KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Aturan Main Jumlah KUORUM dan VOTING Perseroan Terbatas bila Anggaran Dasar Tidak Mengaturnya


LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya seperti apa pengaturan perihal kuorum dan voting ketika hendak membuat atau menyelenggarakan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), bila tidak ada pengaturannya dalam Akta Pendirian Perseroan Terbatas, atau dengan kata lain ketika Anggaran Dasar perseroan hanya mengatakan secara sumir : “mengikuti ketentuan kuorum dan voting sebagaimana diatur dalam undang-undang”?

Kemustahilan Menjelma Keniscayaan, MENGAPA BARU SEKARANG? KEMANA SAJA SEJAK DAHULU?

ARTIKEL HUKUM
Fenomena “Permisi, Paket!... BERISIK!!!
Sebelum wabah pandemik Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) melanda sejumlah negara termasuk Indonesia, praktik pada berbagai instansi pemerintahan masih sangat kuno (terbelakang), tidak canggih meski era digital telah lama kita kenal, konvensional, manual, bertele-tele, disesaki salinan dokumen yang menyerupai “prosedur sekedar demi memuaskan kecentilan prosedur belaka”, serta berbelit-belit dan membuang waktu alias tidak efisien, tidak tepat guna, serta tidak efektif.

The Wildest Imagination of a Child of Human Being. Imajinasi Paling Liar dari seorang Anak Manusia

HERY SHIETRA, The Wildest Imagination of a Child of Human Being. Imajinasi Paling Liar dari seorang Anak Manusia

In your opinion,
If only Albert Einstein was thrown into folded space and entered the leap of time,
Then it fell into the stone age, the world of ancient humans,
Will Albert Einstein be a human being who is praised and respected like in modern times?
Of course not,
Albert Einstein would actually be seen as the strangest human being in the eyes of ancient humans in the stone age.

Kebohongan Terbesar (Pengelabuan) Otoritas Bursa Efek Pasar Modal

LEGAL OPINION
Question: Bursa Efek Indonesia saat mengkampanyekan jual-beli saham, mengatakan kepada publik agar tertarik membeli saham di bursa efek, bahwa (seolah) kita dapat menjadi pemilik perusahaan dengan cara membeli saham yang mereka jual di pasar modal. Sebenarnya secara hukum pandangannya seperti apa, kedudukan dari seorang pembeli saham di pasar modal terhadap perusahaan yang kita beli sahamnya yang listing di bursa efek ini?

Kiat Penting Menyusun Memori Banding / Kasasi, Idealnya Surat Memori / Kontra Memori Dibuat TEBAL ataukah TIPIS?

LEGAL OPINION
Question: Ketika hendak membuat surat “memori banding” ataupun “kontra memori banding” karena pihak lawan juga sama-sama mengajukan banding (upaya hukum) terhadap putusan Pengadilan Negeri, sebaiknya dibuat secara “tebal” dengan segudang dalil atau bagaimana, cukup sedikit saja? Sebenarnya ini memang masalah klasik bagai duri dalam daging, namun apakah artinya tidak dapat dipertanyakan bahaya dibalik setiap opsi yang ada, semisal konsekuensinya yang paling logis untuk dapat diterangkan?
Konon, saat tingkat kasasi ke Mahkamah Agung, para Hakim Agung lebih menyukai “memori kasasi” yang “tipis” saja, apa betul begitu? Banyak sekali kecacatan dan kejanggalan dalam putusan Pengadilan Negeri, yang ingin disinggung dan dituangkan ke dalam “memori banding”, namun (konsekuensinya) akan menjadi sangat “tebal”. Disini menjadi sangat dilematis dari sisi psikologis, bahkan sejak sebelum menyusun outline dalil dalam draf memori.
Semisal, hakim Pengadilan Negeri dalam putusannya membuat pernyataan yang tidak ada di kontrak yang menjadi objek sengketa, seolah terkesan hanya mengutip atau sekadar menyadur “mentah-mentah” dalil-dalil yang disampaikan pihak tergugat (tanpa benar-benar membutkikan dalil gugatan maupun dalil bantahan dengan cross-chek terhadap alat bukti), itu sudah merupakan bukti konkret persangkaan adanya kolusi antara hakim dan pihak tergugat. Apakah tentang isu ini juga sebaiknya disinggung dalam “memori banding”? Rasanya sayang sekali bila tidak disinggung dan dipermasalahkan kembali isu ini.

