KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Lebih Mudah Syarat menjadi Calon Wakil Presiden daripada Mencalonkan Diri sebagai Pimpinan KPK

Wakil Presiden RI dan MK RI telah Ternyata Sama-Sama INKONSTITUSIONAL

Bukti bahwa Mahkamah Konstitusi RI (MK RI) adalah Murni Lembaga POLITIK, Bukan Lembaga Kehakiman-Yudikatif

Question: Apakah ada argumentasi yang lebih valid, untuk menyebutkan bahwa Wakil Presiden Republik Indonesia yang notabene anak dari Mulyono, dimana sang bapak yang mencarikan pekerjaan untuk sang anak, adalah cacat hukum legitimasinya?

Brief Answer: Terdapat satu fakta hukum yang luput atau abai diangkat ke permukaan oleh para pemerhati hukum, perihal cacat yuridisnya Wakil Presiden RI yang terpilih dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI pada tahun 2024, yakni fakta yuridis yang terkandung bukan dalam perkara uji materiil usia calon Wakil Presiden, namun dalam perkara nomor 68/PUU-XXII/2024 tanggal 12 September 2024 (oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Suhartoyo, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Arsul Sani, Anwar Usman, Arief Hidayat, Daniel Yusmic P. Foekh, M. Guntur Hamzah, dan Ridwan Mansyur) yang juga diputus oleh lembaga yang sama, yakni MK RI (Mahkamah Konstitusi RI), telah ternyata terdapat INKONSISTENSI pertimbangan hukum terkait “usia calon” maupun amar putusannya—sekalipun Hakim Konstitusinya notabene Hakim-Hakim yang sama—dimana dalam perkara nomor 68/PUU-XXII/2024 tanggal 12 September 2024 terkait syarat usia minimal calon pimpinan KPK, MK RI membuat pertimbangan hukum dengan kutipan sebagai berikut yang kemudian dilanggar sendiri oleh MK RI dalam perkara uji materiil calon Wakil Presiden RI:

“Menurut Mahkamah, penentuan syarat usia paling rendah atau usia paling tinggi terkait jabatan tertentu –dalam suatu undang-undang– adalah kewenangan sepenuhnya pembentuk undang-undang, atau yang biasa dikenal dengan istilah kebijakan hukum terbuka (open legal policy).”

“Bahwa meskipun berkaitan dengan syarat usia paling rendah dan syarat usia paling tinggi a quo Mahkamah telah berpendirian hal demikian menjadi wewenang pembentuk undang-undang, namun penting untuk ditegaskan dalam keadaan tertentu pembentuk undang-undang tidak boleh dengan mudah maupun terlalu sering mengubah syarat usia untuk menjadi pejabat publik, baik pejabat yang dipilih maupun yang diangkat sebagaimana terdapat dalam beberapa norma undang-undang.

“Penegasan Mahkamah demikian diperlukan mengingat bahwa mengubah syarat usia paling rendah maupun syarat usia paling tinggi terlalu sering dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan karena mudahnya terjadi pergeseran parameter acuan kapabilitas atau kompetensi seseorang untuk menduduki jabatan dalam suatu lembaga / organisasi publik.

“Jika hal tersebut sering diubah, besar kemungkinan pembentuk undang-undang akan merumuskan kebijakan ‘penyesuaian usia’ untuk menghalangi hak konstitusional warga negara lainnya dengan tujuan antara lain untuk ‘motif politik’ tertentu.

“Bahwa terlepas dari adanya alasan-alasan tersebut di atas, menurut Mahkamah hal paling esensial yang menjadi pertimbangan hukum Mahkamah dalam perkara Nomor 112/PUU-XX/2022 adalah adanya persyaratan pendidikan, keahlian, dan terlebih lagi pengalaman, merupakan persyaratan yang secara substansial lebih bersifat esensial daripada persyaratan batasan usia yang bersifat formal semata.”

PEMBAHASAN:

PUTUSAN

Nomor 68/PUU-XXII/2024

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA,

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

1. Nama : Novel Baswedan, S.I.K., S.H., M.H.;

selanjutnya disebut sebagai Pemohon I;

2. Nama : Mochamad Praswad Nugraha, S.H., LL.M.;

selanjutnya disebut sebagai Pemohon II;

3. Nama : Dr. Harun Al Rasyid, S.H., M.H.;

selanjutnya disebut sebagai Pemohon III;

4. ...

B. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) DAN KERUGIAN KONSTITUSIONAL PARA PEMOHON

2) Bahwa para Pemohon sebagai Warga Negara Republik Indonesia (vide Bukti P-7 s.d. Bukti P-18) yang dalam hal ini adalah mantan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disebut KPK), Pegawai KPK yang dimaksud dalam Permohonan a quo adalah Pegawai KPK yang telah memiliki pengalaman bidang pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih dari 5 (lima) tahun atau minimal 1 (satu) Periode Pimpinan KPK yang selaras dengan tugas KPK (Bukti P-20 s.d. Bukti P-31) yaitu pencegahan dan pemberantasan Tipikor sesuai Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 berbunyi: “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Undang-Undang ini.”

3) Bahwa para Pemohon telah berusia kurang dari 50 (lima puluh) tahun dan berusia lebih dari 40 (empat puluh) tahun sesuai dengan syarat minimum pendaftaran Pimpinan KPK Pasal 29 huruf e pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU KPK 30/2002) atau UU KPK sebelum direvisi pada tahun 2019 yang berbunyi: “berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan.”

4) Bahwa setelah UU KPK direvisi pada tahun 2019 dan dimaknai kembali oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022, Pasal 29 huruf e UU KPK 19/2019 menjadi berbunyi: “berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”.

5) Bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 29 huruf e UU KPK 19/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 maka para Pemohon tidak dapat mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK Periode 2024-2029 karena tidak terpenuhinya syarat berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan tidak pernah menjabat sebagai Pimpinan KPK.

6) Bahwa selanjutnya terhadap kedudukan hukum para Pemohon yang menganggap Hak Konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya undang-undang,

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon dalam perkara a quo sebagai berikut:

1. Bahwa para Pemohon mengajukan pengujian norma Pasal 29 huruf e UU 19/2019 yang menyatakan “Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: … e. berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan; …”, sebagaimana telah dimaknai Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUUXX/2022, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka pada tanggal 25 Mei 2023, sehingga Pasal 29 huruf e UU 19/2019 menyatakan “Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: … e. berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”.

