Mengecoh Psikologi Konsumen lewat Slogan Promosi Usaha yang Tidak Mencerminkan Fakta Sebenarnya dari Harga Produk maupun Kualitas Barang

LEGAL OPINION
“Perjanjian mencakup tertulis maupun tidak tertulis, termasuk di dalamnya adalah tindakan bersama (concerted action) pelaku usaha.”
 (Kaedah Hukum bentukan Preseden, best practice Praktik Peradilan peradilan Persaingan Usaha Tidak Sehat)
Question: Sebagai masyarakat dan juga sebagai konsumen atau pembeli produk berupa kendaraan motor roda dua, kami terlena dan percaya begitu saja pada salah satu produsen atau pabrikan motor asal Jepang yang mengkampanyekan slogan “ONE HEART” dengan “Salam SATU HATI”-nya. Seolah-olah, pihak produsen kendaraan bermotor tersebut benar-benar cinta dan baik pada kita semua selaku warga masyarakat dan konsumennya.
Namun baru-baru ini barulah terkuak, ternyata di mata mereka (sang produsen kendaraan bermotor), kami selaku masyarakat dan konsumen semata dipandang sebagai objek “sapi perahan”, terbukti dari sudah adanya vonis KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) yang menguak modus tersistematis adanya kesepakatan banderol harga antara para produsen kendaraan bermotor tersebut. Mengaku-ngaku sebagai “ONE HEART”, “salam SATU HATI”, ternyata melakukan eksploitasi terhadap konsumen yang didudukan sebagai “sapi perahan”, berarti si produsen tidak “loyal” ke masyarakat, tapi masyarakat dibuat “loyal” kepada sang produsen.
Merasa terjebak oleh segala slogan “gimmick” semacam itu, mengapa hukum tidak menjadikan slogan yang bertendensi mengecoh sebagai bumerang bagi pihak produsen itu sendiri, bagaimana pandangan hukumnya tentang hal ini, sementara kita tahu KPPU hanya dapat menghukum dengan jumlah nominal sanksi denda maksimum yang hanya sekian miliar Rupiah, sementara keuntungan yang diraup dari usaha tidak sehat demikian dari masyarakat selaku konsumen dapat mencapai ratusan miliar Rupiah atau bahkan triliunan Rupiah?
Teknologi motor roda dua sudah berumur lebih dari satu abad lamanya, namun mengapa juga negeri ini seolah tidak mampu membuat merek dan produksi motor anak bangsa sendiri, sehingga menjadi ‘babak-belur’ dieksploitasi bangsa penjajah (secara ekonomi)? Adalah tidak masuk akal, jika sampai kapan pun negeri ini masih dikuasai cengkraman dan pendiktean harga oleh pabrikan motor asing. Sebetulnya itu tidak mungkin terjadi bila saja karyawan perusahaan asing, yang sesama orang Indonesia, tidak justru mengikuti dan turut-serta menjajah bangsanya sendiri, seolah belum cukup juga belajar dari kesalahan masa lampau.

Status Tersangka Korupsi Bukanlah Objek Praperadilan, Hanya Praperadilan Pidana Umum Bukan Tipikor yang dapat Mengamputasi Penetapan Status Penyidikan

ARTIKEL HUKUM
Apakah Beban Pembuktian Terbalik dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Bersifat Sumir dan Semu?
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah membuat putusan bahwa alat bukti paling minimum dalam perkara tindak pidana korupsi (Tipikor) disamakan dengan delik pidana umum, yakni minimum dua alat bukti untuk dapat menetapkan status seseorang sebagai Tersangka / Tersidik, maupun Terdakwa. Belum cukup sampai disitu, Mahkamah Konstitusi RI kembali mengabulkan uji materiil yang diajukan oleh Setya Novanto yang diwakili oleh kuasa hukumnya Fredrick Yunadi sang Pengacara Kepala “Bakpao”, dengan memutuskan bahwa status Tersangka dapat digugat praperadilan ke hadapan pengadilan yang hanya diputus oleh satu orang Hakim (bukan Majelis Hakim) dan tiada upaya hukum apapun yang dimungkinkan terhadap putusan praperadilan—alias “obstruction of justice” yang dilegalkan.

Kriminalitas & Faktor Kriminogen pada Era Kemajuan Teknologi yang Demikian Masif Tidak Terkontrol

ARTIKEL HUKUM
Pencetus dari sebuah atau serangkaian tindak-kejahatan atau yang juga populer disebut dengan istilah “kriminalitas”, selalu menjadikan dua unsur dari faktor kriminogen (crime factors) berikut sebagai unsur primairnya, yakni adanya “niat” serta adanya “kesempatan” sebagai kombinasinya. Tidak harus selalu “niat” timbul diawali oleh adanya “kesempatan”, karena bisa juga kejadiannya berkebalikan dimana adanya “kesempatan” mengundang “niat” buruk seperti kondisi pintu pagar rumah yang tidak dalam kondisi terkunci ketika ditinggal pergi oleh penghuninya.

Ragam Wajah Pengacara Indonesia, Musuh ataukah Kawan, ataukah “Musuh dalam Selimut”?

ARTIKEL HUKUM
Pada era keterbukaan informasi serta digitalisasi sekarang ini dimana peraturan perundang-undangan maupun format baku surat gugatan ataupun pledooi nota pembelaan dapat diakses dengan mudah oleh siapapun dan dimana pun, bahkan kian mudahnya akses lembaga peradilan lewat eCourt, menjadi sangat mengherankan bila masih terdapat masyarakat kita yang bersedia merogoh-kocek ratusan juta Rupiah semata hanya untuk menggugat ataupun membantah gugatan dengan “tangan yang teramputasi” sebagai konsekuensinya (mengingat seluruh berkas perkara beralih ke tangan sang pengacara, sehingga secara politis nasib klien selalu terdegradasi sejak menit awal diberikannya Surat Kuasa Khusus menggugat bagi sang Lawyer).

PENGACARA PENGEMIS, Afri Dhoni / Afry Dhony

ARTIKEL HUKUM
Sudah demikian jelas peringatan dalam website profesi kami ini maupun dalam invoice pemesanan eBook, tercantum secara eksplisit dengan keterangan peringatan tegas bahwa : “Hanya klien pembayar tarif jasa konsultasi yang berhak menceritakan ataupun bertanya tentang isu hukum. Selain klien pembayar tarif, masalah hukum Anda bukanlah urusan kami.” Adalah dusta yang terbilang “konyol” bagi yang mengklaim tidak pernah membaca peringatan demikian dalam website ini.

Kendaraan Hilang saat Dialih-Sewakan, menjadi Tanggung Jawab Pidana Penyewa Semula

LEGAL OPINION
Question: Jika kendaraan masih status kredit mencicil belum lunas, lalu dipinjamkan atau disewakan kepada orang lain, dan oleh orang lain itu lalu kemudian kendaraan dihilangkan atau bahkan digelapkan, maka yang tanggung jawab pidana penggelapan barang kredit ataupun kendaraan sewaan ini, siapakah, penyewa ataukah orang lain yang diberi pinjam kendaraan itu oleh penyewa? Orang lain itu yang menggelapkan objek kendaraan, mengapa penyewa yang dipersalahkan?

Menjadi Sarjana Hukum yang Modern dan Canggih, agar Tidak Tergantikan oleh Peran sebuah Robot ataupun Terdegradasi oleh Keganggihan Teknologi yang Tidak Lagi Terbendung

ARTIKEL HUKUM
Yang menjadi tuntutan bagi kalangan profesi hukum di era kecanggihan teknologi secara masif seperti masa kontemporer ini, ialah agar dapat dan mampu lebih canggih daripada kecanggihan kemajuan teknologi itu sendiri. Mampukan kita sebagai seorang manusia, lebih canggih serta lebih cerdas daripada kecanggihan teknologi itu sendiri?