Perbedaan FIAT EKSEKUSI dan PARATE EKSEKUSI, bahkan Mahkamah Konstitusi RI pun Tidak Mampu Memahami Perbedaan Keduanya

LEGAL OPINION
Eksekusi Jaminan Fidusia Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, MK RI bahkan TIDAK DAPAT MEMBEDAKAN ANTARA LEASING DAN KREDIT, Menghasilkan Putusan yang Tidak Sesuai Proporsi
Lex neminem cigit ad impossibilta.
Undang-undang tidak memaksakan seseorang untuk melakukan sesuatu yang MUSTAHIL
Question: Jadi, sebenarnya sekarang ini bagaimana kepastian hukum bagi kreditor pemegang jaminan fidusia ketika hendak mengeksekusi agunan ketika debitor menunggak dan cidera janji (setelah terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020 terkait uji materiil Undang-Undang Fidusia, dimana Mahkamah Konstitusi RI dalam putusannya menyatakan : “...di mana pemberi hak fidusia (debitur) tidak mengakui adanya “cidera janji” (wanprestasi) dan keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri.”)?
Namanya juga lelang eksekusi, jika debitor (secara) sukarela serahkan itu kendaraan yang dijadikan agunan dengan diikat sebagai jaminan fidusia yang artinya disaat bersamaan juga mengakui telah menunggak cicilan pelunasan, maka buat apa juga dijual lelang di Kantor Lelang Negara yang dikenakan bea lelang, akan lebih efisien dan lebih efektif bila debitor atas izin kreditor lalu menjualnya (secara) “dibawah-tangan” objek kendaraan miliknya itu untuk melunasi hutang. Jika diserahkan secara sukarela, mengapa namanya masih disebut lelang EKSEKUSI?
Putusan Mahkamah Konstitusi ini juga ada menyatakan, adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur, atau atas dasar gugatan kreditor terhadap debitornya agar pengadilan menyatakan telah terjadinya cidera janji oleh sang debitor. Hal demikian membingungkan kalangan kreditor ketika mencoba mengaplikasikan logika putusan Mahkamah Konstitusi dalam praktiknya, semisal jika memang kreditor harus terlebih dahulu gugat debitornya agar pengadilan mengatakan bahwa betul debitor telah wanprestasi, pertanyaannya wanprestasi terhadap apa? Jelas (wanprestasi) terhadap Akta Kredit, dan bukankah dalam Akta Kredit dari semula sudah pernah diatur dan disepakati kapan perbuatan ataupun lalainya debitor dinyatakan sebagai wanprestasi? Lantas, untuk apa lagi disepakati ulang saat kondisi debitor telah “macet” pelunasan hutangnya? Tidak logis dan tidak masuk akal.
Bukankah sudah disepakati apa dan kapan itu terjadinya wanprestasi saat semua pihak tanda-tangan akad kredit? Jika sedari awal sudah sepakat semisal menunggak cicilan bulanan artinya wanprestasi, lantas apanya lagi yang perlu disepakati? Silahkan saja bila debitor hendak menggugat kreditor, seperti yang selama ini terjadi, namun mengapa beban ini harus diputar dimana kreditor yang kemudian dibebani kewajiban untuk menggugat debitornya?
Kendaraan objek kredit artinya bisa dinikmati hingga bertahun-tahun dikuasai oleh debitor meski nyata-nyata menunggak hutang, hingga putusan inkracht (berkekuatan hukum tetap) di kasasi? Mengapa jadi beban menggugat ini, kini dialihkan jadi beban kreditor yang harus direpotkan menggugat debitornya jika ingin bisa eksekusi fidusia? Lantas, dimana dan apa bedanya antara eksekusi jaminan fidusia dan menang gugatan lalu sita eksekusi via pengadilan? Jika begitu, untuk apa lagi ada yang namanya jaminan fidusia? Mengapa tidak sekalian bubarkan saja undang-undang fidusia ini, terlebih disebut sabagai jaminan atau agunan?