2. Bahwa para Pemohon beranggapan Pasal 29 huruf e UU 19/2019 a quo bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945;

3. Bahwa para Pemohon mendalilkan diri sebagai warga negara Indonesia, mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah memiliki pengalaman bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi lebih dari 5 (lima) tahun atau minimal 1 (satu) periode pimpinan KPK, serta berusia lebih dari 40 (empat puluh) tahun namun kurang dari 50 (lima puluh) tahun [vide Bukti P-7 sampai dengan Bukti P-18, dan Bukti P-20 sampai dengan Bukti P-31];

4. Bahwa para Pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh Pasal 29 huruf e UU 19/2019 sebagaimana telah dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022, yang mana Pasal 29 huruf e UU 19/2019 a quo mengubah syarat paling rendah usia calon pimpinan KPK menjadi 50 (lima puluh) tahun, dari sebelumnya 40 (empat puluh) tahun, sehingga para Pemohon tidak dapat mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK Periode 2024- 2029;

Bahwa berdasarkan uraian para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya tersebut di atas, Mahkamah berpendapat para Pemohon telah dapat membuktikan dirinya sebagai warga negara Indonesia, berada di rentang usia lebih dari 40 (empat puluh) tahun namun di bawah 50 (lima puluh) tahun yang dibuktikan dengan alat bukti bertanda Bukti P-7 sampai dengan Bukti P-18. Para Pemohon juga telah membuktikan pernah bekerja sebagai pegawai KPK sebagaimana dibuktikan dengan alat bukti bertanda Bukti P-33 sampai dengan Bukti P-44.

Disamping itu, para Pemohon juga telah dapat menjelaskan mempunyai hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, dan menganggap dirugikan dengan berlakunya norma Pasal 29 huruf e UU 19/2019 sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022.

Anggapan kerugian yang dimaksudkan oleh para Pemohon tersebut mempunyai hubungan sebab-akibat (kausalitas) dan bersifat khusus (spesifik) dengan norma yang dimohonkan pengujian, di mana norma a quo telah mengubah syarat usia pencalonan sebagai pimpinan KPK yang secara aktual dianggap menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon karena tidak dapat mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK. Oleh karena itu, apabila permohonan para Pemohon dikabulkan maka kerugian konstitusional para Pemohon tidak terjadi lagi.

Dengan demikian, terlepas terbukti atau tidaknya dalil para Pemohon berkaitan dengan isu konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian, Mahkamah berkesimpulan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.

[3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan provisi dan pokok permohonan para Pemohon.

Dalam Provisi

[3.7] Menimbang bahwa para Pemohon dalam permohonannya mengajukan provisi yang pada pokoknya meminta Mahkamah untuk menghentikan sementara proses seleksi Calon Pimpinan KPK Periode 2024-2029 dan memperpanjang masa jabatan Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK Periode 2024-2029 sampai dengan adanya Putusan Akhir Mahkamah Konstitusi terhadap pokok permohonan a quo dan memberikan kesempatan kepada Presiden RI terpilih dan DPR RI terpilih Periode 2024-2029 untuk memilih calon pimpinan KPK sesuai dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 serta memerintahkan Panitia Seleksi memberikan kesempatan kepada para Pemohon untuk melakukan pendaftaran dan mengikuti rangkaian proses seleksi Calon Pimpinan KPK periode 2024-2029.

Terhadap permohonan provisi para Pemohon tersebut, Mahkamah menilai materi permohonan provisi demikian terutama pada permintaan / permohonan para Pemohon agar Mahkamah “memerintahkan Panitia Seleksi memberikan kesempatan kepada para Pemohon untuk melakukan pendaftaran dan mengikuti rangkaian proses seleksi Calon Pimpinan KPK 2024-2029”, adalah salah satu materi atau substansi yang telah menjadi substansi pokok permohonan.

Di samping itu, terhadap permohonan para Pemohon a quo Mahkamah telah berpendapat untuk memutus permohonan / perkara tersebut tanpa mendengarkan / meminta keterangan para pihak dalam persidangan lanjutan dengan agenda pembuktian, dengan kata lain tanpa mempergunakan kewenangan Mahkamah yang diatur atau dimaksudkan dalam Pasal 54 UU MK. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat permohonan putusan provisi para Pemohon tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut dan oleh karena itu haruslah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

Dalam Pokok Permohonan

[3.8] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan norma Pasal 29 huruf e UU 19/2019 sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK atau berpengalaman sebagai pegawai KPK yang menjalankan fungsi utama KPK yaitu pencegahan atau penegakan hukum tindak pidana korupsi sekurang-kurangnya selama 1 (satu) periode masa jabatan pimpinan KPK, atau paling tinggi berusia 65 (enam puluh lima) tahun”, dengan dalil-dalil sebagaimana termaktub dalam bagian duduk perkara, namun jika dirumuskan oleh Mahkamah pada pokoknya, sebagai berikut:

1. Bahwa menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 29 huruf e UU 19/2019 mengatur syarat menjadi pimpinan KPK adalah berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun. Hal demikian mengakibatkan para Pemohon dirugikan karena tidak dapat melakukan pendaftaran seleksi calon pimpinan KPK.

2. Bahwa menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 29 huruf e UU 19/2019 menimbulkan diskriminasi terhadap para Pemohon dan secara nyata merugikan serta melanggar hak konstitusional para Pemohon untuk dapat mencalonkan dan dipilih sebagai ketua KPK dalam usia di bawah 50 (lima puluh) tahun pada periode tahun 2024-2028.

3. Bahwa menurut para Pemohon, usia para Pemohon belum ada yang mencapai usia 50 (lima puluh) tahun sehingga tidak memenuhi syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 29 huruf e UU 19/2019.

4. Bahwa menurut para Pemohon, sebelum diputus oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022, Pasal 29 huruf e UU 19/2019 mengatur bahwa syarat pimpinan KPK adalah “berusia 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun”, kemudian dimaknai oleh Putusan a quo menjadi “berusia 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”.

