Question:
Apakah sebuah yayasan di Indonesia dapat memiliki hak milik atas tanah sehingga
nama yayasan tercantum sebagai pemilik dalam sertifikat hak milik (SHM) atas
tanah dan bangunan yang berdiri di atasnya? Seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) menyatakan bahwa sebuah Perseroan Terbatas (PT) tidak dapat memiliki hak
milik atas tanah, apakah benar demikian?
Brief Answer:
Yayasan adalah badan hukum, begitupula Perbankan berbentuk Persero (Perseroan Terbatas milik negara bidang lembaga keuangan perbankan) sehingga
menurut undang-undang yang berlaku di Indonesia, baik badan hukum yang
berbentuk Yayasan maupun Bank Persero dapat memiliki hak milik atas tanah berupa
SHM. Untuk Perseroan Terbatas yang bukan persero, belum dimungkinkan oleh hukum positif
Indonesia.
Explanation:
Pasal 21 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960
TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA
(1)
Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
(2)
Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan
syarat-syaratnya.
Pasal 1 PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 38 TAHUN 1963 TENTANG
PENUNJUKAN BADAN-BADAN HUKUM YANG DAPAT MEMPUNYAI HAK MILIK ATAS TANAH: “Badan-badan hukum yang disebut dibawah
ini dapat mempunyai hak milik atas tanah, masing-masing dengan pembatasan
yang disebutkan pada pasal-pasal 2, 3 dan 4 peraturan ini:
a. Bank-bank yang didirikan oleh Negara
(selanjutnya disebut Bank Negara);
b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian
yang didirikan berdasar atas Undang-Undang No. 79 Tahun 1958 (Lembaran-Negara
tahun 1958 No. 139);
c. Badan-badan
keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar
Menteri Agama;
d. Badan-badan
sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar
Menteri Kesejahteraan Sosial
Pasal 4 PP
38/1963: “Badan-badan keagamaan dan
sosial dapat mempunyai hak milik atas tanah yang dipergunakan untuk
keperluan-keperluan yang langsung berhubungan dengan usaha keagamaan dan sosial.”
Pasal 11 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG
YAYASAN (UU Yayasan):
(1) Yayasan memperoleh
status badan hukum setelah akta
pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), memperoleh
pengesahan dari Menteri.
(2) Untuk memperoleh pengesahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendiri atau kuasanya mengajukan permohonan
kepada Menteri melalui Notaris yang membuat akta pendirian Yayasan tersebut.
Sementara Pasal 1 angka 1 UU Yayasan
menyebutkan: “Yayasan adalah badan hukum
yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai
tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak
mempunyai anggota.”
Sebenarnya cukup janggal, ketika suatu badan hukum Yayasan tidak otomatis dapat memiliki Hak Milik atas tanah, mengingat Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 dibentuk sebelum terbitnya UU Yayasan. Setelah terbit UU Yayasan, yang mana menyatakan Yayasan adalah badan hukum, dan bergerak dibidang sosial, keagamaan, dan/atau kemanusiaan, mengapa kemudian Yayasan masih harus mendapat rekomendasi dari instansi-instansi lainnya sebelum dibolehkan memiliki SHM (sertifikat hak milik) atas nama Yayasan?
Perhatikan, UU Yayasan membagi bidang kegiatan yayasan menjadi 3 kategori: sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Sementara itu PP No. 38 Tahun 1963 hanya mengenal Yayasan dengan bidang kegiatan keagamaan dan/atau sosial. Bila PP No. 38 Tahun 1963 ditafsirkan sebagai lebih tinggi dari UU Yayasan, artinya Yayasan yang khusus bergerak dibiadng kemanusiaan tidak boleh memiliki SHM.
SHIETRA & PARTNERS menilai, bila regulator dibidang pertanahan konsisten menerapkan UU Yayasan, maka PP No. 38 Tahun 1963 tidak lagi berlaku terhadap badan hukum Yayasan sejak UU Yayasan terbit dan diberlakukan.