Bangsa TUHANIS, HUMANIS, HEWANIS, ataukah PREMANIS

ARTIKEL HUKUM
Kita dapat membuat derajat “aktualisasi diri” seorang manusia, melanjuti teori Abraham Maslow perihal derajat pencapaian manusia, yang bila masih sibuk-berjibaku mencari makan dengan hampir seluruh waktu kita maka dapat dipastikan sukar bagi kita untuk meluangkan waktu guna melakukan ekspansi diri. Namun, teori Maslow dalam realitanya berbenturan dengan segala “anomali sosial” yang sukar dikotak-kotakkan dengan kategori sebagaimana yang diperkenalkan oleh Maslow.

Joint Venture Agreement / Shareholders Agreement para Calon Pendiri Perseroan Terbatas

LEGAL OPINION
Question: Apakah “shareholder agreement” atau semacam “joint venture agreement” antar para pendiri suatu perusahaan (Perseroan Terbatas), pada suatu hari nanti salah satu pihak pendiri hendak menjual saham perusahaan ini kepada phak ketiga, maka apakah artinya isi klausul-klausul yang sebelumnya disepakati para pendiri dalam “shareholder agreement” ini, juga akan turut beralih kepada pembeli atau pemegang saham baru yang artinya menggantikan posisi atau kedudukan hukum pendiri lama terhadap pihak pendiri lainnya?
Juga jika pihak pendiri lainnya menjual saham perusahaan, apakah pihak ketiga yang membeli saham dari pendiri lainnya tersebut akan terikat pada “shareholder agreement” yang disepakati para pendiri saat kali pertamanya perusahaan didirikan? Bagaimana jika pada perusahaan ini nantinya, sudah tidak ada satu pun lagi diantara para pendirinya yang masih memegang saham karena telah dijual, apakah artinya pembeli atau pemegang saham baru menjadi terikat atau dapat menuntut pemegang saham lain berdasarkan isi pasal-pasal dalam “shareholder agreement” yang dahulu pernah disepakati dan dibentuk oleh para pendiri perusahaan?
Bagaimana pula bila satu orang pendiri, menjual separuh dari total saham miliknya kepada pihak pembeli, apakah pemegang saham baru ini juga artinya punya hak dan kewajiban yang sama dengan pihak pendiri dalam “shareholder agreement” tersebut? Sebelumnya, “shareholder agreement” itu sebetulnya apa, dan dimana letak kedudukan daya ikat hukumnya bagi para pendiri setelah perusahaan kemudian berdiri dan beroperasi dalam jangka panjang?

Ketika Jaksa Penuntut Justru Memihak dan Pro terhadap Terdakwa, sementara Kewenangan Menuntut Dimonopoli Kejaksaan, Penuntutan Pidana sebagai Sarana Mencuci Dosa Pelaku Kejahatan

ARTIKEL HUKUM
Apa jadinya, bila Jaksa Penuntut Umum justru menjadi pembela perilaku jahat pelaku kejahatan yang dituntut oleh sang Jaksa Penuntut, bukankah hal demikian menjadi “conflict of interest”, mengingat Jaksa Penuntut melakukan upaya penuntutan mewakili serta (semestinya) demi kepentingan korban pelapor, mengingat Kejaksaan memonopoli kewenangan menuntut? Apakah tidak mungkin, penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum menjelma sarana “mencuci dosa” para Terdakwa? Seperti apa sajakah, “moral hazard” dibalik kewenangan monopolistik menuntut yang selama ini menjadi kewenangan tunggal Kejaksaan, serta apakah masih ada relevansi monopolistik mengakses keadilan pidana bagi korban tindak kriminal demikian?

