Mengungkap Wajah Asli Mahkamah Konstitusi, Keadilan Vs. PALUGADA (Apa eLu Mau, Gua Ada)

Antara Mitos, Keadilan, dan “Mahkamah PALUGADA” serta para “Hakim PALUGADA”-nya

Ketika Anda punya masalah akut, apakah Anda akan lebih memilih memercayakan nasib kesehatan Anda kepada seorang “dokter umum” pada poliklinik umum, ataukah pada “dokter spesialis” pada poliklinik spesialis sesuai keluhan atau masalah kesehatan yang Anda derita? Menurut para pembaca, apa jadinya nasib republik ini bilamana permasalahan terkait hajat hidup orang baik, justru dibiarkan untuk tangani dan diputuskan oleh tangan seorang “dokter umum” alih-alih mereka yang benar-benar terspesialisasi pada suatu spesialisasi “expert” dibidang tertentu? Salah diagnosa, salah mengambil keputusan, dan salah mengambil tindakan medik, ancaman demikian terbuka lebar peluangnya.

Orang Jahat (Justru) Lebih Beruntung, Benarkah atau Mitos?

Bahaya Dibalik Sikap “Egois terhadap Diri Sendiri”—dengan Senang Menanam Benih-Benih Karma Buruk tanpa Mau Menyadari Konsekuensi pada Dirinya Sendiri di Kehidupan Mendatang

Sang Buddha : “Pandangan keliru artinya, tidak meyakini adanya Hukum Karma maupun Kelahiran Kembali.

Question: Mengapa orang-orang jahat, justru cenderung hidupnya lebih beruntung dan lebih makmur-sejahtera serta terpandang? Pernah juga saya bertanya kepada guru agama saya di sekolah (sekolah dengan genre agama samawi), “mengapa orang baik justru seringkali umurnya pendek, mati muda?” Jawaban yang saya terima, “karena Tuhan sedang memberikan kesempatan kepada orang jahat tersebut, berupa waktu lebih panjang (umur) untuk bertobat”, tanggapan mana sangat tidak memuaskan dorongan intelektual yang terus saja menggelitik otak saya, mengapa Tuhan tidak memberikan kesempatan yang sama kepada orang baik untuk lebih banyak berbuat kebajikan dalam hidupnya?

Membiarkan orang jahat berkeliaran, sama artinya Tuhan kian menjeruskan orang jahat tersebut ke dalam neraka paling dalam sekaligus mengancam kehidupan orang-orang yang selama ini menjadi korbannya. Mengapa Tuhan salah alamat dalam memberikan “reward” maupun “punishment”, orang baik justru dapat dis-insentif? Ia pikir ia bisa mengukur dan menjengkal cara berpikir Tuhan dengan cara berpikirnya yang dangkal dan kekanakan itu? Sayangnya tidak semua anak di sekolah saya punya sikap kritis seperti saya, namun saya pun tidak berani mendebat, atau mungkin mereka juga tidak berani mendebat, budaya kita (di Indonesia) tampaknya belum siap untuk cara-cara dialog maupun ber-dialektika (pedagogi) seperti sekolah-sekolah di luar negeri yang mana para gurunya terbuka serta menghargai keberanian beropini murid-muridnya.

Brief Answer: Menanam bibit jagung, tidak sampai satu semester telah dapat memetik / memanen buahnya. Menanam biji mangga ataupun buah rambutan, butuh waktu satu dekade agar dapat memetik buah manisnya. Menanam benih pohon jati, setidaknya butuh satu generasi untuk dapat memanen hasil kayunya. Sama halnya, ketika seseorang menanam benih-benih Karma Buruk pada kehidupannya di saat kini, terutama perbuatan-perbuatan jahat yang sangat besar dan luar biasa jahatnya, besar kemungkinan baru akan berbuah dan matang buah Karma Buruknya kepada si pembuat kejahatan itu sendiri bukan pada kehidupannya di masa kehidupan masa kini, namun pada kehidupan-kehidupannya yang akan datang.

Menyadari hal tersebut, terutama perihal prinsip kerja dibalik Hukum Karma, tidak dapat lagi kita bersikap egois maupun “masak bodoh” terhadap masa depan diri kita sendiri, pada kehidupan kita di masa mendatang terutama pada kelahiran-kelahiran kita di kehidupan yang selanjutnya. Itulah juga salah satu kelemahan Hukum Karma, yakni tidak efisien dari segi waktu berbuahnya, dimana kita selaku pihak eksternal maupun diri si pelaku kejahatan itu sendiri bisa jadi memandang seolah tiada konsekuensi Karma dibalik aksi-aksi kejahatannya, karena sang pelakunya masih bisa hidup berkecukupan, mapan, serta termasyur bahkan memiliki banyak penggemar ataupun massa pengikut dan pengaruh-kekuasaan.

