KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Aturan Terbaru BLOKIR SERTIFIKAT TANAH (Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021)

LEGAL OPINION

Segel Sertifikat Tanah bernama BLOKIR dan STATUS QUO, Serupa namun Tidak Sama, PERMANEN Vs. TEMPORER

Question: JIka kita ingin buat (mohonkan) sertifikat tanah atau beli tanah yang sudah bersertifikat, disyaratkan adanya surat pernyataan “tanah tidak dalam keadaan sengketa”. Itu maksudnya apa, “tidak ada sengketa”? “Sengketa” itu maksudnya, seperti apa? Bila, katakanlah, ada orang ngaku-ngaku atau main klaim seenaknya, bahwa ladang ini milik buyutnya, gunung ini milik istrinya, bukit itu milik kakeknya, sawah ini milik nenek dari neneknya, kebun ini milik anaknya, dan lain sebagainya.

Semua orang juga bisa, asal klaim sebagai pemilik dan asal menunjuk (secara sumir mengaku-ngaku sebagai pemilik / mendaku). Apa itu disebut juga sebagai “bersengketa” atau “adanya sengketa” dan tersandera oleh klaim-klaim dari orang tidak jelas semacam itu untuk SEUMUR HIDUP disebut tanah berstatus “sengketa”? Ini negara hukum, atau negara asal klaim seenaknya tanpa dasar?

Girik (Bukanlah Lagi) Bukti Hak Atas Tanah

ARTIKEL HUKUM

Rezim Pendaftaran Hak Atas Tanah Sertifikasi Badan Pertanahan Nasional (Unifikasi Hukum Agraria Nasional) Vs. Tanah Hukum Adat (Girik)

Apakah dengan mencoba memungkiri “tanah hukum adat”, maka artinya kita telah melakukan terobosan langkah “unifikasi hukum”, yakni hukum nasional dengan menafikan keberadaan masyarakat hukum adat yang masih hidup dan eksis tersebar di berbagai komunitas adat di seluruh penjuru Indonesia? Apapun itu, dualisme hak atas tanah dalam sistem pertanahan nasional, telah menciptakan beragam ketidak-pastian hukum dalam praktiknya.

Tak Perlu Protes, Langsung BAKAR saja Tempat Ibadahnya, Lebih Ringan Hukumannya (Preseden TANJUNG BALAI)

SENI PIKIR & TULIS

Yang Hidup dari Membakar, akan Mati karena TERBAKAR (Hukum KARMA)

Saat ulasan ini disusun, masyarakat “agamais” di Indonesia “heboh” atas kejadian satu buah Masjid terbakar mimbarnya, sekalipun jumlah Masjid di indoensia tidak terhitung lagi jumlahnya, eksis setiap jarak seratus meter di perumahan di perkotaan, sehingga perbandingannya ialah satu berbanding jutaan. Demikian hebohnya, sampai-sampai pelakunya dikutuk “masuk neraka” dan jika perlu mendekam di penjara untuk seumur hidup—atau bila perlu dihakimi massa dan dibakar hidup-hidup hingga tewas. Mari kita lihat, apakah kembali terulang, disparitas antar putusan dengan perkara serupa, merupakan pintu masuk “pilih kasih” disamping ketidak-adilan itu sendiri.

Pukulan Tinju dan Misi Misionaris, Tidak Nyambung. Mereka Pikir Mereka MENANG, Sejatinya KALAH, Dikalahkan Kebodohan Batin Diri Mereka Sendiri

SENI PIKIR & TULIS

Misi Misionaris adalah Pendekatan Humanistis, Cinta Kasih, Perdamaian, Kesejukan, Keteduhan, dan Ahimsa (TANPA KEKERASAN), Bukan Kekerasan Fisik, Intimidasi, Teror, Ancaman, Paksaan, Aniaya, terlebih Radikalisme

Agama semestinya membuat Umatnya Lebih Toleran dan Lebih Humanis, bukan justru Mengubah yang Semula Toleran menjelma Intoleran dan Radikal, dari Semula Humanis menjadi Premanis dan Hewanis