Akal Sehat sebagai Hukum Tertinggi, Bukan Akal Sakit Milik Orang Sakit yang Menjadi Supremasi Hukum Negara

ARTIKEL HUKUM
Ketika Kode Etik profesi bertentangan dengan etika, manakah yang berlaku dan paling diberikan otoritas oleh supremasi hukum? Dapat kita jumpai pada Kode Etik Pengacara maupun Kode Etik kalangan profesi Notaris, terdapat pasal-pasal yang menyerupai Anggaran Dasar suatu perseroan, lantas dimana letak Etika dari pasal-pasal yang tidak terkait Etika pada berbagai substansi Kode Etik dimaksud selain hanya sekadar “judul”?

Antara Ius Curia Novit dan Pengacara Palugada (aPa yang eLu Mau, Gua Ada)

ARTIKEL HUKUM
Sempat diwacanakan, agar hukum acara perdata maupun pidana kita tidak lagi memungkinkan bagi pihak Penggugat, Tergugat, baik Jaksa Penuntut Umum maupun pihak Terdakwa, untuk menghadirkan keterangan ahli yang berlatar-belakang profesi Sarjana Hukum untuk menjelaskan perihal hukum kepada Majelis Hakim di persidangan, karena baik sang ahli hukum maupun sang hakim notabene adalah sesama sama-sama Sarjana Hukum. Diwacanakan, keterangan ahli yang dimungkinkan untuk dihadirkan ke hadapan persidangan guna didengarkan keterangannya, hanyalah sebatas mereka yang tidak berlatar-belakang profesi hukum, semisal untuk menjelaskan perihal teknologi, struktur bangunan dan konstruksi, dsb.

Menggugat Budaya Etiket Ketimuran

ARTIKEL HUKUM
Budaya dan etiket (norma sosial 'sopan-santun') moralitas Ketimuran, konon dianggap dan dinilai sebagai peninggalan budaya terluhur dalam sejarah peradaban manusia, bersanding dengan konsep hak asasi manusia (HAM) yang diusung oleh negara-negara Barat modern. Bila konsep perihal hak asasi manusia dinilai terlampau timpang dan tidak dapat berjalan ideal tanpa disertai konsep kewajiban asasi manusia (KAM), maka bukan berarti konsep etiket Ketimuran tidak memiliki cacat-cela sama sekali.

Seekor Semut Tidak Pernah Menjerit Kesakitan, apakah Artinya Tidak Pernah Sakit dan Tidak dapat Merasakan Perasaan Terluka?

ARTIKEL HUKUM
Beberapa waktu lampau, penulis sempat mendengarkan perbincangan dengan dialog sebagai berikut, antara seorang warga dan seorang pakar kesehatan yang disiarkan pada suatu media. Sang warga, “Ibu Dokter, mohon diteliti, mengapa semut-semut yang kecil itu selalu sehat dan tidak pernah jatuh sakit.” Sang pakar kesehatan memberi tanggapan secara simpatik tanpa bernada menghakimi (mungkin sambil tersenyum geli), dengan kalimat singkat dan sederhana saja sebagai berikut: “Bapak, itu semut-semut tidak bisa bicara. Jika saja semut-semut kecil itu bisa bicara seperti kita manusia, mungkin saja mereka akan mengaduh atau mengeluh karena sedang sakit demam atau nyeri karena encok dan flu.”

Menjadi PENJAHAT yang OTENTIK (Bukan Salah Tulis dan Anda Tidak Salah Membaca)

ARTIKEL HUKUM
PERINGATAN : Bagi Anda, Hitler cilik, yang sedari kecil bercita-cita menjadi seorang penjahat terkenal, tulisan berikut dapat membuat Anda membelot. Bagi yang tidak berminat untuk tercerahkan, hendaknya tidak melanjutkan pembacaan ini. Meneruskan membaca, resiko Anda tanggung sendiri.
Bila Anda bermaksud untuk mengejar impian Anda untuk menjadi seorang penjahat hebat kelas “kakap”, alih-alih penjahat kelas “teri”, maka tentunya disamping harus menjadi seorang penjahat yang profesional, maka Anda juga harus menjadi seorang penjahat yang “otentik”. Seorang penjahat yang “otentik”, setidaknya tidak perlu merepotkan diri untuk berakting menjadi “perompak berbulu malaikat”. Seperti apakah yang dimaksud dengan seorang penjahat yang “otentik”? Mari kita simak bersama, bagaimana cara menjadi seorang penjahat yang “otentik”.

Norma Hukum Bentukan Preseden (Praktik ‘Best Practice’ Peradilan) Bersifat Retroaktif, namun Mampu Menutup Celah Hukum

ARTIKEL HUKUM
Semua “preseden” (norma hukum yurisprudensi bentukan best practice praktik peradilan) selalu bersifat retroaktif (berlaku surut) adanya. Dengan demikian, apakah keberlakuan asas retroaktif dalam norma hukum bentukan “preseden” demikian, adalah melanggar ketentuan konstitusi perihal hak asasi manusia? Membiarkan praktik hukum dalam masyarakat tanpa adanya peran “preseden sebagai faktor pembentukan hukum nasional”, justru akan lebih melanggar konstitusi, mengingat “preseden” seringkali dibutuhkan sebagai tuntutan nyata praktik peradilan untuk dibentuk dan diterapkan demi menawarkan kepastian hukum bagi masyarakat, dengan menghindari “chaos” akibat ketiadaan norma hukum yang mengatur suatu perbuatan ataupun peristiwa hukum.

Cek Kosong, Dipidana sebagai Penipuan serta Syarat agar Pelaku / Terlapor Dijerat Hukuman Vonis Penjara, Adanya Kebohongan dari Pemberi Cek

LEGAL OPINION
Adanya Faktor Kurang Cermatnya Korban, Tidak Menjadi Alasan Pembenar bagi Pelaku untuk Melakukan Pidana Penipuan
Question: Bila kami selaku pemberi pinjaman sejumlah dana atau pihak pemasok barang, mendapati beberapa buah cek ataupun bilyet giro yang diberikan debitor atau rekan bisnis kami ternyata adalah “cek kosong”, apakah perbuatan rekanan kami tersebut termasuk dalam kategori kejahatan pidana? Kapankah sebuah “cek kosong” dikatakan semata sebagai masalah sengketea keperdataan, dan apa syaratnya agar “cek kosong” semacam itu dikategorikan sebagai pidana penipuan?

Mahkamah Agung RI dapat Mengamputasi Norma Undang-Undang lewat PRESEDEN, Uji Materiil ‘Terselubung’, Penerapan Prinsip ‘Law in Concreto’

LEGAL OPINION
Question: Apakah untuk bisa dianulirnya seuatu ketentuan hukum dalam suatu undang-undang, hanya bisa lewat uji materiil ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia?

Achmad Mustofa, GEMBEL Tukang Langgar Tukang Perkosa Tidak Punya Malu. +62 082231662934 mustofa341@gmail.com


BLACKLIST PELANGGAR & PEMERKOSA PROFESI KONSULTAN HUKUM
Terdapat seorang “GEMBEL Tukang Langgar Tukang Perkosa Tidak Punya Malu bernama Achmad Mustofa”, +62 082231662934 mustofa341@gmail.com, memborbardir kami dengan pesan ke nomor kontak kerja profesi kami maupun email profesi kami dengan judul pesan “Konsultasi hukum” (indikator nyata dirinya mengetahui betul bahwa kami berprofesi atau mencari nafkah sebagai seorang penyedia jasa konsultasi hukum yang menjual jasa tanya-jawab seputar hukum), dan dengan itikad buruk mencoba menipu kami dengan membuat judul subjek email yang mengecoh demikian seolah dirinya hendak mendaftar sebagai klien pembayar tarif) dengan transkrip sebagai berikut:

Bank Lalai Menerapkan Prinsip Kehati-Hatian, menjadi Resiko Nasabah Penabung ataukah Resiko Usaha Perbankan?