Pertimbangkan pula satu fakta berikut : JIka Hukum Karma memang layak dan patut dilekati, bukan sekadar sebagai sarana agar kita punya modal yang memadai untuk bisa berjuang dengan selamat sampai ke “pantai seberang” (pembebasan dari tumimbal lahir), maka mengapa Sang Buddha Siddhatta Gotama justru melepaskan seluruh timbunan Karma Bajik (parami) yang telah pernah ditanam olehnya pada berbagai kehidupan-kehidupan yang tidak terhitung lagi jumlah kelahiran-kelahiran pada kehidupan-kehidupan-Nya sebelumnya?

Karena Sang Buddha telah mengenal dan mengetahui bahwa Hukum Karma pun tidak patut dilekati untuk selamanya, karena mengandung kelemahan dari segi waktu berbuahnya. Namun Karma Baik adalah sarana penting bagi kita untuk dapat berjuang mencapai “pembebasan sempurna” pada kehidupan kita yang akan datang atau pada kehidupan selanjutnya saat jumlah timbunannya telah memadai, sehingga kita tetap butuh “modal” berupa Karma Baik sebagai “bahan bakar”-nya.

Ketika kita telah tiba di “pantai seberang”, lepaskan / tanggalkan “perahu” yang telah berhasil membawa kita ke “pantai seberang”, tanpa perlu lagi direpotkan menggotong-gotong perahu itu kemana pun kita pergi dan melangkahkan kaki. Seperti terbang tinggal-landasnya pesawat ulang-alik luar angkasa, butuh tangki bahan bakar yang masif untuk bisa membawa pesawat tersebut mengangkasa ke luar orbit Planet Bumi. Setibanya di angkasa, tangki tersebut pun perlu dilepaskan dari tubuh pesawat. Gaya gravitasi, dalam hal ini tumimbal lahir, bukanlah perkara mudah untuk dihadapi, butuh timbunan Karma Baik yang luar biasa besar yang perlu kita cicil menanam dan menimbunnya dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya—bahkan konon hingga ber-kalpa-kalpa.

Prinsip yang sama berlaku sebaliknya, ketika kita menanam benih-benih Karma Baik, ada perbuatan baik yang kecil sifatnya kita lakukan bisa jadi akan berbuah pada kehidupan kita dimasa kini juga, namun kerapkali berbagai perbuatan bajik yang besar sifatnya kita lakukan maka yang akan memanen buah manisnya ialah diri kita pada kehidupan-kehidupan kita selanjutnya. Karenanya, mereka yang kerap terbiasa bersikap egois terhadap dirinya sendiri, akan lebih cenderung tidak gemar menanam benih-benih Karma Baik, memandangnya sebagai sia-sia dan tidak berfaedah semata karena bukan kehidupannya pada masa kini yang akan memanen dan memetik buah manisnya.

Sehingga, kita perlu memilahnya dengan pikiran yang jernih, mana yang merupakan “sebab”, dan mana yang merupakan “akibat”, dimana juga Hukum Karma tidak dapat dipisahkan dari Kelahiran Kembali (rebirth / reborn) sebagai satu-kesatuan jalinan relasi yang terkait-erat berkelindan satu sama lainnya. Pada kehidupan masa kini, menanam Karma Buruk yang besar (sebab), maka buah-nya (akibat) bisa jadi dan besar kemungkinan baru akan matang dan dipanen oleh dirinya sendiri pada kehidupannya di masa yang akan mendatang. Apa yang pada kehidupan masa kini-nya tampak masih hidup secara berkelimpahan, kemasyuran, kepopuleran, kesehatan, kesejahteraan, bisa jadi pula bukanlah buah (akibat) perbuatannya pada kehidupan di masa kini, namun buah hasil perbuatan-perbuatan bajiknya pada kehidupannya pada kehidupan masa lampau.

PEMBAHASAN:

Dalam banyak khotbah-Nya, Sang Buddha kerap meng-encourage pada siswa-siswi-Nya maupun para perumah-tangga untuk bersemangat dan rajin “berinvenstasi”, yakni investasi benih-benih perbuatan bajik sebagai bekal bagi kehidupan mereka di masa mendatang, sekalipun bisa jadi tidak akan dipetik dan dinikmati oleh mereka di kehidupan masa kini. Keunggulan utama dari memahami cara kerja Hukum Karma ialah, kita dapat menjadi seorang investor yang secara cerdas mampu merancang kehidupan kita sendiri di masa mendatang, apakah akan ber-“nasib” hidup bersinar dan berjaya atau justru sebaliknya terjerembab dalam selokan dan terjebak dalam kubangan berlumpur.