Hikikomori Tidak Pernah Menyakiti Orang Lain, Manusia yang Menjadi Predator yang Menyakiti dan Memangsa Sesamanya Barulah Penyakit Sosial yang Sesungguhnya

LEGAL OPINION
Question: Hikikomori disebut sebagai penyakit sosial atau manusia “tidak normal”? Mengapa masyarakat kita yang suka berada di luar rumah, namun lebih aktif menipu dan merugikan orang lain, disebut sebagai manusia “normal”? Mengapa, orang-orang yang tidak pernah menyakiti ataupun merugikan orang lain, disebut sabagai “anti sosial”, sementara para koruptor yang memiliki banyak relasi dan kerabat, disebut sebagai memiliki “kecerdasan bersosialisasi”? Mengapa seolah menjadi seorang Hikikomori adalah sebuah kejahatan? Hikikomori barulah buruk dan negatif, sepanjang menjadi beban bagi orang lain atas pilihan hidupnya sendiri. Ada seorang tetangga, yang sudah diketahui warga sekitar merupakan koruptor, memiliki banyak harta namun bersumber dari uang kotor, dan dirinya tidak jarang merendahkan martabat seorang hikikomori. Bukankah yang semestinya lebih merasa malu dan memalukan ialah perbuatan si koruptor itu sendiri, mengapa seolah korupsi lebih terhormat daripada menjadi seorang hikikomori?
Masyarakat kita sendiri yang membuat kaum hikikomori menjadi seorang hikikomori, tidak nyaman hidup di tengah-tengah masyarakat yang tidak mampu menghargai harkat dan martabat sesama manusia, dapat sewaktu-waktu dilukai dan dirugikan tanpa ada rasa bersalah dari pelakunya, sehingga kaum hikikomori lebih memilih menghindar dan menarik diri dari masyarakat semacam ini, tidak ingin lagi disakiti dan trauma. Hikikomori adalah sebagai akibat, sehingga terjadinya bukan semata karena faktor keinginan atau dorongan internal seorang hikikomori. Hikikomori termasuk kaum minoritas, adakah sistem hukum kita di Indonesia mengakomodasi kepentingan, suara, serta aspirasi dan perlindungan bagi kaum hikikomori?

Kode Etik Segala Profesi, TRANSPARANSI kepada Konsumen / Pengguna Jasa

ARTIKEL HUKUM
Memang mengherankan, ketika Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) kita banyak diisi oleh tenaga pengajar “teoretis” ketimbang tenaga pengajar “praktisi”, sehingga para peserta didik SMK kita tidak pernah “siap pakai” ketika memasuki dunia kerja sebagai angkatan kerja terbuka. Mengapa para pengelola SMK kita tidak secara transparan saja, membuka pendaftaran siswa baru dengan spanduk besar “Sekolah Menengah TEORI” ketimbang “Sekolah Menengah KEJURUAN”—sehingga para lulusannya pun ketika melamar pekerjaan tidak mengaku-ngaku sebagai tenaga terampil lengkap dengan izasah SMK, alih-alih izasah SMT.

The Freeway to HELL. Jalan Bebas Hambatan Menuju NERAKA

HERY SHIETRA, The Freeway to HELL. Jalan Bebas Hambatan Menuju NERAKA

Those who have a lot of wealth during their lives as humans,
And who has absolutely no material possessions in his entire life,
Sooner or later,
They and we will all die,
Without exception,
The rich and the poor.
The only thing they and we will bring after death,
It’s just karmic savings.
Both good karma and bad karma.