LEGAL OPINION
Question: Saat membuka rekening tabungan, kami sudah buat perikatan dengan pihak kantor cabang bank, bahwa yang bisa tanda-tangan slip penarikan dana adalah dua orang penandatangan, bukan hanya satu orang penandatangan selaku penarik dana secara kolegial. Tapi oleh pihak petugas bank, teller-nya ternyata tetap juga mencairkan dana dalam rekening itu sekalipun itu melanggar prosedur yang semestinya hanya bisa dicairkan bila ada penandatanganan oleh dua penarik yang berwenang. Kesalahan oleh pihak teller kantor cabang bank, sebenarnya menjadi tanggung-jawab atau menjadi kerugian bagi pihak siapa, menjadi kerugian pihak nasabah pemilik dana ataukah menjadi resiko beban kerugian pihak bank itu sendiri?

Pidana Menggelapkan Harta Milik Sendiri, sebuah Salah Kaprah Fatal Lembaga Peradilan maupun Penyidikan dan Penuntutan di Indonesia

LEGAL OPINION
Question: Hampir sepuluh tahun lalu, keluarga kami membuat usaha dalam bentuk Perseroan Terbatas. Usaha keluarga ini hanya dimiliki internal anggota keluarga sendiri, mulai dari pemegang saham, direksi, maupun komisarisnya. Selama ini memang pembukuan keuangan perusahaan tidak demikian ketat ataupun rapih, sebagaimana perusahaan milik keluarga pada lazimnya, karena namanya juga usaha keluarga sehingga “kas bon” yang tidak tercatat menjadi biasa.
Baru-baru ini perusahaan dijual kepada investor diluar keluarga, pihak ketiga yang tidak memiliki hubungan darah dengan kami. Namun, setelah saham perseroan sepenuhnya diakuisisi oleh pihak luar tersebut, pemegang saham baru kemudian melaporkan pidana terhadap direksi pemilik lama dari perseroan ke pihak kepolisian, dan bahkan jaksa pun mengajukan tuntutan berlanjut hingga persidangan, dengan tuduhan telah terjadi penggelapan terhadap harta milik perseroan beberapa tahun lampau saat masih dijabat direktur lama.
Namanya juga usaha keluarga, percuma juga jika segala aktivitas bisnis dicatat secara mendetail karena pemegang sahamnya juga masih satu keluarga. Yang perlu kami tanyakan dan ketahui, apa bisa pemegang saham baru yang kini ambil-alih kepemilikan perusahaan, mempermasalahkan perbuatan direksi lama saat perusahaan masih dimiliki oleh direksi lama bersangkutan, dengan tuduhan penggelapan?

Pertimbangan Hukum Hakim yang Bertolak Belakang dengan Amar Putusan, Satu Sisi Mengabulkan Keberatan namun pada Sisi Lain Menyatakan Menolak dalam Amar

LEGAL OPINION
Question: Apakah mungkin terjadi atau pernah terjadi, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum yang tumpang-tindih atau bertolak-belakang dengan amar putusannya sendiri? Kita tahu bahwa pertimbangan hukum dibentuk sebelum membuat amar putusan, dan pertimbangan hukum itu juga yang menjadi dasar dibentuknya amar putusan. Ketika sampai terjadi tumpang-tindih demikian, manakah yang berlaku, karena ini ada kasus saya yang seperti itu putusannya, jadi tidak ada kepastian hukum? Sebuah putusan semestinya jelas, bukan justru membuat blunder baru.

Cara Menghadapi Mental Pengemis Minimarket yang Meminta Uang Receh Kembalian Hak Konsumen untuk Didonasikan

ARTIKEL HUKUM
Adalah tanggung-jawab pelaku usaha minimarket maupun toko kelontong lainnya untuk menyediakan uang “receh” sebagai uang kembalian kepada konsumen, bukan sebaliknya pihak konsumen yang bertanggung-jawab untuk itu—mengapa? Dapat saja konsumen yang kita wajibkan menyediakan uang pas hingga ke nilai “sen”, namun yang terjadi kemudian ialah antrian pembeli di depan meja kasir akan “mengular”, sehingga yang paling rasional dibebani kewajiban untuk menyediakan uang kembalian secara paling efisien ialah pihak pelaku usaha minimarket itu sendiri.

Cara Menghitung Masa Kerja dalam Kontrak Kerja Berjenis Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan Rasionalisasinya

ARTIKEL HUKUM
Modus pemutusan hubungan kerja (PHK) “secara sepihak” (hukum ketenagakerjaan dan hubungan industrial di Indonesia tidak mengenal istilah PHK diluar lembaga peradilan, sehingga sejatinya hanya berupa “PHK secara politis” de facto belaka, bukan PHK dalam artian yuridis de jure sesungguhnya), semakin menunjukkan gelagat-gelagat liar dalam praktik dewasa ini, dimana penyalah-gunaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan pelanggarannya terjadi secara masif oleh kalangan pelaku usaha di Tanah Air—seolah negara tidak serius menegakkan aturan normatif hukum ketenagakerjaan dan tidak pernah hadir di tengah-tengah masyarakat dan angkatan kerja yang dibiarkan “berdarah-darah” digempur oleh ketimpangan ekonomi dan lemahnya daya tawar kalangan pekerja / buruh di Tanah Air.

Akibat Hukum Pekerja Kontrak yang Mangkir Kerja, Denda Pinalti PKWT disamping No Work No Paid

LEGAL OPINION
Question: Apakah prinsip “no work no paid” juga berlaku dalam konteks Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), alias bagi Pekerja Kontrak?

Menggugat Ketentuan Kewajiban Sertifikasi Produk / Jasa Halal Haram di Indonesia, Kebijakan yang Mengucilkan Dirinya Sendiri

ARTIKEL HUKUM
Telah terbit peraturan pemerintah yang mewajibkan setiap produk yang beredar di pasar Indonesia, agar diberi label “halal”. Alasannya, demi melindungi umat muslim dari produk-produk konsumtif yang tidak “halal”, alias mengeliminir segala produk “haram”. Segregasinya menjadi demikian jelas dan kontras, seolah dipertentangkan antara yang “halal” dan yang “haram”. Sama artinya juga melarang umat muslim untuk ber-travel dan berwisata ke luar negeri yang mayoritas penduduknya belum tentu menerapkan produk “halal” pada toko-toko kuliner mereka.

Covil Law, apakah Hukum artinya (Sebatas) Norma Undang-Undang?

ARTIKEL HUKUM
Apakah hukum, indentik dengan (sebatas) undang-undang? Dalam kesempatan kali ini, penulis akan mengupas sebuah “kelirumologi” terkait paradigma berpikir banyak kalangan Sarjana Hukum di Indonesia, seolah Hukum = Undang-Undang, seolah hukum identik semata dan sebatas pada peraturan perundang-undangan belaka. Jika betul demikian, maka patut kita “uji moril” perspektif demikian dengan pertanyaan sebagai berikut:

Penyalahgunaan Kata PERMISI, Bukan Menjadi ALASAN PEMBENAR maupun PEMAAF terhadap Pelanggaran. Modus Penipuan oleh Naga Suyanto, Pengacara Gembel yang Lebih Hina daripada Pengemis Spesialis Tipu-Menipu TUKANG LANGGAR

ARTIKEL HUKUM
Pelanggaran adalah Pelanggaran, Melanggar adalah Melanggar, dan Pelanggar adalah Pelanggar. Jika Sudah secara Tegas Dilarang, Mengapa Masih Juga Melanggar dan Dilanggar? MENTAL PELANGGAR.
Melanggar adalah melanggar, pelanggaran adalah pelanggaran, dan pelanggar adalah pelanggar, terlebih : kesengajaan melanggar atas apa yang telah tegas dilarang, sama artinya “mencari penyakit sendiri”, dan disaat bersamaan melecehkan orang lain atau melanggar hak-hak orang lain atas apa yang telah disepakati sebelumnya maupun terhadap suatu “term and condition” suatu penyedia layanan / jasa ataupun barang.

