Seni Menang dan Kalah (the Art of Win and Lose) dalam Menyikapi Dualisme SOP Peradilan
Teks yang Dibaca Tidak Sesuai Konteksnya (Pukul Rata
Konteks), Itulah Hakim / Jurursita “ROBOT”
Tidak ada yang dapat menjamin, pihak tergugat atau salah satu tergugat akan tetap hidup sampai suatu gugatan diputus (proses gugat-menggugat di Pengadilan Negeri kental nuansa prosedural yang tidak efisien dari segi waktu, mulai dari tahap mediasi, jawab-menjawab, pembuktian, kesaksian, dapat mencapai satu tahun lamanya, bahkan lebih bila berlarut-larut jalannya proses persidangan karena faktor internal maupun eksternal aparatur peradilan itu sendiri), berkekuatan hukum tetap (upaya hukum Banding hingga Kasasi bahkan Peninjauan Kembali, dapat berlangsung hingga bertahun-tahun lamanya), begitupula ketika putusan yang telah ber-titel “inkracht” pun tidak tertutup kemungkinan pihak tergugat-tereksekusi masih akan tetap hidup serta panjang umur. Tidak ada pula yang dapat menjamin, bahwa pihak tergugat yang masih berusia relatif muda, tetap “live and sound” ketika sedang menjalani proses persidangan perkara perdata.
Mungkin terdengar paradoks,
namun penulis telah pernah menyatakan kepada klien, semoga saja pihak tergugat
yang digugat oleh sang klien karena telah merugikan dan menggelapkan modal
usaha yang dipinjamkan kepada mereka, akan tetap hidup setidaknya sampai
putusan dapat dieksekusi hingga tuntas. Telah ternyata pula, semakin banyak
pihak-pihak yang didudukkan sebagai pihak tergugat, resiko bagi kepentingan
pihak penggugat semakin riskan adanya. Sekali lagi, tiada yang dapat menjamin
kesemua pihak tergugat tetap hidup hingga putusan “berkekuatan hukum tetap” dan
telah berhasil dieksekusi.
SOP bermakna “prosedur baku
standar”, yang artinya menegasikan dualisme standar ataupun praktik-praktik “berstandar
ganda”, dalam rangka menyediakan kepastian hukum bagi masyarakat serta tata
kelola institusi yang sehat. Yang membuat klien sangat dirugikan oleh sistem
manajerial perkara di Pengadilan Negeri di Indonesia ialah, gugatan yang
diajukan klien telah sangat rapih serta penuh persiapan matang, telah melewati
serangkaian proses jawab-menjawab, pembuktian surat yang mencapai puluhan alat
bukti dokumen, kesaksian “saksi fakta” maupun keterangan berbagai “saksi ahli”
yang tidak mudah (serta tidak murah) untuk dihadirkan, berlarut-larutnya
jalannya proses persidangan akibat seringnya hakim yang berhalangan hadir
(meski sudah era eCourt dan eLitigation, namun itulah faktanya yang dialami
klien yang terjun langsung sebagai penggugat tanpa didampingi kuasa hukum), saat
tiba usainya agenda acara saksi dari pihak tergugat, barulah terungkap bahwa
salah satu dari beberapa pihak tergugat telah meninggal dunia.
Tanpa kebijaksanaan, Majelis
Hakim pemeriksa perkara tidak meminta Akta Kematian yang resmi dari Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil, seketika itu juga merujuk Buku II tentang
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata
Khusus Mahkamah Agung Edisi Tahun 2007, halaman 70 yang menuliskan : “Jika dalam proses pemeriksaan perkara,
Tergugat meninggal dunia, maka perkara harus dicabut terlebih dahulu oleh
Penggugat, selanjutnya Penggugat dapat mengajukan gugatan kembali kepada Ahli
Waris Tergugat”—dapat kita renungkan, bahwa bagaimana mungkin “buku
pedoman” bersifat mengikat publik pencari keadilan (“erga omnes”) selayaknya undang-undang? Bila hakim berkilah, bahwa
“Buku Pedoman” maupun “Surat Edaran” berlaku untuk internal aparatur lembaga
kehakiman, toh pada giliran atau yang terkena “getah”-nya ialah masyarakat umum
pencari keadilan, secara langsung maupun tidak langsung.