Yang Selama Ini Hidup dari Pedang, akan Mati dari Pedang, Sudah Selayaknya dan Seadilnya Demikian

ARTIKEL HUKUM
Menurut Anda, para pembaca yang budiman dan yang sangat penulis “kasihi” (yang terkadang juga penulis “kasihani”, karena sebetulnya banyak diantara ulasan dan artikel yang penulis tulis, sejatinya dapat dipikirkan oleh Anda sendiri secara akal-sehat dan nurani kata-hati kita masing-masing secara mandiri serta berdikari, tanpa perlu penulis ajarkan dan beritahukan), dapat lolos dari penghukuman atas segala sikap buruk, kejahatan, ataupun “dosa-dosa” kita, adalah sebentuk kemujuran atau keberuntungan dan keuntungan bagi diri kita? Kecuali bila “urat malu” Anda telah putus, tiada orang beradab yang merasa bangga dapat “bermain curang” dan menjadi “buronan” yang melarikan diri dari penghukuman “Karma” atas perbuatan kita sendiri.

Hukum Tertinggi Bangsa Beradab : TIDAK MEREMEHKAN & TIDAK MENYEPELEKAN

ARTIKEL HUKUM
Bagi kita, sebuah boneka usang mungkin tidak memiliki nilai, namun tidak bagi pemilik boneka usang tersebut yang memiliki nilai sejarah dan kenangan tidak ternilai harganya. Karenanya, kita memiliki kewajiban untuk menghormati sudut pandang mereka yang paling memiliki kedekatan dengan sebuah nilai intrinsik atas suatu hal. Tidak ada hal yang remeh dan tidak ada hal yang sepele, dimana seseorang hanya berhak untuk meremehkan dan menyepelekan dirinya sendiri. Hanya orang-orang dangkal yang tidak berpikiran jauh ke depan dengan segala konsekuensi logisnya yang menyepelekan segala sesuatunya, lengkap dengan segala konsekuensi—setidaknya, itulah kesimpulan dari hasil observasi penulis ketika mengamati berbagai fenomena sosial baik via pemberitaan dengan suatu pola yang selalu serupa maupun pengamatan langsung di keseharian, entah pada lingkungan sekolah pendidikan, lingkungan peribadahan, lingkungan kerja, lingkungan pemukiman, hingga lingkungan jalan umum kita di Indonesia.

That Is Your Own Business and Problem, Not My Business or Problem. Itu adalah Urusan dan Masalah Anda, Bukan Urusan ataupun Masalah Milik Saya

HERY SHIETRA, That Is Your Own Business and Problem, Not My Business or Problem. Itu adalah Urusan dan Masalah Anda, Bukan Urusan ataupun Masalah Milik Saya

Instead of saying to others or to ourselves,
"I am studying",
Maybe, it would be better if we choose to say,
“I’m practicing what I like and this is my hobby”.
Instead of saying to others or to ourselves,
“I’m taking a school exam”,
Maybe, it would be better if we choose to say,
“I’m taking part in quizzes and exciting, fun games. Do you want to join?”

Benar sebagai Benar, Salah sebagai Salah, Itulah yang Disebut sebagai Sikap RASIONAL

ARTIKEL HUKUM
Apa jadinya, seolah pelaku pembuat kesalahan atau bahkan seorang Terdakwa berkata publik, agar tidak “menyalah-nyalahkan” siapapun (tidak terkecuali untuk tidak “menyalah-nyalahkan” sang Terdakwa itu sendiri)? Lalu, menjadi salah siapa, salah korban kejahatan karena menjadi korban kejahatan? Adalah memang tugas pekerjaan dan tugas seorang Jaksa Penuntut Umum untuk “menyalah-nyalahkan” seorang Terdakwa, sebagaimana adalah tugas seorang penyidik Kepolisian untuk “menuduh” dan “menyalah-nyalahkan” seorang Tersangka, sebagaimana pula adalah memang dapat dimaklumi bila seorang Pengacara disewa oleh Terdakwa untuk “membenar-benarkan” perbuatan kliennya di persidangan, serta memang merupakan tugas dan tanggung-jawab seorang Hakim untuk menyatakan “yang benar sebagai benar”, dan yang “salah sebagai salah”, sama halnya memang sudah menjadi tugas seorang Algojo untuk mengeksekusinya.

