SINOPSIS e-book
Jilid 2 PRAKTIK HAK TANGGUNGAN & FIDUSIA
Hukum Jaminan Kebendaan tergolong sebagai disiplin derivatif ilmu hukum
yang paling masif bersentuhan / bersinggungan dengan disiplin ilmu hukum lainnya,
mulai dari segi hukum ketenagekerjaan, kepailitan, pertanahan, keuangan,
pembiayaan, perikatan perdata, pidana terkait penggelapan agunan, hingga aspek
hukum administrasi pemerintahan. Tidak ada disiplin ilmu hukum yang sedemikian
luwes dan demikian berjejaring seperti hukum jaminan kebendaan.
Jejaring yang kompleks demikian melahirkan wajah praktik hukum jaminan
kebendaan yang penuh warna sekaligus bercorak dilematika, yang bila tidak
dipahami dengan baik oleh kalangan praktisi, berisiko tinggi tidak dapatnya memulihkan
dana kredit/pembiayaan yang telah disalurkan.
Terdapat sebuah semboyan klasik dalam dunia lembaga keuangan perbankan:
darah dan tulang penopang dari lembaga perbankan, ialah agunan. Pernyataan
tersebut tidaklah berlebihan, mengingat satu-satunya aspek paling krusial dalam
prinsip know your customer (KYC) alias
“five C” ialah tidak lain tidak bukan
faktor “collateral”.
Karena sifatnya yang sensitif—bersinggungan dengan hukum pertanahan,
dalam konteks Hak Tanggungan—agunan benda tak bergerak berupa tanah kerap
menjadi faktor dominan terpapar oleh praktik-praktik penyalahgunaan. Salah
satunya ialah kejadian berupa kredit fiktif, dimana pihak debitor membuat
kredit fiktif dengan sebuah lembaga perbankan, demi “menyegel” harta tanah
miliknya sehingga tidak dapat dibebani sita jaminan oleh pihak ketiga yang
menggugat sang debitor; dan buku ini mengungkap kasus konkret postulat
tersebut.
Hak Tanggungan merupakan lembaga hukum yang dalam praktik dapat
disalahgunakan oleh debitor, disamping kenyataan bahwa setiap pengusaha
mengagunkan berbagai harta benda miliknya kepada kalangan perbankan, sehingga
praktis ketika Buruh/Pekerja mempailitkan maupun menggugat sang Pengusaha ke
Pengadilan Hubungan Industrial ataupun ke Pengadilan Niaga dengan alasan
menunggak Upah, kalangan Buruh hanya dapat ‘gigit jari’ karena tiada satupun
harta milik pengusaha yang dapat diletakkan sita eksekusi ataupun dimasukkan ke
dalam boedel pailit.
Berbagai kerugian yang dicetak kalangan perbankan, kerapkali disebabkan
oleh faktor internal pegawai perbankan, yang ‘bermain’ dengan calon debitor dalam
membuat penilaian atas agunan jauh lebih tinggi dari nilai riel agunan,
sehingga ketika debitor mengalami kredit macet, agunan yang dilelang eksekusi
tetap tidak mampu menutup kredit yang telah dikucurkan. Dalam konteks perbankan
‘plat merah’ BUMN/D, berbagai aksi pembobolan internal demikian dapat berbuntut
dipidananya oknum perbankan maupun pihak debitor, berdasarkan Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) maupun Tindak Pidana Perbankan.
Salah satu kasus yang fenomenal ialah PT. Rockit Aldeway yang merupakan
badan hukum perseroan selaku debitor beberapa perbankan nasional, menyuap oknum
perbankan agar diberikan fasilitas kredit dengan agunan yang tidak memadai,
kemudian PT. Rockit Aldeway melakukan manuver dengan mempailitkan dirinya
sendiri guna menghindari kewajiban-kewajibannya.
Betapa krusialnya peran agunan, yang tampak baru akan kita sadari
vitalnya keberadaan jaminan kebendaan ketika kita menyimak Putusan Mahkamah
Agung RI perkara Tipikor register Nomor 1621 K/PID.SUS/2013 tanggal 08 Oktober
2013 yang diputus oleh Hakim Agung ARTIDJO ALKOSTAR, MOHAMMAD ASKIN, dan MS.
LUMME, dimana Majelis Hakim Agung membuat pertimbangan hukum, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dari
fakta-fakta hukum tersebut setelah dihubungkan satu sama lain terlihat adanya
suatu konstruksi fakta hukum bahwa Terdakwa selaku Direktur PT. RAM periode
2005—2007, telah menandatangani perjanjian-perjanjian atau perpanjangan
perjanjian-perjanjian investasi KPD dan REPO saham dengan PT. Askrindo yang
diwakili oleh Rene Setyawan selaku Direktur Keuangan dan Investasi atau Zulfan
Lubis yang menggantikan Rene Setyawan.
“Terdakwa mengetahui dan
menyadari penempatan investasi PT, Askrindo di PT. RAM sejak awal sudah
ditentukan penggunaannya, yaitu untuk disalurkan kepada nasabah PT. Askrindo
yang gagal bayar atau berpotensi gagal bayar, sehingga tidak menimbulkan klaim
kepada PT. Askrindo.
“Penggunaan dana investasi PT.
Askrindo untuk disalurkan ke nasabah-nasabah PT. Askrindo bahkan sudah
dibicarakan sebelum PT. Askrindo menempatkan investasinya di PT. RAM melalui
serangkaian pertemuan atau komunikasi lewat telepon antara PT. Askrindo (Zulfan
Lubis atau Noviar Yuana) dengan Terdakwa, maupun JOSEP GINTING.
“Terdakwa selaku Direktur PT.