Bila kita kritisi substansi
redaksional norma dalam “Buku Pedoman” bagi kalangan hakim “robot” demikian,
maka kita dapat menemukan sejumlah persoalan laten yang krusial sifatnya.
Pertama, tidaklah dapat dibenarkan oleh hukum acara perdata bagi pihak
penggugat untuk mencabut gugatan secara pihak bilamana proses gugat-menggugat
telah memasuki agenda acara jawab-menjawab. Bagaimana bila pihak tergugat
lainnya (bilamana terdapat lebih dari satu tergugat) tidak setuju atas
pencabutan gugatan demikian? Semestinya hakim meminta persetujuan ahli waris
“almarhum tergugat”, apakah setuju atau tidaknya gugatan dicabut oleh tergugat,
bukan kepada kuasa hukum “almarhum tergugat” mengingat surat kuasa otomatis
gugur ketika penerima kuasa mengetahui bahwa “principal”-nya telah meninggal
dunia.
Persoalan kedua, belum pernah
ada peraturan pelaksana berupa “petunjuk pelaksana” maupun “petunjuk teknis”
bagaimana tata cara pencabutan gugatan itu dapat dilakukan bilamana satu atau
lebih tergugat meninggal dunia, apakah konteksnya salah satu pihak tergugat
yang meninggal atau bilamana hanya terdapat satu pihak tergugat dan pihak
tersebut meninggal dunia. Persoalan ketiga, bukankah dimungkinkannya pencabutan
gugatan secara sepihak, konteksnya ialah bilamana proses gugatan belum memasuki
agenda acara jawab-menjawab—semisal baru memasuki agenda acara mediasi yang
pada pokoknya belum pernah terjadi “surat jawaban” oleh pihak tergugat. Persoalan
keempat, yang menjadi konteks dari teks pengaturan “Buku Pedoman” diatas ialah,
apa yang menjadi konteksnya, itulah yang tidak terdapat rincian penjelasannya,
alias pengaturan yang sumir nan ambigu, apakah konteksnya ialah gugatan baru
memasuki agenda acara mediasi, pembacaan surat gugatan, pembacaan surat
jawaban, replik, duplik, pembuktian surat, pembuktian saksi, kesimpulan,
banding, kasasi, ataukah “pukul rata” secara kurang arif dan kurang bijaksana?
Idealnya, bilamana perkara
telah memasuki agenda acara replik maupun duplik, maka pihak penggugat cukup
diarahkan Majelis Hakim pemeriksa perkara untuk melakukan “renvooi” alias perbaikan terhadap nama pihak tergugat menjadi
“almarhum tergugat” lalu merinci siapa saja ahli warisnya untuk dipanggil
menghadap persidangan lewat “relaas panggilan sidang” yang dikirim oleh
jurusita pengadilan. Adalah kepentingan hukum pihak ahli warisnya untuk tampil
dan hadir untuk melakukan pembelaan diri, bukan justru pihak penggugat yang
harus menjadi “penyidik”, menyeret-nyeret, dan mengemis-ngemis agar para ahli
warisnya bersedia tampil menggantikan posisi “almarhum tergugat”. Ketika agenda
acara telah memasuki tahap pembuktian—kesempatan terakhir tatap muka dengan
Majelis Hakim, mengingat surat kesimpulan di-“submit” via aplikasi eCourt—maka gugatan tidak perlu dicabut dan
tidak perlu ada perbaikan status nama pihak tergugat yang almahum sekalipun,
mengingat keberlakuan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan
(Pasal 2 angka 4 UU No.48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman), yang bermakna
proses peradilan harus berjalan secara efisien disamping efektif.
Yang menjadi “law in concreto”-nya di lapangan, pihak
hakim “robot” maupun jurusita “robot” akan terpaku pada nama tergugat yang
ternyata sudah almarhum, lalu menyatakan seketika itu juga bahwa gugatan harus
dicabut atau atas dasar ancaman “putusan tidak dapat diekeskusi” bila tidak
diputus “gugatan tidak dapat diterima”.
