NEGARA Vs. SIPIL, Menggugat Perbuatan Melawan Hukum Pemerintah ke Pengadilan Tata Usaha Negara

Perbuatan Aktif maupun Pasif Pemerintah (Sengaja ataupun Abai), merupakan Objek Gugatan Warga ke PTUN

Question: Bukanlah lucu, militer digaji dan diberi anggaran oleh negara yang bersumber dari pajak yang dibayar oleh masyarakat sipil, dengan tugas utama untuk melindungi rakyat sipil, namun justru bersikap arogan terhadap rakyat sipil dengan melakukan segala bentuk intimidasi dengan maksud menyerobot tanah milik kami secara “main hakim sendiri” (eigenrichting). Preman-preman berseragam loreng yang diberi kewenangan menggunakan tank dan peralatan tempur demikian, apa bisa kami gugat selaku warga yang telah sangat dirugikan (hak-hak sipil maupun keperdataannya) oleh perbuatan militer kita yang sudah meresahkan warga? Semestinya militer kita merasa malu, hanya beraninya mengintimidasi rakyat sipil, namun akan ciut nyalinya menghadapi militer negara asing, seolah-olah mereka memang hanya dilatih untuk beraninya terhadap sipil yang tidak bersenjata dan berdiri seorang diri, masih pula mereka mengintimidasi dengan menurunkan sejumlah personil tentara alih-alih “satu lawan satu”.

Alasan Surga dan Neraka Pasti Ada setelah Kematian

Jangankan Neraka, Penjara pun Banyak yang Tidak Percaya & Menantang sehingga Benar-Benar Dijebloskan ke Dalamnya

Untung dan Rugi menjadi Orang Baik ataupun Jahat, Sistem Merit sebagai Hukum Alam

Question: Apakah ada argumentasi yang cukup logis dan rasional, untuk membuktikan bahwa alam surga dan alam neraka memang ada bagi manusia setelah kematiannya?

SENI HIDUP : Bersikaplah Adil terhadap Diri Anda dengan Cara Bersikap Adil terhadap Orang Lain

Ketika Seseorang Tidak Menghargai dan Bersikap Tidak Adil terhadap Orang Lain, Sejatinya si Pelakunya sedang Mengutuk (Curse) Dirinya Sendiri

Menghargai Orang Lain dan Lawan Bicara, artinya Anda Menghargai Diri Anda Sendiri

Ketika seseorang tidak menghargai martabat ataupun eksistensi orang / warga lain yang hidup pada satu “global village” habitat maupun ekosistem bersama dirinya, maka sejatinya diri yang bersangkutan sedang tidak menaruh hormat terhadap dirinya sendiri. Begitupula, ketika kita gagal menghargai pribadi atau individu lainnya maupun lawan bicara, sejatinya kita sedang tidak menghargai diri kita sendiri. Terdengar klise, namun berapa banyak diantara kita yang benar-benar memahami makna dibaliknya, sehingga penulis merasa perlu untuk mengangkat topik ini secara khusus.

UPAYA HUKUM Vs. UPAYA POLITIS, Makna dan Contoh

Upaya Hukum Vs. Upaya (yang) Mengada-Ada : Penetapan Perlindungan Hukum terhadap Putusan Inkracht, TIDAK SAH

Delusi Dibalik Upaya Menganulir Putusan Pengadilan yang telah Berkekuatan Hukum Tetap

Modus Berkelit dari Penghukuman dari Putusan Pengadilan yang telah Berkekuatan Hukum Tetap

Question: Apa benar memang ada “kartu sakti” untuk dapat menganulir eksekusi terhadap putusan (perdata) yang telah inkracht?

Brief Answer: Tidak ada, iming-iming “kartu sakti” semacam itu sejatinya adalah mal-adminstrasi praktik peradilan, kolusi pejabat tinggi lembaga peradilan, yang sejatinya adalah “upaya politis”, bukan “upaya hukum”—“upaya politis” mana dapat digugat. Bila “upaya hukum” dimaknai sebagai upaya yang memang disediakan oleh hukum secara sahih baik dari segi landasan, koridor, prosedur, norma, batasan, serta ruang lingkupnya; sementara itu “upaya politis” dimaknai sebagai suatu upaya yang justru melenceng atau keluar dari koridor hukum, sehingga tidak taat asas serta merusak struktur tatanan hukum secara tidak bertanggung-jawab.

PEMBAHASAN:

Terdapat ilustrasi konkret upaya-upaya “non-hukum” (baca : upaya politis) yang dilandasi itikad tidak baik pihak tereksekusi dengan maksud untuk meloloskan diri dari eksekusi terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, salah satu cerminannya dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Mahkamah Agung RI perkara permohonan, sebagaimana register Nomor 3297 K/Pdt/2018 tanggal 18 Desember 2018, sengketa terkait penetapan eksekusi antara:

- MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, sebagai Pemohon Kasasi; melawan

- PT. KALLISTA ALAM, sebagai Termohon Kasasi, semula selaku Pemohon perlindungan hukum dari eksekusi.

