Perbedaan antara Baik, Benar, dan Bagus

ARTIKEL HUKUM
Apakah ada bedanya, antara bagus, baik, dan benar? Kedua kata ini kerap kita jumpai dalam keseharian. Perihal bagus”, tiada faedah untuk dibahas, karena sifatnya sangat subjektif karena terkait dengan selera masing-masing individu yang tentunya saling berbeda (sebagai contoh: tiada makanan yang betul-betul enak / bagus, karena masing-masing lidah memiliki seleranya sendiri), Baru-baru ini penulis menyimak seorang tokoh, mengungkapkan terdapat perbedaan antara “baik” dan “benar”.
Contoh, seorang warga mengendarai motor di lingkungan perumahan dengan menggunakan knalpot racing yang berisik sehingga mengganggu ketenteraman para penduduk setempat, atau lingkungan perumahan disulap menjadi tempat usaha pabrik furniture yang berisik serta mencemari udara lewat semprotan cat yang terbawa angin. Atau, tempat ibadah yang berisik sehingga mengganggu umat beragama lain untuk beribadah sesuai keyakinan masing-masing. Hingga memasak dengan menggunakan kayu / arang yang mengakibatkan tetangga sebelah yang saling berbatasan, menderita asma dan mengalami derita stress dan potensi resiko penyakit akumulasi timbunan asap yang terhirup. Kesemua sikap tersebut, mungkin belum tentu disebut “tidak benar”, karena tiada aturan hukum yang mengatur secara spesifik, namun perilaku-perilaku tersebut adalah “tidak baik”.
“Benar”, merupakan konsepsi di mata hukum. Bila hukum mengatur larangan, kebolehan, atau keharusan, dan anggota masyarakat bersikap sesuai dengannya, maka itu adalah perilaku / tindakan hukum yang “benar”. Melawan aturan hukum, maka disebut sebagai perbuatan yang “tidak benar”.
Masalahnya, hukum selalu tertinggal dibelakang kenyataan. Sebagaimana kita ingat saat ojek berbasis aplikasi (online) hadir dan merebak membentuk sebuah fenomenal, sejatinya regulasi yang ada belum memungkinkan untuk itu, terlebih mengakomodasi, sehingga disebut sebagai ilegal. Kemudian timbul pula carter mobil berplat hitam dengan aplikasi daring yang fenomenal. Hukum selalu tertinggal satu langkah dibelakang kenyataan.
Dan, hukum tidak mungkin disusun mengatur setiap sendi kehidupan manusia secara mendetail. Jika hukum demikian teknis, jadilah manusia layaknya robot yang mekanistis (deterministik), yang harus hidup berdasarkan buku panduan bernama undang-undang atau peraturan perundang-undangan.
Oleh karenanya, tipe budaya hukum yang baik, adalah tatkala setiap dan masing-masing anggota masyarakat mematuhi serta menghormati kaidah hidup yang berdasarkan kesadaran pribadi penuh tanggung jawab, tanpa harus menunggu diterbitkannya peraturan hukum yang mengatur perilaku tersebut—toh sekalipun sudah diatur tetap dilanggar, seperti Peraturan Daerah (Perda) tentang larangan merokok di tempat umum atau Perda larangan membuang sampah sembarangan.
Berkesadaran artinya mau memahami bahwa ia tidaklah hidup seorang diri, dan setiap perilaku atau tindak tanduk, bisa jadi membawa dampak bagi anggota masyarakat lain dimana ia berbagi ruang hidup dan berbagi lingkungan tempat tinggal.
“Baik” atau tidaknya, sangat relevan terkait konteks etika, baik etika moralitas internal, maupun etika moralitas eksternal yang berupa kebiasaan dan sendi-sendi perilaku masyarakat setempat seperti budaya, hukum adat, kebiasaan, serta norma-norma sosial kemasyarakatan setempat.
Meski demikian, tak selamanya norma sosial akan “baik” yang hidup ditengah masyarakat benar-benar baik adanya. Contoh, kebijakan plastik kresek berbayar di berbagai pusat perbelanjaan ritel maupun besar, tidak menuai hasil manis justru diakibatkan tidak kooperatifnya masyarakat Indonesia itu sendiri, yang katanya mencintai lingkungan, namun realita di keseharian justru merusaknya dengan sampah plastik.
Yang disebut dengan konsep “baik”, bersifat terlokalisir, dalam arti antara patokan baik antara norma sosial suatu komunitas dengan komunitas lain begitu beragam. Sementara yang disebut dengan “benar” atau tidaknya, terkait erat dengan konsep hukum negara, yang mana berlaku secara menyeluruh di berbagai penjuru kota dan kabupaten di Indonesia sebagai bagian dari rangka unifikasi hukum—dengan pengecualian Peraturan Daerah sebagai pengejawantahan konsep otonomi daerah.