5. Bahwa menurut para Pemohon, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 telah mempertimbangkan bahwa syarat substansi memiliki peran lebih penting dibandingkan syarat administrasi. Para Pemohon merupakan pihak yang dapat dipersamakan dengan pimpinan KPK dalam hal pengetahuan atas sistem kerja, permasalahan yang dihadapi lembaga, serta target kerja yang ingin dicapai lembaga.

6. Bahwa menurut para Pemohon, pengalaman dalam menduduki jabatan di KPK dalam fungsi utama KPK yaitu pencegahan atau penegakan hukum tindak pidana korupsi sebagai syarat alternatif tambahan bagi calon Pimpinan KPK untuk dapat memahami proses bisnis di KPK dapat disesuaikan dengan minimum pengalaman dalam menduduki jabatan di KPK setidak-tidaknya selama 1 (satu) periode Pimpinan KPK yaitu 5 (lima) tahun sehingga senada dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022.

Bahwa berdasarkan dalil-dalil permohonan tersebut, para Pemohon memohon agar ketentuan norma Pasal 29 huruf e UU 19/2019 sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila tidak dimaknai kembali menjadi “Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK atau berpengalaman sebagai pegawai KPK yang menjalankan fungsi utama KPK yaitu pencegahan atau penegakan hukum tindak pidana korupsi sekurang-kurangnya selama 1 (satu) periode masa jabatan pimpinan KPK, atau paling tinggi berusia 65 (enam puluh lima) tahun”.

[3.9] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalilnya para Pemohon mengajukan alat bukti berupa surat atau tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-50.

[3.10] Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo telah jelas, sebagaimana telah pula dipertimbangkan pada Paragraf [3.7], Mahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi dan relevansinya untuk meminta keterangan pihak-pihak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 54 UU MK.

[3.11] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil permohonan para Pemohon a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan para Pemohon berkaitan dengan ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), yang mengatur mengenai pengujian kembali norma yang telah / pernah dimohonkan pengujian.

Pasal 60 UU MK menyatakan:

(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.

Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:

(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.

Bahwa berkenaan dengan ketentuan Pasal 29 huruf e UU 19/2019 sudah pernah dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya kepada Mahkamah dan sudah diputus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XVII/2019, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 4 Mei 2021; serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 25 Mei 2023. Namun, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022, Mahkamah menyatakan ketentuan a quo bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”.

Oleh karena norma yang dimohonkan pengujian telah dilakukan pemaknaan baru melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022, maka norma dalam Pasal a quo tidak lagi sama dengan norma sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut, maka terhadap ketentuan norma Pasal 29 huruf e UU 19/2019 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon dalam perkara ini, secara substansial harus diposisikan sebagai norma baru yang belum pernah dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya, sehingga pengajuan pengujian konstitusionalitas Pasal a quo tidak relevan jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 60 UU MK maupun Pasal 78 PMK 2/2021.

Berdasarkan hal demikian, permohonan ini tidak terhalang oleh ketentuan Pasal 60 UU MK maupun Pasal 78 PMK 2/2021 dan oleh karena itu terhadap norma a quo dapat diajukan pengujian konstitusionalitasnya.

[3.12] Menimbang bahwa menurut Mahkamah persoalan konstitusionalitas norma yang dipermasalahkan para Pemohon adalah batas usia paling rendah untuk menjadi pimpinan KPK, di mana batas usia demikian diubah dari sebelumnya usia paling rendah adalah 40 (empat puluh) tahun [menurut Pasal 29 huruf e UU 30/2002] menjadi 50 (lima puluh) tahun [menurut Pasal 29 huruf e UU 19/2019] yang kemudian dimaknai oleh Mahkamah konstitusi sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022.

Norma demikian menurut para Pemohon bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana selengkapnya termaktub dalam petitum permohonan para Pemohon.

Terhadap permasalahan yang didalilkan oleh para Pemohon tersebut di atas, Mahkamah mempertimbangkan bahwa berkaitan dengan penentuan syarat usia telah dipertimbangkan Mahkamah dalam berbagai putusan sebelumnya, antara lain Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-V/2007, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37-39/PUU-VIII/2010, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUUXIV/2016. Menurut Mahkamah, penentuan syarat usia paling rendah atau usia paling tinggi terkait jabatan tertentu –dalam suatu undang-undang– adalah kewenangan sepenuhnya pembentuk undang-undang, atau yang biasa dikenal dengan istilah kebijakan hukum terbuka (open legal policy).

Hal demikian karena UUD NRI Tahun 1945 sebagai panduan sekaligus parameter bagi pengujian suatu undang-undang tidak mengatur secara spesifik mengenai syarat usia paling rendah maupun paling tinggi bagi seseorang untuk mendaftarkan diri sebagai calon dan/atau mengemban jabatan tertentu, in casu sebagai pimpinan KPK. Lebih lanjut, berkenaan dengan hal a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut.

[3.12.1] Bahwa tidak adanya pengaturan atau pedoman dalam UUD NRI Tahun 1945 berkaitan dengan syarat usia tersebut dapat dipahami sebagai pemberian kewenangan oleh UUD NRI Tahun 1945 kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur lebih jauh dan lebih detail mengenai hal-hal terkait syarat usia, yang tidak diatur secara tegas dalam UUD NRI Tahun 1945, tentu dengan batasan selama pengaturan oleh pembentuk undang-undang tidak melanggar prinsip-prinsip dalam konstitusi atau UUD NRI Tahun 1945.

Dalam kaitan dengan norma undang-undang yang merupakan wilayah kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, Mahkamah sejauh dan selama ini memposisikan diri untuk tidak memberikan penilaian terhadap norma demikian, kecuali apabila norma yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang (kebijakan hukum terbuka) dimaksud secara terang dan nyata melanggar syarat-syarat atau hal-hal antara lain: tidak melanggar moralitas; tidak melanggar rasionalitas; bukan ketidakadilan yang intolerable; tidak melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang; bukan merupakan penyalah-gunaan kewenangan; tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945; tidak menegasikan prinsip-prinsip dalam UUD NRI Tahun 1945; tidak bertentangan dengan hak politik; tidak bertentangan dengan kedaulatan rakyat; tidak dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur); serta tidak melampaui dan/atau menyalahgunakan kewenangan (detournement de pouvoir).

