala Kantor Wilayah BPN, dengan ketentuan:
a. anggota dari unsur Kementerian, diajukan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN atau pejabat yang ditunjuk; dan
b. jabatan wakil ketua dan anggota dari unsur IPPAT, diajukan oleh pengurus wilayah IPPAT.
(2) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan pertimbangan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(3) Jabatan wakil ketua dan anggota ditetapkan oleh Direktur Jenderal berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal Direktur Jenderal tidak menyetujui usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal dapat menunjuk jabatan wakil ketua atau anggota MPPW.
Pasal 24
(1) Pengusulan anggota MPPD diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN melalui Kepala Kantor Pertanahan, dengan ketentuan:
a. anggota dari unsur Kementerian, diajukan oleh Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk; dan
b. jabatan wakil ketua dan anggota dari unsur IPPAT, diajukan oleh pengurus daerah IPPAT.
(2) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan pertimbangan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(3) Jabatan wakil ketua dan anggota ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal Kepala Kantor Wilayah BPN tidak menyetujui usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Wilayah BPN dapat menunjuk jabatan wakil ketua atau anggota MPPD.
Paragraf 3
Masa Jabatan
Pasal 25
(1) Jabatan Ketua Majelis Pembina dan Pengawas PPAT melekat pada jabatan di Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 18 ayat (2) huruf a dan Pasal 19 ayat (2) huruf a.
(2) Masa jabatan wakil ketua dan anggota Majelis Pembina dan Pengawas PPAT selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali dan paling banyak selama 2 (dua) periode.
Paragraf 4
Sumpah Jabatan
Pasal 26
(1) Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Pembina dan Pengawas PPAT sebelum melaksanakan tugasnya harus mengangkat sumpah di hadapan pejabat yang mengangkatnya atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Pengucapan sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal keputusan pengangkatan sebagai ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Pembina dan Pengawas PPAT.
(3) Berita Acara Pengangkatan Sumpah tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Bagian Keempat
Pemberhentian Majelis Pembina dan Pengawas
Pejabat Pembuat Akta Tanah
Pasal 27
(1) Pemberhentian Majelis Pembina dan Pengawas PPAT, meliputi:
a. pemberhentian dengan hormat;
b. pemberhentian dengan tidak hormat; dan
c. pemberhentian sementara.
(2) Majelis Pembina dan Pengawas PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, karena:
a. meninggal dunia;
b. telah berakhir masa jabatannya;
c. permintaan sendiri;
d. pindah wilayah kerja;
e. kehilangan kewarganegaraan Indonesia; dan/atau
f. tidak sehat jasmani dan/atau rohani.
(3) Majelis Pembina dan Pengawas PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, karena:
a. dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
b. melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan;
c. telah melanggar sumpah jabatan; dan/atau
d. tidak menghadiri rapat dan/atau sidang Majelis Pembina dan Pengawas PPAT sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut atau 6 (enam) kali tidak berturut-turut dalam masa 1 (satu) tahun jabatan tanpa alasan yang sah.
(4) Majelis Pembina dan Pengawas PPAT diberhentikan sementara dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, karena diduga melakukan tindak pidana dan ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa.
(5) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 28
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), jabatan wakil ketua atau anggota Majelis Pembina dan Pengawas PPAT yang berasal dari unsur IPPAT dapat diberhentikan dari Majelis Pembina dan Pengawas PPAT karena diberhentikan dari jabatannya selaku PPAT sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 29
(1) Dalam hal terjadi kekosongan anggota Majelis Pembina dan Pengawas PPAT karena pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28, Menteri, Direktur Jenderal atau Kepala Kantor Wilayah BPN sesuai kewenangannya, dapat meminta kepada pejabat yang berwenang mengusulkan atau pengurus IPPAT, untuk mengajukan calon pengganti.
(2) Ketentuan penunjukan calon pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memperhatikan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(3) Masa jabatan calon pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sisa masa jabatan yang digantikan.