Apakah Mengemis adalah Kejahatan?

ARTIKEL HUKUM
Bila mengemis adalah ilegal, maka apakah profesi pengemis merupakan profesi yang patut dikategorikan sebagai “penjahat”? Mengapa mengemis menjadi ilegal, sementara seorang pengemis tidak mengganggu siapa pun dan tidak juga memaksa orang lain untuk berdonasi layaknya seorang preman yang kerap melakukan aksi “pemalakan”?

Membela / Menjaga Diri Vs. Cari Ribut, Cari Gara-Gara, dan Cari Gaduh

ARTIKEL HUKUM
Entah mengapa dan bagaimana, masyarakat kita dewasa ini kian tidak mampu memilah sesuatu hal dan kerap mencampur-adukkan satu hal dengan hal lain yang sejatinya bertolak-belakang, bahkan memutar balik dari “sebab” menjadi “akibat” dan “akibat” sebagai “sebab”. Dengan menggunakan logika akal sehat yang paling sederhana, sebagai orang dewasa sejatinya kita mampu memilah mana “sebab” dan mana “akibat”—sehingga sebenarnya artikel ini tidak perlu sampai harus penulis ulas, angkat isunya, serta membahasanya. Entah benar-benar tidak tahu, ataukah “tahu namun pura-pura tidak tahu”.

Mental Miskin Bangsa Miskin, You Asked for It

ARTIKEL HUKUM
Tentulah kita masih ingat pada postulat yang dikumandangkan oleh “the law of attraction” alias “hukum tarik-menarik”, yang menyebutkan bahwa suatu sikap dan cara berpikir menarik suatu realita mendekat pada diri orang yang bersangkutan. Bersikap layaknya seorang pengemis miskin, maka menjadikan warga negara bersangkutan benar-benar menjelma miskin dan hidup menggelandang layaknya seorang pengemis—yang dalam bahasa penulis, dirinya sendiri yang memintanya (you asked for it).

Cara Ampuh Membatalkan Putusan Arbitrase, Gugurkan Kontrak yang Mengandung Klausula Choise of Forum

LEGAL OPINION
Question: Apakah ada cara atau tips yang paling efektif serta paling efisien untuk membatalkan sebuah putusan arbitrase?

Sikap Mau Menang Sendiri, Pendebat yang Tampak Seolah Unggul namun Sekaligus sebagai Komunikator yang Terburuk

ARTIKEL HUKUM
Terdapat sebuah “resep / formula rahasia” tatkala seorang penulis naskah membuat skrip atau naskah suatu adegan dialog antar para tokoh dalam suatu sinema atau film drama, yang membuat para penontonnya terpikat untuk setia meluangkan waktu mengikuti dari detik awal tayangan hingga “ending” akhir kisah penutupnya yang mencapai puluhan episode, yakni : dialog antar tokohnya saling menggunakan bingkai “komunikasi yang logis”, baik dialog antar tokoh protagonisnya, ataupun ketika sang tokoh protagonis sedang berdialog sengit dengan tokoh antagonis.

Preseden / Yurisprudensi sebagai Implementasi Prinsip Equal Treatment If Equal Circumstances

ARTIKEL HUKUM
Baik Mahkamah Konstitusi RI maupun Mahkamah Agung RI memiliki pendirian ataupun klaim bahwa mereka menganut prinsip “equal treatment if equal circumstances”, yang bila diartikan bermakna sebagai : perlakuan sama untuk kondisi yang sama. Namun, kerapkali antar putusan Mahkamah Konstitusi RI maupun Mahkamah Agung RI justru secara kontradiktif saling bertolak-belakang dengan putusan lembaganya sendiri sebelumnya (dengan disparitas yang mencapai 180 derajat), seperti putusan MK RI yang menyatakan “maximum security” menjelma amar putusan “relative security” dalam perkara pengujian Undang-Undang terkait importasi hewan ternak—patut menjadi pertanyaan bagi masyarakat umum, ada apa dengan Mahkamah kita?

Tidak Selamanya Bersikap Diam adalah Emas, Menggoda Sikap Buruk Orang Lain untuk Menyalahgunakannya

ARTIKEL HUKUM
Pepatah mengatakan, pepatah klasik tentunya, bahwa diam adalah emas (silent is golden), bahwa kesabaran ialah tiada batasnya, dan penyabar tanpa protes adalah kesopanan sementara menjerit kesakitan adalah wujud ketidak-sopanan. Jika memang benar demikian, maka siapa yang paling diuntungkan dan yang paling merasa senang, bila bukan orang-orang jahat yang kerap mengambil untung, merugikan, dan menyakiti orang-orang pendiam yang acapkali “diam seribu bahasa” (yang lebih dapat menjadi mangsa empuk ketimbang seorang pendiam)?

Norma Hukum Seyogianya Menyerupai Aturan Main di atas Ring Tinju, Kepastian Hukum yang Paling Efektif karena Dikondisikan

ARTIKEL HUKUM
Dunia realita tidak pernah berjalan sebagaimana aturan main di atas sebuah ring tinju, dimana para petarungnya hanya akan tampil “satu melawan satu” dan terikat oleh aturan tinju yang ketat dan adil agar para petarungnya dapat saling bertarung dan berkompetisi secara adil tanpa kecurangan, dimana kecurangan akan melahirkan pinalti dari wasit, juri, dan para penontonnya. Di atas sebuah ring tinju, kecurangan dan pelanggaran mampu ditekan seminim mungkin, karena memang telah dikondisikan sedemikian rupa aturan-aturan permainan tinju dilaksanakan secara ketat dan efektif. Yang berani untuk bermain secara curang dan melanggar aturan, akan merugikan dirinya sendiriitulah implementasi hukum yang sangat efektif, yang sayangnya hanya berlaku murni di atas sebuah ring tinju.

Kesia-Siaan Norma Tindak Pidana Korporasi, antara Harapan (Teori), Norma Hukum, dan Praktik Perseroan

ARTIKEL HUKUM
ANTARA “TINDAK PIDANA KORPORASI” & “TINDAK PIDANA PENGURUS / PEMILIK KORPORASI”, SALING BERJARAK NAMUN TIDAK PERNAH SALING TERPISAHKAN
Berkembang wacana, bahwa yang semestinya dipidana atas perbuatan ilegal suatu korporasi, ialah para pemegang saham selaku pengendali dan pemilik usaha (beneficial owner) dari suatu korporasi, bukan justru menjerat “alat” yang digunakan oleh sang pemegang saham pengendali. Namun, bila pada muaranya yang dituju, disasar, dan dijerat pidana ialah subjek hukum orang-perorangan (naturlijk persoon) seperti pemilik atau pengendali suatu perseroan, maka apa guna lagi konsepsi pengaturan norma perihal “tindak pidana korporasi” dimana subjek hukum berupa “badan hukum” (rechts persoon) dapat dijerat pula ancaman sanksi pemidanaan baik berupa denda, pencabutan izin usaha, hingga pembekuan usaha (analogi “dipenjara”, serta “dihukum mati” berupa dilikuidasi alias dibubarkan secara permanen.

Upaya Hukum dalam Nebis In Idem, Kemelut dan Solusinya

LEGAL OPINION
Question: Apakah ada trik atau tips untuk mengatasi atau upaya hukum dalam perkara yang berpotensi diputus “nebis in idem”?