Sejarah selalu Terulang dengan Pola yang Sama, Lahir dari Kekerasan, Bertumbuh Lewat Kekerasan, dan Bertahan dengan Kekerasan, Pola-Pola Kekerasan yang justru Mendukung Catatan Bersejarah dalam Serat Darmogandul

Bayangkan kejadian bersejarah berikut yang terjadi pada abad ke-15 di Bumi Pertiwi, ketika Kerajaan Majapahit masih berdiri sebagai kerajaan Buddhist yang dikenal toleran terhadap agama-agama NON-Buddhisme untuk masuk dan berkembang (kebhinekaan). Maka, para pemuka “agama I” dapat mendarat dan menyebarkan agamanya kepada penduduk di Pulau Jawa, Sumatera, dsb. Ketika warga setempat menolak untuk meyakini dan memeluk “agama I”, bahkan menyebutnya sebagai “agama setan yang sesat”, apakah para misionaris “agama I” yang diberi nama “sepuluh wali” tersebut akan menanggapi dengan respon berikut : PUKUL, ANCAM, TEROR, ANIAYA, KEROYOK, BUNUH, PENGGAL, TAWAN, PENJARAKAN, dan kekerasan fisik maupun intimidasi mental lainnya?

Nikola Tesla Vs. Albert Einstein, Teori Ether Vs. Relativitas. Siapakah Jenius yang Sejati?

SENI PIKIR & TULIS

Sebuah Prediksi : Teori Relativitas Vs. Penemuan MATERI GELAP, Pertarungan Ilmu Pengetahuan Masa Depan

Spekulasi Dibalik Ilmu Pengetahuan dan Sains Paling Modern Sekalipun

Banyak yang Lebih Jenius daripada Einstein, namun Tenggelam karena (Semata) Faktor Kurang Beruntung

Sungguh betapa ringkih dan rapuhnya landasan yang menjadi fondasi dari ilmu pengetahuan (Iptek), tempat kita bertopang dan menopangkan asumsi sebagai roda kehidupan, sekalipun itu di era dengan zaman serba digital yang canggih ini. Bagaimana tidak, sifat keberlakuan atau kebenarannya hanyalah nisbi semata (lawan kata “kebenaran absolut”), alias tentatif serta temporer, sebelum kemudian dibantah dan terbukti dipatahkan oleh berbagai penemuan dan kebenaran kontemporer aktual empirik paling terbaru lainnya, sebelum kemudian penemuan baru tersebut bernasib sama seperti penemuan sebelumnya.

Apakah Terjamin Aman, Membeli Rumah lewat Agen / Broker Properti?

LEGAL OPINION

Jenis Gugatan Perbuatan Melawan Hukum, namun oleh Asas Kemanfaatan Dikualifikasi sebagai Gugatan Wanprestasi oleh Hakim Pengadilan

Agen / Broker Properti, Bukan Jaminan Keamanan Legalitas Tanah / Rumah

Question: Sebagai masyarakat pembeli produk properti, saya sangat bingung dengan mereka yang berprofesi sebagai agen atau broker properti. Mereka menjualkan rumah milik pemiliknya, mau untung terima komisi besar, namun tidak ingin resiko usaha apapun terutama ketika ternyata tanah rumah sertifikatnya bermasalah atau tidak bisa dibalik-nama ke atas nama pembeli, tidak mau tanggung jawab, semata “hit and run” begitu saja setelah terima komisi penjualan oleh pihak pemilik rumah.

Jika yang menjadi garda terdepan memarketingkan suatu produk properti, adalah pihak broker atau agen properti, ada keterlibatan pihak broker disitu, artinya yang menjual bukan hanya pemilik rumah, namun juga si broker atau agen. Lantas, apakah tidak ada tanggung jawab hukum ataupun tanggung jawab moril apapun di pundak agen properti tersebut? Jika begitu, bisa dikatakan bahwa profesi broker atau agen properti adalah profesi yang hanya mau untung besar saja tanpa mau dibebani resiko usaha, dimana jika kemudian ternyata bermasalah dengan rumah atau tanah yang mereka jual, dengan semudah itu mereka lepas tanggung jawab dan melimpahkan semua kesalahan ke pundak pihak pemilik rumah atau tanah.