Sebagaimana namanya, investasi membutuhkan waktu untuk proses hingga matang dan ranum untuk dapat dinikmati hasil manisnya. Dengan belajar Hukum Karma, diharapkan kita dapat menjadi investor yang cerdas serta menjadi Manajer Investasi yang baik bagi diri kita sendiri, salah satunya memelajari “hukum sebab-akibat sebagaimana dibabarkan oleh Sang Buddha—guru bagi para dewa dan para manusia—dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dimana seorang ratu bernama Ratu Mallikā bertanya mengapa seseorang bisa terlahir buruk rupa ataukah rupawan, maupun yang makmur dan yang miskin, dengan kutipan sebagai berikut:

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Ratu Mallikā mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, mengapakah beberapa perempuan di sini berpenampilan buruk, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; miskin, papa, dan melarat; dan tidak berpengaruh? Dan mengapakah beberapa di antaranya berpenampilan buruk, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; tetapi kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan berpengaruh? Dan mengapakah beberapa perempuan di sini berpenampilan baik, menarik, dan anggun, memiliki kecantikan luar biasa; tetapi miskin, papa, dan melarat; dan tidak berpengaruh? Dan mengapakah beberapa di antaranya berpenampilan baik, menarik, dan anggun, memiliki kecantikan luar biasa; kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan berpengaruh?”

“Di sini, Mallikā, seorang perempuan rentan terhadap kemarahan dan mudah gusar. Bahkan jika dikritik sedikit ia akan kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Ia tidak memberikan benda-benda kepada para petapa dan brahmana: makanan dan minuman; pakaian dan kendaraan; kalung bunga, wangi-wangian, dan salep; tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. Dan ia iri, seorang yang iri-hati, kesal, dan marah akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang lain. Ketika ia meninggal dunia dari keadaan itu, jika ia kembali ke dunia ini, maka di mana pun ia terlahir kembali ia akan berpenampilan buruk, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; miskin, papa, dan melarat; dan tidak berpengaruh.

 “Perempuan lainnya rentan terhadap kemarahan dan mudah gusar … Tetapi ia memberikan benda-benda kepada para petapa dan brahmana … Dan ia tanpa sifat iri, seorang yang tidak iri-hati, tidak kesal, atau marah akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang lain. Ketika ia meninggal dunia dari keadaan itu, jika ia kembali ke dunia ini, maka di mana pun ia terlahir kembali ia akan berpenampilan buruk, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; tetapi ia akan kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan berpengaruh.

“Perempuan lainnya lagi tidak rentan terhadap kemarahan dan tidak mudah gusar. Bahkan jika dikritik banyak ia tidak akan kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, tidak bersikap bermusuhan, dan tidak keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Tetapi ia tidak memberikan benda-benda kepada para petapa dan brahmana … Dan ia iri, seorang yang iri-hati, kesal, dan marah akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang lain. Ketika ia meninggal dunia dari keadaan itu, jika ia kembali ke dunia ini, maka di mana pun ia terlahir kembali ia akan berpenampilan baik, menarik, dan anggun, memiliki kecantikan luar biasa; tetapi ia akan miskin, papa, dan melarat; dan tidak berpengaruh.

“Dan perempuan lainnya lagi tidak rentan terhadap kemarahan dan tidak mudah gusar … Dan ia memberikan benda-benda kepada para petapa dan brahmana … Dan ia tanpa sifat iri, seorang yang tidak iri-hati, tidak kesal, atau marah akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang lain. Ketika ia meninggal dunia dari keadaan itu, jika ia kembali ke dunia ini, maka di mana pun ia terlahir kembali ia akan berpenampilan baik, menarik, dan anggun, memiliki kecantikan luar biasa; kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan berpengaruh.

“Ini, Mallikā, adalah mengapa beberapa perempuan di sini berpenampilan buruk, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; miskin, papa, dan melarat; dan tidak berpengaruh. Ini adalah mengapa beberapa di antaranya berpenampilan buruk, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; tetapi kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan berpengaruh. Ini adalah mengapa beberapa perempuan di sini berpenampilan baik, menarik, dan anggun, memiliki kecantikan luar biasa; tetapi miskin, papa, dan melarat; dan tidak berpengaruh. Ini adalah mengapa beberapa di antaranya berpenampilan baik, menarik, dan anggun, memiliki kecantikan luar biasa; kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan berpengaruh.”