Gadai Saham Perseroan Terbatas, ILEGAL karena DILARANG HUKUM, Kecuali Saham Tanpa Hak Suara PT. Terbuka (Tbk.)

LEGAL OPINION
MANDATORY EXCHANGEABLE BOND DILARANG OLEH UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS
Question: Apa benar, saham PT milik seorang atau milik para pemegang saham dapat diagunkan dengan “gadai saham”, sehingga saham perseroan dapat dijadikan sebagai jaminan pelunasan hutang?

Disparitas Vonis Amar Hukuman, Disparitas Ancaman Hukuman, Disparitas Persepsi Hakim dan Pembentuk Undang-undang, serta Deregulasi Pemidanaan

ARTIKEL HUKUM
Dalam ulasan pada kesempatan kali ini, kita akan mengulas sebuah topik ringan namun cukup sensitif serta jarang sekali disinggung dalam berbagai publikasi hukum lainnya, yakni perihal “legal gap sentencing” alias kesenjangan pemidanaan, akan tetapi bukan dalam konteks disparitas vonis pemidanaan antar putusan pengadilan, akan tetapi disparitas antara ancaman hukuman maksimum maupun minimum terhadap perbuatan / delik pidana yang dapat dijatuhkan oleh Majelis Hakim di pengadilan berupa vonis pidana penjara terhadap seorang Terdakwa.

And This Is Good News for Good People. Dan Inilah Kabar Baik untuk Orang-Orang Baik

HERY SHIETRA, And This Is Good News for Good People. Dan Inilah Kabar Baik untuk Orang-Orang Baik

Like flowers in a forest alienated from human sight or from human life,
The flowers still bloom beautifully.
Full of charm,
Pretty,
Gorgeous,
And elegant,
Even though no one witnessed its beauty.

Tidak Perlu Menegur Pelaku Kesalahan, akan LEBIH GALAK Mereka daripada Korbannya

ARTIKEL HUKUM
Tidak Perlu Memberi Teguran, Mereka Akan dan Pasti LEBIH GALAK daripada Kita selaku Korbannya, SESALAH APAPUN PERBUATAN MEREKA, bahkan Iblis pun Takut dengan Bangsa Indonesia, sebuah Negeri dimana Iblis Takut pada Manusia, karena Wataknya Lebih Iblis daripada Iblis
Tiada catatan sejarah ataupun kisah, dimana sang Iblis ternyata “lebih galak” daripada Tuhan, ketika Tuhan mencoba memberikan teguran pada sang Iblis yang berperilaku buruk. Karena, sekalipun sang Iblis adalah seorang iblis, dirinya akan selalu mengakui bahwa perilakunya buruk dan layak untuk dicela, tanpa pernah merasa perlu untuk berkelit, membantah, melawan, berkilah seribu satu alasan, menyewa pengacara di persidangan yang digelar oleh “Raja Neraka”, bahkan mencoba membungkam dan menganiaya yang menegur perilaku jahat sang Iblis.

Notaris Pembuat Akta, sebagai Saksi ataukah Turut Tergugat dalam Gugatan Perdata?