RAM yang memegang ijin sebagai Wakil Manajer Investasi seharusnya bertanggung
jawab dalam pemilihan instrumen investasi yang menguntungkan dan melindungi
kepentingan investor. Sebagai akibat dari penggunaan dana PT. Askrindo yang
dilakukan tanpa kehati-hatian menyebabkan dana PT. Askrindo yang ditempatkan di
PT. RAM menjadi macet dan tidak tertagih.
“Menimbang, bahwa Terdakwa
selaku Direktur PT. RAM telah menandatangani perjanjian atau perpanjangan
perjanjian pengelolaan investasi dengan PT. Askrindo. Jumlah dana yang
ditempatkan PT. Askrindo di PT. RAM seluruhnya berjumlah Rp.90.000.000.000,-
yang ditempatkan dalam bentuk KPD, REPO saham dan Reksadana;
“Menimbang, bahwa atas
penempatan dana PT. Askrindo di PT. RAM, Terdakwa bersama JOSEP GINTING
selannjutnya menyalurkan atau menginvestasikan dana tersebut dengan membeli
Promisory Note (PN) perusahaan-perusahaan yang direkomendasikan oleh PT
Askrindo tanpa melalui kajian yang mendalam (due diligent) atas
kelayakan dan risiko yang melekat pada perusahaan-perusahaan penerima aliran
dana PT. Askrindo.
“Terdakwa dan JOSEP GINTING
membeli PN tanpa rating yang diterbitkan PT. Vitron International, PT. Tranka
atau PT. Indowan Investama Group atau memberikan pinjaman tanpa disertai
jaminan (underlying);
“Menimbang, bahwa Terdakwa
tidak dapat menunjukkan alasan yang rasional dibalik keputusan menempatkan /
menyalurkan dana investasi PT. Askrindo dengan membeli PN yang tanpa rating
atau memberi pinjaman tanpa disertai perjanjian dan agunan.
“Pembelian PN tanpa rating dan pemberian
pinjaman tanpa jaminan dan agunan yang diiakukan Terdakwa menjadikan dana
PT. Askrindo yang ditempatkan di PT. RAM. berada pada posisi yang sangat
berisiko dan dapat mengakibatkan kerugian atau kesulitan keuangan yang parah
dan permanen bagi PT. Askrindo;
“Menimbang, bahwa sampai dengan
perjanjian investasi jatuh tempo, meskipun sudah diperpanjang berkali-kali, PT.
RAM tidak dapat mengembalikan dana investasi PT. Askrindo. Menurut Terdakwa hal
ini karena perusahaan dan pihak penerima aliran dana PT. Askrindo belum mampu
menebus PN-PN yang mereka terbitkan pada saat jatuh tempo. Bahkan perusahaan
penerima aliran dana terbesar sudah tidak beroperasi lagi, yakni PT. Vitron
International dan PT. Indowan Investama;
“Menimbang, bahwa meskipun
dalam perjanjian KPD ada klausul pembebasan tanggung jawab Manajer Investasi
apabila penerima dana tidak dapat membayar atau menebus PN-nya, menurut Majelis
Hakim hal itu merupakan suatu penyelundupan hukum, karena dari awal ada
niat untuk menyalurkan dana tersebut kepada perusahaan yang direkomendasikan PT.
Askrindo, bukan untuk diinvestasikan pada surat berharga atau efek berdasarkan
kaedah-kaedah berinvestasi yang sehat dan bertanggung jawab serta dilandasi
perhitungan yang rasional;
“Menimbang, bahwa dari
pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas dan dikaitkan dengan fakta-fakta
hukum yang terungkap di persidangan, Majelis Hakim berpendapat bahwa dalam
penempatan investasi yang dilakukan oleh Terdakwa tidak dilakukan dengan
memegang prinsip kehatihatian dan tidak memperhitungkan risiko-risiko investasi
yang dipilihnya.
“Terdakwa menyalurkan atau
menginvestasikan dana PT. Askrindo semata-mata hanya berdasarkan arahan atau
permintaan PT. Askrindo (Zulfan Lubis) dan atau Chaidi The. Terdakwa tidak
menggunakan kemampuan dan kapasitas profesionalnya untuk bertindak demi
melindungi kepentingan investor;
“Menimbang, bahwa dalam doktrin
business judgement rule seorang direksi tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban
secara hukum dalam keadaan apa pun jika dalam membuat keputusan bisnis
dilakukan dengan penuh itikad baik, hati-hati, semata-mata demi kebaikan
perusahaan dan tidak melanggar peraturan. Dengan demikian apabila putusan
bisnis tersebut dilakukan dengan tidak hati-hati dan melanggar peraturan, maka
kerugian yang diderita perusahaan menjadi tanggung jawab pribadi anggota
direksi.
“Akibat dari
penggunaan/penyaluran dana investasi PT. Askrindo oleh Terdakwa yang tidak
dilakukan dengan hati-hati dan tidak memperhitungkan risiko investasi, serta
tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku menyebabkan investasi PT. Askrindo
yang ditempatkan di PT. RAM senilai Rp 90 milyar tidak dapat dikembalikan ke
PT. Askrindo;
“M E N G A D
I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari
Pemohon Kasasi/Terdakwa : ERVAN FAJAR MANDALA tersebut;
“Mengabulkan permohonan kasasi
dari Pemohon Kasasi : Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat
tersebut;
“Membatalkan putusan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor : 01/PID/TPK/2013/PT.DKI
Tanggal 13 Maret 2013;
“M E N G A D
I L I S E N D I R I :
- Menyatakan Terdakwa ERVAN FAJAR MANDALA terbukti secara sah dan
meyakinkan telah bersalah melakukan TINDAK PIDANA KORUPSI SECARA BERSAMA-SAMA
SEBAGAI PERBUATAN BERLANJUT dan TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG SECARA
BERSAMA-SAMA SEBAGAI PERBUATAN BERLANJUT;
- Menjatuhkan pidana oleh karenanya terhadap Terdakwa dengan pidana
penjara selama 15 (lima belas) tahun dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,-
(satu milyar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka
diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan;
- Menghukum Terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar
Rp.796.387.077,- (tujuh ratus sembilan puluh enam juta tiga ratus delapan puluh
tujuh ribu tujuh puluh tujuh rupiah), dengan ketentuan terpidana tidak membayar
uang pengganti tersebut paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan Pengadilan
berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan
dilelang untuk membayar uang pengganti tersebut, dan dalam hal tidak mempunyai
harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut dipidana
dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan.”