Dari gambaran singkat ini, ternyata untuk sampai pada tahap “benar” saja tidaklah cukup. Ketika masih banyak hal yang belum diatur oleh hukum, maka tahapan pada jenjang yang lebih tinggi ialah tahapan patuh pada sendi-sendi etik dan etiket, itulah yang disebut perbuatan “benar” dan sekaligus “baik” berjalan secara beriringan.
Bagaimana jika hukum bertentangan dengan etika, bahkan mungkin kode etik yang merupakan quasi norma hukum bertentangan dengan etika?
Apakah “benar” selalu dan sudah pasti “baik”, itulah pertanyaan selanjutnya yang perlu ditelaah dan diberi ditelusuri pola berpikirnya.
Mungkinkan yang “baik” belum tentu “benar”?
Sebelum Undang-Undang tentang Desa disahkan legislatif, masyarakat hukum adat tidak diakui entitasnya oleh otoritas negara. Contoh, seorang pelaku pembunuhan, diadili dengan hukum adat setempat, dengan berbagai para tetua dan masyarakat adat setempat menjadi saksi dan pemutusnya. Meski pelakunya telah dihukum secara adat, apakah dapat dibenarkan intervensi negara berupa pemidanaan pelaku dengan menyeretnya ke meja hijau? Kasus seperti ini marak terjadi dan sempat menuai kontroversi hebat satu dekade lampau.
Jelaslah, dimata hukum negara, “baik” belum tentu “benar” bila yang “baik” tersebut tidak selaras dengan nilai-nilai dan sendi-sendi normatif hukum negara. Bukankah ini membingungkan? Setidaknya bagi penulis.
Selanjutnya, apakah “benar” sudah pasti “baik”? Jika hukum negara kita asumsikan “baik” adanya, lantas mengapa kemudian dibentuk lembaga judicial review ke hadapan Mahkamah Konstitusi? Keberadaan lembaga tersebut justru meletakkan diri pada dasar asumsi bahwa “bisa jadi, undang-undang mengandung muatan motif buruk didalamnya”. Agenda tersembunyi, siapa tahu? Mungkinkah agenda tersembunyi justru ialah keberadaan Mahkamah Konstitusi itu sendiri, seperti tercermin dalam kasus jual-beli putusan importasi ternak yang menjerat Hakim Konstitusi Patrialis Akbar (ajaibnya, diputus dengan suara bulat oleh 9 Hakim Konstitusi), maupun jual-beli putusan sengketa PIlkada yang menjerat Akil Mochtar selaku Ketua Hakim Konstitusi dikala itu (yang tentunya juga melibatkan dua orang hakim anggota lainnya)?
Mengerikan, bukan? Tidak heran bila di negara-negara tertentu, lembaga semacam Mahkamah Konstitusi dinistakan, karena dianggap merongrong wibawa negara. Sayangnya, Indonesia sudah terlanjur dicap “tidak tahu malu”, meski berbagai undang-undang telah dibatalkan oleh MK RI, tetap saja berbagai undang-undang baru lainnya di-“preteli” satu per satu, meski diragukan motif dibalik semua aksi tersebut. Parlemen pembentuk legislasi, adalah para wakil rakyat, berjumlah ratusan anggota, dan sangat panjang prosesnya mulai dari naskah akademik hingga rapat dengar pendapat dan uji publik, namun mengapa produk hukumnya dapat diamputasi oleh 9 orang Hakim Konstitusi? Beberapa negara bahkan tidak mengakui eksistensi sejenis lembaga Mahkamah Konstitusi. Para anggota parlemen kita, juga disebut sebagai seorang negarawan.
Kode etik kedokteran maupun kode etik advokat, menyebutkan, agar saling melindungi sesama rekan seprofesi. Artinya sidang majelis etik jelas hanya akan membela kepentingan sesama profesi dokter atau pengacara—alias formaslitas belaka, jika rekan-rekan pembaca hendak menyelidik lebih jauh.
Dan isu mengenai ini bukanlah isapan jempol. Beberapa tahun lampau seorang Hakim Agung RI pernah mengecam apa yang disebut sebagai sidang kode etik adalah panggung drama belaka. Adalah menjadi percuma melaporkan pelaku pelanggaran bila disaat bersamaan kode etik mereka membenarkan untuk saling melindungi.
Kode etik terbukti tidak etik-etik amat, kan? Setidaknya bagi penulis, lagi-lagi. Namun khusus untuk dewan pers dengan sidang kode etik jurnalistiknya, patut mendapat acungan jempol dari penulis maupun masyarakat, karena lebih transparan dan akuntabel.
Hanya satu jenis sidang kode etik di Indonesia yang benar-benar dibuka bagi publik, apakah itu? Sidang etik Komisi Pemilihan Umum. Inilah salah satu kemajuan besar sejarah hukum di Indonesia.
