TELUSURI Artikel dalam Website Ini:

Hukum KEPAILITAN

SINOPSIS e-book

HUKUM KEPAILITAN & PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

Hery Shietra, HUKUM KEPAILITAN & PKPU
B
erkembang wacana agar Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) segera diubah atau setidaknya direvisi. Kecemasan demikian sebenarnya tidak relevan, karena undang-undang yang ada telah cukup mengakomodir para kreditor maupun pihak debitor itu sendiri, sepanjang para pihak tersebut memahami dengan benar dan baik konsepsi serta kaedah normatif yang terkandung didalamnya.
Salah satu dialektika yang mengemuka ialah perihal posisi dan kepastian hukum bagi Kreditor Separatis pemegang hak pelunasan dari jaminan kebendaan seperti Hak Tanggungan maupun Fidusia, dikabarkan oleh berbagai media massa, tengah mengalami kerugian akibat non performing loan (NPL) sebagai dampak langsung dari masifnya kalangan pengusaha yang menjadi debitor perbankan, jatuh pailit sehingga terjadi kredit macet (gagal tagih dan hapus buku).
Disebutkan, konon (karena tidak sesuai fakta realita yuridis yang ada), hal demikian secara tidak langsung dikarenakan berbagai ketentuan dalam Undang-Undang Kepailitan yang tidak akomodatif terhadap kepentingan Kreditor Separatis dari kalangan perbankan. Seakan, agunan dapat direnggut oleh Kurator untuk dimasukkan ke “boedel pailit”, untuk kemudian dibagikan kepada seluruh kreditor yang ada, baik Kreditor Konkuren maupun kepada Kreditor Preferen—perihal perbedaan serta hierarkhi jenis kreditor, rujuk buku penulis berjudul “Praktik Hukum Jaminan Kebendaan”.
Sementara itu baik Pasal 59 maupun Penjelasan Resmi Pasal 59 UU Kepailitan, tidak pernah mewajibkan Kreditor Separatis untuk telah menjual laku lelang eksekusi terhadap objek agunan selama “masa insolvensi”. Yang disyaratkan oleh UU Kepailitan, ialah agar Kreditor Separatis telah memulai (start) untuk melakukan proses parate eksekusi terhadap agunan, agar objek agunan tidak jatuh dalam boedel pailit dengan alasan “ditelantarkan”.
Kapan agunan baru dapat laku terjual lelang, tidak diatur dalam UU Kepailitan, dan preseden yang diangkat berdasar putusan Mahkamah Agung RI yang ada pun, telah berpendirian bahwa selama Kreditor Separatis telah start melakukan lelang eksekusi terhadap agunan, maka menjadi tidak penting kapan agunan baru laku terjual. Bisa jadi laku terjual satu tahun sejak masa insolvensi berakhir, dan seluruh hasil penjualan lelang eksekusi menjadi hak sepenuhnya dari Kreditor Separatis, sepanjang lelang ulang ditempuh oleh sang kreditor mengingat aset berupa benda tidak bergerak bukanlah harta yang bersifat liquid.
Isu paling utama dan masalah yang kerap mengemuka dalam konteks kepailitan dan PKPU, ialah hak dan kewajiban yang sangat riskan dari kalangan Kreditor Preferen terutama Kreditor Konkuren. Itulah isu-isu yang jauh lebih signifikan untuk dihabas ketimbang posisi hukum Kreditor Separatis.
Kalangan perbankan pemegang jaminan kebendaan, disebut dengan julukan sebagai “Kreditor Separatis”, karena sifatnya sebagai Secured Creditor, mengingat agunan secara yuridis terpisah dari boedel pailit, sehingga bahkan Kurator sekalipun tidak berwenang untuk mengintervensi agunan yang menjadi hak pelunasan sepenuhnya dari Kreditor Separatis.
Ketika kalangan perbankan mengalami kerugian akibat debitor jatuh pailit, maka hal demikian sepenuhnya menjadi kesalahan manajerial kalangan perbankan itu sendiri—karena memang UU Kepailitan sejatinya telah sangat mengakomodir kepentingan Kreditor Separatis. Yang lebih kerap terjadi ialah: Kreditor Separatis menelantarkan objek agunan, dengan tidak juga memulai “parate eksekusi” saat masa insolvensi tiba.
Adalah jauh lebih menarik untuk membahas kerentanan posisi hukum Kreditor Konkuren, karena sama sekali tiada jaminan apapun, bahkan sekadar mengharap agar separuh piutang terlunasi, adalah harapan yang sangat istimewa dan jarang terealisasi. Fenomena unik yang terjadi secara massal, ialah kalangan Kreditor Konkuren menggugat pailit debitornya, meski selama ini pula tidak pernah ada sejarahnya Kreditor Konkuren mendapat pelunasan dengan menjatuhkan pailit terhadap debitornya.
Mungkin maksud sang Kreditor Konkuren, ialah agar debitornya merasa takut akan ancaman dipailitkan, sehingga akan terdorong untuk segera melunasi hutangnya. Namun bila sang debitor justru “memasang badan” dengan membiarkan dirinya jatuh pailit, sama artinya ancaman pailit berujung kontra-produktif, dengan hasil yang sama sekali diluar harapan dan diluar dugaan sang pemohon pailit.
Mengapa penulis menyebutnya sebagai “harapan semu” dibalik kepailitan bagi Kreditor Konkuren? Karena harta debitor pailit, dapat dipastikan “insolvensi”, bukan “solvensi”. Yang dimaksud dengan “solvensi”, ialah suatu keadaan dimana harta kekayaan (equity berbanding liability) masih jauh dibawah total kewajiban seperti hutang. Jangankan untuk melunasi Kreditor Konkuren, kerap terjadi harta debitor habis hanya untuk melunasi piutang Kreditor Preferen seperti piutang Kantor Pajak maupun piutang Buruh / Pekerja.
Sementara, seperti telah kita ketahui, seluruh aset mesin maupun benda tidak bergerak seperti tanah, telah menjadi agunan yang dikuasai secara yuridis hak eksekusi dan pelunasannya di tangan Kreditor Separatis—sehingga praktis tiada harta / aset apapun yang tersisa untuk melunasi piutang Kreditor Konkuren. Sudah lumrah terjadi dalam praktik bisnis, pengusaha memiliki hutang empat kali nilai kekayaan modal dasarnya, sehingga kepailitan dapat dipastikan tidak mungkin memuaskan seluruh kreditor yang memiliki piutang.