Penistaan Agama oleh Marketer suatu Keyakinan

LEGAL OPINION
Question: Sering kita temui, seseorang yang sedang menjadi marketer suatu agama atau keyakinan, menggunakan embel-embel seperti kalimat sebagai berikut: “Dulu saya beragama A, kini saya pindah agama ke agama B karena agama B menawarkan keselamatan.
Yang ingin saya tanyakan, apakah kata-kata semacam itu termasuk penistaan terhadap agama A, karena dirinya tahu bahwa saya beragama A? JIka tidak tergolong sebagai agama A, mengapa nurani saya berkata dirinya telah lancang menghina agama saya dengan kata-kata semacam itu?
Tetap saja, sekalipun itu benar adalah penistaan terhadap agama saya, saya merasa sudah dicurangi. Betapa tidak, ia tahu betul bahwa agama saya adalah agama A yang dikenal sebagai agama yang sangat toleran, penyabar, dan tidak mudah disulut amarah sekalipun dilecehkan juga tidak akan membalas perlakuannya, sehingga seolah menjadi “mangsa empuk” bagi mereka untuk menginjak-injak agama saya ketika sedang mempromosikan agamanya sendiri dalam rangka menjaring umat baru.

Menyaru / Dikemas sebagai Program Pemerintah, Pujian Dialamatkan pada Pemerintah, namun Dibiayai oleh Rakyat secara Paksa

ARTIKEL HUKUM
Saat bahasan ini penulis susun, sedang berkembang wacana dimana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan atau yang juga kerap menyebut dirinya sebagai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), akan membentuk “sepasukan” debt collector sewaan guna menagih iuran BPJS Kesehatan dari setiap pesertanya yang menunggak, dimana para pasukan debt collector sewaan tersebut akan mendapat komisi dari keberhasilan mereka dalam menagih dari peserta BPJS Kesehatan.

Penggugat Berkualitas sebagai Saksi, ataukah Sebaiknya Saksi yang Berkualitas sebagai Penggugat

LEGAL OPINION
Question: Kami dan beberapa warga lainnya berkeberatan terhadap pembangunan pabrik di tengah-tengah lingkungan tempat tinggal kami. Apakah ada dampak negatifnya, bila kami selaku warga berbondong-bondong mengajukan gugatan sebagai para penggugat terhadap pihak pemilik pabrik?

Ciri-Ciri Preman dan Makna Premanisme

ARTIKEL HUKUM
Orang Waras, Takut dan Malu untuk Berbuat Jahat, Sekecil Apapun Bentuknya.
Sementara, si Dungu Merasa Hebat dapat Berbuat Jahat, Ditakuti / Disegani karena Kejahatannya, dan Mengumpulkan Perbuatan Buruk Sepanjang Hidupnya
Siapakah diantara kita yang belum pernah menghadapi ulah kalangan preman dan direpotkan oleh aksi-aksi premanisme, baik “preman pasar” hingga “preman berdasi” maupun “preman berbaju seragam loreng”? Bila tidak membuat ulah, tentulah mereka tidak akan disebut sebagai “preman”. Sebelum kita membahas perihal preman dan premanisme, tentunya kita perlu memberikan definisi perihal “premanisme” dan pelakunya, sang “preman”.

Menjadi Orang yang Baik, Bukan Artinya Melepaskan Hak untuk Melakukan Perlawanan ketika Diperlakukan secara Tidak Adil

ARTIKEL HUKUM
Apakah seseorang yang dapat “marah-marah” ketika hak-haknya selaku warga negara dilanggar oleh warga negara lainnya, merupakan cerminan karakter orang yang “tidak baik”? Apakah betul, terdapat korelasi yang relevan antara “marah-marah” dan “tidak baik”? Bila ada di antara pembaca yang memiliki perspektif demikian, maka itu bisa jadi adalah penghakiman yang “salah alamat”. Seseorang yang tidak pernah menipu, lalu dituduh menipu, justru menjadi tidak normal bila dirinya hanya berdiam diri.

Mitos dan Fatamorgana Gaya Berbicara Orang Hukum

ARTIKEL HUKUM
Sebelumnya, maaf beribu maaf, karena penulis hendak mengutarakan apa yang kerap dilontarkan oleh kalangan nonhukum terhadap perilaku kalangan Sarjana Hukum. Namun apa yang akan penulis ungkap, ialah apa yang penulis dengar secara langsung, dan kini penulis ceritakan ulang secara sejujur-jujurnya. Mengapa, tanya mereka, berbicara dengan orang-orang dari kalangan hukum seolah ditangkap kesan arogan dan bicaranya serampangan, suka-suka logika mereka sendiri, dan mau menang sendiri? Itulah salah satu cerminan “cibiran” masyarakat umum kita terhadap kalangan profesi hukum maupun mahasiswa hukum kita di Tanah Air.

Tuntutan Masyarakat yang Irasional, Berdiam Diri ketika Dirugikan olwh Warga Lainnya Bukanlah Cerminan Warga Negara yang Baik

ARTIKEL HUKUM
Kita selalu berasumsi bahwa masyarakat kita selalu mau dan mampu bersikap rasional, dan hukum kita pun berasumsi bahwa masyarakat kita memiliki sikap-sikap rasional—yang senyatanya dalam artikel singkat ini akan penulis buktikan fakta sebaliknya, bertolak-belakang dengan asumsi kita selama ini. Sebelum kita membahas lebih dalam, terlebih dahulu kita perlu memahami definisi “rasional”, yang penulis maknai sebagai daya kemampuan untuk berpikir sistematik, logis, holistik, empirik, imparsial, dan bernalar secara penuh tanggung-jawab. Sementara lawan kata dari “rasional”, ialah “irasional”.

Arti MUNAFIK dan KEMUNAFIKAN, Telaah Kasus Pengusaha Ilegal Kriminal Penjual Online Casing Handphone dengan Merek Dagang CASE PEDIA, Jalan Al-Ma’rifah Nomor 72, Kelurahan Rawa Buaya, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat


ARTIKEL HUKUM
Munafik, berkelindan bagai “pinang dibelah dua” dengan sikap “tidak punya malu”, “tidak tahu malu”, dan “aksi putar-balik fakta”. Sementara kemunafikan dapat dimaknai sebagai sikap dan sifat yang secara “seronok” mempertontonkan sifat munafik di muka umum. Orang-orang munafik sangat tidak terampil dalam hal “bercermin diri”, dan antara ucapan serta perilakunya, seringkali justru bertolak-belakang.

Mengenal Konsep HAK PERSONAL, PRIVASI Itu Sendiri

ARTIKEL HUKUM
Hak Cipta atas Wajah Kita sendiri, Hak atas PRIVASI setiap Warga Negara
Terdapat sebuah pertanyaan unik yang sangat relevan untuk diajukan dan disimak, karena tiada pengaturan tegas (atau terdapat aturan normatifnya, namun implementasinya senantiasa multitafsir atau “separuh hati”), yakni: apakah kita harus mendaftarkan Hak Cipta wajah kita sendiri terlebih dahulu, barulah dilindungi oleh negara dan mendapat perlindungan privasi sebagai seorang warga negara dari orang lain yang sewaktu-waktu dapat saja terjadi tiba-tiba merekam ataupun memotret wajah kita tanpa izin?

Menggugat Spiritual Quotient dan Menuntut Emotional Quotient, Tidak Lebih Baik dari Intelligence Quotient

ARTIKEL HUKUM
“Kecerdasan intelektual” (intelligence quotient, “IQ”) merujuk suatu pemahaman akan suatu tingkat kualitas daya pikiran yang meliputi kemampuan dalam menalar, daya tangkap konseptual maupun kecepatan memahami suatu mekanisme yang menuntut jalan berpikir runut maupun proses pembelajaran, ilmiah, merencanakan, memecahkan masalah, hingga daya berpikir abstrak, memahami gagasan dan mengeksekusinya, daya olah verbal, dsb.

Kecerdasan Memilih Manakah yang menjadi SEBAB, dan yang merupakan AKIBAT

ARTIKEL HUKUM
Mengapa kita kini menjelma menjadi orang yang begitu “tidak percaya-an”? Mungkin begitulah nasib setiap kalangan Sarjana Hukum, mendapat stigma demikian dari masyarakat umum. Menjadi seseorang yang tidak mudah percaya, adalah bagian dari tuntutan hidup pada era dimana sebuah ucapan dan kepercayaan dengan mudahnya oleh seseorang lainnya diingkari dan dicampakkan seolah tiada makna derajatnya. Kita tentunya harus belajar dari pengalaman betapa sukarnya “memegang” kata-kata orang lain pada zaman ini.

Jawaban Pragmatis atas Perilaku Pragmatis Bangsa Pragmatis

ARTIKEL HUKUM
Mengapa kepastian hukum maupun penegakan hukum di Indonesia, demikian tidak konsisten dan seolah “tebang pilih”, dimana kejahatan merajalela mendampingi berbagai aksi premanisme seolah dipelihara oleh negara yang tidak pernah benar-benar hadir di tengah masyarakat? Terhadap pertanyaan klise demikian, dapat dijawab baik secara diplomatis maupun secara empirik-sosiologis, namun tidak akan pernah dapat dijawab secara yuridis selain hanya berteori ria dengan mengulang-ulang slogan “law in the book” (das sollen) vs. “law in the society / reality” (das sein).

Janis Manusia yang Paling Sukar untuk Dihadapi, dan Sebaiknya Dihindari

ARTIKEL HUKUM
Jika Anda berpikir, bahwa orang-orang yang kaya secara materi, adalah orang-orang yang paling sukar untuk dihadapi, maka Anda keliru. Jika Anda berasumsi, bahwa menghadapi orang-orang yang memiliki pangkat serta kedudukan (kekuasaan), adalah orang yang paling sulit untuk dihadapi, maka Anda juga keliru. Jika Anda berasumsi bahwa menghadapi orang-orang yang kuat secara fisik atau menang dalam hal kuantitas, adalah paling sukar untuk dihadapi, maka Anda lagi-lagi keliru.

Cara Membedakan antara Hukum dan Politik

ARTIKEL HUKUM
Betul bahwa hukum adalah “produk politik”, namun politik pun adalah produk dari hukum. Menjadi sukar untuk membedakan mana yang lebih dahulu, namun Cicero pernah menyampaikan, bahwa dimana ada komunitas sosial, disitulah hukum terbentuk. Hukum adalah produk konsensus politik, dimana sebelum terciptanya konsensus politik tersebut, hukum tidak tertulis dapat dipastikan tumbuh terlebih dahulu di tengah-tengah komunitas masyarakat (salah satunya ialah konvensi ketata-negaraan).

Kebenaran Norma Hukum, Bersifat Nisbi & Tentatif Belaka

ARTIKEL HUKUM
KEBENARAN HUKUM, KEBENARAN NISBI, TENTATIF SIFAT KEBENARANNYA, TIDAK ABSOLUT
Baik ilmu hukum maupun ilmu pengetahuan lainnya seperti kedokteran maupun medik-farmasi, sama-sama bersifat nisbi semata nilai validitasnya. Kebenarannya, dengan demikian, tidaklah mutlak, namun tentatif belaka—alias sewaktu-waktu dapat berubah dari yang “baik” atau “benar” menjelma “buruk” dan “salah”, gradasinya bergeser dengan menukik tajam 180 derajat bagai “menjungkir-balikkan” dunia. Namun, terdapat sebuah perbedaan kontras antara sifat nisbi dari ilmu hukum dan sifat nisbi dari ilmu-ilmu diluar ilmu hukum, dan pokok bahasan itulah yang menjadi sentral dari bahasan dalam artikel singkat ini.

Bullying artinya Menyepelekan / Meremehkan Perasaan Korban Perundungan, PENGHAKIMAN SECARA VERBAL

ARTIKEL HUKUM
Yang bukan turut menjadi korban, tidak pernah berhak untuk menghakimi seorang korban, karena hanya pihak korban dan sesama korban itu sendiri yang paling tahu kondisi dan situasi yang dialami seorang korban. Penting untuk kita ingat selalu, kita hanya berhak berkata “itu hanya hal sepele” kepada diri kita sendiri. Kita tidak pernah berhak menghakimi orang lain, terlebih seorang korban, dengan menyatakan bahwa yang dialaminya hanyalah hal “sepele” semata. Hanya diri individu bersangkutan masing-masing yang paling mengetahui kesulitan hidup dan latar-belakang situasi yang dialaminya sendiri sepanjang hidupnya, bukan orang lain, dan bukan pula para komentator yang berhak menghakimi seseorang individu lainnya.

Pertumbuhan Ekonomi Mendongkrak Upah Minimum Buruh, Berkah ataukah Petaka?

ARTIKEL HUKUM
Teori ekonomi yang kemudian diadopsi oleh Peraturan Pemerintah mengenai Pengupahan di Indonesia, tampaknya telah bergeser dari studi kelayakan hidup menjadi rumusan : inflasi + tingkat pertumbuhan ekonomi = kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) bagi kalangan pekerja / buruh. Namun, yang patut menjadi pertanyaan kita bersama, siapakah yang paling “diuntungkan” dari kebijakan demikian, buruh ataukah pengusaha, ataukah justru kontraproduktif dan merugikan iklim investasi yang pada gilirannya mengancam penyerapan lapangan pekerjaan di Indonesia? Polemik tersebutlah yang akan menjadi pokok bahasan kita dalam kesempatan ini.

Mencuri Hak Orang yang Lebih Miskin, Lebih Hina daripada Pengemis yang tidak Mencari Makan dengan Merampok Nasi dari Piring Milik Orang Lain

ARTIKEL HUKUM
Mengapa korupsi, secara dasariahnya (sui generis), adalah jahat dan tercela? Korupsi, adalah buruk dan jahat karena pelakunya merampok dari jutaan rakyat yang jauh lebih miskin daripada sang koruptor (satu buah perut yang serakah mengorbankan jutaan perut milik orang lain), dimana uang hasil rampokan tersebut dipergunakan oleh sang koruptor demi kesenangan hidup mewah dirinya, bukan untuk urusan perut yang lapar. Ibarat jatah bagi jutaan rakyat miskin yang kekurangan gizi, masih juga direnggut dan dirampok demi gaya hidup mewah sang koruptor.

Ketika Ibukota Diimpin oleh Gubernur yang Tidak Visioner, Teladan yang Buruk bagi Warganya, Kebijakan yang Tidak Mendidik

ARTIKEL HUKUM
Tatkala dunia global terus berkembang dan berkompetisi menghadirkan kota yang modern dan kreatif serta cerdas, seperti membangun infrastruktur skytrain, tempat landas pesawat luar angkasa, membangun laboratorium penelitian futuristik yang menyedot perhatian dunia, namun pada salah satu ibukota di Indonesia ternyata masih dapat kita jumpai seorang gubernur “primitif” yang lebih sibuk mengatur perihal becak, jalur khusus pesepeda, dan kini membuat wacana blunder baru yang hendak membuat trotoar di-okupasi oleh pedagang informal yang kerap disebut sebagai “Pedagang Kaki Lima” (PKL).

Makna Berketerampilan dalam Hukum, Betapa Pendidikan Tinggi Hukum telah Menyesatkan Mahasiswa Mereka

ARTIKEL HUKUM
Terdapat perbedaan yang kontras, antara berteori “ria” dan berketerampilan. Berteori, suka atau tidak suka, mau tidak mau, sang pelaku dan pendengar teori terpaksa harus berpanjang-lebar. Itulah nasib sebuah teori, teori menjadi sekadar bagi memuaskan nafsu berteori semata dan belaka. Semakin tampak kompleks dan rumit, akan semakin dianggap “canggih”. Sebaliknya, berketerampilan menuntut syarat yang berkebalikan dengan sebuah teori.