Adapun berikut ini yang menjadi “law in
abstracto” pada literatur (teks) ilmu hukum, yang ternyata tidak diindahkan
oleh sebagian kalangan hakim maupun para aparatur di pengadilan negeri : [Maharani
Debora Manullang, Universitas Indonesia, skripsi berjudul “Prosedur beralihnya
gugatan ganti kerugian dari pewaris kepada ahli waris ditinjau dari hukum acara
perdata (Studi kasus H.M. Soeharto dalam perkara yayasan beasiswa Supersemar)”]
“Ketika suatu persidangan
perkara perdata sedang berjalan di Pengadilan Negeri, terdapat kemungkinan
salah satu pihak (dalam kasus ini tergugat) meninggal dunia. Dalam hukum pidana
dimana jika terdakwa meninggal dunia penuntutan perkaranya gugur, maka dalam
hukum acara perdata, meninggalnya tergugat, tidak menyebabkan gugatan menjadi
gugur. Kedudukan tersebut digantikan oleh ahli warisnya sebab tampilnya ahli
waris menggantikan pewaris sebagai tergugat bukan merupakan hak, tetapi
kewajiban hukum.
“Dalam perkara perdata
No.904/Pdt.G/2007/PN.Jaksel, almarhum Soeharto sebagai tergugat I meninggal
dunia ketika sidang akan memasuki tahap kesimpulan. Tentu saja ahli waris dari
Soeharto harus menggantikan kedudukannya. Namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
Pertama adalah mengajukan penetapan ahli waris kepada Pengadilan Agama (pewaris
dan ahli waris beragama Islam).
“Hal ini berguna untuk
mengetahui siapa saja ahli waris yang akan bertanggungjawab jika putusan hakim
menyatakan tergugat I (almarhum) wajib membayar ganti kerugian. Kedua, jika
menginginkan adanya perubahan gugatan, yaitu mengubah nama tergugat asal
menjadi nama ahli warisnya, hanya dapat dilakukan sampai tahap replik-duplik
dengan memberitahukan terlebih dahulu peristiwa kematian tergugat kepada majelis
hakim.
“Sedangkan jika tergugat
meninggal dunia ketika sudah sampai tahap pembuktian dan kesimpulan, maka
penggugat tidak perlu memperbaiki atau memperbaharui gugatan. Ahli waris tampil
menggantikan pewaris sebagai tergugat sebagai kewajiban hukumnya. Ketiga,
terhadap putusan pengadilan, tergugat yang meninggal dunia yang posisinya
diganti oleh ahli waris, maka nama tergugat yang meninggal diganti dengan nama
ahli warisnya.
“Jika seluruh ahli waris
menolak warisan, maka anak-anak dari ahli waris yang menolak tampil berdasarkan
kedudukan sendiri. Dan jika anak dari ahli waris tersebut juga menolak, maka
tampil keluarga sedarah lainnya berdasarkan penggolongan ahli waris. Dan jika
seluruh keluarga sedarah dari ahli waris tetap menolak, maka harta peninggalan
pewaris menjadi milik negara dimana negara wajib melunasi segala utang pewaris
sebanyak harga harta peninggalan mencukupi untuk itu (Pasal 832b KUHPerdata).”
Terdengar indah di telinga,
namun akan menjelma “menyesatkan” (menjerumuskan) ketika kita secara
berkebetulan mendapatkan Majelis Hakim “robot” yang menyidangkan perkara
gugatan yang Anda daftarkan. Adapun dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 140
PK/Pdt/2015 tanggal 8 Juli 2015, kasus NEGARA REPUBLIK INDONESIA Vs. YAYASAN
BEASISWA SUPERSEMAR, terdapat kaedah-kaedah hukum dengan kutipan sebagai
berikut:
“Mohon dicatat bahwa di dalam
perkara ini kedudukan Tergugat sudahdigantikan oleh para ahli warisnya (karena Tergugat
meninggal dunia sewaktu proses perkara memasuki tahap pembuktian) dan para
abhliwaris telah dipanggil secara sah untuk menjadi pihak di dalam perkara ini
sebagai pengganti kedudukan dan tanggungjawab Tergugat.” [hlm. 36]
“Bahwa penggantian kedudukan