Apa yang dimaksud dengan Kreditor Konkuren? Untuk memudahkan pemahaman, penulis memberi parameter sederhana sebagai berikut: Mereka yang bukan merupakan pemegang jaminan kebendaan, mereka yang bukan Kantor Pajak, mereka yang bukan Buruh dari debitor pailit, maka itulah yang tepatnya disebut sebagai Kreditor Konkuren—alias kreditor yang saling berebutan terhadap Kreditor Konkuren lainnya (yang dalam terminologi hukum sering diistilahkan sebagai unsecured creditors).
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU memiliki keterbatasan norma untuk mengakomodasi berbagai konteks kejadian yang terjadi dalam praktik, akibat “cacat bawaan lahir” yang tidak dapat diperbaiki lewat revisi undang-undang. Untuk itulah, menjadi penting mempelajari berbagai kaedah yurisprudensi yang ditarik dari berbagai preseden dan praktik peradilan yang ada, untuk memetakan pendirian dan kecenderungan Pengadilan Niaga dalam memutus perkara dengan corak / karakter serupa dikemudian hari, guna menghindari aksi “spekulasi”.
Hukum yang baik bagi warga negaranya, memiliki ciri berupa tingkat paling minimum prediktabilitasnya—oleh karenanya dalam perspektif sistem hukum Anglo Saxon, disebutkan bahwa: “Ilmu hukum ialah ilmu tentang prediksi”. Sesuatu yang tidak dapat diprediksi, bukanlah hukum, namun “politik” yang cenderung sewenang-wenang dan “suka-suka selera” hakim pemutus. Bagaimana mungkin, kita mengharap dapat menjadi warga negara yang baik, bila setiap warga dihadapkan pada kenyataan untuk “ber-ju-di” dengan suatu aturan yang tidak jelas ‘aturan main’-nya. Hukum bersifat murni, namun tidak naif.
Pembahasan dalam buku ini dirancang sedemikian rupa, agar dapat dipahami dan diimplementasi langsung, baik oleh akademisi maupun praktisi, oleh sarjana hukum maupun oleh pembaca yang awam dibidang hukum sekalipun, lewat pendekatan cases study menyerupai metode uraian teks-teks budaya hukum Common Law, dengan harapan dapat mudah untuk dicerna, terindex dalam memori jangka panjang, serta aplikatif karena sifatnya sebagai ilmu yang praktis.
Betul bahwa piutang Upah kalangan Buruh / Pekerja, dikategorikan sebagai Kreditor Preferen. Namun apakah artinya terjadi secara otomatis secara sendirinya? Apakah terdapat prosedur tertentu yang harus diterapkan terlebih dahulu? Jawabannya tidaklah seragam dan tidak juga linear, namun kasuistik.
Ketika pihak Pengusaha dalam keadaan solvensi, tiada kreditor manapun yang mencoba mempailitkannya, maka sang Buruh baru dapat mempailitkan Pengusaha setelah menempuh sengketa di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), dimana amar putusan berupa perintah untuk membayar sejumlah uang sebagai kompensasi PHK, sebagai contoh, masuk dalam kategori piutang Kreditor Preferen.
Namun akan lain kisahnya, bila sang Pengusaha telah jatuh pailit oleh permohonan pihak ketiga, maka piutang Upah kalangan Buruh dapat dicatatkan seketika itu juga pada Kurator. Itulah salah satu contoh ilustrasi, bahwa konkteks memainkan peranan penting dalam kemampuan prediktabilitas dalam hukum, karena undang-undang tidak pernah lengkap dan bahasa tertulis demikian selalu tidak sempurna adanya.
Kegentingan apakah yang terjadi dibalik jatuhnya sang debitor dalam keadaan pailit? Yakni kegentingan untuk mendapat pelunasan. Jangankan Kreditor Konkuren, kalangan Kreditor Preferen seperti piutang Upah kalangan Buruh sekalipun, terancam tidak terbayarkan saat Kurator melakukan pemberesan terhadap boedel pailit (likuidasi penuh).
Menjadi pertanyaan yang tidak terelakkan, mungkinkah kalangan Buruh mengintervensi dengan berupaya mengambil-alih agunan yang dipegang kalangan Kreditor Separatis, mengingat seluruh aset berupa mesin maupun tanah pabrik dapat dipastikan tengah dalam kondisi diagunkan?
Berspekulasi, tentunya bukanlah pilihan bijak. Kita dapat mengetahui kaedah norma yang selama ini telah dibentuk lewat kebiasaan praktik peradilan yang membentuk preseden guna menjadi rambu-rambu ketika berhadapan dengan kasus kepailitan serupa dikemudian hari, agar dapat membuat langkah kebijakan yang tepat guna disamping efektif juga paling efisien.
Pada dasarnya hampir setiap permasalahan kasus hukum, telah pernah diperiksa dan diputus oleh pengadilan dalam perkara sebelumnya. Kita cukup belajar dari pengalaman yang sudah ada, untuk mengikuti langkah hukum yang efektif dan menghindari kekeliruan serupa, tanpa perlu jatuh di-“lubang” yang sama, demikian pepatah bijak berpesan.
Dalam seluruh lingkup peradilan perdata dan niaga, dimungkinkan mekanisme “van dading”. Hanya saja, istilah perdamaian yang digunakan ialah “homologasi”. Bagaimanakah isi penetapan homologasi, dan siapakah yang merancang homologasi? Namun tidak banyak yang memahami, bahwa baik van dading maupun homologasi, dapat menyerupai “pedang bermata dua”, dimana sifat mengikatnya dapat menjebak dan menjerumuskan kreditor yang kurang pertimbangan saat menyepakati homologasi.
Pembahasan dalam buku ini akan memperlihatkan, bahwasannya tidak selamanya perdamaian membawa faedah dalam persidangan. Lantas, bagaimana kiatnya agar homologasi yang sebelumnya telah disepakati, agar tidak menjadi bumerang dikemudian hari bagi pihak kreditor? Modus-modus seperti apakah yang perlu dideteksi sedini mungkin, mengingat homologasi dapat menjadi wadah yang subur bagi debitor untuk menyandera kreditornya?