Sengketa ini bermula dari telah terbitnya putusan perkara gugatan perdata No. 1 PK/Pdt/2017 tanggal 18 April 2017, antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia selaku Penggugat, yang menggugat sebuah perusahaan sawit bernama PT. KALLISTA ALAM yang melakukan kegiatan usaha “land clearing” dengan membakar hutan seluas seribu hektar. Terhadap gugatan yang diajukan oleh Kementerian, Pengadilan Negeri Meulaboh telah memberikan Putusan Nomor 12/Pdt.G/2012/PN.MBO tanggal 8 Januari 2014, dengan amar sebagai berikut:

“MENGADILI :

Dalam Pokok Perkara:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebahagian;

2. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang diletakkan di ...;

3. Menyatakan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melanggar Hukum dan Menghukum Tergugat membayar ganti rugi materiil secara tunai kepada Penggugat melalui rekening Kas Negara sebesar Rp114.303.419.000,00 (seratus empat belas miliar tiga ratus tiga juta empat ratus sembilan belas ribu rupiah);

4. Memerintahkan Tergugat untuk tidak menanam di lahan gambut yang telah terbakar seluas kurang lebih 1.000 (seribu) hektar yang berada di dalam wilayah Izin Usaha berdasarkan Surat Izin Gubernur Aceh tanggal 25 Agustus 2011/25 Ramadhan 1432 H Nomor 525/BP2T/5322/2011 seluas 1.605 (seribu enam ratus lima) hektar yang terletak di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh untuk usaha budidaya perkebunan kelapa sawit;

5. Menghukum Tergugat untuk melakukan tindakan pemulihan lingkungan terhadap lahan yang terbakar seluas kurang lebih 1.000 (seribu) hektar dengan biaya sebesar Rp251.765.250.000,00 (dua ratus lima puluh satu miliar tujuh ratus enam puluh lima juta dua ratus lima puluh ribu rupiah) sehingga lahan dapat difungsikan kembali sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

6. Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per hari atas keterlambatan dalam melaksanakan putusan dalam perkara ini.”

Dalam tingkat banding atas putusan tersebut, yang menjadi amar Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor 50/PDT/2014/PN.BNA tanggal 15 Agustus 2014, sebagai berikut:

“MENGADILI :

- Menerima permohonan banding dari pembanding, semula Tergugat;

- Memperbaiki pertimbangan hukum dan susunan amar Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Tanggal 8 Januari 2014 Nomor 12/PDT.G/2012/PN-MBO yang dimohonkan banding tersebut sehingga amarnya berbunyi sebagai berikut:

Dalam Pokok Perkara:

- Mengabulkan gugatan Terbanding / dahulu Penggugat sebahagian;

- Menyatakan Pembanding / dahulu Tergugat telah melakukan perbuatan melanggar hukum;

- Menghukum Pembanding / dahulu Tergugat membayar ganti rugi materiil secara tunai kepada kepada Terbanding / dahulu Penggugat melalui rekening Kas Negara sebesar Rp114.303.419.000,00 (seratus empat belas miliar tiga ratus tiga juta empat ratus sembilan belas ribu rupiah);

- Memerintahkan Pembanding / dahulu Tergugat untuk tidak menanam di lahan gambut yang telah terbakar seluas kurang lebih 1000 (seribu) hektar yang berada di dalam wilayah izin usaha berdasarkan Surat Izin Gubernur Aceh tanggal 25 Agustus 2011/25 Ramadhan 1432 H Nomor 525/BP2T/5322/2011 seluas 1.605 (seribu enam ratus lima) hektar yang terletak di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Propinsi Aceh untuk usaha budidaya perkebunan kelapa sawit;

- Menghukum Pembanding / dahulu Tergugat untuk melakukan tindakan pemulihan lingkungan terhadap lahan yang terbakar seluas kurang lebih 1.000 (seribu) hektar dengan biaya sebesar Rp251.765.250.000,00 (dua ratus lima puluh satu miliar tujuh ratus enam puluh lima juta dua ratus lima puluh ribu rupiah) sehingga lahan dapat difungsikan kembali sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

- Menghukum Pembanding / dahulu Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per hari atas keterlambatan dalam melaksanakan putusan dalam perkara ini;

- Memerintahkan Lembaga / Dinas Lingkungan Hidup / Pemerintah Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Nagan Raya untuk melakukan “tindakan tertentu” mengawasi, pelaksanaan pemulihan lingkungan, karena lokasi lahan meliputi 2 (dua) Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Nagan Raya, Propinsi Aceh;

- Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang diletakkan di ...;

Adapun kemudian dalam tingkat kasasi, yang menjadi amar Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 651 K/Pdt/2015 tanggal 28 Agustus 2015, sebagai berikut:

“MENGADILI :

- Menolak Permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi PT Kallista Alam tersebut.”

Dalam tingkat Peninjauan Kembali atas permohonan PT. KALLISTA ALAM, adapun yang menjadi pertimbangan hukum serta amar putusan Mahkamah Agung RI adalah sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan Pemohon Peninjauan Kembali tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

“Menimbang, bahwa gugatan dalam perkara a quo termasuk jenis gugatan perkara Kerusakan lingkungan sebagai akibat pembakaran lahan dalam rangka usaha perkebunan, ...;