Tergugat I di dalam perkara ini tidak pernah dipersoalkan lagi oleh para ahli
warisnya, baik di tingkat banding, maupun di tingkat kasasi, sehingga hal ini
tidak perlu dipersoalkan lagi di dalam proses peninjauan kembali terhadap
Putusan Kasasi di dalam perkara ini; [hlm. 37]
“Bahwa menurut ketentuan Pasal
1100 KUHPerdata, utang seseorang diwariskan kepada para ahli warisnya;”
Begitupula doktrin seorang
mantan hakim bernama M. Yahya Harahap, SH, dalam bukunya yang berjudul “Hukum
Acara Perdata”, yang dipelajari secara susah-payah oleh para Sarjana Hukum
selama masa perkuliahan, dituliskan dengan kutipan sebagai berikut: [Note :
sumber hukum formil bukanlah hanya Undang-Undang, namun juga berupa doktrin
para ahli hukum maupun yurisprudensi, karenanya Sarjana Hukum tidak identik
dengan “Sarjana Undang-Undang” terlebih “Sarjana Buku Pedoman”]
”Meninggalnya salah satu pihak,
tidak mengakhiri maupun menggugurkan gugatan. Pemeriksaan berjalan terus,
sampai sengketa dapat dituntaskan penyelesaiannya. Tergugat meninggal dunia,
digantikan oleh Ahli warisnya. Apabila pihak Tergugat meninggal selama proses
persidangan berlangsung seperti pemeriksaan tingkat pertama di Pengadilan
Negeri ... maka kedudukan Tergugat digantikan oleh ahli warisnya. Peralihan
penggantian itu berdasarkan titel umum, oleh karena itu terjadi dengan
sendirinya menurut hukum. Berarti penggantian kedudukan tersebut, tidak
memerlukan persetujuan dari Penggugat, sebab tampilnya ahli waris
menggantikan pewaris sebagai Tergugat bukan merupakan hak, tetapi kewajiban
hukum bagi ahli waris yang bersangkutan. Dengan demikian Penggugat tidak
perlu memperbaiki atau memperbaharui (renewal) gugatan.”
Hakim yang “wise” (bijaksana), tidak membuta
(memakai kacamata kuda) pada “teks” norma hukum, namun melihat pada konteks “real” sesuai realita di lapangan.
Ilustrasinya dapat kita jumpai pada putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1811
K/PDT/2011 tanggal 30 April 2011 dimana Tergugat II telah meninggal jauh
sebelum gugatan diajukan, sehingga gugatan dinyatakan “tidak dapat diterima”
alias “niet ontvankelijke verklaard”
(atau yang biasa disingkat dengan sebutan istilah “N.O.”), dimana Majelis Hakim Agung membuat pertimbangan hukum
sebagai berikut (berisi kaedah pengecualian):
“Menimbang, berbeda halnya
apabila para pihak meninggal dunia selama dalam proses, dimana pengadilan wajib
memberitahukan kepada ahli waris dari yang meninggal ic. Tergugat II telah
meninggal dunia sebelum gugatan diajukan maka ahli waris Tergugat II secara
sukarela datang menyatakan sebagai ahli waris dan akan membela kepentingan
Tergugat II, (bandingkan putusan MA Nomor 332 K/Sip/1971 tanggal 10 Juli
1971);”
Sudah hampir satu abad lamanya
peradilan kita berdiri dan beroperasi sebagai suatu negara merdeka dan
berdaulat untuk membentuk norma hukumnya sendiri, dimana regulasi demikian
produktifnya dicetak oleh negara maupun berbagai peraturan dan “surat edaran”
oleh Mahkamah Agung RI—tidak terkecuali Undang-Undang yang kompleks semacam “omnibus law”—namun telah ternyata
masalah laten-krusial perihal hukum acara perdata khususnya tentang
meninggalnya pihak tergugat, diabaikan oleh pemerintah selaku penyusun
kebijakan maupun para pimpinan lembaga kehakiman. Betapa tidak, terdapat
simpang-siur yang begitu ekstrem dan berdisparitas, sekalipun masalah
meninggalnya tergugat atau salah satu dari pihak tergugat merupakan isu hukum klasik
juga klise, yang telah banyak terjadi, dan akan terus terjadi di masa
mendatang.