Buku ini tampil dan hadir berbeda dari teks ilmu hukum lainnya yang telah
banyak beredar, karena dirancang untuk berfokus membahas tataran praktik,
sehingga menjadi tepat guna bagi kalangan praktisi di luar disiplin ilmu hukum
sekalipun. Khusus untuk edisi Jilid ke-2 ini, penulis mengkhususkan pada
bahasan praktik bagi kalangan praktisi lembaga keuangan maupun kalangan profesi
hukum, sehingga untuk konsep dasar hukum jaminan kebendaan dapat merujuk pada
pembahasan dalam Jilid ke-1. Dalam Jilid ke-2 ini, pembaca tidak akan menjumpai
kutip-mengutip teori, namun sepenuhnya pembahasan praktik yang praktis dan
implementatif.
Buku ini akan mengupas kelemahan utama akta restrukturisasi kredit yang
dibuat oleh notaris, serta opsi alternatif cerdas yang lebih efektif dalam
membentuk akta restrukturisasi kredit yang memiliki daya eksekutorial. Penulis
mengupas bagaimana Mahkamah Agung RI membuat kebijakan, meski Kreditor Preferen
lebih rendah derajat kedudukannya dibanding Kreditor Separatis, namun piutang
gaji buruh atas debitor (dalam pailit), berhak atas 5 % dari hasil parate eksekusi yang dilakukan sang Kreditor
Separatis demi terpenuhinya asas keadilan—kaedah norma yang tidak akan kita jumpai
dalam regulasi tertulis.
Hukum adalah “ilmu tentang prediksi”[1],
dan keadilan tidak mungkin tercipta tanpa adanya derajat minimum
prediktabilitas dalam hukum. Berbagai dilematika hukum jaminan kebendaan
berkembang dalam praktik, dan acapkali hanya dapat dijawab lewat telaah bedah
kasus (study cases), bergerak lebih
jauh melampaui tataran teoretis yang kurang aplikatif.
Penulis mengupas pula ambivalensi sifat Risalah Lelang Eksekusi, apakah
domain Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang berwenang mengadili bilamana
debitor tereksekusi merasa keberatan atas mal-prosedur lelang eksekusi, ataukah
menjadi yurisdiksi / kompetensi absolut Pengadilan Negeri? Ternyata, dalam
praktik di Mahkamah Agung RI (MA RI), jawabannya tidaklah sesederhana
menguraikan dengan satu atau dua patah kalimat.
Timbul pula isu hukum dalam praktik, bila seorang anggota Direksi /
Komisaris suatu perseroan, menjadikan harta milik pribadinya sebagai agunan
kredit yang diterima perseroan, ketika sang Direksi / Komisaris sudah tidak
lagi menjabat, apakah dirinya berhak untuk menuntut agar agunan dikembalikan
kepada dirinya? Perikatan semacam demikian bukanlah bersifat ‘perikatan
bersyarat batal’, namun terdapat tiga subjek hukum yang saling mandiri dalam
satu perikatan kredit.
Pernah terjadi, kurator membagi hasil pelunasan dari pemberesan boedel
pailit kepada Kreditor Konkuren, sementara piutang Kreditor Preferen belum
dilunasi, sehingga mendapat teguran keras oleh Mahkamah Agung dalam vonisnya.
Ditemukan pula praktisi yang tidak memahami terdapat dua variasi kadaluarsa
mengajukan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali dalam konteks kepailitan.
Hingga kini, masih banyak dijumpai paradigma di tengah masyarakat, bahwa
blokir sertifikat tanah dapat berlaku selamanya. Praktik di peradilan telah
menegaskan, blokir terhadap sertifikat hak atas tanah, hanya efektif sebatas 30
hari. Terlebih bila praktik blokir diajukan oleh debitor terhadap agunan yang
akan dieksekusi oleh kreditornya, maka sama artinya dengan penyalahgunaan hak.
Dalam satu kasus, kalangan buruh dari sebuah perusahaan yang jatuh
pailit, panik karena upah kalangan buruh belum terbayarkan, mengajukan gugatan
kepada Kreditor Serparatis, agar agunan dijadikan alat pelunasan bagi upah para
buruh. Kepailitan memang instrumen hukum yang paling aneh dalam sejarah hukum
perdata di Tanah Air. Yang menunggak adalah perusahaan, namun kalangan buruh
kemudian mengajukan tuntutan kepada kreditor pemegang agunan yang sebetulnya
adalah pihak ketiga—dan terjepit di-‘tengah-tengah’.
Apakah dengan hilang atau musnahnya objek jaminan fidusia yang juga
merupakan objek fasilitas kredit, menghapus beban kewajiban debitor atas
hutangnya? Agunan bukan milik kreditor, lantas mengapa nilai limit lelang
eksekusi justru ditentukan secara sepihak oleh kreditor? Banyak diantara
kalangan sarjana hukum, tidak menyadari bahwa perikatan dalam konteks hubungan
kredit dengan jaminan kebendaan, bukanlah sebentuk kuasa mutlak, namun adalah
derivatif dari perikatan bersyarat tangguh: wanprestasi sebagai ‘pemicu’ hak
eksekusi.