“Menimbang, bahwa berangkat dari asas manfaat dalam tujuan Penegakan Hukum dihubungkan dengan Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa: ‘Instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab dibidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup’ dan dihubungkan pula dengan ketentuan Bab IV Pedoman Penanganan Perkara Perdata Lingkungan bagian 4 huruf f Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, penarikan Lembaga / Dinas Lingkungan Hidup / Pemerintah Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Nagan Raya untuk melakukan tindakan tertentu antara lain “mengawasi” pelaksanaan pemulihan lingkungan dalam perkara a quo dapat dibenarkan dan dalam hal ini bukan merupakan pelanggaran tertib acara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan hukum acara Perdata bahwa Hakim dilarang memutus melebihi dari pada yang dituntut (Ultrapetita), karena berdasarkan pertimbangan demi perlindungan lingkungan dan kepentingan masyarakat, dan pula dengan ditariknya pihak Lembaga / Dinas Lingkungan Hidup / Pemerintah Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Nagan Raya sudah sejalan dengan ketentuan Pasal 90 ayat (1) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tentang Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah Daerah, dan juga sebagai akibat ditariknya Lembaga / Dinas Lingkungan Hidup kedua Pemerintah Daerah tersebut (Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Nagan Raya) tidak merugikan hak-hak pihak Tergugat, sebaliknya dapat diharapkan tercipta kerja sama demi tercapainya tujuan Penegakan Hukum dalam perkara a quo;

“Menimbang, bahwa pada dasarnya pertimbangan hukum putusan dalam perkara a quo (Perdata) dan pertimbangan hukum dalam putusan perkara pidana yang kebetulan pihaknya sama, hal yang sama, dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya tidak terdapat pertentangan, karena penanganan perkara lingkungan hidup (Perdata dan Pidana) khususnya dalam perkara a quo berupa kasus kebakaran lahan yang terjadi dilahan gambut “kerusakan lingkungan” yang membutuhkan “pemulihan” pada dasarnya Hakim tidak mempedomani perihal perhitungan biaya pemulihan kepada “berapa luas lahan yang terbakar”, akan tetapi “berapa luas kerusakan lahan yang terbakar”, sehingga luas lahan yang terbakar tidak berbanding lurus (sama) dengan luas kerusakan lahan yang terbakar tersebut, karena sifat kebakaran yang terjadi di lahan gambut bukan hanya merupakan bentuk kebakaran “permukaan” yang mengeluarkan asap ke udara yang dapat dilihat mata langsung dan diukur langsung luas lahan yang terbakar, akan tetapi kebakaran dilahan gambut juga merupakan bentuk kebakaran “kedalaman” yang terjadi di kedalaman tertentu sesuai dengan ketebalan gambut yang terbakar, sehingga tidak dapat dilihat langsung dengan mata telanjang dan tidak dapat pula diukur seketika, untuk itu dalam kasus kebakaran lahan a quo yang dijadikan patokan untuk memperhitungkan besarnya biaya pemulihan lahan dapat diukur dari berapa luas kerusakan, yang merupakan “kerusakan lahan” sebagai akibat kebakaran tersebut, dan hal tersebut hanya dapat dilakukan oleh ahli sebagaimana maksud Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/SK/II/2013;

“Menimbang, bahwa berdasarkan hasil diteksi saksi ahli Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, MAGR. pada bekas lahan yang terbakar termasuk pada lahan yang telah ditanami kelapa sawit yang tampak mengelompok pada tempat tertentu yang terjadi pada periode tertentu dimana kebakaran tersebut terjadi secara berulang-ulang semenjak tahun 2009, 2010, 2011 dan 2012 yang berakibat rusaknya lapisan permukaan gambut dengan ketebalan rata-rata 5 - 10 cm, sehingga luas lahan gambut yang rusak sebagai akibat kebakaran lahan yang dilakukan Tergugat (PT Kalista Alam) mencapai 1.000 ha yang berakibat terganggunya keseimbangan ekosistem dilahan bekas terbakar dan gambut yang terbakar yang tidak mungkin kembali lagi dalam waktu singkat dapat seperti semula, karena telah rusak, sehingga tidak hanya membutuhkan waktu yang cukup lama akan tetapi juga membutuhkan biaya yang cukup besar untuk memulihkan kembali lahan gambut yang rusak tersebut kepada keadaan semula;

“Menimbang, bahwa oleh karena gugatan dalam perkara a quo didasarkan pada kebakaran lahan gambut, maka akibat kebakaran lahan gambut tidak hanya berdampak pada pencemaran lingkungan (udara) yang dapat dihukum denda, maka kerusakan lahan sebagai akibat kebakaran lahan dapat dikabulkannya ganti rugi, sehingga hukuman denda yang dijatuhkan terhadap Terdakwa (Tergugat) dalam tuntutan perkara pidana korporasi, tidak sama dengan ganti rugi sebagai akibat kerusakan lahan yang dikabulkan dalam gugatan perkara a quo;

“Menimbang, bahwa dikarenakan Pemerintah Daerah merupakan wakil Pemerintah Pusat yang ada di daerah sebagai akibat dari diberlakukannya asas Desentralisasi yang secara tidak langsung merupakan perpanjangan tangan Pemerintah Pusat yang ada di daerah, untuk itu kedudukan Penggugat yang merupakan bagian Struktur Pemerintah Pusat, menjadikan Hak gugat Penggugat yang dalam hal ini Hak gugat Pemerintah dan Pemerintah Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah sama, sehingga sebagai akibat dikabulkannya tuntutan tentang tindakan tertentu yaitu “pemulihan lingkungan” yang memerlukan waktu lama dan biaya yang cukup besar, yang merupakan akibat perbuatan Tergugat, maka penarikan Pemerintah Daerah dalam putusan perkara a quo sepanjang khusus hanya pemberian fungsi “Pengawasan” kepada kedua Pemerintah Daerah untuk mewakili Penggugat selaku Pemerintah Pusat terhadap pelaksanaan (eksekusi) amar putusan tentang “pemulihan lahan”, dapat dibenarkan, karena dapat memperlancar teknis koordinasi dan menjamin akan terlaksananya eksekusi amar putusan “pemulihan lahan” tersebut dalam perkara a quo secara lancar dan juga penarikan kedua Pemerintah Daerah tersebut tidak ternyata dapat dan atau telah merugikan hak-hak Tergugat;

“M E N G A D I L I:

- Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali PT. KALLISTA ALAM tersebut;.”