BAB V
TATA KERJA PEMERIKSAAN DUGAAN PELANGGARAN
PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
Bagian Kesatu
Pemeriksaan oleh MPPD
Pasal 30
(1) Pemeriksaan atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT dilaksanakan mulai dari tingkat MPPD.
(2) Dalam hal dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT secara jelas telah terbukti dan nyata, Kepala Kantor Pertanahan dapat langsung memberikan sanksi berupa surat teguran tertulis kepada PPAT tanpa melalui pemeriksaan oleh MPPD.
(3) MPPD sebagaimana dimaksud ayat (1) menindak-lanjuti temuan Kantor Wilayah BPN atau Kantor Pertanahan terhadap pelanggaran pelaksanaan jabatan PPAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (7) dan/atau pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (7), dengan membentuk dan menugaskan Tim Pemeriksa MPPD untuk melakukan pemeriksaan.
(4) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk Surat Tugas.
(5) Ketua, wakil ketua dan anggota MPPD dapat menjadi tim pemeriksa dengan syarat tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga atau orang lain yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan.
(6) Tim Pemeriksa MPPD melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan melakukan pemanggilan terhadap PPAT terlapor untuk diminta keterangan.
Pasal 31
(1) Pemanggilan terhadap PPAT terlapor dilakukan melalui surat yang ditanda-tangani oleh ketua MPPD.
(2) Dalam keadaan mendesak pemanggilan dapat dikirimkan melalui faksimili dan/atau surat elektronik yang segera disusul dengan surat pemanggilan resmi.
(3) Pemanggilan terhadap PPAT terlapor dilakukan paling banyak 3 (tiga) kali.
(4) Terlapor wajib hadir sendiri memenuhi panggilan dan tidak boleh didampingi penasihat hukum.
(5) Pemanggilan pertama dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sebelum pemeriksaan.
(6) Apabila pemanggilan pertama kali sampai dengan hari ke 7 (tujuh) hari kalender terlapor tidak datang sejak tanggal pemanggilan, maka dilakukan panggilan kedua.
(7) Apabila jangka waktu 7 (tujuh) hari kalender setelah panggilan kedua terlapor tidak datang, dilakukan pemanggilan ketiga.
(8) Apabila 7 (tujuh) hari kalender setelah panggilan ketiga terlapor tidak datang, proses pemeriksaan dapat dilanjutkan tanpa kehadiran terlapor.
Pasal 32
(1) Keterangan dari terlapor dituangkan dalam Berita Acara Pemberian Keterangan yang ditanda-tangani oleh pemeriksa dan terlapor.
(2) Apabila terlapor tidak mau menanda-tangani Berita Acara Pemberian Keterangan, pemeriksaan tetap dapat dilanjutkan.
(3) Berita Acara Pemberian Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan format tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 33
(1) Penentuan pengambilan keputusan dilaksanakan dengan rapat pembahasan yang diselenggarakan di Kantor Pertanahan.
(2) Hasil pelaksanaan rapat pembahasan dituangkan dalam bentuk Berita Acara Pengambilan Keputusan.
(3) Berita Acara Pengambilan Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat sesuai dengan format tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 34
(1) Hasil pemeriksaan MPPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 33 dibuat dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksaan dan disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan.
(2) Laporan Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat alasan dan pertimbangan yang dijadikan dasar untuk memberikan rekomendasi dalam pemberian putusan dan jenis sanksi terhadap PPAT terlapor.
(3) Laporan Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan format tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(4) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. pemberian sanksi teguran tertulis;
b. pemberian sanksi pemberhentian berupa pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat; atau
c. tidak terjadi indikasi pelanggaran.
Pasal 35
(1) Dalam hal hasil pemeriksaan berupa rekomendasi pemberian sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) huruf a, Kepala Kantor Pertanahan menindak-lanjuti dengan menerbitkan surat teguran tertulis kepada PPAT.
(2) Dalam hal hasil pemeriksaan berupa rekomendasi pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) huruf b, Kepala Kantor Pertanahan menyampaikan usulan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN selaku ketua MPPW.