Sebagai contoh konkret yang
dialami langsung oleh pihak klien, di Pengadilan Negeri sekelas Bekasi—yang notabene
kota metropolitan—telah ternyata tidak terdapat standar operasional baku (SOP)
bilamana pihak tergugat atau salah satu pihak meninggal dunia saat berjalannya
proses persidangan yang masih berlangsung. Hakim pada suatu register perkara
perdata yang satu, menyatakan “memanggil ahli waris tergugat” ketika pihak
tergugat meninggal dunia. Malangnya nasib yang menimpa klien, pada Pengadilan
Negeri yang sama di Bekasi, hakim yang menyidangkan perkara gugatan perdata
yang diajukan sang klien tergolong sebagai kriteria hakim “robot”, yang memberi
perintah agar pihak penggugat mencabut gugatannya, sembari mengancam, “JIka gugatan diteruskan, maka akan kami
putus ‘gugatan tidak dapat diterima’ alias ‘N.O’, niet ontvankelijke verklaard.”—sekalipun
agenda acara persidangan telah melewati serangkaian pembuktian serta saksi dari
pihak tergugat, sekalipun juga beberapa diantara tergugat lainnya notebene
ialah ahli waris dari salah satu tergugat yang meninggal dunia, alias satu
langkah lagi (menuju dan meraih) “putusan”—akan lebih menyengsarakan lagi,
bilamana klien menyewa pengacara sebagai kuasa hukum, sia-sialah semua
pengorbanan membayar “lawyering fee”,
tergugat yang meninggal dunia namun resiko dibebankan ke pundak penggugat.
Sebagai bahan perbandingan,
yang menjadi SOP pengadilan sebagaimana tercantum pada website resmi Pengadilan
Negeri Bantul, Pengadilan Negeri Lhokseumawe, Pengadilan Negeri Ponorogo,
maupun Pengadilan Negeri Lahat, memiliki SOP yang sama, yakni dengan kutipan
sebagai berikut: [Note penulis : akan terlihat “standar berganda” dibalik
praktik peradilan di Indonesia, terutama ketika bandingkan dengan redaksional
norma dalam “Buku Pedoman” sebagaimana disinggung di atas, maka manakah yang
lebih “menjerumuskan” para pencari keadilan yang tampaknya ambiguitas SOP
peradilan telah banyak “memakan” korban dan korban-korban baru terus
bertumbangan akibatnya]
PENGGUGAT/TERGUGAT MENINGGAL DUNIA
“Jika Penggugat atau
tergugat setelah mengajukan gugatan meninggal dunia, maka ahliwarisnya dapat
melanjutkan perkara.”
Persoalan berikutnya ialah,
jika yang memerintahkan pencabutan gugatan ialah Majelis Hakim pemeriksa
perkara, maka mengapa dibuat seolah-olah penggugat yang hendak mencabutnya?
Kebetulan pihak kuasa hukum para tergugat sepakat untuk mencabut gugatan, karenanya
gugatan dicabut, sekalipun tanpa mendengarkan keterangan ahli waris dari
pihak “almarhum tergugat” yang meninggal
dunia apakah sepakat atau tidaknya gugatan dicabut. Semestinya, bila memakai
paradigma berpikir hakim demikian, maka dalam amar putusan dinyatakan bahwa
pihak penggugat dan para tergugat setuju dan sepakat mencabut gugatan karena
salah satu tergugat meninggal dunia. Namun, pada hari yang sama itu juga
Majelis Hakim membuat “penetapan” yang bunyikan membuat kesan seakan-akan
penggugat secara tidak terpaksa, alias dengan prakarsa sendiri, serta secara
sepihak, mencabut gugatan, dengan kutipan “penetapan” (yang semestinya
berbentuk “putusan”, bukan “penetapan”) sebagai berikut:
“MENETAPKAN :
1. Mengabulkan permohonan pencabutan perkara gugatan Nomor ...;
2. Menyatakan gugatan Penggugat tersebut, yang didaftarkan di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Bekasi, dalam egister perkara perdata Nomor ...
, dinyatakan dicabut.”
Secara falsafah, adalah
kepentingan pihak tergugat maupun ahli warisnya untuk maju ke persidangan
melakukan pembelaan diri atau perlawanan, bantahan, jawaban, sanggahan, atau
apapun itu sebutannya. Ketika pihak tergugat, yang bahkan telah melewati
serangkaian jawab-menjawab, lalu meninggal dunia saat persidangan akan “selangkah
lagi” menuju putusan, maka ketika ahli waris atau para ahli waris sang tergugat
tidak hadir untuk menggantikan kedudukan / posisi tergugat, dapatlah kita
artikan bahwa pihak “tergugat almarhum” maupun ahli warisnya melepaskan hak
untuk melakukan pembelaan diri dari gugatan yang berlangsung. Adalah tidak
rasional, bilamana pihak penggugat yang notabene warga sipil diharuskan lembaga
peradilan menjadi selayaknya seorang “penyidik” yang dapat mencari tahu, siapa
saja ahli waris almarhum tergugat (wajib dirinci seluruhnya, untuk satu per
satu siapa saja nama lengkap serta alamat domisili mereka).