Tujuan utama saya memilih cari rumah untuk dibeli lewat jasa broker, agar lebih profesional dan tidak “beli kucing dalam karung”. Namun ternyata, yang namanya broker atau agen properti itu tidak menjamin keamanan dan legalitas produk properti yang mereka jual, mereka sekadar memoles (lewat serangkaian kata-kata “gimmick”) sebelum menjualnya, menerima komisi besar, sebelum kemudian hilang tanpa jejak ataupun tidak mau tanggung jawab ketika ternyata bermasalah dengan rumah atau legalitas tanah yang dijual olehnya kepada pembeli.

Alibi dan Alasan Pembenar, Disalahgunakan untuk Menutupi Motif / Modus Sebenarnya dari Sang Pelaku

SENI PIKIR & TULIS

Alasan yang Dibuat-Buat dan Alasan yang Dicari-Cari, ALIBI & ALASAN PEMBENAR untuk Membenarkan Perbuatan yang Tidak Benar

Jangan Bersikap Seolah-olah hanya Kita Seorang Diri yang Menderita Dukkha dalam Hidup Ini

Salah satu sifat kurang terpuji dari umat manusia yang masih demikian tebal dan kasar kekotoran batinnya, ialah memiliki kecenderungan untuk mencari-cari alasan guna membenarkan perbuatan keliru diri mereka. Artinya, mereka memang menghendaki dan menyadari perbuatan buruk yang mereka lakukan, lantas setelah itu masih pula tetap (dengan berani) dilakukan ataupun melanggar sebuah larangan, selanjutnya ialah misi “mencari-cari alasan” hingga “membuat-membuat alasan” sebagai alibi ataupun pembenaran diri (self justification) alias sebagai “alasan pembenar”. Pembenaran diri, sungguh adalah penyakit mental sekaligus penyakit sosial, dimana yang berlaku ialah “akal sakit milik orang sakit”, cerminan sebuah bangsa yang tidak sehat.

Penegakan Hukum Tanpa Disertai EFEK JERA, Apalah Artinya?

ARTIKEL HUKUM

Penegakan Hukum Tanpa PENJERAAN terhadap Pelaku, adalah Kesia-Siaan

Sudah Saatnya Negara yang Penegakan Hukumnya Compang-Camping, Mulai Lebih Mengandalkan atau Membolehkan Aksi MAIN HAKIM SENDIRI oleh Warganya demi Tercipta EFEK JERA bagi Pelaku Kejahatan maupun para Calon Pelaku Lainnya

Mengapa korupsi sukar diberantas, satu demi satu setiap tahunnya bahkan setiap bulannya tertangkap tangan pejabat negara yang terlibat kasus korupsi, kolusi, maupun nepotisme? Jawabannya klise, belum adanya sanksi tegas dan keras yang dapat memberikan efek jera, baik bagi si pelaku (koruptor) maupun para calon pelaku (calon koruptor) lainnya. JIka saja hukum negara kita membolehkan warganya selaku korban aksi para koruptor tersebut yang telah mencuri uang hak milik rakyat, untuk melakukan “main hakim sendiri” terhadap sang koruptor, maka dapat dipastikan aksi korupsi di negeri ini akan tertekan hingga prevalensi terendah sepanjang sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia.

Deterministik Genetika Vs. Deterministik Pengaruh Lingkungan Vs. Deterministik Jiwa

SENI PIKIR & TULIS

Di Dalam ALAM SADAR Bersemayam PILIHAN BEBAS

Di Dalam ALAM BAWAH SADAR Bersemayam DETERMINISTIK GENETIK BIOLOGIS ataupun DETERMINISTIK PENGARUH LINGKUNGAN SOSIAL

Di Dalam ALAM PIKIRAN Bersemayam DETERMINISTIK JIWA

Perdebatan antara penganut “deterministik genetik” saling berdiri saling berhadap-hadapan terhadap kaum “idealis”, yang mencoba berusaha sekuat tenaga untuk memungkiri deterministik genetik seorang umat manusia, bersikukuh bahwa pengaruh pola asuh dan lingkungan sosial adalah lebih determinan dan lebih dominan dari apapun yang bersifat “backbone traits” (sering juga disebut sebagai “constitutional traits”, yang menandakan karakter dasariah seseorang) atau “tulang-punggung karakter” seseorang, kian memanas sekalipun berbagai penemuan ilmiah maupun realita empirik memperlihatkan bahwa kita bahkan tidak mampu menentukan bentuk tubuh kita sendiri kecuali lewat rekayasa bedah medik. Setiap harinya, seorang pria disibukkan oleh urusan janggut yang harus dicukur secara rutin, janggut mana tumbuh bahkan tanpa dikehendaki olehnya.