Apa pula yang akan menjadi konsekuensinya, bila debitor PKPU tidak koopeatif terhadap proses persidangan maupun terhadap berbagai aspirasi para kreditornya? Salah satu tugas pertama dari Kurator saat debitor jatuh pailit, ialah mendata piutang kreditor serta menginventarisasi aset kekayaan maupun kewajiban debitor pailit. Bagaimana bila seandainya Kurator keliru menjual aset yang dikiranya milik debitor pailit, namun ternyata bukan bagian dari boedel pailit, akan tetapi milik pihak ketiga?
Debitor dengan dokumentasi aset yang baik, tentunya membantu proses likuidasi dalam pailit. Namun ketika tiada dokumentasi terlebih tiada pembukuan keuangan, tentunya bukan isapan jempol bila skenario terburuk demikian betul-betul terjadi dan memang telah benar-benar pernah terjadi.
Terdapat sebuah isu hukum yang masih belum terdapat pendirian konsisten diantara para hakim, baik Pengadilan Niaga maupun Mahkamah Agung, yakni perihal tagihan piutang Kantor Pajak. Bila seorang kreditor mengajukan permohonan pailit terhadap debitornya, dengan argumentasi bahwa sang debitor memiliki pula hutang pajak, maka apakah Pengadilan Niaga mengabulkan permohonan pailit demikian?
Dalam satu putusan, pengadilan menyatakan bahwa tagihan Kantor Pajak termasuk kategori “kreditor”, sehingga terpenuhi syarat paling minimum mengajukan pailit: ada dua kreditor, dan salah satu piutang telah jatuh tempo. Namun dalam kesempatan lain, Pengadilan Niaga menyatakan tagihan yang bersumber dari undang-undang, dalam hal ini piutang pajak, tidak termasuk dalam kategori “kreditor”, meski Kantor Pajak berhak untuk mengajukan klaim tagihan atas boedel pailit.
Tentu saja, pembahasan tidak akan lengkap tanpa mengulas kasus fenomenal debitor PT. Rockit Aldeway dan direkturnya, Harry Suganda, yang mempailitkan perusahaan miliknya sendiri sebagai modus canggih menggelapkan uang kredit yang merugikan berbagai bank pelat merah. Betul, bahwa kepailitan kerap disalah-gunakan oleh kalangan debitor itu sendiri, mengingat bukan hanya kreditor yang dapat mempaiitkan debitornya, namun debitor pun dapat mengajukan permohonan pailit terhadap dirinya sendiri. Suatu moral hazard tersendiri yang diprediksi akan menjadi tren kecenderungan praktik niaga dikemudian hari.
Buku ini akan mengulas secara perkara pailitnya Rockit Aldeway, tersangkutnya bos Rockit Aldeway dalam perkara pidana karena menggelapkan kredit yang merugikan kreditornya dengan cara mempailitkan diri sendiri, hingga antiklimaks dari perkara kepailitan Rockit Aldeway beserta pemiliknya. Tidak ada sejarah perampokan menggunakan mekanisme kepailitan yang lebih besar dan lebih komprehensif dari modus yang dirancang secara canggih oleh Rockit Aldeway dengan Harry Suganda selaku otak intelektual dibaliknya. Buku ini juga mengupas kepailitan Koperasi Cipaganti yang fenomenal akibat aksi “skema ponzi” bos Cipaganti.
Siapakah yang sebetulnya paling diuntungkan dengan jatuhnya debitor dalam keadaan pailit ataupun PKPU? Pertanyaan demikian sangat penting untuk diajukan, untuk memahami secara komprehensif berbagai mudarat yang tersembunyi dibalik mekanisme kepailitan ataupun PKPU. Jawabannya, sangat mengejutkan, karena tersangkut-paut biaya kepailitan yang dapat demikian mahal nilai nominalnya, sehingga kerap menutup peluang pelunasan bagi para kreditor.
Sebenarnya apakah semudah itu, bagi debitor untuk mempailitkan dirinya sendiri? Atau, apakah permohonan pailit sang debitor terhadap dirinya sendiri, selalu akan diterima oleh Pengadilan Niaga? Tidak banyak kita sadari, terdapat “cacat bawaan lahir” konsep kepailitan. Hutang, secara hukum akan terus berlangsung, setidaknya selama 30 tahun bila seorang debitor wanprestasi untuk melunasinya. Namun dengan mekanisme kepailitan, seakan seorang debitor dapat lolos dari segala beban hutang untuk sisa hidupnya, alias aksi “cuci-tangan”.
Dari segi falsafah, mengingat cacat permanen konsep kepailitan demikian, sangat mengherankan bila terdapat Kreditor Konkuren yang mempailitkan sang debitor, mengingat kepailitan lebih akan menguntungkan kalangan debitor. Tanpa dipailitkan, setidaknya Kreditor Konkuren selalu dapat mengejar dan menagih pada debitornya selama paling tidak 30 tahun. Sementara pasca pailitnya sang debitor, tiada lagi istilah hak tagih. Namun kreditor mana yang mau menyadari hingga sejauh itu? Justru tren kepailitan kian menjadi belakangan ini.
Dapatkah debitor pailit menolak klaim piutang yang ditagihkan suatu kreditor? Debitor yang jujur tentu tidak akan sembarangan mengakui memiliki hutang, sehingga hanya kreditor yang benar-benar memiliki piutang yang berhak mengajukan klaim piutang dan mendapat pembagian pasca pemberesan boedel pailit.
Apakah dasar yang menjadi postulat bagi penulis untuk menyatakan bahwasannya Kreditor Konkuren dapat dipastikan “gigit jari” pasca likuidasinya sang debitor akibat pailit? Tentu saja, buku ini mengungkap fakta realita, bukan sekadar teori atau wacana. Telaah diangkat dari realita menuju rekonstruksi norma.
Penulis juga mengupas kejadian dimana tagihan piutang Kantor Pajak sekalipun, acapkali tidak mampu dilunasi dari harta boedel pailit. Bukan dimaksudkan untuk mengajari para pembaca untuk menyalah-gunakan berbagai kelemahan dalam konsepsi kepailitan, hanya saja penulis merasa perlu untuk menguraikan berbagai “cacat permanen bawaan lahir” konsep kepailitan.