Dengan meninggalnya debitor, apakah Hak Tanggungan yag mengikat agunan
akan hapus dan agunan jatuh kembali pada ahli waris debitor? Kita sering
mendengar istilah ‘pembeli yang beritikad baik’, namun apa maksudnya dan
bagaimana kriteria atau parameter pembeli yang dapat disebut ‘beritikad baik’
sehingga wajib dilindungi oleh hukum?
Satu waktu terjadi, Kantor Pajak mengeksekusi tanah milik Wajib Pajak,
yang mana hak atas tanah Wajib Pajak telah menjadi agunan di tangan kreditor.
Momen demikian menjadi krusial bagi pihak kreditor pemegang jaminan kebendaan
untuk bergerak cepat, dikarenakan rezim perlawanan terhadap upaya perpajakan
memiliki masa kadaluarsa tertentu.
Apakah debitor adalah konsumen? Pertanyaan sederhana tersebut tidak mudah
untuk dijawab secara sederhana. Bila kita bermain dalam tataran logika, ketika
debitor dikategorikan sebagai konsumen, maka kita telah masuk dalam ranah hukum
perlindungan konsumen, dimana Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
dengan demikian menjadi memiliki kompetensi untuk memeriksa dan memutus
sengketa terkait hubungan hukum terkait fasilitas kredit dengan agunan.
Apakah borgtocht (personal guarantee) serta pemberi agunan
(pemilik agunan yang dijaminkan sebagai jaminan pelunasan hutang debitor), keduanya
seketika dapat dipailitkan oleh kreditor ketika sang debitor wanprestasi?
Pertanyaan tersebut juga merupakan salah satu pertanyaan yang kerap muncul
dalam praktik.
Sementara itu resiko lebih besar dijumpai dalam kasus jaminan fidusia,
mengingat objek agunan dipegang dalam penguasaan fisik debitor sementara
sifatnya ialah benda bergerak yang dapat hilang, rusak, atau bahkan disita
dalam perkara pidana ketika debitor menyalahgunakannya untuk suatu kejahatan
tindak pidana.
Dalam praktik lahir pula berbagai kejadian unik yang mungkin tampak
ganjil, namun nyata, seperti membeli secara tunai namun oleh perbankan diproses
secara kredit sehingga objek dijadikan agunan, berujung digugatnya sang perbankan
oleh nasabahnya.
Praktik kadang melahirkan ide-ide kreatif yang cenderung nakal, meski
tidak terkait langsung jaminan kebendaan, seperti syarat mengajukan pailit
ialah minimum dua kreditor, maka seorang kreditor akan menjual separuh
piutangnya kepada kreditor lain, dan atas dasar lahirnya kreditor kedua ini
maka UU Kepailitan di-‘kangkangi’.
Terdapat fenomena dalam praktik di peradilan, dimana Majelis Hakim
Pengadilan Niaga belum memahami, bahwa antara debitor dan pemilik agunan bisa
merupakan dua entitas subjek hukum yang saling berbeda dan saling terpisah.
Artinya, pemberi jaminan kebendaan bagi agunan hutang debitor ialah bukan
debitor itu sendiri, namun pemberi agunan murni.
Pemberi agunan menyerupai pemberi personal
guarantee dimana mereka tidak menerima dana kredit, hanya saja bila pemberi
personal guarante bertanggung jawab secara
renteng terhadap kewajiban debitor, maka pemberi agunan hanya bertanggung jawab
sebatas nilai agunan sehingga tidak dapat diancam pailit jika debitor
wanprestasi. Perbedaan kedua, pemberi agunan berhak menebus agunan sejauh nilai
objek agunan meski tidak mencapai seluruh hutang debitor yang dijamin olehnya.
Kompleksitas hukum jaminan kebendaan dalam dinamikanya masuk pula dalam
ranah tindak pidana korupsi yang menjerat debitor, sehingga antara dana hasil
korupsi dengan dana pembiayaan yang diberikan kreditor untuk pembelian rumah /
kendaraan yang kemudian menjadi agunan, disita untuk dirampas oleh negara.
Dalam praktik, banyak juga dijumpai persepsi keliru kalangan perbankan
yang terkecoh oleh status Kreditor Separatis yang melekat pada dirinya, seakan
status separated creditor demikian
tidak akan ‘runtuh’ seiring dengan waktu (terutama ketika masa insolvensi
kepailitan tidak dimanfaatkan dengan baik untuk memulai parate eksekusi). Pola pikir demikian kerap menjadi bumerang bagi
kalangan perbankan itu sendiri—dan sangat ‘mahal’ konsekuensi yuridisnya.
Biaya eksekusi pengosongan yang diajukan pihak pembeli lelang adalah
besar nilainya, belum lagi resiko digugat debitor. Namun, selalu terdapat
langkah kreatif untuk menjadikan gugatan sang debitor menjadi bumerang bagi
dirinya sendiri, dimana pembeli lelang selaku tergugat dapat meminta hakim agar
menyatakan biaya pengosongan menjadi beban yang harus ditanggung debitor
tereksekusi. Kaedah ini merupakan langkah cerdas yang dibuka kemungkinannya
dalam praktik di peradilan sebagai bagian dari kebijakan rasional—dan terbukti
efektif.
Perkara PKPU dan Kepailitan dapat menjelma perkara yang demikian rumit
dan ‘penuh jebakan’, sebagaimana contoh kasus yang penulis angkat dalam buku
ini, dimana debitor tidak mengakui jumlah nominal piutang salah satu pihak
kreditor, sehingga debitor tidak menyertakan tagihan kreditor (yang masih
dipersengketakan oleh debitornya) dalam proposal rencana perdamaian. Karena
kreditor tersebut tidak disertakan, artinya tidak tunduk pada homologasi, dan seketika itu juga sang
kreditor mempailitkan sang debitor.