Dalam konsep hukum perdata di Indonesia
dikenal dua jenis subjek hukum: orang pribadi dan badan hukum. Orang pribadi
adalah setiap individu, baik warga negara Indonesia maupun WNA. Badan hukum,
adalah suatu konsep hukum yang dibuat seolah merupakan “pribadi/individu fiksi”
yang mengandung tiga unsur: memiliki kekayaan tersendiri yang terpisah dari
para pengurusnya, dapat melakukan hubungan hukum ke luar dan ke dalam
perusahaan, serta dapat melakukan upaya hukum baik di dalam maupun di luar
pengadilan. Bentuk-bentuk badan hukum biasanya telah ditentukan oleh
undang-undang, dimana sejauh ini di Indonesia bentuk lembaga swasta yang
merupakan badan hukum, ialah: Perseroan Terbatas, Yayasan, dan Koperasi.
Berbeda dengan badan hukum CV dan firma
merupakan badan usaha, bukan badan hukum, sehingga setiap pengurus CV dan firma
bertanggung jawab secara pribadi hingga harta kekayaan pribadi sekutu aktif, karena
kekayaan suatu badan usaha tidak terpisah dari perusahaannya. Sementara badan
hukum, ialah suatu perusahaan atau wadah kegiatan, yang mana dikonstruksikan
seolah-olah adalah “makhluk” yang diakui keberadaannya secara terpisah dari
para pengurusnya (rechtspersoon).
Karena suatu badan hukum dapat melakukan
suatu perbuatan/hubungan hukum atas nama dan untuk kepentingan badan hukum
tersebut (bukan untuk dan atas nama pengurusnya pribadi), maka suatu badan
hukum dapat melakukan transaksi jual-beli, salah satunya ialah jual-beli hak
milik atas tanah.
Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT): “Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: Perseroan
Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan
persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi
dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta
peraturan pelaksanaannya.
Pasal 7 Ayat (4) UU PT: “Perseroan memperoleh status badan hukum pada
tanggal diterbitkannya keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum
Perseroan.”
Bank-bank negara seperti PT. BRI
(Persero), PT. Bank Mandiri (Persero), maupun bank mlik Pemerintah Daerah berbentuk BUMD, merupakan badan hukum PT, namun karena milik negara, ia dapat memiliki
SHM.
Bila kita konsisten terhadap PP No. 38 Tahun 1963, maka hanya bank yang didirikan oleh negara yang dapat memiliki SHM, bukan bank milik negara dan bukan pula bank milik Pemda. Semisal Bank A didirikan oleh Pemerintah RI, namun kemudian dijual pada swasta, maka bila konsisten terhadap PP No. 38 Tahun 1963, sejatinya bank yang diakuisisi swasta tersebut berhak untuk memiliki SHM. Sebaliknya, bank swasta yang diakuisisi negara, tidak berhak atas SHM.
Melihat berbagai kejanggalan demikian, SHIETRA & PARTNERS menawarkan sudut pandang baru dalam menyikapi hukum pertanahan terkait badan hukum dan kebolehan memiliki SHM.
Perlu kita ketahui, baik Undang-Undang tentang Pokok Agraria Tahun 1960, maupun PP No. 38 Tahun 1963, kedua diterbitkan sebelum dikenal adanya UU Yayasan maupun UU Perseroan Terbatas yang menyatakan secara eksplisit bahwa Yayasan maupun Perseroan Terbatas adalah badan hukum, oleh karenanya menjadi perlu adanya PP No. 38 Tahun 1963 sebagai peraturan pelaksana UUPA perihal badan hukum yang dapat memiliki SHM.
Sehingga konteks menjadi penting ketika membaca ketentuan Pasal 21 Ayat (2) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang berbunyi: "Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya."
Karena saat kini telah terbit UU PT maupun UU Yayasan pasca UUPA maupun PP No. 38 Tahun 1963, menjadi tidak relevan lagi mempertahankan konsistensi PP No. 38 Tahun 1963, bahkan menurut hemat SHIETRA & PARTNERS, eksistensi Pasal 21 Ayat (2) UUPA itu sendiri sudah diderogasi oleh terbitnya UU PT serta UU Yayasan berdasarkan asas lex posterior derogat legi priori.