Yang menjadi induk norma dari
hukum acara perdata di Indonesia ialah HIR dan R.Bg, yang setingkat
Undang-Undang—alias bukan “Buku Pedoman MA RI”—bahkan juga ada “BUKU SAKU
Gugatan Sederhana MA RI” namun mengikat publik pencari keadilan. Dalam
kaitannya dengan meninggalnya pihak tergugat, telah diatur lewat Pasal 390 (2)
HIR/ 718 (2) R.Bg : ”Jika orang itu sudah
meninggal dunia, maka surat juru sita itu disampaikan pada ahli warisnya, jika
ahli warisnya tidak dikenal maka disampaikan pada kepala desa ditempat
tinggal terakhir dari orang yang meninggal dunia itu di Indonesia, mereka
berlaku menurut aturan yang disebut di atas ini. Jika orang yang meninggal
dunia itu masuk golongan orang asing maka surat juru sita itu diberitahukan
dengan surat tercatat pada balai harta peninggalan.”
Teknis selanjutnya dapat
merujuk pada kaedah Pasal 7 RV (Reglement of de Rechtsvordering) : ”Terhadap orang-orang yang telah meninggal
dunia, pemberitahuan gugatan atau pemberitahuan lainnya dilakukan terhadap
semua ahli waris dan sekaligus, tanpa menyebut nama dan tempat tinggalnya, ditempat tinggal
terakhir almarhum dan tidak boleh melebihi waktu 6 bulan setelah meninggalnya.”
Pihak klien telah memberi input kepada Majelis Hakim perihal norma hukum acara
perdata di atas, namun Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Bekasi bersikukuh
berpedang serta berpendirian pada “Buku Pedoman MA RI”—dapat para pembaca
bayangkan, betapa dapat menjelma arogansi serta diktatoriatnya sebuah “Buku
Pedoman MA RI” terbitan lama yang sebagian besar isinya bahkan sudah tidak
relevan terhadap hukum acara perdata kontemporer, dimana penulis memberinya
julukan sebagai “hakim jadul, zaman dulu”.
Pada mulanya, penulis
bersikukuh agar klien tidak mencabut gugatannya juga agar tidak bersedia
dipaksa mencabut gugatan, mengingat pada kesempatan sebelumnya penulis telah pernah
memberikan opini hukum kepada sang klien bahwasannya “meninggalnya tergugat
tidak menggugurkan gugatan”. Namun kemudian penulis membuat keputusan berbeda
dan memberi rekomendasi yang bertolak-belakang kepada sang klien—yang telah
sangat dirugikan dalam hal ini tentunya—untuk mencabut gugatan, daripada
gugatan “inkracht” terancam tidak
dapat dieksekusi, mengingat adanya ancaman demikian oleh hakim “robot”
sebagaimana preseden berupa putusan Mahkamah Agung RI Nomor 317 PK/Pdt/2018
tanggal 30 Mei 2018, yang memuat pertimbangan serta amar putusan sebagai
berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Alasan Peninjauan Kembali
dapat dibenarkan, dengan pertimbangan bahwa setelah membaca dan meneliti memori
peninjauan kembali dan kontra memori peninjauan kembali para pihak dihubungkan
dengan pertimbangan hukum putusan kasasi Judex Juris, ternyata telah terdapat
suatu kekhilafan hakim ataupun kekeliruan yang nyata dalam pertimbangan hukum
putusan kasasi Judex Juris yang membatalkan putusan Judex Facti dengan menyatakan
“dalam hal salah seorang pihak Tergugat meninggal dunia pada saat sedang
berjalan persidangan maka gugatan Penggugat tidak perlu dicabut
apalagi ...... dan seterusnya” dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa jauh sebelum putusan Judex Facti / Pengadilan Negeri Surakarta tanggal
13 Maret 2014, Tergugat IV (Muljono Hartono) berdasarkan Kutipan Akta
Kematian tanggal 13 Juli 2013 telah meninggal dunia pada tanggal 4 Juli
2013 (bukti T IV. V-17); [Note Penulis : Pertanyaan yang lebih relevan ialah, kapan gugatan
didaftarkan ke kepaniteraan Pengadilan Negeri? Dalam kasus yang dialami klien,
persidangan berjalan telah selama 13 bulan belum juga kunjung tiba pada agenda
acara “surat kesimpulan”, terlebih agenda pembacaan putusan yang tentunya dapat
mencapai satu setengah tahun total masa persidangan gugatan meski klien selaku
penggugat selalu berupaya hadir setiap kali persidangan digelar.]