Bila sebelumnya kita berkeyakinan, bahwa PKPU dan Kepailitan adalah
memojokkan posisi debitor, pernah terjadi dalam praktik, keadaan yang
sebenarnya ialah sebaliknya: kreditor mengajukan klaim piutang yang tanpa
dasar, sehingga debitor terpaksa mempersengketakan kreditor tersebut. Karena
masih dalam sengketa, homologasi atas
rencana perdamaian hanya mengikat para kreditor lain yang tagihannya diakui
sang debitor, dan celah hukum inilah yang kemudian digunakan oleh kreditor yang
masih dipersengketakan piutangnya untuk mempailitkan sang debitor.
Meski benda tak bergerak relatif lebih rigid ketimbang benda bergerak
yang rawan hilang atau rusak, benda tak bergerak seperti hak atas tanah juga
memiliki resiko, terutama SHGU, yang tidak tertutup kemungkinan dicabut hak
atas tanah yang menjadi agunan Hak Tanggungan oleh karena ditelantarkan oleh
pemegang hak atas tanah.
Sita umum merupakan istilah lain dari keadaan pailit. Namun apakah
artinya agunan yang telah diikat jaminan kebendaan juga tunduk para rezim sita
umum kepailitan? Sita umum sebagai konsekuensi keadaan pailit, pada hakekatnya
hanya berlaku terhadap boedel pailit,
dimana agunan yang telah menjadi jaminan kebendaan sejatinya terpisah dari boedel pailit, kecuali Kreditor
Separatis menelantarkan agunan meski telah melalui masa insolvensi.
Timbul juga pertanyaan dalam praktik, ketika jaksa menyita agunan, karena
debitor melakukan suatu tindak pidana, maka kreditor pemegang jaminan kebendaan
dapat mengajukan perlawanan terhadap sita pidana, ke hadapan Pengadilan Niaga
ataukah mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri? Bila kita mencoba lewat
metode try and failure, terlampau
mahal biaya waktu serta energi perhatian yang akan terkuras, sehingga lebih
tepat kita belajar dari pengalaman dan kekeliruan yang telah terjadi
sebelumnya.
Masa berlaku hak atas tanah, terutama SHGB dan SHGU, menjadikan posisi
piutang kreditor atas pelunasan yang dijamin oleh agunan sebagai pihak yang
berkepentingan untuk memastikan SHGB/U dapat diperpanjang masa berlakunya.
Menjadi pertanyaan pula dalam praktik, apakah proses perpanjangan ataupun
pembaharuan hak atas tanah, dapat tertunda dengan adanya gugatan dari pihak
ketiga? Hukum kian hari kian “rapat”, dengan artian mengisi setiap celah hukum
yang mungkin terjadi dalam praktik akibat kekosongan hukum yang mengatur suatu
konstruksi hukum yang mungkin terjadi di tengah masyarakat.
Tidak selamanya pembeli lelang eksekusi tidak berdaya menghadapi debitor ‘nakal’
yang tidak beritikad baik untuk secara sukarela mengosongkan diri dari objek
tanah yang dieksekusi. Dalam satu kasus, pernah terjadi seorang pemenang lelang
memenangkan gugatan yang disertai uang paksa (dwangsom) kepada pihak yang menguasai secara tidak sah objek lelang
yang dibelinya.
Salah satu kasus yang kerap dijumpai oleh kreditor pemegang jaminan
kebendaan, terutama ketika jalannya proses kredit telah lama, sehingga kontur
persebaran bangunan telah berubah, dan ketika menjelang kredit macet, didapati
objek agunan tanah telah terkepung oleh berbagai bangunan lain sehingga
menjelma enclave. Bila sudah
demikian, sungguh sukar mengundang peminat lelang. Mau tidak mau, kreditor
perlu menempuh langkah ‘berputar’, yakni melakukan AYDA, kemudian mengajukan
hak pengabdian karang ke pengadilan, barulah menjual aset AYDA. Perbankan tidak
perlu khawatir oleh masa berlaku AYDA yang dibatasi hanya 1 (satu) tahun, karena
dalam praktik banyak kalangan perbankan nasional yang memegang AYDA selama
lebih dari lima tahun meski statusnya menjadi ‘merah’ di mata otoritas
perbankan dan dalam pembukuan laporan keuangan tahunan.
Terkadang kendala bersumber dari pihak luar, semisal agunan berupa SHGB
atas satuan unit rumah susun, Hak Tanggungan terancam gugur karena proses
perpanjangan SHGB terganjal akibat sengketa internal Perhimpunan Penghuni Rumah
Susun yang saling terpecah belah kepengurusannya. Itulah sebabnya, kalangan perbankan
perlu siap dengan segala hal teknis dan non teknis yang tidak pernah
terpikirkan oleh pembentuk undang-undang.
Penulis juga mengupas modus canggih Marubeni Corp. atas sebuah perseroan
terbatas yang dilelang eksekusi, namun mengandung berbagai cacat tersembunyi
karena telah terjadi perikatan nominee
antara perseroan yang dilelang eksekusi terhadap salah satu kreditornya, yang
beruntung oleh pengadilan modus tingkat tinggi demikian berhasil diungkap. Bila
para pembaca berasal dari kalangan perbankan, belum dapat dikatakan pakar hukum
jaminan kebendaan bila belum mengenal kasus fenomenal Tripanca Group dan
Marubeni yang tersohor akibat manuver bisnisnya.