Terhadap putusan di atas yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht), pihak Tergugat mencoba “meng-akali-nya” dalam rangka untuk berkelit dari eksekusi terhadap putusan, dengan mengajukan permohonan “surat sakti” dari Pengadilan Negeri yang atas permohonan tersebut kemudian memberikan imunitas secara mal-administrasi kepada pihak PT. KALLISTA ALAM selaku Tergugat yang juga sekaligus tereksekusi, sebagaimana tertuan alam putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor 16/Pdt.G/2017/PN.Mbo tanggal 12 April 2018, dengan amar putusan:

M E N G A D I L I :

DALAM POKOK PERKARA:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;

2. Menyatakan posisi areal yang dimaksud dalam posisi 96º 32´ 0″ - 98º 32´ 21″ BT dan 3º 47´ 8″ - 3º 51´ 22″ LU berada di dalam 3 (tiga) wilayah Kabupaten yaitu Wilayah Kabupaten Nagan Raya, Wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya dan Wilayah Kabupaten Gayo Lues;

3. Menyatakan posisi koordinat di dalam perkara Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor 12/PDT.G/2012/PN.MBO tanggal 8 Januari 2014 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor : 50/PDT/2014/PT.BNA Tanggal 15 Agustus 2014 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 651 K/PDT/2015 Tanggal 28 Agustus 2015 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 PK/PDT/2015 tanggal 18 April 2017 yang berisikan tentang gugatan pembakaran hutan tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban hukumnya kepada Penggugat / PT. Kallista Alam;

4. Menyatakan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 PK/PDT/2015 tanggal 18 April 2017 tidak mempunyai titel eksekutorial terhadap Penggugat / PT. Kallista Alam;

5. Memerintahkan Pengadilan Negeri Meulaboh untuk mengangkat Sita Jaminan terhadap tanah, bangunan dan tanaman diatasnya, setempat terletak di Desa Pulo Kruet, Alue Bateng Brok, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Aceh Barat dengan Sertifikat Hak Guna Usaha Nomor : 27 dengan luas 5.769 Ha (lima ribu tujuh ratus enam puluh sembilan hektar) sebagaimana terdapat dalam gambar situasi Nomor : 18/1998 tanggal 22 Januari 1998 yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Barat yang sekarang menjadi Kabupaten Nagan Raya sesuai penetapan Nomor 12/Pen.Pdt.G/2012/PN.Mbo jo. Berita Acara Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) tanggal 04 Desember 2013 ;

6. Memerintahkan Turut Tergugat I, Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III patuh terhadap putusan ini.”

Pihak pemerintah mengajukan upaya hukum kasasi atas “surat sakti” yang diperoleh pihak PT. KALLISTA ALAM, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

“Judex Facti / Pengadilan Negeri Meulaboh mengabulkan permohonan perlindungan hukum dengan Penetapan atas permohonan Pemohon PT. Kallista Alam dipertimbangkan sebagai berikut:

- Bahwa Penetapan atas Permohonan Perlindungan Hukum yang diajukan Pemohon PT. Kallista Alam, bukan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang bersifat administratif tentang Penundaan Eksekusi Putusan Nomor 12/Pdt.G/2012/PN.Mbo juncto Putusan Nomor 50/PDT/2014/PT.BNA juncto Putusan Nomor 651 K/Pdt/2015 juncto Putusan Nomor 1 PK/Pdt/2017. Oleh karena menilai Putusan Hakim tersebut di atas yang sudah berkekuatan hukum tetap, oleh karena itu Mahkamah Agung beralasan untuk mempertimbangkannya;

- Bahwa Penetapan tersebut telah melanggar tata tertib Hukum Acara Perdata, sehingga cukup beralasan untuk dikabulkan;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah Agung berpendapat bahwa terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA tersebut dan membatalkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor 1/Pen/Pdt/Eks/2017/PN.Mbo tanggal 20 Juli 2017 serta mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;

M E N G A D I L I :

- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA tersebut;

- Membatalkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor 1/Pen/Pdt/Eks/2017/PN.Mbo tanggal 20 Juli 2017;

“MENGADILI SENDIRI:

- Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).”