Jangan Bersikap Seolah-Olah Tidak Punya Opsi / Pilihan Lain

SERI SENI HIDUP

Jangan Bersikap seolah-olah Tidak Punya Pilihan Bebas dalam Hidup Ini, dan Jangan Bersikap seolah-olah Tidak Ada Pilihan / Opsi Lain untuk Dipilih

Manusia, bukanlah produk yang sudah sempurna “dari sananya” (bahasa gaulnya, “dari sononya udah begitu”, namun apa yang dimaksud dengan “udah begitu dari sononya”? Jawab : “Bukan salah bunda mengandung, juga bukan salah si orok!” Jika begitu, salah siapa? Silahkan dijawab sendiri). Suka atau tidak suka, kita harus menghindari delusi berbahaya yang bernama : kita sudah benar, sudah sempurna, sudah absolut, sudah mulia, sudah dipuncak, sudah “on the track”, dan lain istilah sejenis sebagainya. Faktanya, kita perlu senantiasa mendidik diri kita sendiri layaknya “guru terbaik ialah diri kita sendiri”, sepanjang hayat. Jangan menjadi “si rambut putih namun berkebijaksanaan hampa”.

Arti PENYALAHGUNAAN, Pelanggaran dan Gangguan Danny Apriyadi / Dani Ekoapriyadi (Pelaku Penyalahguna)

ARTIKEL HUKUM

Omong Kosong Sopan Santun Tata Krama Orang Indonesia, Danny Apriyadi / Dani Ekoapriyadi Melanggar dan Menyalahgunakan TANPA ETIKA KOMUNIKASI

Jelas-Jelas Melanggar, Masih Juga Berkelit, bahkan Masih Pula Melecehkan Perasaan Korban, Setidaknya sudah 3 Buah Kesalahan (Dosa) Berturut-Turut Dibuat oleh Sang Pelaku yang Tidak Menyesali Perbuatan Buruk Tercela Dirinya

Secara singkat, makna kata “penyalah-gunaan” dan “menyalah-gunakan” dapat kita artikan sebagai penggunaan bukan untuk peruntukannya atau digunakan tidak sebagaimana mestinya (mis-used). Pelakunya, disebut sebagai seorang “penyalahguna”. Sebagai contoh, info perihal nomor kontak kerja profesi seseorang jelas diperuntukkan untuk tujuan bisnis dan pekerjaan (komersial, bukan untuk tujuan sosial), namun disalah-gunakan oleh para “spammer” untuk semata mengganggu dan menggunakannya tanpa persetujuan ataupun kehendak sang pemilik nomor—yang jelas-jelas akan terganggu oleh ulah sang “spammer” yang lebih proporsional masuk ke “tong sampah” sebagai tempatnya.

Manusia Dilahirkan Berpasang-Pasangan, Kata Siapa? Manusia selalu Berkata, Tuhan hanya Ada Satu, artinya Tuhan Men-JOMBLO

SENI PIKIR & TULIS

Apakah Hidup Selibat dan Membujang, adalah Dosa? Menikmati Kesendirian, Bukanlah Dosa. Banyak Karya-Karya Besar Kini Dinikmati Banyak Orang dan Generasi Penerus, Lahir dari Mereka yang Mendedikasikan Hidupnya untuk Berkarya alih-alih Berkeluarga

Pilih Mana, Bujangan yang Membujang ataukah Perumah-Tangga yang Menikah? Apapun Itu, masing-masing Harus Siap dengan Konsekuensi Dibaliknya, selalu Ada Harga yang Dibayarkan untuk Setiap Pilihan Hidup

Disclaimer : Membaca artikel ini hingga tuntas, mungkin dapat memicu Anda untuk turut memilih menjadi salah seorang pelaku hidup secara selibat yang melajang seumur hidup, setampan atau secantik apapun rupa Anda saat kini, atau mungkin juga akan menyesali pilihan hidup Anda sebelumnya yang memilih untuk menikah. Membaca artikel ini hingga tuntas, resiko ada di tangan Anda sendiri, memilih melanjutkan atau menyudahi pembacaan artikel ini sampai di sini saja.