- Bahwa berdasarkan Surat Keterangan Hak Waris tanggal 26 September 2013
Alm. Muljono Hartono mempunyai Ahli Waris disamping Tergugat V (Indah
Susilowati Sutrisno) selaku istri juga 3 (tiga) orang anak: Vonny Susanti,
Ervin dan Roedy Setyawan (bukti T IV.V-18);
- Bahwa membaca dan meneliti Putusan Judex Facti (Pengadilan Negeri Surakarta
dan Pengadilan Tinggi Semarang) serta Putusan Kasasi Judex Juris ternyata nama
Tergugat IV (Muljono Hartono) masih tetap tercantum pada masing-masing putusan
tersebut;
[Note Penulis : sang Hakim Agung “robot” berpikir bahwa dengan dicantumkannya
nama almarhum sebagai tergugat, maka putusan menjadi “non-executable”.]
- Berdasarkan fakta-fakta di atas, dengan berpedoman kepada:
1. Buku II Tentang Pedoman
Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus
Mahkamah Agung Edisi Tahun 2007, halaman 70 menjelaskan:
“Jika dalam proses pemeriksaan
perkara, Tergugat meninggal dunia, maka perkara harus dicabut terlebih dahulu
oleh Penggugat, selanjutnya Penggugat dapat mengajukan gugatan kembali kepada
Ahli Waris Tergugat”;
2. Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor : 459 K/Sip/1973 tanggal 29 Desember 1975 menyatakan:
“Karena Tergugat I telah
meninggal dunia sebelum perkara di putus oleh Pengadilan Negeri, adalah tidak
tepat jika nama Tergugat I masih saja dicantumkan dalam Putusan Pengadilan
Negeri, karena seandainya Penggugat menginginkan Tergugat I diikutsertakan
sebagai pihak dalam perkara ini, yang harus digugat adalah Ahli Warisnya”;
Dengan demikian subjek hukum
gugatan Penggugat dalam perkara a quo tidak lengkap dan tidak jelas yang dapat
berakibat pada pelaksanaan putusan yang tidak bisa di jalankan (non
executable), sehingga gugatan Penggugat cacat formil dan harus
dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard), untuk itu
Putusan Kasasi Judex Juris tidak dapat dipertahankan lagi dan harus dibatalkan;
“M E N G A D I L I:
- Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Para Pemohon Peninjauan
Kembali tersebut;
- Membatalkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 80K/Pdt/2015 tanggal 27
Agustus 2015 yang membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor
220/Pdt/2014/PT.Smg tanggal 4 Agustus 2014 yang menguatkan Putusan Pengadilan
Negeri Surakarta Nomor 86/Pdt.G/2012/PN.Ska tanggal 13 Maret 2014;
“MENGADILI KEMBALI:
Dalam Pokok Perkara:
- Menyatakan gugatan Penggugat tidak
dapat diterima.”
Saat pada mulanya penulis
merekomendasikan sang klien untuk “all
out” dengan menghadirkan para profesional untuk didengar keterangannya di
muka persidangan sebagai “keterangan ahli”, yang tentunya berbiaya serta perlu
persiapan matang serta “pengorbanan” yang tidak sedikit—mengingat gugatan sang
klien telah penulis prediksi akan berbuah keberhasilan, dimana perlawanan pihak
tergugat sangat minim dikarenakan gugatan disusun secara “rapat” tanpa
menyisakan ruang celah untuk berkilah—namun pada akhirnya penulis justru
menyarankan agar sang klien mencabut gugatan saat akan memasuki agenda acara “surat
kesimpulan” di Pengadilan Negeri, sungguh suatu kondisi yang dilematis bila
tidak dapat disebut sebagai ironi.