Ketika hal ini dikatakan, Ratu Mallikā berkata kepada Sang Bhagavā:

“Aku menduga, Bhante, bahwa dalam suatu kehidupan sebelumnya aku rentan terhadap kemarahan dan mudah gusar; bahkan jika dikritik sedikit aku menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, bersikap bermusuhan, dan keras kepala, dan memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Oleh karena itu aku sekarang menjadi berpenampilan buruk, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat.

“Tetapi aku menduga bahwa dalam suatu kehidupan sebelumnya aku telah memberikan benda-benda kepada para petapa dan brahmana … tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. Oleh karena itu aku sekarang menjadi kaya, dengan banyak kekayaan dan harta.

“Dan aku menduga bahwa dalam suatu kehidupan sebelumnya aku tanpa sifat iri, seorang yang tidak iri-hati, bukan seorang yang iri, kesal, dan marah akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang lain. Oleh karena itu aku sekarang memiliki pengaruh. Dalam kerajaan ini terdapat gadis-gadis dari keluarga-keluarga khattiya, brahmana, dan perumah-tangga yang tunduk di bawah perintahku.

“Mulai hari ini, Bhante, aku tidak akan rentan terhadap kemarahan dan tidak mudah gusar. Bahkan jika dikritik banyak aku tidak akan kehilangan kesabaran dan tidak akan menjadi jengkel, tidak bersikap bermusuhan, dan tidak keras kepala; aku tidak akan memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Dan aku akan memberikan benda-benda kepada para petapa dan brahmana: makanan dan minuman; pakaian dan kendaraan; kalung bunga, wangi-wangian, dan salep; tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. Dan aku tidak akan menjadi iri, tidak menjadi seorang yang iri-hati, kesal, dan marah akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang lain.

“Bagus sekali, Bhante! Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada Guru Gotama, kepada Dhamma, dan kepada Sagha para bhikkhu. Sudilah Sang Bhagavā menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

HAK SAKSI Vs. HAK TERSANGKA, Banyak yang Mana?

Prinsip EQUALITY BEFORE THE LAW Vs. KUHAP, manakah yang Lebih Suprematif?

Perbedaan COMMON PRACTICE Vs.COMMON SENSE

Tersangka maupun Saksi, adalah Sama-Sama Warganegara, dimana Sesama Warganegara Seharusnya Setara dan Sederajat Dihadapan Hukum

Question: Sebenarnya yang namanya dipanggil sebagai saksi oleh polisi untuk datang ke kantor polisi untuk diperiksa (lebih tepatnya ialah “dimintai keterangan”), apa juga punya “hak untuk diam” maupun “hak untuk didampingi pengacara” seperti hak-hak seorang tersangka pada umumnya menurut hukum?

Makna dan Hubungan RENTENIR dan BUNGA TERSELUBUNG

Prinsip Debitor Cerdas : Tidak Mengenal Modus RENTENIR maka Berpotensi Terjerat RENTENIR TERSELUBUNG. Saling Beritikad Baik, Tidak Beritikad Baik dengan Bertepuk Sebelah Tangan

Ambivalensi Hukum Perlindungan Kreditor Vs. Perlindungan Debitor

Mengungkap Modus Paling Khas dan Modus Terselubung Kalangan RENTENIR

Question: Sebenarnya definisi hukum dari “rentenir”, “ijon”, ataupun “lintah darat”, seperti apa? Lalu seperti apa juga modus-modus “rentenir”, agar masyarakat yang hendak meminjam sejumlah dana untuk modal usaha tidak terjebak masuk dalam perangkap yang tidak pernah menguntungkan kondisi debitor semacam itu?

Ambiguitas Makna HARGA PASAR Vs. NILAI LIKUIDASI dalam Penilaian Penilai KJPP Vs. NJOP

Subjektivitas Penilai, Penilaian berdasarkan “Pesanan” (Sponsored), serta Benturan Kepentingan (Conflict of Interest) Penilaian oleh Profesi Jasa Penilai Publik

Pengabaian dan Penelantaran oleh Pemerintah dalam Menetapkan “Jaring Pengaman” (Safety Nett) terhadap Praktik Penilaian KJPP Swasta yang Rawan dan Penuh Kolusi

Question: Sebenarnya apa yang dimaksud dengan “nilai pasar” maupun “nilai likuidasi”? Lalu apa yang menjadi parameternya, mereka yang (profesinya) mengaku sebagai seorang Penilai, dalam membuat penentuan berapa “nilai pasar” dan berapa “nilai likuidasi”-nya? Jika betul-betul terdapat ketidak-wajaran dalam laporan hasil penilaian KJPP (Kantor Jasa Penilai Publik) yang disewa dan ditunjuk oleh pihak kreditor (pemohon lelang eksekusi Hak Tanggungan atas agunan milik debitor / penjamin), mengapa praktik pengadilan terkesan tidak dapat mengganggu-gugat laporan hasil penilaian yang “fraud” demikian?