Terdapat sebuah fenomena unik, disaat perkara kepailitan menunjukkan kecenderungan / tren meningkat dari tahun ke tahun, disaat bersamaan tingkat NPL (non performing loan) kalangan perbankan di Tanah Air juga menunjukkan kecenderungan senada: kredit macet meningkat tajam membawa keuangan perbankan menuju titik kritis akibat gagal mengembalikan kerugian bersumber dari piutang yang tidak tertagih.
Adalah tanggung jawab moril para para pembaca pribadi, untuk tidak menyalah-gunakan berbagai “cacat dan lubang hukum” yang terdapat dalam konsep kepailitan, yang tidak akan mampu diatasi sekalipun dengan merevisi atau mengubah undang-undang yang telah ada. Semangat kepailitan merupakan semangat kecurangan yang selalu mengorbankan / menumbalkan Kreditor Konkuren. Itulah kodrat kepailitan yang sudah menjadi karakter bawaan dasariahnya.
Kini kita beralih pada isu berikut yang tidak kalah relevan: apakah kepailitan mengenal keberlakuan hukum acara perihal “nebis in idem”? Ilustrasi berikut secara singkat memberi gambaran konkretnya: debitor membuat homologasi dengan para kreditor. Dikemudian hari, sang debitor kembali wanprestasi. Maka, apakah artinya sang debitor tidak dapat kembali dimohonkan pailit / PKPU, dengan alasan dahulu pernah dimohonkan permohonan serupa oleh para kreditornya?
Namun demikian, bukan berarti tiada kurator yang bertanggung-jawab secara etika maupun secara profesi. Kurator memiliki kewenangan untuk menggugat direksi dari perseroan yang pailit, karena menggelapkan kekayaan perseroan agar dapat dikembalikan ke boedel pailit, bahkan menuntut agar para direksi perseroan bertanggung-jawab secara renteng terhadap seluruh hutang-piutang perseroan yang jatuh pailit. Sekali lagi, semua konstruksi hukum demikian membutuhkan sikap aktif dan itikad baik dari pihak Kurator. Tanpa peran aktif maupun keterlibatan dengan itikad baik dari Kurator, sejatinya keadaan pailit sang debitor menjadi lonceng kematian bagi para krditornya. Atau dengan istilah lainnya, dapatkan norma-norma dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, diberlakukan pula dalam konteks kepailitan?
Adakah bahaya dibalik skema penawaran Mandatory Convertible Bond sebagai kompensasi piutang saat debitor PKPU mengajukan proposal perdamaian bagi para kreditornya? Tawaran debitor berupa MCB tampak menggiurkan, dimana piutang dikonversi menjadi saham baru perseroan dari debitor pailit. Namun apakah resiko dibalik opsi tawaran demikian? Mungkinkah tawaran MCB hanya “angin surga” yang memberi harapan palsu?
Pengalihan piutang lewat Cessie, kerap disalah-gunakan oleh kalangan kreditor untuk mempailitkan debitornya. Tidak ada larangan hukum untuk menjual separuh piutang kepada pihak ketiga, dan persis dengan cara itulah, kreditor melipat-gandakan dirinya menjadi dua kreditor dari satu hubungan hutang-piutang, dengan itikad buruk untuk mempailitkan sang debitor.
Adalah kiat untuk meng-counter aksi kreditor nakal demikian? Dalam konteks kepailitan, bukan hanya debitor yang dapat nakal, namun kreditor pun kerap berlaku tidak kalah nakalnya. Apapun dapat terjadi dalam kasus kepailitan, lengkap dengan segala modus yang sebetulnya dapat dilacak dan dideteksi secara sedini mungkin guna menyusun langkah mitigasi.
Bukankah dilematis bagi Kurator saat hendak membereskan boedel pailit, namun terganjal oleh fakta tidak kooperatifnya pihak debitor pailit, bahkan untuk sekadar menyerahkan rincian inventarisasi harta kekayaan ataupun pembukuan keuangan pun, tidak diberikan. Ketika itu terjadi, tentu menyukarkan pihak Kurator saat melakukan verifikasi piutang yang diajukan oleh segenap kreditor yang mengklaim memiliki hak tagih. Begitupula untuk menentukan seberapa banyak harta dalam boedel pailit, agar dapat dilikuidasi secepatnya, namun tiada kepastian berapa harta kekayaan didalamnya, mengingat debitor pailit tidak secara terbuka menyampaikan segala hak dan kewajiban sang debitor.
Apa yang dimaksud dengan “sita umum” dalam konteks kepailitan? Terkait dengan sita umum demikian, apa pula yang kemudian dapat terjadi sebagai konsekuensi logisnya, ketika terhadap harta kekayaan debitor telah dibebankan sita jaminan, kemudian sang debitor jatuh dalam keadaan pailit maupun PKPU, maka bagaimana nasib dari sita jaminan tersebut?
Beralih pada isu lain, Hukum Kepailitan sangat kental akan nuansa hukum acara yang prosedural, dimana hukum acara yang berlaku bersifat khusus (lex spesialis dari hukum perdata), sehingga berbeda dari hukum acara perdata pada umumnya. Semisal, segala sesuatu terkait boedel pailit, maka hal tersebut menjadi kompetensi absolut dari Pengadilan Niaga, bukan lagi Pengadilan Negeri, sekalipun tampaknya gugatan penggugat tidak bersinggungan langsung dengan pailitnya debitor. Terminologi dalam hukum acara kepailitan, memberinya istilah sebagai “gugatan lain-lain”. Mau tidak mau, kita harus bersentuhan dengan hukum acara khusus ini ketika berbicara perihal kepailitan.
Sebagai ilustrasi lainnya perihal hukum acara kepailitan, ialah ketika para kreditor memberikan suara (voting) terhadap proposal perdamaian yang diajukan oleh sang debitor, apakah proposal akan ditetapkan pengadilan sebagai homologasi berdasarkan persentase tertentu dari jumlah suara menerima berhadapan dengan suara yang menolak, ataukah sang debitor akan seketika itu juga jatuh dalam keadaan pailit akibat voting tidak mencapai persentase suara tertentu dalam voting para kreditor. Yang unik, undang-undang yang ada, tidak mengakomodir Kreditor Preferen dalam voting, sehingga suaranya secara dipaksakan hanya diperhitungkan sebagai Kreditor konkuren—meski kedua jenis kreditor tersebut tidak sama dalam hal derajat hierarkhinya.