(3) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa tidak adanya indikasi pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) huruf c, maka Kepala Kantor Pertanahan memberitahukan kepada PPAT yang bersangkutan dengan ditembuskan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN.
Pasal 36
(1) Surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) atau Pasal 35 ayat (1) memuat jenis pelanggaran dan tindak lanjut yang harus dipenuhi oleh PPAT.
(2) Surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) bulan.
(3) Dalam hal PPAT tidak mematuhi dan/atau tidak menindaklanjuti teguran tertulis kesatu sampai dengan jangka waktu 14 (empat belas) hari kalender, dapat langsung diberikan teguran tertulis kedua.
(4) Sanksi berupa teguran tertulis diberikan paling banyak 2 (dua) kali.
(5) Surat teguran tertulis dibuat sesuai dengan format tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(6) Dalam hal PPAT telah mendapatkan teguran sebanyak 2 (dua) kali dan PPAT tetap melakukan pelanggaran, Kepala Kantor Pertanahan melaporkan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN untuk diberikan sanksi berupa pemberhentian sementara.
Pasal 37
(1) PPAT yang dikenai sanksi berupa teguran tertulis oleh Kepala Kantor Pertanahan dapat mengajukan keberatan.
(2) Dalam hal pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT secara jelas telah terbukti dan nyata, PPAT tidak dapat mengajukan keberatan.
(3) Permohonan keberatan diajukan secara tertulis kepada Kepada Kantor Wilayah BPN dalam tenggang waktu paling lama 14 (empat belas) hari kalender sejak surat teguran diterima.
Bagian Kedua
Pemeriksaan oleh MPPW
Pasal 38
(1) Ketua MPPW menindak-lanjuti:
a. usulan Kepala Kantor Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (6); atau
b. keberatan PPAT terlapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, dengan membentuk dan menugaskan Tim Pemeriksa MPPW untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengkajian atas usulan atau keberatan.
(2) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk Surat Tugas.
(3) Ketua, wakil ketua dan anggota MPPW dapat menjadi tim pemeriksa dengan syarat tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga atau orang lain yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan.
(4) Tim Pemeriksa MPPW melaksanakan pemeriksaan dan/atau pengkajian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan melakukan pemanggilan terhadap PPAT terlapor untuk diminta keterangan.
Pasal 39
Ketentuan pemanggilan terlapor, pengambilan keterangan, dan pengambilan keputusan oleh Tim Pemeriksa MPPW mutatis mutandis dengan ketentuan pemanggilan terlapor, pengambilan keterangan, dan pengambilan keputusan oleh Tim Pemeriksa MPPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 sampai dengan Pasal 33.
Pasal 40
(1) Hasil pemeriksaan dan/atau pengkajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39 dibuat dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksaan dan/atau Pengkajian, dan disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN.
(2) Ketentuan Laporan Hasil Pemeriksaan dan/atau Pengkajian oleh Tim Pemeriksa MPPW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mutatis mutandis dengan ketentuan Laporan Hasil Pemeriksaan oleh Tim Pemeriksa MPPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3).
(3) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. pemberian sanksi pemberhentian sementara;
b. menyetujui atau menolak keberatan terlapor; atau
c. rekomendasi pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian tidak dengan hormat.
Pasal 41
(1) Dalam hal hasil pemeriksaan berupa pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf a, Kepala Kantor Wilayah BPN menindak-lanjuti dengan menerbitkan Surat Keputusan Pemberhentian Sementara.
(2) Surat Keputusan Pemberhentian Sementara dibuat sesuai dengan format tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) Dalam hal hasil pemeriksaan berupa persetujuan atas keberatan oleh PPAT terlapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf b, Kepala Kantor Wilayah BPN menerbitkan surat keputusan untuk membatalkan surat teguran yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan.
(4) Kepala Kantor Wilayah BPN menerbitkan surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak diterimanya rekomendasi dari tim pemeriksa MPPW.