Dalam praktik, penulis menemukan banyak fenomena unik, dimana banyak
terjadi salah kaprah dalam memaknai asas “Terang dan Tunai” yang merupakan asas
paling utama dalam hukum Agraria Nasional. Belum lunasnya harga jual-beli hak
atas tanah, tidak menghalangi peralihan hak terjadi, dimana sisa harga menjadi
perikatan hutang-piutang antara penjual dan pembeli hak atas tanah, namun
selama ini oleh berbagai kalangan sarjana hukum hingga pengacara di Tanah Air,
dimaknai sebagai sudah dibayar lunas.
Ketidak-pahaman konsepsi mendasar demikian, mengakibatkan beberapa kasus
gugatan diajukan ke pengadilan yang sebetulnya tidak perlu terjadi bila konsep
dasar demikian dipahami dengan baik oleh litigator, yang hanya membuat energi
dan waktu terkuras secara mubazir.
Praktik membuka ruang 1001 kemungkinan yang belum terpikirkan oleh kita
sebelumnya, dan berbagai ‘celah hukum’ demikian sangat berbahaya bagi
perkembangan hukum di Tanah Air. Pada satu sisi, buku yang penulis susun ini
dapat disalahgunakan bila berbagai modus celah hukum yang penulis paparkan
kemudian menerbitkan niat buruk pembaca. Namun penulis harapkan, gerbang moral
para pembaca masih baik, sehingga berbagai studi kasus terhadap berbagai ‘celah
hukum’ demikian mampu memberi kewaspadaan bagi kita untuk mengantisipasi
kemungkinan serupa.
Buku ini sangat tepat bagi kalangan praktisi, akademisi, maupun mahasiswa
hukum, mengingat metode pedagogi dalam bangku perkuliahan di perguruan tinggi
hukum Indonesia tidak pernah berfokus pada tataran studi kasus, hanya semata
mengupas regulasi dan teori yang tidak aplikatif. Diharapkan, dengan hadirnya
buku ini, para sarjana hukum dapat ‘siap pakai’ dalam dunia praktik, karena
seluruh kasus dinamika hukum jaminan kebendaan yang terjadi dalam praktiknya
dipetakan dalam buku ini. Bagaikan dalam perjalanan, tentunya memiliki peta
akan lebih memberi petunjuk, ketimbang harus try and failure yang ‘mahal ongkos pembelajarannya’.
Berbekal pemetaan sebagaimana diilustrasikan dalam buku ini, para pembaca
diharapkan dapat melihat setiap potensi resiko serta perkara yang dapat
terjadi, langkah mitigasi, antisipasi, serta prediksi akan kecenderungan /
karakteristik pengadilan dalam memutus perkara serupa yang mungkin terjadi di
kemudian hari. Tanpa peta demikian, praktis kita akan menyerupai tunanetra yang
berjalan dalam kegelapan dengan meraba-raba.
Terlampau mahal harga yang akan Anda bayarkan bila berpikir try and failure sebagai
solusi—pembiayaan dalam lembaga perbankan bernilai miliaran rupiah, dan apakah
nominal demikian patut dijadikan eksperimen dalam sengketa hukum? Penulis
mendapati gelagat sebuah perbankan asing di Indonesia yang kerap melakukan
kesalahan yang tidak perlu, mengakibatkan ratusan miliar Rupiah kredit yang
telah disalurkan mendapati kenyataan pahit tidak dapat dilunasi akibat tidak
memahami pemetaan terhadap potensi hukum agunan yang dikuasainya.
Dengan studi kasus, kita belajar dari pengalaman yang telah ada,
mengambil pengalaman yang baik untuk digunakan sebagai strategi langkah hukum
yang serupa, dan belajar dari kesalahan yang telah terjadi dalam contoh kasus
agar dapat menghindari kesalahan serupa yang tidak perlu kita alami sendiri.
Penulis meyakini, pembaca baru akan mengetahui, bahwasannya ketika objek
agunan terkena sita pidana, maka terdapat tiga opsi upaya hukum yang perlu
dilihat konteksnya: keberatan, praperadilan, ataukah perlawanan. Ketika objek
agunan terseret perkara korupsi yang menjerat debitor, kreditor hanya dapat
menempuh upaya hukum “keberatan” sesuai jangka waktu yang diatur dalam
UU Tipikor. Ketika objek agunan dicantum “dirampas untuk negara” dalam sita
pidana, maka “praperadilan” sebagai upaya hukum bagi kreditor (sesuai
KUHAP). Ketika sita pidana akan menjelma lelang eksekusi, maka kreditor dapat
melakukan “perlawanan” (verzet
HIR). Buku ini membuka mata pembaca, akan pentingnya konteks, berbekal studi
kasus yang penulis kupas tuntas.
Setelah menyimak pembahasan dalam buku praktis ini, diharapkan para
pembaca akan mulai memahami, bahwa: Agunan yang bermutu tinggi, debitor akan
mati-matian bersusah-payah melunasi hutang sekalipun kreditor tidak menagih.
Agunan yang bermutu rendah, kreditor-lah yang kemudian akan mati-matian
bersusah-payah menagih kepada debitornya.
Pada prinsipnya, buku ini mencoba memberikan gambaran secara holistik,
serta pemahaman dengan belajar dari pengalaman, baik pengalaman yang baik untuk
ditiru langkah hukumnya, serta belajar dari pengalaman pihak lain yang kurang
menyenangkan sehingga dapat menghindari melakukan kesalahan ataupun pemborosan
waktu serupa.
“Blacklist” debitor dalam BI Checking (Sistem Informasi Debitor /
SID) tidak membawa pengaruh signifikan bagi kalangan perbankan yang telah
merugi akibat gagal tagih, akibat buruknya mutu agunan yang diberikan oleh
debitor macet. Faktor agunan tanah tetap menjadi faktor penggerak paling utama
yang memberi motivasi bagi debitor untuk melunasi berbagai tunggakannya.