Sanksi Denda Materai / Meterai

Kewajiban Melekatkan Materai Bersifat per Dokumen, Bukan per Lembar / Halaman Dokumen

Question: Apa benar, ada yang bilang bahwa sanksi denda kekurangan atau tiadanya materai, ialah bahwa seluruh halaman pada dokumen harus diberi materai sebagai sanksi dendanya saat dokumen tersebut akan dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan?

Agamais Tidak Identik dengan Humanis

Bahaya Dibalik Ideologi “Penghapusan / Pengampunan Dosa” maupun “Penebusan Dosa”

Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra

Question: Sekarang dan dewasa ini, hampir semua anggota masyarakat kita mengaku beragama, ber-Tuhan, dan rajin beribadah. Namun mengapa perilaku masyarakat kita di Indonesia begitu terbelakang watak dan mentalitasnya, bahkan tidak bisa disebut beradab (barbar, alias masih biadah), bahkan tega menyakiti ataupun melukai dan merugikan orang lain dengan alasan pembenar sedang buru-buru, seolah-olah terburu-buru menjadi justifikasi untuk menyakiti orang lain hingga tewas seperti cerminan miniatur kultur bangsa kita yang demi keluar dari stadiun sepak bola, para suporter tersebut tega menginjak-injak suporter lainnya hingga meninggal dunia? Singkatnya, mengapa mereka yang mengaku-ngaku ber-SQ tinggi justru “miskin empati”? Apa mungkin, seseorang dapat memiliki SQ tinggi bilamana EQ-nya memprihatinkan seperti itu? Saya jadi curiga, SQ bukanlah segala-galanya.

Ada yang Tidak Perlu Kita Perdebatkan

Resiko Dibalik Mendebatkan yang Tidak Perlu Didebatkan dan Mendebat yang Tidak dapat Diperdebatkan

Ada yang perlu kita kerjakan, namun ada juga hal-hal yang tidak perlu kita kerjakan. Ada hal-hal yang perlu kita katakan, namun ada juga berbagai banyak hal yang tidak perlu kita utarakan. Ada yang layak kita perjuangkan, dan ada pula hal-hal yang perlu kita lepaskan dan relakan. Tidak terkecuali, begitu pula ada hal-hal yang perlu kita kritisi, namun ada begitu banyak pula hal-hal yang tidak perlu kita perdebatkan. Kita perlu membiasakan disiplin diri, salah satunya ialah disiplin mengontrol, mengendalikan, dan membatasi diri, demi kebaikan diri kita sendiri maupun orang-orang di sekitar kita. Kita bebas memilih dan beraspirasi, namun jangan sampai kebebasan kita justru mencelakai kepentingan dan kebaikan kita sendiri. Disiplin diri artinya, membatasi dan membuat pagar pembatas dari dan untuk kebaikan diri kita sendiri.

Ketika Hukum Tuhan Dinegosiasikan dan Dikompromikan = “Hukum KONSENSUS”, Bukan lagi “Hukum Tuhan”

Hukum Agama yang Aslinya, Mencuri DIBUNUH (HUKUM MATI) Bukan POTONG TANGAN

Ketika antar Dogma Internal Keyakinan Keagamaan saling KONTRADIKTIF Tanpa Konsistensi, Ideologi PLIN-PLAN

Jika kita sepakat dan meyakini bahwa “Tuhan (adalah) Maha Tahu”, maka umat manusia tidak perlu dan tidak boleh membantahnya ataupun mencoba meminta toleran maupun kompromistik, dimana reputasi Tuhan menjadi ajang taruhannya. Begitupula ketika seorang nabi adalah memang adalah “rasul (utusan) Tuhan”, maka suara yang pertama dikeluarkan oleh sang nabi yang lebih “otentik” sebagai wahyu Tuhan—ketimbang suara ataupun pendapat hasil negosiasi dan kompromistik dengan umat manusia lainnya. Negosiasi maupun kompromi, merupakan genus “konsensus”, bukanlah “wahyu” dogmatik.