(5) Surat Keputusan Pembatalan Teguran dibuat sesuai dengan format tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(6) Dalam hal hasil pemeriksaan berupa menolak keberatan oleh PPAT terlapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf b, Kepala Kantor Wilayah BPN memberitahukan kepada PPAT yang bersangkutan dengan ditembuskan kepada Kepala Kantor Pertanahan.
(7) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa rekomendasi pemberian sanksi pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf c, Kepala Kantor Wilayah BPN menyampaikan usulan kepada Direktur Jenderal selaku ketua MPPP.
Pasal 42
(1) Jangka waktu berlakunya pengenaan sanksi harus dinyatakan secara tegas dinyatakan dalam Surat Keputusan Pemberhentian Sementara.
(2) Jangka waktu pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.
(3) Setelah berakhirnya jangka waktu pemberhentian sementara, yang bersangkutan wajib melapor kepada Kepala Kantor Pertanahan sebelum menjalankan jabatannya.
(4) Sanksi berupa pemberhentian sementara diberikan paling banyak 2 (dua) kali.
(5) Dalam hal PPAT telah mendapatkan sanksi berupa pemberhentian sementara sebanyak 2 (dua) kali dan PPAT tetap melakukan pelanggaran, Kepala Kantor Wilayah BPN melaporkan kepada Menteri untuk diberikan sanksi berupa pemberhentian dengan hormat atau dengan tidak hormat.
Pasal 43
(1) PPAT yang dikenai sanksi pemberhentian sementara oleh Kepala Kantor Wilayah BPN dapat mengajukan keberatan.
(2) Permohonan keberatan diajukan secara tertulis kepada Menteri dalam tenggang waktu paling lama 14 (empat belas) hari kalender sejak keputusan diterima.
Bagian Ketiga
Pemeriksaan oleh MPPP
Pasal 44
(1) Ketua MPPP menindak-lanjuti:
a. usulan Kepala Kantor Wilayah BPN sebagaimana dimaksud dalam 41 ayat (6); atau
b. permohonan keberatan PPAT terlapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, dengan membentuk dan menugaskan Tim Pemeriksa MPPP untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengkajian atas usulan atau keberatan.
(2) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk Surat Tugas.
(3) Ketua, wakil ketua dan anggota MPPP dapat menjadi tim pemeriksa dengan syarat tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga atau orang lain yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan.
(4) Tim Pemeriksa MPPP melaksanakan pemeriksaan dan/atau pengkajian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan melakukan pemanggilan terhadap PPAT terlapor untuk diminta keterangan.
Pasal 45
Ketentuan pemanggilan terlapor, pengambilan keterangan, dan pengambilan keputusan oleh Tim Pemeriksa MPPP mutatis mutandis dengan ketentuan pemanggilan terlapor, pengambilan keterangan, dan pengambilan keputusan oleh Tim Pemeriksa MPPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 sampai dengan Pasal 33.
Pasal 46
(1) Hasil pemeriksaan dan/atau pengkajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dan Pasal 45 dibuat dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksaan dan/atau Pengkajian, dan disampaikan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal.
(2) Ketentuan Laporan Hasil Pemeriksaan dan/atau Pengkajian oleh Tim Pemeriksa MPPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mutatis mutandis dengan ketentuan Laporan Hasil Pemeriksaan oleh Tim Pemeriksa MPPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3).
(3) Rekomendasi hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. pemberian sanksi pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat; atau
b. menyetujui atau menolak keberatan terlapor.
Pasal 47
(1) Dalam hal hasil pemeriksaan berupa pemberian sanksi pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3) huruf a, Menteri menindaklanjuti dengan menetapkan Surat Keputusan Pemberhentian Dengan Hormat atau Surat Keputusan Pemberhentian Dengan Tidak Hormat.
(2) Penetapan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan format tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) Dalam hal hasil pemeriksaan berupa persetujuan atas keberatan oleh PPAT terlapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3) huruf b, Menteri menerbitkan surat keputusan untuk membatalkan keputusan pemberhentian sementara yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN.