Saran serta masukan dari para pembaca sangat penulis harapkan, agar dapat
disampaikan sebesar-besarnya demi kemajuan praktik Hukum Jaminan Kebendaan di
Tanah Air yang masih jauh dari kata praktik berhukum yang ideal.
...
Judul e-Book : JILID 2 Praktik Hukum Jaminan Kebendaan
Penulis :
Hery Shietra,
S.H.
Bahasa :
Indonesia
Penerbit :
SHIETRA PUBLISHER
Tahun terbit :
April 2017
File E-book : pdf, dapat dibaca dan dibuka pada
berbagai aplikasi, baik mobile, smartphone, tablet, maupun personal computer
(PC).
Harga : Rp. 85.000;-. Bebas ongkos kirim, e-book akan kami kirimkan kepada pembeli via e-mail. Secara esklusif hanya dijual oleh hukum-hukum.com.
Lisensi : "END USER AGREEMENT", HANYA DIJUAL KEPADA PEMBELI ORANG-PERORANGAN (Pembeli Individual), BUKAN UNTUK KEPERLUAN PERKANTORAN, PERPUSTAKAAN, ATAU SEJENISNYA. Lisensi 1 eBook HANYA UNTUK 1 ORANG PEMBELI. Dapat dibaca untuk SEUMUR HIDUP pembeli, kapanpun dan dimanapun.
Lisensi : "END USER AGREEMENT", HANYA DIJUAL KEPADA PEMBELI ORANG-PERORANGAN (Pembeli Individual), BUKAN UNTUK KEPERLUAN PERKANTORAN, PERPUSTAKAAN, ATAU SEJENISNYA. Lisensi 1 eBook HANYA UNTUK 1 ORANG PEMBELI. Dapat dibaca untuk SEUMUR HIDUP pembeli, kapanpun dan dimanapun.
Cara Pemesanan :
Kirim pemesanan Anda pada kami pada alamat email legal.hukum@gmail.com , selanjutnya kami akan memberikan instruksi tata cara pemesanan serta 'syarat dan ketentuan'. Paling lambat E-book akan kami kirimkan 3 x 24 jam setelah
klarifikasi penerimaan dana. (PERINGATAN : Menyalahgunakan alamat email ini ataupun nomor kontak kerja kami untuk peruntukan lain diluar pemesanan eBook, akan kami kategorikan sebagai pelanggaran terhadap “syarat dan ketentuan” dalam website profesi kami ini. Hanya klien pembayar tarif jasa konsultasi yang berhak menceritakan ataupun bertanya tentang isu hukum, karena Anda pastilah menyadari serta telah membaca keterangan sebagaimana header maupun sekujur website ini bahwa profesi utama kami ialah mencari nafkah sebagai Konsultan Hukum dengan menjual jasa berupa konseling seputar hukum.)
Alternatif Akta Otentik
Notariel ... 21
Blokir Agunan Sertifikat Hak
Atas Tanah ... 24
Ketika Agunan Kreditor Disita
Kantor Pajak ... 29
Ketika Akta Mengandung
Kesalahan Ketik ... 33
Instrumen Hak Tanggungan Rawan
Disalahgunakan ... 37
Pemegang Hak Tanggungan Sebagai
Pihak yang Berkepentingan ... 46
Agunan / Boedel pailit Terkena Sita
Pidana, Gugat Praperadilan !!! ... 51
Yang Beritikad Baik, Dilindungi
oleh Hukum ... 60
Ketika Agunan Terancam Sengketa
Internal Keluarga Debitor ... 66
Status Hak Tanggungan Akibat
Meninggalnya Debitor ... 71
Buruh Debitor Pailit Hanya
Berhak Menuntut Pembayaran Upah Tertunggak Dari Boedel Pailit ... 79
Musnahnya Objek Fidusia Tak
Menghapus Kewajiban Hutang ... 82
Kadaluarsa Hak Peninjauan
Kembali Terhadap Putusan Pailit ... 88
Langkah Cerdas Untuk
Membebankan Biaya Eksekusi Pengosongan Pada Pihak Debitor Tereksekusi ... 92
Hak Prerogatif Penentuan Nilai
Limit Lelang Eksekusi ... 96
Beli Tunai Namun Di-proses
Kredit ... 100
Cessie / Subrogasi Sebagai Alat
Efektif ‘Penyelundupan’ Hukum Guna Memenuhi Syarat Minimum Jumlah Kreditor
Permohonan Pailit ... 105
Dua Entitas Hukum yang Saling
Terpisahkan Antara Debitor dan Pemilik Agunan ... 112
Terkecoh oleh Mis-Persepsi
Kreditor Separatis ... 118
Objek Jaminan yang Terjegal
Akta Hibah ... 123
“Mini SHGB” Dapat Dijadikan
Agunan Fasilitas Kredit ... 130
Ketika Kreditor Terpaksa
Turun-Tangan Melawan Sita Jaminan Pihak Ketiga Terhadap Objek Agunan ... 135
Hierarkhi Pelunasan Kreditor dari
Hasil Penjualan Kepailitan ... 142
Campur-Aduk Pemilik Agunan dan
Organ Perseroan dalam Perikatan Kredit ... 148
Ambivalensi Risalah Lelang
Eksekusi atas Agunan ... 153
Jalan Tengah Tarik-Menarik Hak
Pelunasan Kreditor Separatis Vs. Kreditor Preferen Piutang Buruh ... 157
Wanprestasi Serah Terima Tanah,
Pembuktian Hutang yang Tidak Sederhana untuk Pailit ... 169
Pembeli Lelang Eksekusi Agunan
Tanah adalah Akuisisi Aset, Bukan Akuisisi Perusahaan ... 175
Ambivalensi Kredit Sindikasi
... 182
Agunan Dirampas oleh Negara
Akibat Perkara Korupsi Debitor ... 189
Permohonan Pailit Hanya Relevan
Diajukan oleh Kreditor Preferen ... 194