Kompleksitas hukum kepailitan dalam aplikasinya, tidak sesederhana yang kita bayangkan, meski juga tidak serumit yang kita asumsikan. Terdapat hal-hal tertentu yang tidak dapat dihindari perbenturan teori dan wacana yang berkembang. Salah satu contohnya, ialah perusahaan asuransi yang belum mendapat izin usaha asuransi dari otoritas, apakah hanya menjadi kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mempailitkan perusahaan demikian?
Secara logika sederhana, tanpa izin usaha teknis, bukankah sejatinya istilah perusahaan “asuransi” hanya sekadar jargon kemasan tanpa esensi, yang notabene hanya perseroan terbatas “generik” biasa? Undang-Undang tentang Kepailitan tergolong undang-undang yang cukup tebal dari segi pengaturan, namun tetap saja tunduk pada kutukan lahiriah hukum tertulis: “undang-undang tidak pernah lengkap dan tidak pernah sempurna, bahkan selalu tertinggal satu langkah dari kenyataan”.
Salah satu syarat mutlak dalam kepailitan, ialah proses pembuktian bersifat sederhana (bukan “hutang-piutang yang bersifat sederhana”, sebagaimana timbul salah-kaprah demikian dalam praktik). Namun menjadi / timbul masalah tersendiri, apakah yang dimaksud dengan “pembuktian yang bersifat sederhana”? Benarkah ada pembuktian adanya hutang-piutang yang bersifat sederhana? Pembuat undang-undang tampaknya tidak menyadari, bahwa klausul mutlak demikian membuat debitor dalam posisi superior menghadapi permohonan pailit dari kreditornya, dimana sang debitor dapat dengan sumir mengucapkan kalimat sakti berikut: “Prestasi dan wanprestasi masih disengketakan di Pengadilan Negeri, dimana saya tidak mengakui telah melakukan wanprestasi”. Dalil yang terbukti manjur.
Atau dalil berikut yang juga terbukti selalu jitu bagi kalangan debitor manapun untuk berkelit: “Betul saya berhutang, tapi sisa hutang saya bukan lagi sebesar itu, karena dahulu sudah pernah mencicil.” Buku ini memperlihatkan secara gamblang, bagaimana debitor dengan apik memanfaatkan permainan kata dalam undang-undang secara optimal untuk membela diri.
Bila disamping debitor disaat bersamaan terdapat pula pemberi jaminan personal (personal guarantee), biasanya antara debitor dan pemberi personal guarantee akan secara renteng digugat pailit bersama-sama oleh kreditornya. Secara konseptual-teoretik, mungkin saja terjadi: mempailitkan pemberi “personal guarantee” tanpa turut menyertakan sang debitor untuk ikut dipailitkan. Namun moral hazard apakah yang tersembunyi dibalik opsi langkah hukum demikian?
Yang paling perlu diwaspadai oleh kreditor, terutama Kurator pada khususnya, ialah debitor pailit yang bila notabene adalah bagian dari suatu Grub Company. Besar kemungkinan, pra dan pasca vonis pailit, sang debitor telah melakukan transfer pricing sebagaimana kerap terjadi sebagai modus penghindaran pajak ataupun untuk profit shifting, guna menguras harta kekayaan perseroan untuk dialihkan pada entitas bisnis badan usaha lainnya.
Pernah terjadi (atau mungkin juga kerap terjadi), suplier memasok bahan baku pada sebuah perusahaan, namun sebelum harga jual-beli dibayar dan dilunasi, perusahaan pembeli jatuh dalam keadaan pailit. Pertanyaannya, apakah stok bahan baku demikian masuk dalam inventarisir boedel pailit dimana suplier tersebut hanya dapat menagih dengan memposisikan dirinya sebagai Kreditor Konkuren, ataukah berhak untuk mengambil kembali bahan baku yang sebelumnya itu dipasok olehnya?
Kepailitan adalah niscaya, namun terkadang irasional dan tidak relevan. Penulis mengupas contoh kasus bangkrutnya sebuah perusahaan (dalam Bahasa Indonesia, antara “bangkrut” dan “pailit” adalah dua hal yang berbeda. Bandingkan dengan terminologi Inggris “insolvency” dan  “bankrupt”), lalu berlanjut pada diajukan pailit oleh para buruhnya. Ibarat ikan yang hanya tinggal menyisakan tulang-belulang, masih kemudian dipailitkan. Perusahaan sehat yang masih setengah bernafas, mungkin berpotensi menghasilkan pelunasan bila dipailitkan. Namun bandingkan dengan perusahaan yang telah kolaps, bangkrut, bahkan banyak berhutang dan gagal bayar pajak, kemudian dipailitkan. Penulis menyebutnya sebagai “termakan oleh harapan semu angin surga kepailitan”.
Lantas, bagaimana dengan pembeli piutang, baik lewat mekanisme cessie maupun subrogasi, apakah hak untuk mempailitkan juga turut beralih kepada kreditor baru? Bila keadaan perusahaan telah jatuh pailit, mungkinkah para Buruh dibenarkan untuk menuntut dibayarkannya “Upah Proses” dari hasil pemberesan boedel pailit?
Apakah dapat terjadi, guna lolos dari jebakan homologasi, salah satu pihak kreditor mengajukan sengketa perihal besaran nominal hutang-piutang, sehingga tidak terikat pada homologasi yang mengikat para kreditor lainnya, lalu sang kreditor mempailitkan debitornya setelah terbit putusan perihal sengketa besaran nominal hutang-piutang? Dalam konteks kepailitan, segala hal dapat terjadi, lengkap dengan segenap modus canggih yang rumit (meski tidak mustahil untuk dapat diurai dan dipetakan sebagaimana ditelaah dalam buku ini, dengan harapan kita mampu untuk mendeteksi setiap manuver para pihak dalam aksi kepailitan).
Menjadi pertanyaan yang juga kerap terlontar dalam pratkik, meski agak sukar dipahami realita pendirian Pengadilan Niaga terhadap satu isu hukum berikut, ialah bahwasannya setiap bulan para Buruh diberi Upah berupa sejumlah nominal uang. Ketika Pengusaha tidak membayar Upah para Pekerjanya, maka apakah sang Buruh bisa secara serta-merta mengajukan pailit terhadap sang Pengusaha?