Seakan belum cukup sampai disitu, PT. KALLISTA ALAM mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, sebagaimana register Nomor 168 PK/Pdt/2022 tanggal 13 April 2022, dimana Mahkamah Agung untuk kali keduanya membuat pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

“Bahwa alasan peninjauan kembali tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti Memori Peninjauan Kembali tanggal 8 Juni 2021 dan Kontra Memori Peninjauan Kembali tanggal 17 September 2021 dan tanggal 26 Agustus 2021 dihubungkan dengan pertimbangan dan putusan judex juris, tidak terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata serta bukti baru (novum) tidak bersifat menentukan dalam putusan a quo, dengan pertimbangan sebagai berikut:

“Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan novum berupa bukti-bukti surat yang diberi tanda bukti PK-1 dan bukti PK-2, namun bukti-bukti surat yang diberi tanda bukti PK-1 dan bukti PK-2 tersebut bukanlah bukti yang bersifat menentukan karena bukti-bukti tersebut bukanlah bukti yang baru ditemukan melainkan bukti-bukti yang baru dibuat, untuk bukti PK-1 dibuat pada tanggal 14 September 2020 dan bukti PK-2 dibuat pada tanggal 16 September 2020 sedangkan perkara a quo telah berlangsung di Pengadilan Negeri Meulaboh sejak tahun 2017;

“Bahwa tidak ditemukan adanya kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata karena terkait pokok sengketa dalam perkara a quo telah ditentukan statusnya di dalam Putusan Perkara Nomor 1 PK/Pdt/2015 juncto Putusan Perkara Nomor 651 K/Pdt/2015 juncto Putusan Perkara Nomor 50/PDT/2014/PT.BNA juncto Putusan Perkara Nomor 12/Pdt.G/2012/PN.Mbo;

M E N G A D I L I:

- Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali PT. KALISTA ALAM tersebut.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Distingsi Kapan Murni WANPRESTASI, serta Kapan Naik Derajat Menjelma PERBUATAN MELAWAN HUKUM dalam Gugat-Menggugat Perdata

Semua Perjanjian Investasi Modal Usaha (Pasti) Diperjanjikan dan Menyepekati bahwa Peminjam Modal Investasi akan Mengembalikan dan Melunasi Pinjaman Modal Usahanya

Tidak Ada Investor Pemilik Modal Usaha yang Membuat Perjanjian bahwa Penerima Modal Investasinya akan MENGGELAPKAN Modal Pinjamannya

Menggelapkan artinya Menyimpang dari Itikad Baik serta juga Menyimpangi Perjanjian dengan Itikad Buruk = PERBUATAN MELAWAN HUKUM

Question: Apakah suatu hubungan hukum keperdataan kontraktual, yang maksudnya bermula dari suatu perikatan perdata berupa perjanjian kerjasama, bisnis, jual-beli, investasi, atau apapun itu, dapat bermuara pada gugatan “perbuatan melawan hukum” (PMH) tidak lagi murni sebagai “wanprestasi”, ketika salah satu pihak yang bersepakat dalam perjanjian tersebut memiliki itikad tidak baik terhadap pihak lainnya dalam perjanjian demikian? Apa betul, ada teori ataupun pandangan akademisi dibidang hukum, yang mengatakan bahwa suatu “perbuatan melawan hukum” terjadi tanpa adanya kesepakatan ataupun perjanjian antara kedua belah pihak yang saling bersengketa ini?

The Guardian of Constitution Bukanlah Mahkamah Konstitusi RI, namun Rakyat Pemilih Kita Itu Sendiri

Jangan Bersikap seolah-olah Tidak Ada Anggota Masyarakat Kita yang Lebih Layak Dicalonkan dan menjadi Calon Anggota Legislatif maupun Kepala Daerah

Hanya Bangsa Korup yang Memilih Koruptor (Pendosa) sebagai Pemimpin Terpilih

Bahaya dan Resiko Memilih Koruptor (Pendosa) sebagai Pemimpin

Pemerintah maupun pembentuk peraturan perundang-undangan telah beritikad baik dengan mempersulit mantan narapidana tindak pidana korupsi (Tipikor) untuk mencalonkan dirinya paska / selepas menjalani hukuman pidana penjara (dengan dipotong masa hukuman dengan “bebas bersyarat” plus obral remisi, tentunya) dalam pemilihan umum (Pemilu) Kepala Daerah maupun Anggota Legisllatif baik daerah kabupaten, kota, provisi, maupun pusat. Namun Mahkamah Agung RI telah menerbitkan putusan terhadap gugatan uji materiil terkait calon Kepala Daerah eks-napi tindak pidana korupsi, dengan membolehkan sang koruptor (sekali melakukan Tipikor, maka selamanya ialah “koruptor”, bukan “eks-koruptor”, seorang pelaku extra-ordinary crime. Sama seperti Adolf Hitler, disebut sebagai diktator yang otoriter, alih-alih menyandang gelar sebagai “ex”) untuk kembali mengikuti Pemilu dan terpilih untuk menjabat sebagai Kepala Daerah, dimana untuk kali berikutnya kembali tertangkap karena aksi korupsi maupun kolusi yang sama untuk kedua kalinya—dan benar-benar pernah terjadi lebih dari satu kali peristiwa di republik bernama Indonesia ini, dimana masyarakat kita tampaknya tidak pernah mau belajar dari pengalaman dan belum benar-benar siap untuk sistem “demokrasi penuh”, mengingat masyarakat kita belum benar-benar dewasa dan “cerdas” secara politik.

Ambiguitas Makna HARTA BERSAMA alias HARTA GONO-GINI, Bersifat Separuh ataukah Renteng?