LEGAL OPINION
Question: Biasanya ketika mengajukan gugatan perdata ke pengadilan, terkait perjanjian dengan memakai akta otentik notaris, maka pihak notaris perlu turut ditarik sebagai pihak “Turut Tergugat”, yang mana bila tidak maka hakim pengadilan biasanya akan secara sumir menyatakan gugatan “tidak dapat diterima” dengan alasan “kurang pihak”. Apakah akan lebih baik, bila strateginya ialah tidak menjadikan pihak notaris sebagai “Turut Tergugat”, namun sebagai “saksi” (pemberi kesaksian) demi kepentingan pihak Penggugat (diajukan sebagai saksi oleh pihak Penggugat)?
Bukankah cara seperti ini akan jauh lebih menguntungkan baik pihak Penggugat maupun pihak notaris itu sendiri, karena kesaksian notaris ketika dihadapkan sebagai saksi menjadi memiliki kekuatan pembuktian berupa kesaksian dan pihak notaris pun akan senang karena cukup sekali hadir di persidangan dalam memberikan kesaksian, dibanding jika pihak notaris didudukkan sebagai pihak Turut Tergugat yang akan membuat persidangan menjadi berlarut-larut dan keterangan sang notaris dalam surat jawaban (atas gugatan) tidak dapat dikategorikan dengan kualitas sebagai seorang pemberi kesaksian. Hakim pun biasanya akan menilai yang lebih berbobot ialah keterangan saksi, terlebih saksi yang memberi keterangan secara “dibawah sumpah”.

Ciri-Ciri Bank / Leasing RENTENIR

ARTIKEL HUKUM
Sebenarnya judul dalam artikel ini cukup mengecoh, karena sejatinya setiap lembaga keuangan maupun lembaga pembiayaan di Indonesia, baik “plat merah” maupun swasta nasional maupun asing, adalah RENTENIR—sekalipun telah mengantungi izin dari pemerintah, sekalipun diawasi oleh otoritas, dan sekalipun telah berpuluh-puluh tahun beroperasi dan atau bahkan telah menjadi perusahaan “terbuka” (Tbk.). Apa yang penulis sebutkan dalam paragraf pembuka ini, bukanlah sebuah tudingan, namun berdasarkan penuturan seorang mantan pekerja perbankan.

Agama Orang Suci, Ritual Orang Suci, Perilaku Orang Suci

ARTIKEL HUKUM
Rakyat yang tidak patuh terhadap pemerintah suatu negara, merupakan cerminan pemerintah yang buruk. Murid yang senantiasa membangkang didikan gurunya, merupakan cerminan guru yang gagal. Seorang anak yang selalu menolak perintah orangtuanya, merupakan cerminan orangtua yang belum patut menjadi orangtua (skill “parenting”). Umat yang justru menasehati sang pemuka agama, jelas meruapakan cerminan rusaknya moralitas sang pemuka agama. Ketika yang bersalah justru lebih “galak” ketimbang korbannya atau pihak yang memberi teguran, itulah cerminan betapa rusak dan “sakit”-nya moralitas kolektif suatu bangsa.

Perbedaan antara EVOLUSI dan SELEKSI ALAM

ARTIKEL HUKUM
Virus penyebab flu, sudah lama dikenal oleh para kakek-nenek dan buyut kita, namun mengapa kita sebagai generasi penerusnya tidak juga kebal terhadap flu? Masih saja tidak sedikit diantara masyarakat kita yang mencampur-adukkan antara konsepsi “evolusi” terhadap konsep tentang “seleksi alam”, bahkan masih mengartikan “seleksi alam” atau yang berjulukan “the survival of the fittest” sebagai bermakna “siapa yang kuat maka dirinya-lah yang akan bertahan”—suatu salah-kaprah yang fatal, mengingat esensi dibalik teori Charles Darwin perihal “survival of fittest” bukan bermakna “siapa yang kuat maka ia yang bertahan”, namun siapa yang mampu beradaptasi maka ialah yang akan keluar sebagai pihak yang terus eksis melangsungkan hidupnya di muka Bumi ini.