Timbul pula pertanyaan dalam praktik, bila terjadi hubungan jual-beli properti, sebelum developer jatuh pailit, dan telah dibayar lunas oleh pembeli, namun objek properti masih ditangan atau atas nama developer, apakah objek properti akan tetap dimasukkan ke dalam boedel pailit?
Apa yang sekiranya dapat terjadi, bila Perseroan Terbatas yang telah jatuh pailit, lalu para pemegang sahamnya mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tanpa keterlibatan Kurator, bahkan Kementerian Hukum dan HAM menerbitkan Surat Keputusan pengesahan keputusan RUPS?
Tidak sedikit diantara kita, menjumpai praktik pemberian jaminan personal (personal guarantee) maupun jaminan korporat (corporate guarantee). Namun, apakah resiko hukum terburuk yang dapat terjadi ketika sang debitor ingkar janji melunasi piutang kreditornya? Fungsi utama memahami hukum, tentunya untuk mengantisipasi setiap kemungkinan terburuk yang mungkin dapat terjadi. Yang jarang disadari oleh seorang direktur perseroan yang diminta pemilik perusahaan agar memberikan memberi personal guarantee, apa yang mungkin terjadi, bila seandainya sang direktur kemudian tidak lagi menjabat sebagai direksi? Dapatkan dirinya berkilah, bahwa ia sudah tidak lagi menjabat sebagai direktur?
Pertanyaan lanjutan tidak dapat terelakkan, apakah hutang yang timbul akibat perikatan yang bersumber dari personal guarantee ini dikategorikan sebagai “utang yang bersifat sederhana”? Terlampau mahal harga yang harus Anda bayar bila mencoba dengan metode “try and failure” sendiri, bila sejatinya kita dapat belajar dari pengalaman pihak lain yang sudah ada. Ilmu hukum adalah ilmu tentang prediksi (tidak lebih tidak kurang). Yang disebut dengan ilmu, jauh dari nuansa spekulatif. Metode yang sama, selalu menghasilkan output yang senada.
Bagaimana juga dengan nasib seorang penyewa tanah, bila pemberi sewa kemudian jatuh dalam keadaan pailit? Tidak semua hal tersua jawabannya dalam perundang-undangan tertulis. Justru sebagaian besar kaedah hukum, timbul dan dibakukan oleh pembentukan kebiasaan oleh praktik peradilan (konvensi alias judge made law). Undang-undang, siapapun mampu mengakses dan membacanya secara efisien. Tidak ada yang membutuhkan peran sarjana hukum manapun untuk memberi tahu apa isi undang-undang. Sebaliknya, masyarakat awam yang memahami dengan baik praktik dan kecenderungan pendirian peradilan, selalu satu langkah lebih maju dari seorang “sarjana hukum undang-undang”. Bukankah ini suatu hal yang menarik?
Adalah wajar, bila perusahaan jatuh pailit, maka hubungan kerja dengan para pekerjanya menjadi putus demi hukum, dengan konsekuensi sejumlah pesangon. Namun apa yang terjadi, ketika perusahaan yang diwakili oleh kurator, menolak mengakui hak-hak normatif kalangan pekerja yang terkena PHK akibat pailitnya perusahaan?
Dalam lingkup hukum Niaga, tiada yang lebih dilematis dari Hukum Kepailitan dan PKPU, baik secara teoretis, falsafah, normatif, maupun praktik aktualnya. Permasalahan dalam Hukum Kepailitan, tidak dapat dilihat secara parsial. Itulah sebabnya, pemetaan terhadap berbagai kendala dan inkongruensi yang terjadi dalam praktik akibat kelemahan dasariah konsep kepailitan, hanya dapat ditinjau secara utuh bila kita telah selesai membuat gambaran besarnya dari kepingan-kepingan informasi yang disusun menyerupai kepingan-kepingan puzzle. Hanya memahami satu atau dua kasus kepailitan, tidak akan membawa kita pada pemahaman apapun perihal Kepailitan dan segenap problematik yang mewarnainya.
Pendalaman materi secara komprehensif, itulah tepatnya yang menjadi tujuan utama penyusunan buku ini, dengan harapan dapat memberi gambaran perihal kepailtan beserta segala kompleksitasnya. Untuk mengurai benang kusut, kita harus mencari segala sumber muara dari benang-benang yang saling menyimpul, untuk kemudian mencoba mengurainya dengan perlahan satu per satu. Tidak ada metode lain yang lebih ideal. Pembahasan semata pada teori, tidak akan pernah membawa kita kemana pun atau perbaikan apapun selain hanya berputar-putar pada wacana yang menjemukan.
Sebagaimana bidang disiplin ilmu hukum lainnya, Hukum Kepailitan pun dalam aplikasinya kerap bersinggungan dengan aspek bidang hukum lainnya. Sebagai contoh, bagaimana bila terdapat aset boedel pailit yang disita kejaksaan terkait perkara pidana, maka apakah “gugatan lain-lain” di Pengadilan Niaga yang menjadi kompetensi absolutnya? Hukum Kepailitan tidak dapat berdiri sendiri, tanpa lintas sektoral bidang ilmu hukum lainnya.
Yang disebut dengan wanprestasi, tidak hanya dapat berwujud gagalnya debitor melunasi hutang, namun juga berupa tidak diberikannya barang yang menjadi objek jual-beli. Meski pembeli sudah menyerahkan harga pembelian secara lunas, namun apakah sang pembeli dapat mempailitkan penjual karena tidak kunjung menyerahkan unit apartemen yang dibeli olehnya?
Dapat juga terjadi sebaliknya, saat proses verifikasi piutang yang diajukan kreditor, sang debitor hanya mengakui separuh dari klaim piutang yang diajukan sang kreditor. Untuk melawan, tentunya sang kreditor perlu menempuh mekanisme gugatan agar seluruh nilai piutangnya diakui. Kendala paling utama, dalam waktu dekat menunggu sidang voting terhadap proposal perdamaian yang ditawarkan sang debitor, sementara hak suara sang kreditor menjadi berkurang separuh akibat pada saat itu hanya separuh piutangnya yang diakui.
Dalam praktik juga kerap muncul pertanyaan berikut: uang sebagai dana pembelian sudah diterima penjual, tapi penjual saat sebelum menyerahkan barang kepada pembeli, disaat bersamaan si penjual dinyatakan pailit oleh pengadilan, maka barang yang telah dibeli pembeli, apakah tetap menjadi hak pembeli?