HARTA BERSAMA = KEWAJIBAN BERSAMA. Hutang Suami merupakan / menjadi Hutang Istri Juga

Perkawinan Putus karena Perceraian, KEWAJIBAN BERSAMA Tetap Mengikat Kedua Mantan Pasangan Suami Istri Atas Hutang yang Terbit Saat Perkawinan Berlangsung

Question: Sebenarnya yang disebut dengan “harta bersama” atau yang juga kita kenal dengan istilah “harta gono-gini”, itu sifatnya renteng ataukah separuh-separuh antara si suami dan si istri? Jika semisal kami atau salah satu dari kami digugat orang lain, kewajiban masing-masing suami-istri ini bagaimana perhitungannya menurut hukum di Indonesia?

Membayar dan Mencicil, Dihitung sebagai Pembayaran Pokok Hutang ataukah Bunga?

Aspek Hukum Pembayaran Separuh Hutang alias Membayar Cicilan Hutang, Mengurangi Pokok Hutang ataukah untuk Menutup Tagihan Bunga Hutang?

Question: Ketika debitor melakukan pembayaran berupa cicilan atas tunggakan hutangnya, disebut sebagai cicilan hutang karena bukan berupa pelunasan terhadap seluruh hutangnya secara seketika dan sekaligus, maka pembayarannya tersebut secara hukum adalah diperhitungkan untuk mengurangi komponen “pokok hutang” ataukah untuk membayar “bunga dari hutang”? Apa boleh juga, bila debitor mencoba mendesak kreditornya untuk menerima aset tanah miliknya alias tukar-guling aset tanah dengan sisa tunggakan hutangnya yang berupa uang?

RESIKO PROFESI Penjahat, Dibunuh dan Terbunuh oleh Korban yang Melawan atau Membela Diri

Serba Salah Posisi Korban saat Mengalami Kejahatan atau Berhadapan dengan Penjahat

Penjahat Dilukai dan Dibunuh oleh Korban yang Melawan, YOU ASKED FOR IT!

Resiko menjadi Orang Baik-Baik, Dijadikan Korban Kejahatan bahkan Dikriminalisasi ketika Membela Diri, Pilihan yang Serba Sulit dan Serba Salah

Pelaku usaha yang mengeluh letih atas usahanya kepada konsumen, merupakan pelaku usaha yang tidak profesional. Mengapa pengusaha semacam demikian, disebut sebagai pelaku usaha yang tidak profesional? Karena ia tidak mau menyadari, bahwasannya konsumennya pun selama ini harus “banting tulang” mencari nafkah agar dapat membayar produk / jasa yang dibeli olehnya dari sang pelaku usaha, juga menghadapi segala kesukaran dan kerepotan disamping resiko usahanya sendiri masing-masing. Alasan kedua, sang pelaku usaha bersikap kekanakan, seolah-olah hanya diri ia seorang yang selama ini merasakan letihnya sebuah pekerjaan.

Makna TRANSPARANSI Vs. AKUNTABILITAS Lembaga Peradilan

Putusan Hakim yang Tidak Lolos UJI MORIL, Putusan yang Tidak Akuntabel

Transparan namun Minus Akuntabilitas, PHP (Pemberi Harapan Palsu)

Apakah menurut hemat para pembaca, integritas lembaga peradilan ditentukan oleh transparansi produk peradilan berupa putusan hakim baik itu perkara pidana maupun perkara perdata? Tidak, bukan itu jawabannya. Selama ini, Lembaga Yudikatif berupa Mahkamah Agung RI maupun jajaran peradilan dibawahnya ataupun Mahkamah Konstitusi RI, telah mempublikasikan seluruh putusan pengadilan, baik yang diapresiasi publik maupun putusan-putusan yang kontroversial dan mengundang cibiran masyarakat luas. Namun, seganjil dan se-absurd apapun putusan-putusan yang sekalipun jelas-jelas mengandung “moral hazard” serta tidak sejalan dengan kampanye “patuh hukum” ataupun semangat penegakan pemberatasan korupsi, kritik demi kritik mengalir ke lembaga peradilan di bawah atap kedua Mahkamah tersebut, tetap saja mereka yang selama ini hidup di atas menara gading sehingga “berjarak dari masyarakat konstituennya”, bergeming sembari balik mencibir sinis:

SO WHAT?! Tetap saja setiap tahunnya berbagai gugatan membanjiri institusi kami untuk diputus oleh hakim-hakim kami. Ini, masih banyak putusan ‘aneh bin ajaib’ lainnya, dan akan menyusul putusan-putusan ‘aneh bin ajaib’ lainnya akan kami publikasikan, ERGA OMNES! Para rakyat ‘menggonggong’, para hakim berlalu acuh tak acuh, business as usual.

LAW IN CONCRETO Syarat Pailit & PKPU “Made in Pengadilan Niaga”

Syarat Minimum Pembuktian Adanya Kreditor Lain dalam Memohon Kepailitan / PKPU

Dikehendaki oleh Minimum Dua Kreditor, dan Kedua Tagihannya telah Jatuh Tempo serta Tidak Tertagihkan

Question: Apakah benar bahwa kini informasi keberadaan atau adanya “kreditor lain” sebagaimana dalam print-out SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan) tidak lagi laku ataupun berharga di mata hakim Pengadilan Niaga ketika seorang kreditor hendak memohon pailit ataupun PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) terhadap debitor yang berdasarkan NIK (Nomor Induk Kependudukan) data informasi hutangnya tercantum dalam SLIK tersebut? Bukankah SLIK merupakan bukti otentik dari Otoritas Jasa Keuangan?

