ARTIKEL HUKUM
Dari sudut pandang / perspektif psikologi hukum, sistem hukum acara di peradilan Indonesia bersifat jauh dari kata “ideal”, terutama dalam sistem acara pembuktian di persidangan. Ketika memasuki proses pembuktian berupa mendengarkan keterangan saksi, jeda waktu hingga pembacaan putusan dapat berselang hitungan beberapa bulan (atau bahkan tahunan), yang tentunya Majelis Hakim sudah tidak akan lagi mengingat secara detail isi keterangan saksi-saksi yang dihadapan ke persidangan.
Seorang hakim, memeriksa dan memutus banyak sekali perkara, baik pidana maupun perdata, dalam satu waktu akibat derasnya pihak-pihak yang bersengketa di pengadilan. Daya memori manusia, bersifat terbatas, terutama kalangan hakim di Indonesia memiliki kebiasaan untuk tidak pernah mencatat isi keterangan saksi yang memberikan keterangan, dalam suatu buku catatan pribadi sang hakim atau sejenisnya.
Ketika sang hakim hendak membuat putusan, besar kemungkinan terjadi pembiasan keterangan yang sebelumnya diberikan oleh para saksi, atau bahkan tercampur-aduk dengan keterangan saksi dari perkara lain, tanpa disengaja oleh sang hakim (manusiawi, dan siapa pun pernah mengalami pembiasan ingatan serupa). Jeda waktu yang panjang menjadi musuh utama dari memori jangka pendek manusia. Bagaimana mungkin, menghadirkan putusan yang bernuansa “adil”, bila disparitas waktu tidak dianggap sensitif dalam praktik peradilan?