Contoh kedua, kode etik pengacara di Indonesia mewajibkan setiap profesi advokat untuk merahasiakan kejahatan sang klien, seburuk apapun perilaku sang klien. Soe Hok Gie pernah berkata, mendiamkan ketidakbenaran sama artinya kejahatan itu sendiri. Ketika pengacara kemudian diwajiban negara untuk melaporkan dana yang mencurigakan hasil pencucian uang kepada otoritas, para kalangan advokat berkilah, dengan dalil: bertentangan dengan kode etik. Kode etik menjadi alat sempurna untuk bersembunyi. Luar biasa, setidaknya bagi penulis.
Namun demikian, apakah memungkinkan bila “benar” selalu digiring kearah selaras dengan yang “baik”?
Jawabnya, tidak mungkin. Mengingat otonomi daerah memungkinkan setiap daerah untuk mengembangkan potensinya sendiri, bahkan dari segi hukum daerah terhadap hukum investasi daerah, pajak retribusi daerah, dsb. Belum lagi masyarakat hukum adat kini mulai diakui keberadaannya oleh negara, sehingga unifikasi tidak lagi menjadi tumpuan utama berhukum. Terbitnya berbagai Perda tentang Hukum Syariah pun, dinilai sebagai duri dalam daging karena dinilai mengingkari asas kemajemukan bernegara yang bersemboyan 'bhineka tunggal ika'.
Ataukah, “baik” yang perlu digiring kearah selaras dengan nilai-nilai yang “benar"?
Dalam konsep ilmu hukum, dikenal dengan istilah law as a tool of social engineering, dalam arti membentuk mental dan pola pikir masyarakat yang diarahkan (direkayasa, bahasa kasarnya) sedemikian rupa agar sesuai dengan kehendak “peta besar” penyusun regulasi. Contoh regulasi tentang investasi dibuat sedemikian kompleks, agar menggiring pola pikir masyarakat agraris Indonesia menuju masyarakat industri—yang terbukti jitu merusak sendi-sendi akar tradisi masyarakat agraris indonesia yang mencintai alam menjelma perusak alam sejak pola pikir industrialis diperkenalkan di Indonesia dan mendapat respon dukungan luar biasa, akibat pola hidup hedonisme yang ditawarkan dibalik kegemerlapan cerobong-cerobong asap pabrik yang dipuji pemerintah sebagai berjasa menyerap tenaga kerja.
Adalah absurb pula, bila yang “baik” kemudian disamakan / dikonotasikan dengan yang “benar”, karena setiap penjahat kerah putih (white colar crime) tentu akan berlindung dibalik kedok / tameng hukum, dan atas setiap kejahatan yang dilakukannya, mereka dapat berkata bahwa perbuatan mereka adalah telah sesuai dengan nilai-nilai yang “baik”.
Contoh, para rekan-rekan pembaca akan terkejut, bahwasannya otoritas keuangan di Indonesia membolehkan praktik transfer pricing sebesar sepuluh miliar Rupiah (hukum positif saat artikel ini disusun). Artinya, hukum negara justru membuka pintu bagi segala ketidakbaikan demikian. Suatu hal yang menurut penulis ketentuan tersebut sangat berpotensi dibatalkan lewat uji materiil oleh masyarakat.
Tujuan utama dibukanya pintu investasi pihak asing ke indonesia, agar investor asing tersebut menyumbangkan devisa bagi negara, namun yang ada ialah kekayaan ekonomi indonesia diserap ke luar negeri lewat aksi tak bermoril bernama transfer pricing seperti skandal korporasi bernama PT. JobsDB Indonesia yang bersikap seolah merugi sepanjang tahun, namun sebenarnya sedang menghisap kekayaan devisa lokal untuk di-'selundupkan' ke negara-negara tax heaven seperti Hongkong, dan hal itu justru diakomodasi dan dibolehkan oleh peraturan tertulis otoritas Indonesia sendiri. Akibatnya, kekayaan ekonomi Indonesia justru terhisap keluar oleh lintah berwujud korporasi asing (penanam modal asing). Suatu hal yang tidak dapat dicerna oleh akal sehat, lagi-lagi setidaknya bagi penulis.
Demikianlah sekelumit perihal “baik” vs. “benar”. Bukankah kawan-kawan pembaca semakin bingung saat selesai membaca artikel memusingkan ini? Jadi, apa kesimpulannya? Ataukah terdapat pemikiran dan pendapat lain? Dalam Buddhisme, tidak dijumpai ambiguitas semacam itu, dimana 'baik' didefinsisikan sebagai tidak merugikan orang lain juga tidak merugikan diri sendiri. Sesederhana itu saja, bila kita bersikap lebih peka dan mau menyadarinya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.