Menang Diatas Kertas, namun Ditagih SUCCESS FEE oleh Pengacara = Merugi Dua Kali

Bahaya / Ancaman Mengintai Dibalik SUCCESS FEE Advokat

Idealnya Menggugat Tanpa Jasa Pengacara

Bukanlah isu hukum baru, namun masih tetap relevan serta “klise” hingga dewasa kini, berbagai putusan perkara perdata sifatnya “menang diatas kertas”. Banyak diantara anggota masyarakat kita yang ber-euforia ketika kuasa hukumnya (dalam ini kalangan profesi pengacara) berhasil memenangkan gugatan melawan suatu pihak, berwujud amar putusan berupa perintah atau penghukuman agar pihak Tergugat membayar sejumlah ganti-rugi nominal tertentu kepada pihak Penggugat, dengan nilai nominal yang bombastis. Sampai di situ saja, persepsi masyarakat pengguna jasa pengacara diliputi oleh asumsi bahwa sengketa ataupun masalah hukum telah selesai dan tuntas, dimana sang pengacara menagih sejumlah “SUCCESS FEE” sebagaimana telah disepakati sebelumnya, seolah-olah “sukses”—namun “sukses” memenangkan gugatan tidak selalu identik dengan “solusi”—karena sang pengguna jasa pengacara membayarkan sejumlah “SUCCESS FEE” yang ditagihkan kepada sang pengacara.

Dualisme Daya Ikat Yurisprudensi di Indonesia, Praktik Berhukum yang Ambigu

Mungkinkah Tercipta KEADILAN HUKUM bila Tiada KEPASTIAN HUKUM yang Ditawarkan oleh Praktik Lembaga Peradilan?

Kesenjangan dan Disparitas menjadi Harga Mahal Dibalik Inkonsistensi Pendirian Lembaga Peradilan Pemutus Perkara

Dalam kesempatan ini, penulis mencoba mengajak para pembaca untuk merenungkan sebuah isu hukum yang “ringan namun menggelitik” berikut ini perihal praktik peradilan di Indonesia. Cobalah tanyakan kepada diri Anda sendiri, apakah putusan Mahkamah Konstitusi tidak termasuk sebagai “yurisprudensi” itu sendiri? Sejumlah pengamat, akademisi, maupun penyiar pada berbagai media massa kerap mengutip ataupun merujuk hukum yang berlaku semisal “berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor ...”, dimana kemudian para pihak tersebut patuh dan tunduk pada putusan Mahkamah Konstitusi demikian.

KELIRUPAHAM, Paham namun Keliru : Mewajibkan Apa yang Bukan Kewajiban Orang Lain

Jangan Bersikap Seolah-Olah Kita Tidak Memiliki DAYA TAWAR dan PILIHAN BEBAS

Jangan Bersikap Seolah-Olah Kita Bukanlah Individu / Pribadi yang BEBAS dan MERDEKA

Jangan Bersikap Seolah-Olah Orang Lain adalah seorang BUDAK JAJAHAN Bangsa Terjajah

Suka atau tidak suka, faktanya mentalitas masyarakat kita di Indonesia—yang bisa disebut sebagai kultur, mengingat polanya masif dan merata—ialah gemar “mengkriminalisasi” warga lainnya atas apa yang sebetulnya bukan sebuah kejahatan ataupun kesalahan yang patut dicela maupun dipermasalahkan oleh para bijaksanawan. Yang tidak bersalah, dipandang dan dituding sebagai bersalah. Yang tidak memiliki kewajiban, dibebankan kewajiban, sekalipun dirinya sendiri tidak punya hak untuk mewajibkan pihak yang ia wajibkan. Pada muaranya, ialah ajang persekusi alias “main hakim sendiri” baik secara verbal maupun secara fisik—pola khas bangsa kita, “menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan fisik maupun intimidasi verbal” dalam rangka pemaksaan kehendak ataupun perampasan hak orang lain. itulah yang disebut sebagai “keliru-paham” atau “gagal-paham”, paham namun secara melenceng.

Vonis Hukuman Ringan, Membuat Jera KORBAN alih-alih Menjerakan Pelaku Kejahatan

Tarik-Menarik Keadilan bagi KORBAN Vs. Kepentingan PELAKU KEJAHATAN (TERDAKWA)

Tentu kita publik di Indonesia masih ingat kejadian yang menimpa seorang mantan penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi bernama Novel Baswedan, yang satu bola mata sebagai indera penglihatannya rusak permanen untuk sepenuhnya sementara itu satu bola mata lainnya mengalami kerusakan permanan untuk separuhnya, akibat secara jahat dan disengaja yang tentunya juga direncanakan oleh pelakunya menggunakan “air keras” yang disiram ke arah wajah sang pemberantas korupsi. Sekalipun Novel Baswedan menderita untuk seumur hidupnya akibat kebutaan permanen, pada saat ulasan ini disusun bisa jadi para pelakunya telah dibebaskan dari penjara mengingat hanya dijatuhi vonis pidana penjara dua tahun sekian bulan oleh Majelis Hakim di pengadilan—belum lagi mendapat pembebasan bersyarat, obral remisi, cuti masa hukuman, diskon masa hukuman pada hari raya negara maupun hari raya keagamaan, dan lain sebagainya.