Ambivalensi Debitor Sebagai
Konsumen di Hadapan BPSK ... 199
Resiko Dibalik Borgtocht
(Personal Guarantee) ... 209
Sita Persamaan Otomatis Gugur
Saat Hak Tanggungan Dieksekusi Guna Melindungi Pembeli Lelang Yang Beritikad
Baik ... 213
Penetapan Wali Anak Dibawah
Umur Terkait Hak Atas Tanah ... 217
Antar Ahli Waris Debitor Saling
Berebut Melunasi Hutang, Subrogasi Solusinya ... 223
Berkeberatan Terhadap Regulasi
BPN ... 227
Tidak Selamanya Pembeli Lelang
Eksekusi Tidak Berdaya ... 237
Resiko Agunan yang Tidak Diikat
Sempurna Jaminan Kebendaan ... 242
Lelang Eksekusi Yang Belum
Dijalankan, dapat Dibatalkan ... 250
Ketika Kreditor Mempermainkan
Debitornya Lewat Celah Hukum Undang-Undang Kepailitan dan PKPU ... 253
Dipidana Menguasai Tanah Tanpa
Ijin yang Berhak ... 261
Meninggalnya Debitor Bukan
Sebagai Alasan Penghapus Hutang ... 269
Salah Kaprah Sita Umum dalam
Kepailitan ... 273
Simultan PKPU Debitor &
Pemberi Personal Guarantee ... 277
Objek Jaminan Fidusia Terseret
Sita Perkara Pidana ... 282
Asas Kepatutan dalam Relasi
Hubungan Nasabah Debitor dan Kreditor ... 287
Hak Atas Klaim Asuransi Atas
Objek Agunan ... 296
Modus Canggih Debitor dalam
PKPU & Homologasi ... 300
Salah Kaprah Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan ... 306
Sengketa PPPRS Berujung
Terhambatnya Proses Permohonan Perpanjangan SHGB Penghuni Apartemen yang
Diagunkan ... 313
Hak Pengabdian Karang atas
Tanah yang Terkurung ... 322
Makna Sita Umum Kepailitan ... 327
Debitor Menjual Agunan Tanpa
Seizin Pihak Kreditor ... 334
Agunan Hak Atas Tanah
Berpotensi Dibatalkan BPN ... 336
Hak Tanggungan Hunian Orang
Asing ... 342
Tindak Pidana Penggelapan
Jaminan Fidusia ... 346
Rumusan Hukum Rapat Pleno Kamar
Mahkamah Agung 2016 ... 356
Tanah Ex-HGB adalah SHM Secara
Quasi Yuridis ... 359
Yurisdiksi Pengadilan Ketika
Agunan Belum Jatuh Ke Dalam Boedel Pailit ... 365
Pemilik Agunan yang Terkena
Program Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum ... 370
Kendaraan Objek Fidusia Tidak
Tunduk Bezit Recht (Bagian Kesatu) ... 373
Kendaraan Objek Fidusia Tidak
Tunduk Bezit Recht (Bagian Kedua) ... 379
Kepentingan Kreditor Pemegang
Agunan atas Proses Perpanjangan Hak Atas Tanah ... 386
Ketika Badan Pertanahan Menolak
Perpanjangan Hak Atas Tanah ... 389
Asas Terang dan Tunai Peralihan
Hak Atas Tanah, Tak Harus Sudah Lunas ... 394
Sekelumit Objek Lelang Eksekusi
Berupa Perseroan Terbatas, Telaah Modus Marubeni Corporation ... 405
Undang-Undang Kepailitan Hanya
Dapat Diterapkan Terhadap Suatu Perjanjian Timbal Balik, yang Belum Dipenuhi
Seluruhnya Atau Baru Akan Dipenuhi Oleh Debitor ... 414
Klausula Baku yang Mengundang
Antipati ... 424
Dinas Perumahan Menerbitkan
Perintah Pengosongan Rumah Dari Penghunian Tidak Sah ... 427
Kepastian Hukum Bagi Pemegang
Agunan & Pembeli Lelang Hak Atas Tanah ... 435
...

Paling lambat 3 x 24 jam
setelah dana pembelian E-Book kami terima, E-book akan kami kirimkan pada email
Anda.

© SHIETRA & PARTNERS Copyright.
[1] Istilah yang penulis adopsi
dari konsep hukum negara-negara dengan sistem keluarga hukum Anglo Saxon (common law legal system). Di negara
dengan sistem keluarga hukum common law,
seluruh kalangan sarjana hukum secara serempak hanya mengakui satu buah
definisi bagi hukum, yakni: hukum ialah ilmu tentang prediksi. Berbeda dengan teks-teks
ilmu hukum di Indonesia yang memiliki
segudang definisi tentang hukum, mengakibatkan segudang putusan
pengadilan yang juga saling bertolak-belakang. Di negara dengan sistem hukum
Anglo Saxon (sering juga disebut dengan istilah common law), para praktisi dapat dibenarkan untuk mengatakan suatu
kasus ‘akan kalah’ atau ‘akan menang’, bahkan sebelum gugatan benar-benar
diajukan, karena terdapat derajat paling minimum dalam prediktabilitas putusan
hakim, karena hakim terikat oleh preseden—tidak menyerupai hakim dalam praktik
hukum di Indonesia yang diberikan ‘blangko kosong’ mengatasnamakan independensi
hakim. Alhasil, praktik hukum di pengadilan menjelma lumpuh, karena saling
bertolak-belakang antar satu putusan dengan putusan lainnya meski memiliki konteks
permasalahan yang saling serupa, bagai ‘berjudi’ dengan selera hakim pemutus.