Bisa saja terjadi, kreditor yang berada di luar negeri, tidak mengetahui bila debitornya di Indonesia telah jauh pailit, sehingga tagihan piutang diajukan jauh setelah proses kepailitan dibereskan oleh Kurator. Bagaimana pengadilan menyikapi tagihan kreditor yang diajukan secara terlambat demikian? Undang-Undang Kepailitan memang memberi toleransi bagi kreditor di luar negeri. Namun demikian, seberapa fatalkah bila kreditor lokal terlambat mengajukan klaim piutang?
Dalam buku ini penulis juga membahas bagaimana kreditor dapat tersandera oleh homologasi PKPU. Van dading, sejatinya bagaikan pedang bermata dua. Pernah terjadi, sebagai analogi, seorang suami menggugat cerai istrinya di pengadilan. Saat akan menjelang putusan cerai, sang suami dan istri sepakat membuat perdamaian yang dituangkan dalam acta van dading. Tidak lama, sang suami kembali menggugat cerai, namun gugatannya ditolak karena “terpenjara” oleh akta perdamaian yang dahulu dibuat olehnya sendiri.
Mungkinkah dapat mempailitkan badan usaha berbentuk “CV” tanpa turut mempailitkan pengurus aktifnya? Sebenarnya bagaimana teknik yang baik dan benar dalam mempailitkan sebuah “CV” agar penetapan pailit tidak menjadi “mubazir”? Kita perlu memahami, bahwa antara “badan hukum” dan “badan usaha” adalah konsepsi hukum yang saling berlainan dan berbeda dalam hal sifat subjek hukumnya. Hanya “badan hukum” yang diberi title sebagai “rechts persoon”.
Menjadi pertanyaan yang sebetulnya laten namun jarang disentuh, ialah isu hukum: apakah kreditor yang tidak ikut bahas homologasi dalam PKPU, turut tunduk pada isi homologasi? Semisal kredior bersangkutan tidak pernah mendaftarkan diri atau tidak sepakat pada proposal perdamaian yang diajukan debitornya, maka apakah kreditor bersangkutan turut tunduk pada isi homologasi? Untuk itu penulis mengangkat ilustrasi kasus yang fenomenal, pailitnya Koperasi Cipaganti.
Banyak juga diantara kita yang mungkin telah berulang kali membaca pasal-pasal dalam Undang-Undang Kepailitan, namun siapa yang akan menyangka, hukum acara mengajukan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali dalam kepailitan berbeda dengan syarat formil dalam hukum acara perdata umum. Sebagai lex spesialis, Undang-Undang Kepailitan telah menentukan limitasi jangka waktu mengajukan Peninjauan Kembali, dimana bila kita masih membawa asumsi berdasarkan “novum 180 hari”, maka dipastikan permohonan PK yang diajukan akan dinyatakan “kadaluarsa”.
Secara falsafah, apakah tepat bila PKPU diajukan oleh kreditor? PKPU, sejatinya dibentuk secara konsep mulanya, dengan tujuan agar debitor dapat meminta waktu yang cukup guna mencari kesempatan agar dapat melunasi hutang-hutangnya. Ketika kreditor mem-PKPU-kan debitor, bahkan PKPU Tetap hanya selama 30 hari, tentunya tiada kesepatan apapun bagi debitornya untuk memulihkan diri, sehingga kepailitan tidak dapat dihindari. Pertanyaannya ialah, mengapa tidak dari sejak awal kreditor mengajukan pailit, alih-alih PKPU, yang berujung pada pemborosan waktu serta biaya?
...
Judul eBook : HUKUM KEPAILITAN & PKPU
Penulis : Hery Shietra, S.H.
Bahasa : Indonesia
Penerbit : SHIETRA PUBLISHER
Tahun terbit : Mei 2018
File E-book : “.pdf, dapat dibaca pada berbagai aplikasi PDF Reader perangkat digital seperti Komputer PC, Laptop, ataupun Tablet.
Harga : Rp. 93.000;-. Bebas ongkos kirim karena eBook akan dikirimkan kepada alamat email pembeli.
Lisensi : END USER AGREEMENT, HANYA DIJUAL KEPADA PEMBELI ORANG-PERORANGAN (Pembeli Individual), BUKAN UNTUK KEPERLUAN PERKANTORAN, PERPUSTAKAAN, ATAU SEJENISNYALisensi 1 eBook HANYA UNTUK 1 ORANG PEMBELI. Dapat dibaca untuk SEUMUR HIDUP pembeli, kapanpun dan dimanapun.
Cara Pemesanan : kirimkan pemesanan Anda pada alamat email legal.hukum@gmail.com , selanjutnya kami akan memberikan tata cara pemesanan serta 'syarat dan ketentuan'. Paling lambat eBook akan kami kirimkan 3 x 24 jam setelah klarifikasi penerimaan dana. (PERINGATAN : Menyalahgunakan alamat email ini ataupun nomor kontak kerja kami untuk peruntukan lain diluar pemesanan eBook, akan kami kategorikan sebagai pelanggaran terhadap “syarat dan ketentuan” dalam website profesi kami ini. Hanya klien pembayar tarif jasa konsultasi yang berhak menceritakan ataupun bertanya tentang isu hukum, karena Anda pastilah menyadari serta telah membaca keterangan sebagaimana header maupun sekujur website ini bahwa profesi utama kami ialah mencari nafkah sebagai Konsultan Hukum dengan menjual jasa berupa konseling seputar hukum.)