Seni Hidup : Berani untuk DIAM dan Keberanian TIDAK MENJAWAB

Diam dan Bergeming sebagai Bentuk Pertahanan dan Perlindungan Diri, serta merupakan Jawaban Itu Sendiri. Diam sebagai Jawaban sekaligus sebagai Pertahanan Diri Terbaik

Hak untuk Diam dan Hak untuk Tidak Menjawab, Hak Asasi Manusia

Ciri khas dari bangsa yang telah benar-benar beradab ialah, disadari serta dihormatinya hak masing-masing individu warga untuk “diam” serta hak untuk “tidak menjawab”. Tampaknya masyarakat kita di Indonesia, masih belum benar-benar layak untuk disebut sebagai bangsa yang beradab, mengingat penghormatan terhadap hak orang lain yang paling mendasar seperti “hak untuk diam” serta “hak untuk tidak menjawab”, sama sekali tidak dihormati, bahkan tidak dihargai. Praktik sosial yang terjadi di lapangan selama ini, masyarakat Indonesia kerap mempertontonkan “putar-balik logika moril”, seolah-olah individu / warga lainnya bukanlah subjek yang bebas dan merdeka dari bentuk-bentuk penjajahan siapapun.

DEMOKRASI yang Sehat, Tahu BATAS serta Ada BATASAN

Babak Baru Catur Perpolitikan di Indonesia, Fenomana “Demokrasi yang Patah” akibat Dipaksakan

Demokrasi yang Tanpa Batasan, Menjelma Kontraproduktif terhadap Ketatanegaraan—Malapetaka bagi Bangsa Bersangkutan

Cerminan Rakyat yang Kekanakan, Menuntut Demokrasi Tanpa Batasan. Masyarakat yang telah Dewasa Cara Berpikirnya, Cukup dengan Demokrasi yang Mendasar dan Kenal Batasan, karena “Ada Hal Lain yang Lebih Penting untuk Dikerjakan”

Demokrasi adalah hal yang “baik”, sistem pemerintahan yang paling “ideal” diantara sistem-sistem pemerintah lainnya yang terburuk. Namun, “baik” dalam derajat atau batasan koridor tertentu, dimana bilamana batasan itu dilampaui, akibatnya justru melahirkan efek yang bertolak-belakang dari semangat dan tujuan awal pembentukan negara yang demokratik. Ada istilah dalam Bahasa Inggris, ketika seseorang telah bersikap atau bertindak melampaui ambang batas toleransi seseorang lainnya, maka orang tersebut telah “hit my bottom line”—atau ketika seseorang bersepakat untuk bekerjasama namun dengan syarat-syarat tertentu, itulah ketika ia “draw the line”, dimana orang-orang yang berhadapan dengannya tidak diperkenankan untuk melampaui “line” tersebut. Sama halnya, ada titik atau kondisi, dimana demokrasi tidak boleh dibiarkan terlampau “liar” dan melewati batas, semata agar tidak menjelma kontraproduktif.

Resiko Dibalik Omnibus Law, Hukum menjadi Terlampau Teknokratik

OMNIBUS LAW, Model Norma Hukum yang TEKNOKRATIK, Kontra Kepentingan Rakyat

Undang-Undang OMNIBUS LAW Vs. Undang-Undang TEMATIK, manakah yang Lebih “Reader Friendly”?

Setelah penulis mencoba bersentuhan dengan membaca apa isi Undang-Undang yang disusun dan diterbitkan oleh negara secara “omnibus law”, kesan pertama serta kesan yang paling kentara penulis—dan yang juga akan masyarakat luas pada umumnya—jumpai serta temui ialah : betapa rumit dan kompleksnya norma hukum peraturan perundang-undangan yang diterbitkan pemerintah dewasa ini. Betapa tidak, Undang-Undang yang disusun dan diterbitkan secara “omnibus law” demikian adalah sarat nuasa teknokratik, seolah-olah pemerintah (bersama parlemen) membentuk serta menerbitkan “omnibus law” untuk mereka baca sendiri, bukan untuk dibaca oleh masyarakat umum meski rakyat notabene adalah subjek hukum pengemban hak dan kewajiban berdasarkan norma hukum (erga omnes).

Ambiguitas Hak Mempailitkan Manajer Investasi, Menyandera Hak Investor Pasar Modal

Manajer Investasi Selaku Profesi ataukah Individu Penyandang Status?

Otoritas Jasa Keuangan Memonopolistik Kewenangan Mempailitkan Manajer Investasi, SALAH KAPRAH Penyusun Kebijakan yang Mispersepsi Aturan yang Dirancang dan Diterbitkannya Sendiri

Regulasi di Indonesia mengatur bahwa seseorang yang berprofesi sebagai Manajer Investasi, hanya dapat dimohonkan pailit dan dipailitkan atas dasar permohonan pemerintah—dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK)—ke hadapan Pengadilan Niaga, sehingga tertutup peluang warga negara perorangan ataupun badan hukum swasta untuk mempailitkan seorang Manajer Investasi. Namun demikian, penulis menilai pengaturan demikian adalah blunder adanya, mengingat para investor yang menuntut haknya atas dana investasinya yang tidak dapat dicairkan oleh sang Manajer Investasi, tergolong sebagai “Kreditor Separatis”, mengingat seluruh dana investasi yang dikelola oleh sang Manajer Investasi dipisahkan serta terpisah (separated) dari harta kekayaan pribadi sang Manajer Investasi.