[3.12.2] Bahwa batasan lain terkait kebijakan hukum terbuka juga telah dirumuskan Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUUXI/2013, yang telah diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 Maret 2013, di mana Mahkamah menyatakan bahwa pilihan bebas pembentuk undang-undang untuk menentukan syarat usia jabatan, sebagai wujud kebijakan hukum terbuka, “… dapat menjadi permasalahan konstitusionalitas jika aturan tersebut menimbulkan problematika kelembagaan, yaitu tidak dapat dilaksanakan, aturannya menyebabkan kebuntuan hukum (deadlock) dan menghambat pelaksanaan kinerja lembaga negara yang bersangkutan yang pada akhirnya menimbulkan kerugian konstitusionalitas warga negara;”

Bahwa meskipun berkaitan dengan syarat usia paling rendah dan syarat usia paling tinggi a quo Mahkamah telah berpendirian hal demikian menjadi wewenang pembentuk undang-undang, namun penting untuk ditegaskan dalam keadaan tertentu pembentuk undang-undang tidak boleh dengan mudah maupun terlalu sering mengubah syarat usia untuk menjadi pejabat publik, baik pejabat yang dipilih maupun yang diangkat sebagaimana terdapat dalam beberapa norma undang-undang.

Penegasan Mahkamah demikian diperlukan mengingat bahwa mengubah syarat usia paling rendah maupun syarat usia paling tinggi terlalu sering dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan karena mudahnya terjadi pergeseran parameter acuan kapabilitas atau kompetensi seseorang untuk menduduki jabatan dalam suatu lembaga / organisasi publik.

Jika hal tersebut sering diubah, besar kemungkinan pembentuk undang-undang akan merumuskan kebijakan “penyesuaian usia” untuk menghalangi hak konstitusional warga negara lainnya dengan tujuan antara lain untuk “motif politik” tertentu.

[3.13] Menimbang bahwa para Pemohon dalam permohonannya mengkaitkan bahkan mempersamakan permasalahan yang dihadapi para Pemohon dengan permasalahan pengujian konstitusionalitas norma dalam Perkara Nomor 112/PUUXX/2022 yang diajukan pengujiannya oleh Pemohon bernama Nurul Ghufron dalam kedudukannya sebagai Komisioner KPK atau salah satu pimpinan KPK.

Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat pokok permasalahan dalam Perkara Nomor 112/PUU-XX/2022 adalah bahwa Pemohon merupakan pimpinan KPK dan karenanya secara hukum telah pernah mengikuti seleksi pencalonan sekaligus dinyatakan memenuhi syarat sebagai pimpinan KPK untuk periode pertama bagi Pemohon Perkara Nomor 112/PUU-XX/2022, sebagaimana persyaratan saat itu diatur dalam Pasal 29 huruf e UU 30/2002.

Di sisi lain, Pasal 34 UU 30/2002 mengatur bahwa pimpinan KPK “dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan”. Terlebih lagi, persoalan yang dihadapi Pemohon Perkara Nomor 112/PUU-XX/2022 adalah adanya perubahan aturan / ketentuan berkaitan dengan syarat usia untuk menjadi pimpinan KPK yang perubahan syarat demikian terjadi setelah Pemohon menjabat atau setidak-tidaknya telah terpilih sebagai pimpinan KPK.

[3.13.1] Bahwa terlepas dari adanya alasan-alasan tersebut di atas, menurut Mahkamah hal paling esensial yang menjadi pertimbangan hukum Mahkamah dalam perkara Nomor 112/PUU-XX/2022 adalah adanya persyaratan pendidikan, keahlian, dan terlebih lagi pengalaman, merupakan persyaratan yang secara substansial lebih bersifat esensial daripada persyaratan batasan usia yang bersifat formal semata.

Calon pimpinan KPK yang telah memiliki pengalaman memimpin KPK selama satu periode sebelumnya, menurut Mahkamah memiliki nilai lebih yang akan memberikan keuntungan tersendiri bagi lembaga KPK karena yang bersangkutan telah memahami sistem kerja, permasalahan-permasalahan yang dihadapi lembaga, serta target kinerja yang ingin dicapai oleh lembaga.

Apalagi persoalan-persoalan yang ditangani dan menjadi kewenangan lembaga KPK mempunyai karakter khusus yaitu berkaitan dengan perkara-perkara yudisial yang membutuhkan pengalaman [vide pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022, hlm. 110].

Oleh karena itu, dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum Mahkamah pada putusan a quo, pengalaman seseorang sebagai pimpinan KPK menjadi pembeda dan tidak dapat dipersamakan dengan pengalaman di bidang lainnya sekalipun pengalaman demikian adalah pengalaman bertugas atau bekerja di KPK, mengingat ada perbedaan yang bersifat fundamental dengan pengalaman pernah sebagai pimpinan KPK.

Pengalaman menjabat sebagai pimpinan KPK berarti memiliki kesempatan secara komprehensif untuk menerapkan hal-hal yang bersifat konkret dalam menjalankan roda organisasi in casu KPK, baik pada bidang pencegahan maupun penindakan.

Dengan demikian, sekali lagi, Pemohon dalam Perkara Nomor 112/PUU-XX/2022 dinilai telah memenuhi syarat serta mempunyai kualifikasi sebagai pimpinan KPK yang secara faktual dibuktikan dengan posisinya saat itu telah terpilih dan sedang menjabat sebagai pimpinan KPK.

[3.13.2] Bahwa lebih lanjut, jika dicermati pertimbangan hukum tersebut sekilas tidak berbeda dengan argumentasi yang didalilkan para Pemohon dalam permohonan Perkara Nomor 68/PUU-XXII/2024 a quo, di mana para Pemohon menjelaskan terhalang untuk mendaftar sebagai calon pimpinan KPK akibat adanya perubahan syarat usia paling rendah berupa kenaikan dari usia 45 (empat puluh lima) tahun menjadi usia 50 (lima puluh) tahun. Namun, jika dicermati secara saksama keduanya terdapat perbedaan yang bersifat mendasar.

Perbedaan antara Perkara a quo dengan Perkara Nomor 112/PUU-XX/2022 adalah bahwa para Pemohon dalam Perkara a quo saat ini belum pernah memiliki pengalaman menjadi pimpinan KPK, sementara pemohon dalam perkara Nomor 112/PUU-XX/2022 telah pernah atau sedang menjabat sebagai pimpinan KPK.

Oleh karena itu, baik secara yuridis maupun faktual keduanya tidak serta merta dapat dipersamakan, hal tersebut dikarenakan adanya kelebihan-kelebihan tersendiri bagi yang pernah memiliki pengalaman menjadi pimpinan untuk dapat memenuhi kualifikasi yang kemudian menjadi alasan bagi Mahkamah untuk menyepadankan atau mengalternatifkan dengan syarat usia untuk menjadi pejabat publik in casu termasuk menjadi calon pimpinan KPK.

Berkenaan dengan penyepadanan atau pengalternatifan a quo, Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 141/PUU-XXI/2023 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 29 November 2023 telah menyatakan pendiriannya bahwa berkenaan dengan penyepadanan atau pengalternatifan soal syarat usia menjadi kewenangan pembentuk undang-undang. Sekalipun putusan tersebut berkaitan dengan syarat untuk menjadi presiden dan/atau wakil presiden, namun karena putusan Mahkamah Konstitusi bersifat erga omnes maka semangat dari prinsip tersebut tidak boleh dibedakan dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi lainnya.

[3.13.3] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas telah jelas bahwa adanya perubahan syarat usia sebagaimana juga yang terjadi dan dialami oleh semua anggota masyarakat, termasuk dalam hal ini dialami para Pemohon, selain yang sedang atau pernah menjabat sebagai pimpinan termasuk in casu pimpinan KPK karena adanya perubahan syarat usia paling rendah menjadi 50 (lima puluh) tahun, adalah tidak dapat dinilai sebagai persoalan konstitusionalitas norma.

Penegasan demikian sekaligus menunjukkan bahwa substansi permasalahan yang dihadapi para Pemohon berbeda dengan substansi permasalahan dalam Perkara Nomor 112/PUU-XX/2022, walaupun semua perkara dimaksud berkaitan dengan syarat usia paling rendah sebagaimana yang didalilkan para Pemohon.

[3.14] Menimbang bahwa para Pemohon juga mendalilkan pembatasan bagi warga negara yang belum berusia 50 (lima puluh) tahun untuk mendaftar sebagai pimpinan KPK, padahal banyak warga negara Indonesia berusia di bawah 50 (lima puluh) tahun namun mempunyai kualifikasi dan/atau kemampuan menjadi pimpinan KPK, dapat berakibat antara lain hilangnya dan berkurangnya peluang untuk mendapatkan calon pimpinan KPK yang mempunyai kemampuan atau kualifikasi istimewa.

Di samping itu, menurut para Pemohon calon-calon pimpinan KPK tersebut diperlukan di tengah-tengah kebutuhan untuk memperbaiki KPK yang sedang berada di titik nadir dan mengalami krisis kepemimpinan [vide permohonan para Pemohon hlm. 36].

Terhadap dalil para Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut.

[3.14.1] Bahwa dalam perspektif yang lebih sempit argumentasi para Pemohon menurut Mahkamah dapat dipahami kebenarannya, namun jika dilihat dari kepentingan yang lebih besar, tidak atau belum adanya kesempatan para Pemohon untuk mengikuti pendaftaran calon pimpinan pada periode saat ini, tidak serta merta menutup upaya perbaikan lembaga KPK yang menurut para Pemohon sedang berada di titik nadir dan mengalami krisis kepemimpinan.

Apabila hal yang didalilkan para Pemohon benar, Mahkamah berpendapat bahwa perbaikan lembaga KPK dapat dilakukan dengan proses seleksi yang menghasilkan calon-calon pimpinan yang lebih baik, berintegritas, memiliki kompetensi yang handal, serta teruji independensinya.

Sementara itu, sembari menunggu kesempatan pada periode berikutnya untuk mendaftarkan diri sebagai calon pimpinan KPK pada saat para Pemohon telah memenuhi syarat untuk mendaftar sebagai calon pimpinan KPK khususnya syarat yang berkaitan dengan usia paling rendah, para Pemohon tetap dapat memberikan kontribusi melalui peran serta masyarakat untuk turut serta melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan KPK, sebagaimana diamanatkan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 1 angka 4 UU 19/2019.

Oleh karena itu, terhadap pegawai KPK yang telah memenuhi persyaratan, termasuk syarat usia paling rendah, tidak terhalang untuk mengikuti proses seleksi pimpinan KPK.

Berdasarkan pertimbangan pada Pertimbangan Hukum sebelumnya, dan juga telah dikemukakan pada beberapa putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu, penentuan batasan usia paling rendah ataupun batasan usia paling tinggi dalam suatu undang-undang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, yang hanya dapat dinilai atau diadili oleh Mahkamah apabila penentuan usia demikian melanggar berbagai batasan kebijakan hukum terbuka, sebagaimana telah dipertimbangkan pada Paragraf [3.12], Sub-paragraf [3.12.1], Sub-paragraf [3.12.2], serta dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya.

Dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum demikian, terhadap perubahan syarat usia paling rendah calon pimpinan KPK dalam perkara a quo Mahkamah tidak menemukan adanya pelanggaran batasan suatu kebijakan hukum terbuka, dan kebijakan hukum demikian tidak pula menimbulkan problematika kelembagaan.

Artinya, di samping tidak ditemukan adanya pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kebijakan hukum terbuka, Mahkamah menilai sejauh ini perubahan syarat usia paling rendah sebagai pimpinan KPK tidak membuat ketentuan atau norma demikian menjadi tidak dapat atau tidak mungkin dilaksanakan. Atau setidak-tidaknya Mahkamah tidak menemukan adanya potensi yang kuat bahwa perubahan syarat usia demikian mengakibatkan kebuntuan hukum (deadlock) serta menghambat pelaksanaan tugas-tugas KPK sebagai lembaga pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi.

[3.14.2] Bahwa lebih lanjut Mahkamah juga menilai permasalahan yang dihadapi KPK saat ini, sebagaimana diuraikan oleh para Pemohon, tidak berkorelasi langsung dengan syarat usia paling rendah atau syarat usia paling tinggi untuk menjadi pimpinan KPK.

Menurut Mahkamah, permasalahan yang dikemukakan para Pemohon, jika hal tersebut benar, lebih berkaitan dengan permasalahan komitmen dan integritas, baik secara personal dari pimpinan KPK dan jajarannya maupun secara kelembagaan, seperti yang para Pemohon sendiri kutipkan dalam permohonan para Pemohon, walaupun terhadap argumentasi para Pemohon a quo menurut Mahkamah diperlukan fakta dan data yang lebih valid dan konkret.

Berkenaan dengan hal di atas, sesungguhnya dengan mengubah batas syarat paling rendah usia calon pimpinan KPK, menjadi lebih rendah atau menjadi lebih tinggi, menurut Mahkamah tidak akan serta-merta mengakibatkan bertambahnya jumlah pendaftar yang berintegritas atau berkurangnya jumlah pendaftar yang berintegritas.

Apalagi jika diasumsikan bahwa faktor syarat usia paling rendah an sich menentukan kualitas integritas pimpinan KPK terpilih. Sebab, dalam proses seleksi pimpinan lembaga negara (in casu KPK) menurut Mahkamah terdapat banyak faktor yang mempengaruhi hasil seleksi selain masalah usia, antara lain kemampuan manajerial (leadership) untuk mengelola dan mensinergikan semua sumber daya yang bekerja bersama di bawah KPK.

Kemampuan demikianlah yang bagi Mahkamah justru secara substansial membedakan antara persyaratan seleksi pimpinan KPK dengan persyaratan seleksi pegawai KPK. Sebab, antara pimpinan KPK dengan pegawai KPK terdapat perbedaan karakter tugas serta tanggung jawab. Terlebih, proses seleksi pimpinan KPK dengan proses rekrutmen pegawai KPK memiliki perbedaan.

Namun demikian, melalui putusan dalam permohonan a quo Mahkamah memandang penting untuk menegaskan bahwa berkenaan proses seleksi calon pimpinan KPK harus memperhatikan salah satu pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022, di mana salah satu alasan Mahkamah menyesuaikan masa jabatan pimpinan KPK yang semula 4 (empat) tahun menjadi 5 (lima) tahun adalah agar pada saat penggantian, calon pimpinan KPK, termasuk Dewan Pengawas KPK, yang dihasilkan oleh panitia seleksi tidak lagi diajukan, disetujui, dan diangkat oleh pemerintahan pada periode yang sama dengan periode pemerintahan ketika pimpinan KPK dan Dewan Pengawas KPK tersebut diangkat.

Pendapat Mahkamah demikian didasarkan pada pertimbangan bahwa pimpinan KPK dan Dewan Pengawas KPK yang dihasilkan dalam proses seleksi dan disetujui / diangkat pada pemerintahan yang berbeda akan lebih menjamin independensi KPK karena tidak ada keterpengaruhan / ketergantungan kepada pemerintahan sebelumnya yang terlibat dalam pelaksanakan proses seleksi.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas Mahkamah berpendapat dalil-dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 29 huruf e UU 19/2019 sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022, telah ternyata tidak menimbulkan persoalan diskriminasi maupun ketidakpastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, dan karenanya tidak sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon.

Dengan demikian, menurut Mahkamah dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

[3.16] Menimbang bahwa terhadap hal-hal selain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut oleh Mahkamah karena dinilai tidak ada relevansinya.

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

[4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;

[4.3] Permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan menurut hukum;

[4.4] Pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

5. AMAR PUTUSAN

Mengadili:

Dalam Provisi

- Menolak permohonan provisi para Pemohon.

Dalam Pokok Permohonan

- Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.

------------------

6. PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION)

Terhadap putusan Mahkamah a quo, terdapat pendapat berbeda (Dissenting Opinion) dari 1 (satu) orang Hakim Konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Arsul Sani yang menyatakan sebagai berikut:

Sehubungan dengan Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 68/PUU-XXII/2024, saya, Hakim Konstitusi Arsul Sani menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) terhadap pertimbangan hukum dan amar putusan yang dijatuhkan. Selengkapnya pendapat berbeda dari saya terurai sebagai berikut:

1. Menimbang bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (selanjutnya disebut “KPK”) merupakan lembaga negara yang memiliki kedudukan serta peran strategis dan sentral dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Mahkamah telah mengemukakan pandangan tentang kedudukan dan peran strategis KPK dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022, Paragraf [3.15.1], yang pada pokoknya menyatakan hal-hal sebagai berikut:

Bahwa pembentukan KPK sesuai dengan amanat Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai respon terhadap tingginya angka tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan amanat tersebut dibentuk UU 30/2002 yang menjadi payung hukum bagi KPK. Adapun tujuan pembentukan KPK adalah untuk membantu lembaga-lembaga utama penegak hukum yaitu Kepolisian dan Kejaksaan yang belum optimal menjalankan fungsinya dalam memberantas korupsi secara efektif dan efisien.

Dalam sistem ketatanegaraan, KPK merupakan auxiliary organ yaitu lembaga penunjang yang dibentuk untuk mendorong peranan dari lembaga utama (Kepolisian dan Kejaksaan) yang memiliki tugas dan fungsi untuk memberantas tindak pidana korupsi. Meskipun sebagai lembaga penunjang (auxiliary organ), namun kedudukan KPK strategis dalam rangka pemberantasan korupsi maka KPK dikenal juga sebagai lembaga yang tergolong ke dalam lembaga constitutional importance.

Kedudukan penting dan strategis lembaga KPK tampak jelas dalam Pasal 3 UU 30/2002 yang menyatakan bahwa KPK merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Terhadap pengakuan tentang penting dan strategisnya kedudukan serta peran KPK ini, saya juga berpendapat menjadi penting bagi KPK untuk memiliki pimpinan dengan kualitas, kompetensi personal dan pengalaman yang baik untuk dapat melaksanakan “core business” KPK yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 (UU 30/2002) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 (UU 19/2019), yakni tugas, fungsi dan kewenangan KPK di bidang pemberantasan korupsi.

Kepemimpinan KPK menjadi elemen krusial karena selain tuntutan dapat melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangan KPK dengan baik serta efektif, pimpinan KPK sebagai insan-insan penegak hukum juga diharapkan menjadi contoh panutan (role model) tidak hanya bagi seluruh jajaran pegawai KPK, namun juga bagi pimpinan dan jajaran kementerian / lembaga lainnya di Indonesia.

