LEGAL OPINION
Ketika Negara Abai dan Lalai, Warga Masyarakat yang
Justru Harus Mengemis-Ngemis Apa yang Sudah menjadi Hak Rakyat, Korban
Pengabaian oleh Otoritas Penegak Hukum (Pemerintah)
Apakah Kita Harus Mengemis-Ngemis Apa yang Memang Sudah
menjadi Hak Kita? Perampasan Hak oleh Negara oleh Monopolistik Akses (Menuju) Keadilan
Pidana oleh Aparatur yang Justru Tidak Menegakkan Hukum SEBAGAIMANA MESTINYA
dan SEBAGAIMANA KEWAJIBAN TUGAS MEREKA (SEBAGAIMANA JUGA HAK WARGA KORBAN
PELAPOR)
Question: Rasanya aneh dan ada yang tidak beres di akal
sehat, negara merampas hak masyarakat untuk “main hakim sendiri” seperti untuk
membalas perbuatan jahat warga lainnya, lantas mengapa sebagai seorang korban
justru kita yang harus mengemis-ngemis serta mendesak-desak agar polisi mau
tegakkan keadilan dan proses sesuai aturan hukum yang berlaku?
Mengapa juga kita yang jadi
harus terpaksa memberikan uang “pungutan liar” agar kejaksaan dan pengadilan
mau memproses laporan saya hingga dakwaan dan putusan yang memberi vonis
hukuman bagi pelaku yang saya laporkan? Pelapor yang memberikan “uang pelicin”
kepada polisi, bukan bermaksud mencelakai si pelapor, tapi vonis sanksi hukuman
memang sudah selayaknya dan semestinya sebagai ganjaran atas perbuatan
jahatnya, jika proses pidana benar-benar dijalankan aparatur penegak hukum yang
menerima aduan atau laporan warga selaku korban kejahatan.
Padahal, semua ini adalah
hak-hak saya selaku warga sipil, yang mana negara monopolisir hukum pidana dan
merampas hak saya untuk membuat pembalasan dendam pribadi. Nurani keadilan saya
justru kini lebih banyak terluka ketika melihat realita praktik aparatur penegak
hukum itu sendiri di lapangan, untuk mendapatkan hak pun kita sebagai warga
sipil sampai harus mengemis-ngemis, repot bukan main bolak-balik, hingga
membayar sejumlah pungutan liar agar laporan tidak “mangkrak” (di-peti-es-kan),
tidak dipersulit, dan tidak di-“ping-pong” ke sana ke sini bolak-balik tanpa
kepastian ataupun kejelasan tindak-lanjutnya. Untuk apa melapor, jika tidak ada
tindak lanjutnya?
Belum lagi kita bicara realita banyaknya
petugas pemerintahan kita yang semestinya menegakkan peraturan ketika terjadi
pelanggaran oleh warga lain, justru pejabat dan petugas pemerintah menjadi “backing” dari aktivitas ilegal dari
warga yang melanggar aturan hukum dan meresahkan masyarakat, semata karena para
penguasa tersebut telah “di-beli” dan “di-suap” sehingga menyalah-gunakan
kekuatan monopolitiknya untuk merepresif ataupun sebaliknya untuk mengabaikan
dan membiarkan pelanggaran terus terjadi, sehingga warga lain menjadi seolah tersudutkan
atau terkucilkan berdiri dan melindungi diri seorang diri tanpa perlindungan
maupun pengawasan dari negara yang tidak benar-benar hadir di tengah masyarakat,
namun masih juga memungut pajak dengan cara-cara pemaksaan.
Pada gilirannya, keluarga kami
menjelma apatis, untuk apa lagi melapor, apakah ada gunanya, apakah tidak akan
kembali sia-sia? Negara Indonesia benar-benar mirip seperti negara preman,
negara tanpa hukum, yang ada ialah hukum rimba, siapa yang kuat maka ia yang
memakan orang yang lebih lemah, siapa yang mampu membayar dan membeli jiwa para
penguasa maka ialah yang akan kebal dari segala perbuatan buruknya.
Ujung-ujungnya, kami mulai berpikir, sebenarnya negara ini ada dan didirikan
lengkap dengan aturan represif perihal kewajiban membayar pajak oleh rakyat,
buat apa?
Ada atau tidaknya negara dan
pemerintah kita ini, apa ada bedanya? Tampaknya memang hanya ada dua jenis
penegakan hukum yang tegas di Indonesia, yakni saat negara hendak memungut
pajak, dan kedua ialah ketika polisi hendak menilang kendaraan di jalan untuk
menarik pungutan liar pada pengendara dengan cari-cari alasan yang tidak jarang
mengada-ngada, dimana kita selaku warga benar-benar “tidak berkutik” tanpa daya
dibuat oleh para pemegang kekuasaan monopolistik itu. Antara negara merdeka dan
negara yang sedang terjajah, menjadi sukar dibedakan karena kondisi realitanya
menjadi demikian tipis garis pemisahnya terutama di Indonesia.