Hari Gini, masih Menilai seorang Profesional dari Gelar Akademik?

ARTIKEL HUKUM
Tidak jarang, penulis ditanyai calon klien maupun calon pembeli buku karya tulis penulis, perihal gelar akademik terakhir yang penulis miliki. Seolah, prestasi dan kompetensi seseorang ditentukan dari gelar akademik yang disandang olehnya, sekalipun telah banyak nama tokoh-tokoh besar yang kini menjadi milioner dan fenomenal prestasinya ternyata adalah hasil Drop Out perguruan tinggi.

Kabar Baik yang Menggembirakan Hati Kalangan Profesi Hukum, Tidak Akan Sepenuhnya Tergantikan oleh Robot Kecerdasan Buatan

ARTIKEL HUKUM
Baru-baru ini kalangan profesi Akuntan yang bergelut dibidang disiplin ilmu akutansi, dikejutkan oleh kabar berita bahwa profesi Akuntan diprediksi akan akan segera tergantikan oleh “robot” alias pemrograman akutansi yang canggih dan otomatisasi. Tampaknya, yang akan lebih dahulu menuju “kepunahan”, ialah profesi-profesi lain diluar profesi hukum.

Tiada Pidana Tanpa Kehendak Bebas, sebuah Kisah tentang Dominasi Kode Genetik DNA seorang Manusia

ARTIKEL HUKUM
Disebutkan dalam berbagai laporan hasil penelitian para pakar “genom”, terdapat salah satu atau lebih kromosom pada kode genetik “penyusun” manusia yang bertanggung-jawab atas suatu dorongan / impuls bagi seseorang tersebut untuk melakukan aksi kriminil. Sifatnya laten, dapat diwariskan pada keturunan selanjutnya, (dengan asumsi) sepanjang tidak terjadi mutasi genetik. Bila penyakit mental maupun penyakit medik fisik dapat diturunkan pada generasi penerus, maka mengapa “faktor kriminogen” juga tidak dapat diturunkan?

Makna Tanggung Jawab Moril Vs. Tanggung Jawab Yuridis

ARTIKEL HUKUM
Apa yang menjadi maksud dari bahwasannya “tanggung jawab moril” bersifat lebih luas daripada sekadar “tanggung jawab yuridis”? Sejatinya, bila setiap anggota masyarakat kita memiliki “tanggung jawab moril” yang handal dan mumpuni, maka tiada perlu seseorang dituntut di muka hakim atau pengadilan untuk dimintai pertanggung-jawaban, namun akan “to respond” (akar kata responsibility) dengan kesadaran pribadi dan nuraninya—tanpa perlu untuk dimintakan sekalipun.

Debt Collector Menarik Paksa Kendaraan karena Debitor Menunggak, Dipidana Penjara Pencurian

LEGAL OPINION
Question: Praktik para debt collector terhadap objek jaminan fidusia maupun kendaraan leasing selama ini, main tarik begitu saja seperti tukang todong, jambret, maupun pencuri. Bukankah parktik semacam itu bisa menjadi moral hazard, dimana nanti bisa ada pencuri ataupun perampok yang ngaku-ngaku sebagai debt collector? Pertanyaan sederhananya, apa boleh seorang debt collector sekalipun, katakanlah benar dirinya diutus oleh perusahaan leasing, untuk begitu saja melakukan aksi semacam pencuri ataupun perampok, terhadap kendaraan yang dipakai debitor?

Wanita Karir itu Seksi, Pengakuan Seorang Pria Modern

ARTIKEL HUKUM
ISTRI KORUPTOR TURUT DIPIDANA KARENA IKUT MENIKMATI HARTA HASIL KORUPSI
Tampaknya bila istri dan anak seorang koruptor turut dipidana penjara bersama sang koruptor, mungkin angka kejadian korupsi dapat ditekan hingga ke taraf paling minimun di Tanah Air. Betapa tidak, sang koruptor akan berpikir ribuan kali sebelum menyeret serta anak-istrinya “tercinta” bersama dirinya ke penjara akibat melakukan korupsi—dan sebaliknya, istri maupun anak sang koruptor akan berbuat sekuat tenaga untuk mencegah suami maupun ayah mereka dari perilaku korup semacam apapun. Apakah wacana oleh penulis demikian, memiliki kandungan moral hazard bila wacana sensitif demikian dilanjutkan pembahasannya, atau sebaliknya menjadi suatu urgensi tersendiri?

Membuat Laporan Keuangan Palsu seolah-olah Profit, Calon Investor Menjadi Berminat lalu Membeli Perusahaan yang Sebetulnya Merugi, Dipidana PENIPUAN

LEGAL OPINION
Question: Apa yang paling penting untuk diperhatikan dan dikoreksi, sebelum tawarkan perseroan untuk dibeli oleh pengusaha lain yang berminat untuk akuisisi saham perseroan milik keluarga kami?

Amar Putusan yang Paling Ideal bagi Perkara Pidana Penggelapan dalam Jabatan

LEGAL OPINION
Ketika Hakim Agung dalam Putusan Kasasi Mengakui Motif Kriminalisasi dalam Tuntutan Jaksa
Question: Ada manager di perusahaan kami yang menggelapkan uang perusahaan dengan nilai cukup besar. Rencananya, mantan manager kami tersebut hendak kami pidanakan. Apakah ada hal yang bisa kami sampaikan kepada jaksa yang membuat surat tuntutan, karena bagaimana pun perusahaan kami adalah pihak yang paling berkepentingan, dengan harapan tuntutan jaksa dapat mengakomodir harapan kami agar kerugian kami juga dapat dipulihkan lewat laporan pidana ini? Sebenarnya, yang paling penting untuk kami kejar, ialah agar uang milik perusahaan kami bisa kembali.

Apakah Hukum Harus Begantung pada Political Will Pemerintah dan Legislatif?

ARTIKEL HUKUM
Untuk menjawab pertanyaan sebagaimana judul dalam artikel ini, terlebih dahulu penulis hendak mengingatkan kembali, bahwa fondasi suatu negara demokratis tidak hanya bertopang pada kedua lembaga tersebut (Legislatif dan Eksekutif), namun terdapat pilar ketiga yakni Lembaga Yudikatif serta Lembaga Suprastruktur (salah satunya kebebasan pers mainstream maupun citizen journalistic “medsos”).

Kebijakan Kontraproduktif, Internet Shutdown, Pemerintah Gagal Merebut Hati Masyarakat

ARTIKEL HUKUM
Memutus jaringan internet secara spenuhnya (blackout), sangatlah tidak “pro” terhadap rakyat, terutama bila dilakukan tanpa menerapkan kebijakan indiscriminate, alias dilakukan secara merata, sehingga membuat perekonomian rakyat yang kini mulai bergantung pada platform media digital, dikembalikan seperti ketika zaman konvensional, media konvensional, dan tiada informasi maupun transaksi berbasis internet. Terlebih jalur bagi media berita alternatif.

Mengapa Gugatan dan Lembaga Peradilan Kerap Disalahgunakan?

ARTIKEL HUKUM
Era modern dan kecanggihan digital sekarang ini, telah merubah budaya persidangan, dari yang semula “lawyer-sentris” menuju fenomena baru yang penulis sebut sebagai era “warga sipil yang berdaya dan mandiri”—dalam artian, tidak lagi bergantung pada sosok pengacara untuk bersidang dan beracara, baik sebagai penggugat, tergugat, maupun terdakwa dalam membuat pembelaan bagi dirinya sendiri. Mengakses peraturan perundang-undangan, kini dapat kita lakukan semudah mengetikkan jari pada papan tuts gadget digital kita.