Hery Shietra, HUKUM KEPAILITAN & PKPU
DAFTAR ISI
BAB I : PROLOG ... 7
BAB II : KOMPETENSI ABSOLUT PENGADILAN NIAGA TERKAIT KEPAILITAN ... 25
Yurisdiksi Pengadilan Terkait Harta Boedel Pailit ... 26
Harta Boedel Pailit Disita Pidana ... 31
Kontraproduktif Mempailitkan Debitor akibat Harapan Semu ... 40
BAB III : TELAAH & STUDI KASUS ... 48
Putusan Non-Executeable dalam Kepailitan ... 49
Ambivalensi Permohonan PKPU Oleh Kreditor ... 53
Ketika Pemberi Sewa Jatuh Pailit ... 57
Melawan PHK Sepihak, Pekerja Menggugat Kurator Pengusaha dalam Pailit ... 64
Ambivalensi Harta Boedel Pailit ... 69
Moral Hazard Mempailitkan Personal Guarantee Tanpa Menyertakan Debitor ... 74
Sita Umum dalam Kepailitan ... 82
Gugurnya Sita Jaminan Perdata oleh Pailitnya Debitor ... 89
Perubahan Anggaran Dasar Perseroan (dalam Pailit) ... 92
Pembeli yang Beritikad Baik Vs. Pailitnya Penjual Rumah ... 101
Syarat Diterimanya Rencana Perdamaian dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ... 110
Tunggakan Gaji, Buruh Hendak Mempailitkan Pengusaha sebagai Kreditor ... 115
Upaya Hukum Kasasi Perkara Kepailitan ... 119
Ambiguitas Hak Pekerja Mempailitkan Pengusaha ... 123
Buruh Debitor Pailit Hanya Berhak Menuntut Pembayaran Upah Tertunggak dari Boedel Pailit ... 128
Contoh Akta Perdamaian Homologasi dalam PKPU ... 131
Ketika Homologasi Menjadi Bumerang Bagi Kreditor ... 141
Hierarkhi Pelunasan Kreditor dari Hasil Penjualan Kepailitan ... 147
Tragedi Kepailitan: Harapan Semu Pelunasan dalam Kepailitan ... 153
Kepailitan Tidak Mengenal “Nebis In Idem” ... 160
Pekerja Mem-Pailitkan Pengusaha, secara Serta-Merta ... 165
Wanprestasi Homologasi, artinya Pailit ... 171
Ambiguitas Piutang Kantor Pajar sebagai Kreditor ... 179
Terbelenggu Homologasi yang Sukar Dibatalkan ... 183
Debitor Tidak Kooperatif, PKPU Menjelma Pailit ... 191
Kurator Keliru Menjual Aset yang Bukan Boedel Pailit ... 201
Kadaluarsa Mengajukan Hak Tagih dalam Kepailitan ... 207
Kadaluarsa Hak Peninjauan Kembali terhadap Putusan Pailit ... 212
BAB IV : TELAAH KASUS PERAMPOKAN TERSELUBUNG OLEH DEBITOR LEWAT PENYALAHGUNAAN LEMBAGA KEPAILITAN ... 216
Mempailitkan Debitor, Sama artinya Merugikan Kreditor Itu Sendiri dan Disaat Bersamaan Menggemukkan Kurator ... 217
Merampok Kreditor dengan Mempailitkan Diri Sendiri ... 224
Kontraproduktif PKPU & Kepailitan ... 235
Pengusaha Mem-pailitkan Dirinya Sendiri ... 240
Klaim Piutang Sepihak, Debitor Pailit Melawan ... 245
Kurator yang Aktif & Kepailitan yang Ideal ... 251
Modus Mandatory Convertible Bond dalam Kepailitan ... 261
Pengurus Debitor Pailit Tidak Kooperatif terhadap Kurator ... 269
Actio Pauliana Vs. Transfer Pricing Debitor Pailit ... 273
Hanya Separuh Hak Tagih yang Diakui Pengurus, Resiko PKPU ... 291
Pembeli Menjelma Kreditor Konkuren, Konvensi Dana Jual-Beli Menjadi Hak Tagih dalam Kepailitan ... 299
Menggugat Debitor PKPU yang Berlindung Dibalik Homologasi ... 308
Tersanndera oleh Homologasi PKPU Tetap ... 315
Bukti Putusan Pidana, Bukan Alat Bukti Penentu dalam Perdata ... 323
BAB V : TIDAK SELAMANYA DEBITOR YANG NAKAL DALAM KASUS KEPAILITAN ... 329
Melawan Klaim Piutang Kreditor Perbankan ... 330
Pailitnya Pengusaha Tidak Melahirkan Upah Proses ... 334
Dilematika Debitor dalam Perkara PKPU dan Kepailitan ... 340
Pengalihan Piutang Cessie yang Tidak Jujur, Telaah Kepailitan ... 348
Terkecoh oleh Mis-Persepsi Kreditor Separatis ... 353
Mudarat Dibalik Kepailitan bagi Kepentingan Kreditor ... 358
BAB VI : SYARAT FORMIL KEPAILITAN : MINIMUM DUA KREDITOR & PEMBUKTIAN ADANYA HUTANG-PIUTANG BERSIFAT SEDERHANA ... 370
Hutang-Piutang dari Jual-Beli, Pembuktian Cenderung Tidak Sederhana ... 371
Pemberi Personal Guarantee dapat Dipailitkan ... 375
Hutang dapat Terjadi Karena Perjanjian Juga karena Undang-Undang ... 380
Pengadilan Niaga Tidak Tunduk Pada Kontrak Arbitrase ... 387
Perbedaan antara Pembatalan dan Pemutusan Kontrak ... 395
Kiat Menghadapi Penyelundupan Cessie yang Melahirkan 2 Kreditor Kepailitan ... 404
Sifat Ekstrim Pembuktian Kepailitan: Nila Setitik, Rusak Susu Sebelanga ... 411
Ambivalensi Upah Buruh Tertunggak sebagai Kreditor ... 416
Restrukturisasi Kredit Menutup Hak Mengajukan PKPU / Pailit terhadap Debitor ... 422
Wanprestasi Serah Terima Tanah, Pembuktian Hutang yang Tidak Sederhana untuk Pailit ... 423
BAB VII : CATATAN PENUTUP ... 431
... 
Untuk membaca uraian selengkapnya Hukum Kepailitan & PKPU, kirimkan order / pemesanan Anda kepada surel kami pada alamat legal.hukum@gmail.com
Paling lambat 3 x 24 jam setelah dana pembelian eBook kami terima, eBook akan kami kirimkan kepada alamat email pembeli.
Mengapa eBook menjadi evolusi modern media sastra? Karena sifatnya praktis serta mobile, mudah dan dapat dibawa kemana pun sebagai teman bacaan via gadget, tidak rusak termakan kutu buku, disamping tidak memakan ruang / tempat. Dengan membeli eBook, berarti kita telah turut menjaga kelestarian lingkungan. “Go Green ... !!!
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.

Arsip Artikel HUKUM-HUKUM.COM (Dropdown Menu)

Artikel yang Paling Populer Minggu Ini

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS