KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Banyaknya Aturan Hukum yang Bersifat MARKETING GIMMICK Penuh TITIPAN KEPENTINGAN

Industri Pangan, Industri Medis, Industri Farmasi, Industri Pendidikan, maupun Industri-Industri Lainnya, Tidak Pernah Memandang Konsumennya sebagai Subjek, namun Selalu sebagai Objek untuk DIEKSPLOITASI

Bersikap KONSERVATIF Ditengah Era KONVENSIONAL, Sekalipun telah Beredar Label-Label “GIMMICK” seperti : “Izin Edar BPOM”, “Diawasi oleh OJK”, maupun Label “HALAL”

Pada suatu hari, di rumah sakit milik pemerintah daerah, ibu dari penulis datang berobat karena mengeluh badan yang terasa sakit (hal wajar, karena telah lanjut usia, lansia), dan dokter memberikan resep berupa “ibuprofen”, alih-alih memberi pemahaman bahwa itu (badan tidak lagi seenak usia muda) merupakan hal yang wajar untuk seseorang “lansia” yang memasuki usia menopause. Setelah meminum obat tersebut, ibu dari penulis merasa itu adalah “obat ajaib” yang “mujarab” nan “ajaib”, karena rasa-rasa sakit di tubuh beliau serasa sirna atau hilang seketika, dan menjadi enak badannya. Telah ternyata, setelah penulis mencari tahu tentang obat “ibuprofen”, obat tersebut sangat berbahaya bagi ginjal pasien, dimana selama ini kondisi ginjal ibu dari penulis justru tidak baik-baik saja, sehingga berpotensi “gagal ginjal”.

Bila fakta tersebut tidak penulis beritahukan kepada ibu penulis, bisa jadi beliau akan dimakan dan termakan paradigma keliru bahwa “tidak apa-apa meminum obat ibuprofen, karena diresepkan oleh dokter” atau “ibuprofen tidak berbahaya bagi saya / untuk diminum, karena dokter yang meresepkannya”. Dokter, karenanya, bisa menyerupai salah satu aktor dibalik “marketing gimmick” industri medis dan farmasi. Kini, kita beralih pada industri pangan. Beredar beragam produk-produk “ultra process food” yang melabel produk mereka yang di lempar dan beredar luas ke pasar sebagai “aman bagi penderita diabetes”. Akibatnya, para penderita atau calon penderita ataupun yang memiliki bakat potensi menderita diabetes, merasa “aman-aman saja” mengonsumsinya tanpa keraguan apapun dan memasrahkan keselamatan kesehatan mereka pada produk dimaksud.

Muaranya, tingkat kadar gula sang konsumen menaik tinggi, sampai akhirnya menderita diabetes akut yang memasuki fase kronik, tanpa ia sendiri sadari. Alangkah lebih baik, tidak pernah diizinkan beredar di pasaran produk-produk melabel klaim dalam kemasannya sebagai “aman bagi penderita diabetes” atau semacam “dapat menurunkan / mencegah diabetes”, sehingga konsumen tidak termanipulasi seolah-olah aman-aman saja mengonsumsinya sebanyak apapun, dan mulai dipaksa atau terpaksa untuk menerapkan pola hidup baru yang bebas gula (sugar detox, sebagai lawan kata sugar addiction). Dengan cara begitulah, tingkat kadar gula dalam darah masyarakat akan dapat terkontrol, dan mulai membiasakan disiplin diri, demi kebaikan kesehatan diri masing-masing, menjadi konsumen yang cerdas dan berdaya, bertanggung-jawab atas pilihan apa yang mereka sendiri konsumsi, serta “mindfull” terhadap apa yang mereka masukkan ke dalam pencernaan.

Tahukah Anda, bahwa tingkat kadar gula yang tinggi dalam darah, bukan hanya berpotensi membuat Anda menderita diabetes, namun juga menderita kolesterol akibat pembuluh darah Anda tersumbat partikel-partikel gula yang terserap dalam aliran darah. Adapun obat kolesterol yang diresepkan oleh dokter, ialah obat bernama “Statin”. Akan tetapi yang tidak akan secara terbuka ataupun secara jujur dikomunikasikan oleh dokter yang memberikan resep obat “Statin” kepada Anda ialah, obat “Statin” tidak mengatasi sumber masalah—pola konsumsi atau gaya makan yang kurang sehat, tinggi lemak—namun hanya mengatasi gejala di permukaan semata, sehingga Anda menjadi konsumen “Statin” untuk seumur hidup Anda. Kedua, “Statin” memiliki efek samping berupa resiko peningkatan “Diabetes Tipe 2”. Jika Anda sampai mengalami efek samping berupa “Diabetes Tipe 2”, maka dokter akan memvonis Anda sebagai harus mengonsumsi obat insulin untuk seumur hidup Anda.

Jadilah, Anda dirancang dan digiring sedemikian rupa, agar menjadi pengguna / konsumen tetap untuk seumur hidup Anda terhadap produk-produk industri medis dan farmasi. Alangkah idealnya, obat bernama “Statin” tidak pernah ada di dunia ini atau setidaknya tidak pernah diperkenalkan kepada pasien manapun, sehingga para penderita kolesterol dipaksa dan terpaksa menerapkan pola hidup konsumsi “bebas lemak”, lewat pemberian pemahaman secara holistik perihal pentingnya gaya hidup memakan makanan yang sehat dan baik bagi tubuh, dengan mulai melakukan langkah-langkah koreksi-diri, sehingga “sumber masalah” kolesterol terkendali, terukur, dan terkontrol, sehingga kolesterol bukan lagi momok yang menghantui dan menyandera seumur hidup sang pasien—menjelma pasien yang berdaya atas tubuh, kesehatan, dan hidupnya sendiri.

Kini kita beralih kepada isu hukum yang selama ini menjadi “duri dalam daging” dalam upaya eradikasi atau pemberantarasan peredaran obat-obatan terlarang. Akibat termakan dan dimakan gimmick bernama “pusat rehabilitasi bagi pecandu yang kecanduan obat-obatan terlarang”, banyak diantara anggota masyarakat kita yang meremehkan pemakaian obat-obatan terlarang. Mereka merasa tidak beresiko, mencoba-coba ikut memakainya, sebelum kemudian menemukan dirinya berakhir sebagai pecandu ringan, menjelma pecandu berat, hingga taraf ketergantungan. Namun, seberapa banyak aparatur penegak hukum ataupun para pihak yang terlibat dalam industri “pusat rehabiltasi ketergantungan obat-obatan terlarang” yang bersikap jujur kepada publik, berapa mahal biaya berobat “rawat inap” di pusat rehabilitasi tersebut—jangan pernah berharap keberhasilan “rawat jalan” ketergantungan obat-obatan terlarang yang sifatnya tidak terkontrol dan tidak terukur oleh pengawas—serta betapa “PHP” (pemberi harapan palsu)-nya apa yang disebut sebagai “pusat rehabilitasi ketergantungan obat-obatan terlarang”. Jangankan obat-obatan terlarang yang begitu adiktif, nikotin tembakau saja para pecandunya kerap gagal bisa melepaskan diri dari jeratan candu demikian, terlebih seorang pecandu obat terlarang jenis sabu dapat dipastikan mengalami kerusakan pada bagian organ otak sehingga kehilangan sumber penghasil dopamin.

Tahukah Anda, dari berbagai publikasi dan penelitian yang ada, tingkat keberhasilan “pusat rehabilitasi ketergantungan obat-obatan terlarang” maksimalnya hanya terpatok 10%, dimana pengakuan yang lebih jujur ialah hanya sebatas “satu digit” alias hanya antara 1—9% (satu sampai sembilan persen). Artinya, 91% (sembilan puluh satu) persennya mengalami kegagalan, dimana para pecandu obat-obatan terlarang yang sudah akut alias pecandu berat, bahkan ditolak untuk menjadi pasien sebuah “pusat rehabilitasi kecanduan” swasta karena sejak awal menyadari bahwa mereka tidak akan berhasil membebaskan ketergantungan atas kecanduan sang pecandu berat. Jangankan “pusat rehabilitasi”, pecandu yang pernah dilarikan ke UGD karena overdosis dan hampir meninggal, dikemudian hari kambuh dan kembali memakai obat-obatan terlarang. Itulah sebabnya, pasal-pasal norma hukum yang mengatur sanksi berupa rehabilitasi pada “pusat rehabilitasi”, serta “pusat rehabilitasi kecanduan” itu sendiri, notabene sejatinya merupakan “gimmick” belaka.

Alangkah idealnya, bila tidak pernah dikenal ataupun diizinkan dibukanya apa yang disebut sebagai “pusat rehabilitasi kecanduan / ketergantungan obat-obatan terlarang”, sehingga setiap anggota masyarakat betul-betul menjaga dirinya maupun anggota keluarganya agar higienis dan menjauhi segala bentuk obat-obatan terlarang, tanpa kompromi, tanpa mengendurkan pengawasan maupun kewaspadaan terhadap pergaulan yang tidak sehat yang kerap menjadi sumber utama prevalensi pemakaian obat-obatan terlarang maupun kekambuhannya. Begitupula aparatur penegak hukum, tidak lagi memberikan toleransi terhadap setiap kalangan pengedar obat-obatan terlarang, sekecil apapun obat-obatan terlarang yang para pengedar tersebut edarkan ke masyarakat.