Jika kita konsisten membaca konteks suatu peraturan perundang-undangan secara sistematis dan historisnya, maka SHIETRA & PARTNERS berpandangan hukum, setiap entitas hukum yang disebutkan sebagai suatu "badan hukum" berdasarkan Undang-Undang, berhak memiliki SHM, tidak hanya sebatas PT. Bank (Persero) maupun Yayasan yang mendapat rekomendasi khusus suatu instansi. Maka, setiap PT. baik Persero maupun non Persero, Yayasan yang bergerak dibidang kemanusiaan maupun Yayasan pendidikan, keagamaan, sosial yang tidak memiliki rekomendasi khusus, berhak memiliki SHM sebagaimana konsep utama rechtspersoon, yakni memiliki kekayaan sendiri layaknya manusia pribadi (natuurlijk persoon).
Karena keberluan asas fiksi hukum tersebut, maka seluruh badan hukum yang hendak memiliki SHM, tunduk pada ketentuan Pasal 21 Ayat (1) UUPA, bukan dinyatakan tunduk pada ketentuan Pasal 21 Ayat (2) UUPA. Dengan demikian secara sendirinya mengecualikan Yayasan asing maupun badan hukum asing, tentunya.
Bila kita konsisten terhadap PP No. 38 Tahun 1963, maka hanya bank yang didirikan oleh negara yang dapat memiliki SHM, bukan bank milik negara dan bukan pula bank milik Pemda. Semisal Bank A didirikan oleh Pemerintah RI, namun kemudian dijual pada swasta, maka bila konsisten terhadap PP No. 38 Tahun 1963, sejatinya bank yang diakuisisi swasta tersebut berhak untuk memiliki SHM. Sebaliknya, bank swasta yang diakuisisi negara, tidak berhak atas SHM.
Melihat berbagai kejanggalan demikian, SHIETRA & PARTNERS menawarkan sudut pandang baru dalam menyikapi hukum pertanahan terkait badan hukum dan kebolehan memiliki SHM.
Perlu kita ketahui, baik Undang-Undang tentang Pokok Agraria Tahun 1960, maupun PP No. 38 Tahun 1963, kedua diterbitkan sebelum dikenal adanya UU Yayasan maupun UU Perseroan Terbatas yang menyatakan secara eksplisit bahwa Yayasan maupun Perseroan Terbatas adalah badan hukum, oleh karenanya menjadi perlu adanya PP No. 38 Tahun 1963 sebagai peraturan pelaksana UUPA perihal badan hukum yang dapat memiliki SHM.
Sehingga konteks menjadi penting ketika membaca ketentuan Pasal 21 Ayat (2) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang berbunyi: "Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya."
Karena saat kini telah terbit UU PT maupun UU Yayasan pasca UUPA maupun PP No. 38 Tahun 1963, menjadi tidak relevan lagi mempertahankan konsistensi PP No. 38 Tahun 1963, bahkan menurut hemat SHIETRA & PARTNERS, eksistensi Pasal 21 Ayat (2) UUPA itu sendiri sudah diderogasi oleh terbitnya UU PT serta UU Yayasan berdasarkan asas lex posterior derogat legi priori.
Jika kita konsisten membaca konteks suatu peraturan perundang-undangan secara sistematis dan historisnya, maka SHIETRA & PARTNERS berpandangan hukum, setiap entitas hukum yang disebutkan sebagai suatu "badan hukum" berdasarkan Undang-Undang, berhak memiliki SHM, tidak hanya sebatas PT. Bank (Persero) maupun Yayasan yang mendapat rekomendasi khusus suatu instansi. Maka, setiap PT. baik Persero maupun non Persero, Yayasan yang bergerak dibidang kemanusiaan maupun Yayasan pendidikan, keagamaan, sosial yang tidak memiliki rekomendasi khusus, berhak memiliki SHM sebagaimana konsep utama rechtspersoon, yakni memiliki kekayaan sendiri layaknya manusia pribadi (natuurlijk persoon).
Karena keberluan asas fiksi hukum tersebut, maka seluruh badan hukum yang hendak memiliki SHM, tunduk pada ketentuan Pasal 21 Ayat (1) UUPA, bukan dinyatakan tunduk pada ketentuan Pasal 21 Ayat (2) UUPA. Dengan demikian secara sendirinya mengecualikan Yayasan asing maupun badan hukum asing, tentunya.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA. Budayakan hidup jujur dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak
Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.