Untuk kepentingan internal kelembagaan, kemampuan pimpinan KPK untuk dapat menjadi role model dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan kewenangan KPK dengan baik dan efektif juga diyakini akan berdampak langsung terhadap tingkat kepercayaan publik terhadap KPK.

Studi manajemen organisasi menunjukkan bahwa keberhasilan menjadi role model pimpinan bagi internal suatu lembaga berdampak bukan hanya pada terbangunnya tingkat kepercayaan baik internal maupun eksternal, namun juga menjadi modal kuat untuk meningkatkan kinerja kelembagaan itu sendiri (Diyah Dumasari Siregar, “Kepemimpinan dan Kepercayaan pada Pemimpin dalam Membangun Perilaku Bawahan”, Artikel Manajemen, PPM, 2 Agustus 2022; Alaa Arab, “Shaping Employee Experience in the Public Sector”, Insight, New Metrics Newsletter, 2024).

2. Menimbang bahwa dengan mengacu pada studi manajemen organisasi publik, terdapat korelasi langsung antara kredibilitas kepemimpinan pada suatu lembaga dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga yang bersangkutan (Robert Denhardt, “Trust as Capacity: the Role of Integrity and Responsiveness”, Public Organization Review 2 (1), March 2002; OECD, Trust and Public Policy: How Better Governance Can Help Rebuild Public Trust, OECD Publishing, Paris, 2017).

Korelasi seperti ini juga berlaku bagi KPK, yang antara lain indikasinya dapat dilihat dari berbagai hasil survei tingkat kepercayaan dan/atau kepuasan publik terhadap lembaga negara / institusi pemerintahan yang memasukkan KPK sebagai salah satu lembaga yang disurvei.

Salah satu yang dapat dirujuk adalah hasil survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada tahun 2023, yang menunjukkan persentase kepercayaan publik terhadap KPK hanya berada di kisaran 58,8 (lima puluh delapan koma delapan) persen sehingga berada di peringkat paling rendah di antara lembaga penegak hukum lainnya (vide Bukti P-49). Hasil survei yang lain adalah dari Litbang Harian Kompas yang dilakukan dalam kurun waktu 27 Mei sampai dengan 2 Juni 2024 di 38 provinsi.

Berdasarkan Hasil Survei Litbang Kompas ini, citra positif dan tingkat kepuasan publik terhadap KPK ada pada kisaran 56 (lima puluh enam) persen dan menduduki peringkat ke-8, di bawah dua lembaga penegak hukum lainnya, yakni Polri yang menempati posisi ke-2 dan Kejaksaan yang menempati posisi ke-4 (Tempo.co, 23 Juni 2024).

Dari paparan hasil-hasil survei setidaknya selama 3 (tiga) tahun terakhir ini harus diakui bahwa KPK mengalami penurunan tingkat kepercayaan publik, terutama jika dibandingkan hasil survei pada periode-periode kepemimpinan sebelumnya.

Hal-hal yang diyakini menjadi penyebab turunnya tingkat kepercayaan publik terhadap KPK, antara lain, penilaian publik terhadap kinerja pimpinan KPK yang tidak memuaskan dan permasalahan etik yang melibatkan beberapa individu pimpinan KPK. Keadaan ini tentu menjadi tanggung jawab para pemangku kepentingan KPK, terutama yang berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif maupun legislatif, guna melakukan pembenahan dan perbaikan ke depan.

Di antara langkah yang perlu dilakukan untuk membenahi kelembagaan KPK adalah memastikan proses seleksi pimpinan KPK yang lebih berkualitas dan transparan. Proses seleksi seyogianya menjadi ikhtiar untuk menemukan dan memilih pimpinan KPK yang mendekati sosok ideal penegak hukum dengan integritas, etika, dan pengetahuan serta pemahaman hukum yang mumpuni tentang due process of law.

Saya memahami bahwa proses ini memang tidak hanya bertumpu pada panitia seleksi yang dibentuk oleh Presiden, tetapi juga bertumpu pada DPR RI yang akan memilih 5 (lima) pimpinan KPK.

3. Menimbang bahwa berkenaan dengan persyaratan proses seleksi pimpinan KPK, Mahkamah telah menguraikan pendapatnya dalam Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 Paragraf [3.16] yang pada pokoknya menyatakan hal-hal berikut:

Bahwa menurut Mahkamah, dalam proses seleksi pemilihan pimpinan KPK, terdapat dua persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon pimpinan yang akan mengikuti seleksi yaitu syarat yang bersifat formal atau disebut sebagai syarat administrasi dan syarat substansi yang salah satunya dapat berupa pendidikan dan pengalaman kerja.

Berdasarkan Pasal 29 UU 19/2019, pembentuk undang-undang telah secara jelas mengatur persyaratan untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan KPK, antara lain syarat pendidikan, keahlian, dan pengalaman paling sedikit 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan, serta syarat usia minimal dan maksimal.

Berkaitan dengan persyaratan tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa syarat pendidikan, keahlian, dan terlebih lagi pengalaman merupakan persyaratan yang secara substansial adalah esensial daripada persyaratan batasan usia yang bersifat formal semata.

Sebab, calon pimpinan KPK yang telah memiliki pengalaman memimpin KPK selama satu periode sebelumnya memiliki nilai lebih yang akan memberikan keuntungan tersendiri bagi lembaga KPK, karena telah memahami sistem kerja, permasalahan-permasalahan yang dihadapi lembaga serta target kinerja yang ingin dicapai oleh lembaga.

Terlebih, persoalan-persoalan yang ditangani dan menjadi kewenangan lembaga KPK mempunyai karakter khusus yaitu berkaitan dengan perkara-perkara yudisial yang membutuhkan pengalaman. Seseorang yang berpengalaman akan mampu membangun tim yang kuat dengan cara memberikan bimbingan untuk menyelesaikan setiap tantangan dan rintangan yang dihadapi oleh lembaga.

Terlebih lagi mengingat KPK memiliki tugas dan wewenang yang sangat berat dan luas sebagaimana diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 UU 19/2019. Sehingga, dengan mendasarkan pada pertimbangan di atas, seseorang yang pernah atau sedang menjabat sebagai pimpinan KPK dan kemudian akan mencalonkan diri kembali, baik seketika maupun dengan jeda, sepanjang jika yang bersangkutan memenuhi persyaratan lainnya, misalnya rekam jejak yang baik, maka yang bersangkutan merupakan calon yang potensial untuk dipertimbangkan oleh panitia seleksi karena pengalaman memimpin KPK yang dimilikinya.

Berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah dalam Putusan a quo telah menekankan bahwa pengalaman (kerja) merupakan salah satu persyaratan yang substansial dan dinilai oleh Mahkamah lebih esensial dibandingkan persyaratan batasan usia yang bersifat formal semata pada proses seleksi pimpinan KPK.

Selain itu, meskipun calon pimpinan KPK pada umumnya berasal dari berbagai lembaga publik maupun kalangan / organisasi masyarakat sipil dengan latar belakang pekerjaan dan pengalaman yang berbeda-beda, namun Mahkamah mengakui bahwa calon pimpinan KPK yang telah memiliki pengalaman memimpin KPK selama satu periode sebelumnya dinilai memiliki nilai lebih yang akan memberikan keuntungan tersendiri bagi KPK.

Mereka dinilai telah memahami sistem kerja, permasalahan-permasalahan yang dihadapi serta target kinerja yang ingin dicapai oleh lembaga anti korupsi tersebut. Terlebih, hal-hal terkait pemberantasan korupsi baik pada ranah pencegahan maupun penindakan (penegakan hukum) tidak jarang membutuhkan pengalaman yang memadai dalam pelaksanaannya.

4. Menimbang bahwa terhadap hal yang dikemukakan dalam Putusan Mahkamah di atas, saya menyepakati bahwa posisi pimpinan KPK ini seyogianya diisi oleh orang-orang yang bukan saja hanya memenuhi syarat yang ditentukan oleh syarat yang secara formal ditetapkan dalam angka 21 dari UU 19/2019 yang mengubah Pasal 29 UU 30/2002, tetapi juga seyogianya membuka ruang bagi orang yang meskipun belum mencapai usia minimum yang ditentukan UU 19/2019 namun memiliki kemampuan (kompetensi) dan pengalaman dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangan KPK di bidang pemberantasan korupsi serta pemahaman terhadap sistem kerja, permasalahan, dan target kinerja yang hendak dicapai oleh KPK.

Berdasarkan Putusan Mahkamah a quo, ruang seperti ini berlaku bagi pimpinan KPK yang sedang menjabat dan secara hukum masih dimungkinkan untuk mengikuti proses seleksi guna dipilih sebagai pimpinan KPK untuk periode kedua atau periode terakhir bagi yang bersangkutan dalam hal terpilih kembali, namun belum mencapai usia minimum setelah adanya syarat usia minimum baru yang ditetapkan dalam UU 19/2019.

5. Menimbang bahwa terkait dengan pertimbangan dalam angka 4 di atas, dalam batas penalaran yang wajar, menurut saya, jika dalam Putusan a quo Mahkamah telah memberikan ruang pengecualian terhadap Pimpinan KPK yang terpilih berdasarkan proses seleksi dengan syarat-syarat yang diatur dalam UU 30/2002, namun belum mencapai syarat umur minimum 50 (lima puluh) tahun untuk dapat dipilih (kembali) menjadi pimpinan KPK berdasarkan UU 19/2019, maka dengan mengacu pada prinsip rasionalitas seyogianya Mahkamah juga memberikan ruang pengecualian yang sama kepada pegawai yang bekerja di KPK untuk menjadi calon pimpinan KPK, meskipun dengan menetapkan persyaratan tertentu bagi pegawai KPK yang bersangkutan yang berbeda dengan persyaratan untuk pimpinan KPK yang akan mengikuti kembali proses seleksi.

Persyaratan tertentu bagi pegawai KPK yang belum berumur 50 (lima puluh) tahun yang akan mengikuti proses seleksi pimpinan KPK ini setidaknya, menurut saya, mencakup 2 (dua) hal. Pertama, pegawai KPK yang bersangkutan sekurang-kurangnya telah bekerja selama 10 (sepuluh) tahun berturut-turut, dan kedua, pegawai KPK tersebut bekerja di bidang pencegahan korupsi dan/atau penindakan (penegakan hukum) tindak pidana korupsi.

Menurut saya, masa waktu 10 (sepuluh) tahun tersebut cukup untuk menjadi ukuran guna menguji kompetensi dan kapabilitas yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas dan fungsi kepemimpinan di KPK. Masa kerja 10 (sepuluh) tahun ini memang berarti berbeda dengan hitungan masa kerja seorang pimpinan KPK yang 5 (lima) tahun, namun perbedaan ini saya yakini masih dapat diterima dalam batas penalaran yang wajar, oleh karena ruang lingkup tugas dan fungsi serta tanggung jawab seorang pimpinan KPK berbeda dengan pegawai KPK.

Ukuran kuantitatif waktu atau masa bekerja di atas tentu harus dikaitkan pula dengan pemenuhan syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam UU 19/2019. Selain itu, masa kerja tersebut juga harus diuji dalam proses seleksi dengan melihat rekam jejak dan capaian kinerja serta catatan etik pegawai KPK yang akan mengikuti proses seleksi calon pimpinan KPK tersebut.

6. Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas dan dalam rangka menjamin hak konstitusional berupa kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945, menurut saya, dalil para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian dan permohonan para Pemohon patut dikabulkan sebagian, meskipun tidak sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon.

Oleh karenanya, Mahkamah seharusnya menyatakan Pasal 29 huruf e Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “atau berpengalaman sebagai Pegawai KPK yang bekerja di bidang pencegahan atau penindakan (penegakan hukum) tindak pidana korupsi sekurangkurangnya selama 10 (sepuluh) tahun berturut-turut”.

Sehingga selengkapnya Pasal 29 huruf e UU a quo berbunyi “Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: e. berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK atau berpengalaman sebagai Pegawai KPK yang bekerja di bidang pencegahan atau penindakan (penegakan hukum) tindak pidana korupsi sekurang-kurangnya selama 10 (sepuluh) tahun secara berturut-turut atau paling tinggi berusia 65 (enam puluh lima) tahun”.

***

Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Suhartoyo selaku Ketua merangkap Anggota, Saldi Isra,Enny Nurbaningsih, Arsul Sani, Anwar Usman, Arief Hidayat, Daniel Yusmic P. Foekh, dan M. Guntur Hamzah

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.