(4) Surat Keputusan Pembatalan Pemberian Sanksi Pemberhentian Sementara dibuat sesuai dengan format tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(5) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa menolak keberatan oleh PPAT terlapor, Menteri memberitahukan kepada PPAT yang bersangkutan dengan ditembuskan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN dan Kantor Pertanahan.
(6) Keputusan yang telah ditetapkan oleh Menteri kepada PPAT terlapor bersifat final.
Bagian Keempat
Penyampaian Hasil Pemeriksaan
Pasal 48
(1) Setiap hasil dari pemeriksaan oleh MPPD, MPPW atau MPPP berupa rekomendasi, salinan berita acara / surat / keputusan pemberian sanksi disampaikan secara resmi melalui surat kepada PPAT yang melakukan pelanggaran dan ditembuskan kepada IPPAT atau kepada pelapor jika diperlukan.
(2) Bukti penyampaian surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa cap pos atau cara lain yang sah.
Bagian Kelima
Pengenaan Status Quo
Pasal 49
(1) PPAT yang diduga melakukan pelanggaran dan sedang dalam usulan pemberian sanksi berupa pemberhentian, tidak boleh menjalankan jabatan PPAT (status quo).
(2) Keadaan status quo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sampai dengan ditetapkannya sanksi yang ditetapkan oleh Kementerian.
BAB VI
BANTUAN HUKUM TERHADAP
PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
Pasal 50
(1) Kementerian, Majelis Pembina dan Pengawas PPAT dan/atau IPPAT dapat memberikan bantuan hukum terhadap PPAT yang dipanggil sebagai saksi maupun tersangka oleh penyidik.
(2) PPAT yang yang dipanggil sebagai saksi maupun tersangka oleh penyidik dapat mengajukan permohonan bantuan hukum.
(3) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa saran, masukan / pendampingan dalam penyidikan dan/atau keterangan ahli di pengadilan.
(4) Kementerian, Majelis Pembina dan Pengawas PPAT dan/atau IPPAT dapat membentuk tim gabungan guna memberikan bantuan hukum kepada PPAT yang anggotanya berasal dari unsur Kementerian, Majelis Pembina dan Pengawas PPAT dan/atau IPPAT.
(5) Dalam hal penyidik akan memeriksa PPAT atas dugaan tindak pidana dapat berkoordinasi dengan Kementerian, Majelis Pembina dan Pengawas PPAT dan/atau IPPAT.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 51
(1) Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. MPPP dibentuk paling lama 3 (tiga) bulan sejak Peraturan Menteri ini diundangkan;
b. hasil kegiatan pembinaan dan pengawasan yang telah dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan atau Kantor Wilayah BPN, dinyatakan tetap sah dan dapat menjadi bahan pertimbangan pemberian sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri ini; dan
c. kegiatan pembinaan dan pengawasan yang masih dalam proses, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri ini.
(2) Dalam hal MPPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a telah terbentuk maka MPPW dan MPPD harus segera dibentuk paling lama 6 (enam) bulan sejak dibentuknya MPPP.
(3) Dalam hal pada Kabupaten / Kota belum terdapat PPAT atau belum terbentuk MPPD, maka pemeriksaan di Kantor Pertanahan dapat dibantu oleh MPPW atau MPPP.
Pasal 52
(1) PPAT yang melanggar ketentuan terkait pidana sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan belum dikenai sanksi, wajib dilakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri ini.
(2) Pelanggaran terkait pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi PPAT yang:
a. sedang dalam pemeriksaan pengadilan sebagai terdakwa suatu perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat;
b. telah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih; atau
c. telah selesai menjalani hukuman.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 53
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan dalam:
a. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah; dan
b. ketentuan lainnya, sepanjang mengatur mengenai pembinaan dan pengawasan PPAT dan/atau bertentangan dengan Peraturan Menteri ini,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 54
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Februari 2018
MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG / KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,
ttd
SOFYAN A. DJALIL
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 Maret 2018
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.