Kini, mari kita cermati produk-produk “ultra process food” yang banyak beredar di pasar-pasar swalayan seperti minimarket maupun ritel modern. Jamak akan kita jumpai produk-produk yang salah satu kandungannya ialah “Nitrit”. Gaibnya, sekalipun mengandung “Nitrit”, produk olahan daging tersebut tercantum logo “izin BPOM” (Badan Pengawas Obat dan Makanan) serta logo “HALAL”. Namun, inilah masalah utamanya, seberapa banyak dari masyarakat ataupun konsumen kita, yang mengetahui dan menyadari (melek pengetahuan kesehatan maupun potensi resiko bahaya dibalik kimia dalam pangan) bahwa “Nitrit” telah sejak lama terbukti secara ilmiah memicu potensi penyakit kanker pada tubuh konsumennya. Sanubari penulis tersentak ketika menemukan produk-produk mengandung “kimia pemicu KANKER” dilekati label “BPOM” dan “HALAL”.

Alhasil, masyarakat luas selaku konsumen, merasa “aman-aman saja” mengonsumsi berbagai produk pangan olahan kemasan (ultra process food) demikian, sepanjang ada label “BPOM” dan “HALAL”, tanpa menyadari bahwa mereka telah diperdaya sepenuhnya. Masih ingat atas kasus ASABRI dan JIWASRAYA yang telah merugikan ribuan nasabahnya hingga triliunan rupiah? ASABRI dan JIWASRAYA, notabene merupakan lembaga pembiayaan yang diawasi oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Namun, apa hasilnya? Ketika ribuan nasabahnya dirugikan, OJK lepas tanggung-jawab dan “cuci tangan”. Karenanya, berbagai industri keuangan dan pembiayaan, paling senang membuat klaim berupa “gimmick” semacam “Kami diawasi oleh OJK”, sehingga timbul citra “ilusioner” di mata masyarakat luas selaku calon nasabah, bahwa “aman menjadi nasabah” pada lembaga-lembaga keuangan dan pembiayaan dimaksud.

Alangkah idealnya, tidak pernah ada lembaga semacam OJK, juga tidak ada label-label semacam “BPOM” maupun “HALAL”, sehingga masyarakat selaku konsumen perlu membekali diri mereka dengan pengetahuan yang memadai atas kandungan atau komponen dalam suatu produk pangan dalam kemasan maupun obat-obatan, dengan secara “mindfull” memahami resiko serta potensi bahaya dibaliknya. Bila ingin yang lebih sederhana dan tidak memusingkan, jadilah seperti penulis yang hanya mengonsumsi ubi-ubian utuh, telur utuh, serta kacang-kacangan utuh (real food atau whole food). Masih ingat kasus merebaknya anak-anak yang mendadak menderita “gagal ginjal” akibat obat sirup yang mengandung senyawa perusak ginjal? Kesemua produk farmasi tersebut mencantumkan label “BPOM”, dan memang BPOM memberikan “izin edar” bagi produk tersebut. Ketika jatuh banyak korban anak-anak tidak bersalah akibat obat sirup berlabel “BPOM” dimaksud, BPOM lepas tanggung-jawab dan cuci-tangan.

Karenanya, kita sampai pada satu kesimpulan, lembaga pemerintahan dengan fungsi pengawas dan regulator semacam BPOM maupun OJK sekalipun, merupakan “gimmick” belaka, yang dirancang khusus untuk memperdaya para calon konsumennya. Sebagai penutup, sadarkah Anda kondisi di Arab Timur-Tengah sana ribuan tahun lampau, dimana mayoritas makanan penduduknya masih berupa “WHOLE FOOD” tanpa banyak penggunaan pangan berupa tepung-tepungan yang telah kehilangan serat pangan, namun paradigma penyusun kebijakan kita di masa kontemporer ini tidak mau menyadari ataupun memahami, produk-produk pangan yang lebih mendominasi peredarannya di pasar saat kini ialah berupa “ULTRA PROCESS FOOD”, dan masih juga melabelnya sebagai “HALAL” tanpa mau memahami potensi dampak buruknya bagi kesehatan masyarakat selaku publik luas. Ujung-ujungnya, penduduk menjadi pasien tetap industri medis bernama “rumah sakit”, asuransi kesehatan, dan farmasi, tidak terkecuali industri bernama “agama”—babi disebut “haram”, namun “PENGHAPUSAN DOSA” bagi “KORUPTOR DOSA” disebut “halal” serta dijadikan maskot “halal lifestyle”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.