The New Normal (DISASTER), Kebijakan SELAMATKAN DIRI MASING-MASING karena Pemerintah Hendak Lepas Tanggung-Jawab atas Nasib Rakyatnya

ARTIKEL HUKUM
Sudah “normal” keadaan saat ini, silahkan rakyat mencukupi kebutuhannya sendiri-sendiri tanpa lagi bergantung pada bantuan pemerintah—itulah pesan yang hendak dikomunikasikan oleh pemerintah kita. Kesimpulannya, yang disebut menurut “normal” untuk ukuran kamus tempo kini ialah hidup berdampingan dengan “mesin pembunuh” bernama Virus Menular Mematikan?

Modus Pemerkosaan terhadap Profesi Konsultan dengan Kedok Memesan Buku yang Ditulis oleh Sang Konsultan, Semudah Bermain HP

ARTIKEL HUKUM
Mungkinkah Anda dapat menemukan email pemesanan ebook yang dipasarkan dalam website ini, tanpa menyadari dan tanpa membaca keterangan bahwa website ini adalah website profesi Konsultan Hukum lengkap dengan peringatan dan larangan yang setidaknya tercantum secara begitu eksplisitnya dalam header website ini? Bukankah sudah sedemikian jelas, tanpa perlu diberi peringatan apapun, orang berakal sehat akan menyadari bahwa profesi konsultan mencari nafkah dengan menjual jasa konseling seputar hukum?

Atasi Akar Kejahatannya, Bukan Jalan Pintas Membakar Lumbung Padi untuk Mengatasi Tikus di Dalamnya

ARTIKEL HUKUM
Terkadang, pemidanaan bukanlah cara paling utama untuk mengatasi kejahatan dan tindak kriminil yang timbul di tengah-tengah masyarakat, namun menjadi upaya terakhir (ultimum remedium)—kecuali sifat kejahatan dari pelakunya menyerupai kanker stadiun akhir yang telah menggerogoti sekujur tubuh sang pelaku. Berulahnya kembali para residivis di tengah masyarakat, merupakan cerminan gagalnya hukum mendidik kepatuhan warga negaranya. Cara paling utama serta paling pertama untuk mencegah timbulnya benih-benih kejahatan, ialah lewat faktor pendidikan serta pencerahan. Sayangnya, ketika dogma-dogma dalam suatu ajaran agama justru menjadi justifikasi untuk melakukan kejahatan bagi pelakunya, sehingga perbuatan buruk bukan lagi hal yang patut di-“tabu”-kan, maka itulah bahaya terbesar sekaligus ancaman bagi peradaban umat manusia.

Kecerdasan dalam Membedakan Mana yang Merupakan SEBAB dan Mana yang Merupakan AKIBAT

ARTIKEL HUKUM
Orang Bijaksana Pendapatnya Penuh Pertimbangan secara Berimbang dan Adil, sementara Orang Kerdil Berkomentasr secara Parsial dan Dangkal
Secara ilmu “psikologi karakter” maupun dari perspektif ilmu sosiologi dan antropologi terapan non-teoretis, sebenarnya mudah saja “mengukur” dan “menilai” kualitas sumber daya manusia suatu bangsa juga untuk “men-jengkal” kedangkalan maupun kedalaman daya pikir seseorang individu, yakni semudah menyimak kualitas komentar-komentar dan pendapat yang mereka lontarkan atas suatu kejadian atau atas suatu fenomena sosial di seputar kita. Orang-orang besar, memiliki satu pola yang sama dan khas sifatnya, yakni tidak pernah mengomentari hal-hal “tetek-bengek”, sementara orang-orang dangkal selalu mengomentari hal-hal yang “remeh-temeh” dan tidak berfaedah lengkap dengan lelucon-lelucon yang tidak cerdas serta cenderung melecehkan orang lain—seolah dengan cara demikian diri mereka akan tampak sebagai individu yang cerdas, namun sejatinya hanya kian mempertontonkan kekerdilan cara berpikir yang bersangkutan.