Cara Alih / Over Kredit yang Baik dan Benar

LEGAL OPINION

Pengadilan Tidak Semestinya Memutihkan Proses yang Keliru dan Dijadikan Sarana untuk Membenarkan yang Ilegal

Warga yang Patuh Hukum Diberi Reward, sementara yang Tidak Patuh (Semestinya) Diberikan Punishment

Question: Sebenarnya bagaimana, alih kredit (over kredit) yang benar, ada seseorang sebagai “debitor baru” yang main lunasi hutang debitor kepada bank secara begitu saja, atau ada proses tertentu yang harus ditempuh secara hukum?

Makna SALING MENEGASIKAN, Menihilkan dan Meniadakan Satu Sama Lainnya

SENI PIKIR & TULIS

Ketegasan Norma Terletak pada Konsistensi dan Menutup diri dari Ruang Pengecualian. Dilarang, akan tetapi... (Embel-Embel “Tapi...”)

Nila Setitik, Rusak Susu Sebelanga, Pepatah untuk Tidak Memehkan Dosa (Perbuatan Jahat), Terkandung Bahaya Dibaliknya. Suciwan Tidak Menyepelekan Perbuatan Kotor yang Tercela, Sekecil Apapun

Seseorang tokoh senior dibidang praktik hukum, pernah menyebutkan, norma hukum yang semestinya sarat ketegasan, telah ternyata penuh pengecualian. Betapa tidak, melakukan pelanggaran hukum disebutkan terdapat ancaman sanksi sebagai hukuman. Namun, selalu pula dapat kita jumpai pasal-pasal “pengecualian” yang dapat “mengecualikan” pemberlakuan sanksi bagi pelanggarnya. Bila dalam rezim hukum perdata, pengecualian dapat kita jumpai salah satunya lewat penerapan doktrin “force majeure” alias keadaan kahar, maka suatu pihak dibebaskan dari kewajiban bertanggung-jawab ketika ingkar janji. Dalam rezim hukum pidana, pengecualian terhadap vonis hukuman sebagai sanksi bagi seorang pelanggar, dapat kita jumpai berupa pasal-pasal terkait “alasan pembenar” maupun “alasan pemaaf”, ataupun istilah-istilah penegasian ancaman sanksi hukuman bagi para “justice collaborator” maupun “saksi mahkota”.

Logika dan Asumsi Kita, Seringkali KELIRU. Jadilah Pribadi Pembelajar yang Rendah Hati, itulah Pesan Dibalik Ilmu Pengetahuan

ARTIKEL HUKUM

Hal yang Menarik Dibalik Belajar dan Penggalian Ilmu Pengetahuan, Sejarah Hidup Kita Penuh Kekelirutahuan, karenanya Kesombongan dan Keangkuhan Bukan Lagi pada Tempatnya

Takjub, Ilmu Pengetahuan selalu Menampar Wajah Kita yang Penuh Kekelirutahuan, karenanya Kita Perlu Rendah Hati oleh Sebab Selama Ini Terbukti berbagai Asumsi dan Logika Kita telah Ternyata Keliru (bahkan Tidak Jarang Menyesatkan) yang Baru akan Terungkap Semasa Pembelajaran

Bagi yang memiliki kesombongan dan selama ini dikusai oleh arogansi seperti merasa “selalu paling benar sendiri” dan “mau menang sendiri”, belajar ilmu pengetahuan akan tampak seperti hal atau sebagai opsi yang kurang atau bahkan sama sekali tidak menarik, bahkan untuk sekadar disentuh. Mengapa? Semata, karena yang bersangkutan, sang “sombong nan arogan”, sudah merasa paling tahu dan paling benar—meski faktanya, mereka takut bahwa “bangunan keangkuhan” mereka yang rapuh itu akan seketika runtuh hingga rubuh berkeping-keping ketika mendapati realita yang berkata lain adanya.