Pengacara Tidak MENJAMIN Menang, ALIBI SEMPURNA untuk BERKELIT

ARTIKEL HUKUM
Bila dalam rezim hukum Jasa Konstruksi, pihak kontraktor “demi hukum” wajib menjamin hasil karya konstruksinya dari resiko kegagalan bangunan, minimal setidaknya selama sepuluh tahun setelah serah terima dengan pengguna jasa konstruksi / bangunan. Tidaklah dapat pihak kontraktor (penyedia jasa konstruksi) mendalilkan, bahwa pihaknya hanya “mengupayakan” bangunan itu berdiri, namun persoalan apakah bangunan tersebut akan tetap berdiri seketika setelah dibangun atau bahkan roboh seketika sebulan kemudian, tidaklah dijanjikan karena tidak “menjanjikan”.

Antara Penipuan, Penipu, dan Tertipu

ARTIKEL HUKUM
Penipu adalah nama yang disematkan pada seorang pelaku penipuan, sementara korbannya disebut sebagai telah orang yang telah tertipu. Dalam stelsel delik hukum pemidanaan, yang diancam sanksi pidana ialah adanya motif serta modus dari sang pelaku penipu, bukan dari adanya pihak yang telah tertipu sebagai unsur atau syarat mutlak terpenuhi suatu delik penipuan.
Untuk memulai ulasan, penulis akan menguraikan perbedaan antara “motif”, “modus”, dan “tujuan” dari suatu niat batin (mens rea) dari sang pelaku, alias sang penipu. Yang disebut dengan “tujuan”, ialah apa yang hendak dicapai oleh sang pelaku. Sementara, “modus” menjadi instrumen atau “alat” guna melancarkan niat buruk untuk mencapai tujuan dengan cara yang dilarang oleh hukum dan diancam dengan sanksi pemidanaan berdasarkan asas legaltias.

Perseroan Terbatas Membeli Tanah Girik atau SHM, Bolehkah atau Salah Kaprah?

LEGAL OPINION
Question: Apakah dalam hukum pertanahan di Indonesia, antara kebolehan “memiliki” dan “membeli” adalah dua hal yang sama, atau berlainan? Sebagai umpama, sebuah badan hukum seperti PT (Perseroan Terbatas) secara hukum hanya dibolehkan untuk memiliki SHM. Namun, apa artinya ada larangan PT untuk membeli SHM ataupun girik dari salah seorang warga lokal setempat, sebelum kemudian dijadikan atau diubah sebagai SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan) keatas nama PT?

Lex Spesialis Vs. Lex Posterior, Dua Asas Hukum Paling Mendasar yang Saling Bertarung Memperebutkan Supremasi Tertinggi

ARTIKEL HUKUM
Pada keempatan kali ini, penulis akan mengajak para pembaca untuk berandai-andai. Mari kita andaikan, parlemen bersama pemerintah menyusun dan membahas bersama Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), yang kemudian disahkan bersama menjadi “KUHP (versi) Baru”, menggantikan “KUHP (versi) Lama”.

Rakyat Munafik, Wakil Rakyat yang Hipokrit, Bagai Pinang Dibelah Dua

ARTIKEL HUKUM
Tidaklah perlu rakyat dan bangsa ini bersandiwara dengan mengutuk dan mencela para wakil rakyat kita di parlemen (Lembaga Legislatif, alias Dewan Perwakilan Rakyat RI). Rakyat jelata dan kalangan pengusaha kita, “tidaklah jujur-jujur sekali”—bahkan dapat dikatakan jauh dari kata “jujur”, “benar”, maupun “adil”. Para wakil rakyat kita di DPR RI hanyalah miniatur representatif cerminan budaya bangsa dan rakyat kita sendiri. Mengutuk anggota DPR RI, sama artinya “buruk wajah, cermin hendak dibelah”, menambah gaduh situasi politik yang kian memanas sehingga tidak ramah terhadap iklim investasi.

Moral Hazard Monopoli Hak Menuntut Profesi Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri, Mengamputasi Hak Korban untuk Merumuskan Dakwaan dan Tuntutan terhadap Pelaku Kejahatan

ARTIKEL HUKUM
Sudah sejak lama, masyarakat mengeluhkan layanan lembaga kepolisian yang seolah menindak-lanjuti laporan pelapor yang mengalami aksi kriminil—sementara disaat bersamaan sang korban maupun warga dilarang untuk “main hakim sendiri”. Menyelidiki dan menyidik, seperti menggeledah, menangkap dan menahan, hingga menggunakan senjata api, dimonopoli kalangan penyidik dan kepolisian.

Antara Teks Norma Hukum, Konteks, dan Asumsi

ARTIKEL HUKUM
Tiada yang lebih “bodoh”, dariapda seorang warga negara yang mematuhi hukum secara membuta—sama ekstrimnya dengan seseorang yang sama sekali tidak mematuhi hukum. Mengapa? Karena: Pertama, hukum tidak menuntut warga negaranya untuk mematuhi hukum secara membuta—bahkan dapat disebutkan “terlampau banyak pengecualian dalam pengaturan norma hukum”. Kedua, aturan atau norma hukum bertopang pada sebuah asumsi, dimana ketika asumsi tersebut gugur, maka norma yang bertopang padanya juga turut berguguran.

KPK adalah Lembaga Negera ataukah Lembaga Pengawas? Pengawas yang Mengawasi Komisi Pemberantasan Korupsi, Perlukah?

ARTIKEL HUKUM
Bergulir isu perubahan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang diusulkan oleh Lembaga DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) yang ditengarai merasa gerah akibat kerap tertangkap dalam OTT (operasi tangkap-tangan) yang dilakukan oleh KPK terhadap para anggota DPR yang terbukti melakukan aksi kolusi. Masyarakat luas, mulai dari akademisi, rakyat umum, hingga aktivis, terbagi dalam dua pendapat yang sama hebatnya tentang wacana untuk membuat semacam Lembaga Pengawas khusus yang khusus mengawasi kinerja dan operasional KPK.

Ambiguitas Istilah Membunuh, Pembunuhan, dan Pelaku Pembunuh

ARTIKEL HUKUM
Membunuh, dalam terminologi hukum dimaknai sebagai merampas atau menghilangkan nyawa milik orang lain secara melawan hukum. Seorang algojo yang melakukan eksekusi hukuman mati terhadap seorang terpidana mati, tidaklah dapat dipidana, karena eksekusi yang dilakukannya tidak tergolong melawan hukum, namun sekadar menjalankan perintah berdasarkan putusan peradilan, sebagai suatu “alasan pembenar” bagi sang algojo untuk mengeksekusi.

Korban Selalu Berhak untuk Marah, Hanya Mayat yang Dituntut untuk Tidak Boleh dan Tidak dapat Murka Ketika Dizolimi

ARTIKEL HUKUM
Janganlah kita menghakimi orang lain yang berteriak dan menjerit kesakitan karena disakiti, sebagai seseorang yang kita nilai sebagai “tidak sopan”—seolah perilaku sang pelaku yang menyakiti korban adalah cukup sopan untuk dipuji, sementara sang korban yang hanya patut dikritik dan dicela karena menjadi korban yang menjerit kesakitan. Terdapat berbagai norma sosial di tengah budaya kita yang kurang cukup sehat dan kurang ramah terhadap korban, sangat menyerupai korban pemerkosaan di Timur Tengah, yang justru diasingkan / dikucilkan oleh masyarakat dan keluarganya sendiri (dianggap sebagai “aib” bagi keluarga), alih-alih mengutuk perilaku sang pelaku, bahkan sampai pada tahap membakar hidup-hidup sang korban yang kemudian mengandung janin pasca pemerkosaan.