Secara “text book”, alias teori-teori yang dimuat dalam doktrin para
penulis buku yang dipelajari para Sarjana Hukum di bangku perkuliahan,
pendirian penulis untuk tetap melanjutkan persidangan meskipun salah satu dari
pihak tergugat meninggal dunia terungkap saat agenda acara saksi dari pihak
tergugat usai, adalah sudah “on the track”.
Akan tetapi, pada muaranya, arogansi “ego sektoral” kalangan lembaga kehakiman
(menafikan doktrin-doktrin para akademisi hukum) membuat sia-sia segala
jirih-payah membeli (mahal-mahal) serta (repot-repot) membaca berbagai teks
buku ilmu hukum selama di perguruan tinggi selama bertahun-tahun sebelum
kemudian dinyatakan lulus dengan indeks prestasi tinggi, namun seketika itu
pula dimentahkan oleh “Sarjana Buku Pedoman MA RI”. Alhasil, dosen yang “praktikal”
akan memberi skor “0” besar bagi mahasiswa yang dalam lembar ujian menjawab
soal pertanyaan “si berhutang jika meninggal dunia, maka otomatis menjadi beban
ahli waris, karena ahli waris menggantikan kewajiban-kewajiban si pemberi
warisan”.
Ketika kita sebagai para
Sarjana Hukum membentur tembok tebal birokrasi sistem peradilan kita yang penuh
semangat egosentris, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan “seni menang
dan kalah” (the art of win and lose)
karenanya kita menjadi paham “seni (kapan harus) mundur, menarik diri, serta
mengalah”, dimana kepentingan klien jauh lebih penting daripada ego pribadi
penulis. Mungkin saja dalam perang argumentasi bilamana penulis menyarankan
pihak klien untuk tetap maju menempuh upaya hukum terhadap putusan hakim
“robot” yang bergelar “Sarjana Buku Pedoman”, tampaknya akan berbuah
kemenangan, namun berpotensi kemenangan temporer yang mana tetap terbuka
peluang “lembaran sengketa baru”, yakni dinyatakan “tidak dapat dieksekusi”
oleh pihak jurusita “robot”. Karena itulah, pada akhirnya, strategi yang
diterapkan ialah mengutip anekdot dari Rhenald Kasali : “Sejauh apapun kita (telah) salah melangkah, putar haluan sekarang juga!”
Tampaknya kalangan hakim, baik
hakim muda maupun hakim senior (tidak terkecuali kepala panitera perdata dan
jurusita pengadilan)—mengingat dalam peristiwa yang dialami sang klien, adalah
hakim senior yang menjadi hakim “robot” alias “Sarjana Buku Pedoman”—perlu
ditatar, untuk memiliki keterampilan membedakan mana konteks “tergugat
meninggal dunia sebelum gugatan didaftarkan ke panitera pengadilan” dan konteks
“tergugat meninggal dunia setelah gugatan memasuki agenda acara
jawab-menjawab”. Sebagai ilustrasi konkret kemampuan hakim untuk membaca serta
membedakan konteks, tampak secara tersurat dalam putusan Pengadilan Negeri
Mataram Nomor 88/Pdt.G/2019/PN Mtr tanggal 12 Desember 2019, dimana yang
menjadi KONTEKS ialah “Tergugat meninggal dunia sebelum gugatan diajukan”,
dimana Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa pada hari
persidangan yang telah ditentukan, para pihak masing-masing menghadap Kuasanya
tersebut kecuali Tergugat I yang ternyata telah meninggal dunia; [hlm. 8]
“Bahwa pada surat panggilan dan
gugatan yang sampaikan Juru Sita Pengadilan Negeri Mataram jelas tertulis bahwa
: SERITA : Agama Budha Umur 52 Tahun beralamat di Dusun Medain , Desa Tegal
Maja Kecamatan Tanjung, KLU yang selanjutnya disebut sebagai Tergugat I;
“Bahwa pada surat panggilan
tersebut, Juru Sita Pengadilan Negeri Mataram menerangkan bahwa ‘Juru Sita
tidak bertemu dengan Serita (Tergugat I) karena yang bersangkutan telah
meninggal dunia sesuai surat keterangan kematian yang dikeluarkan oleh Kepala
Desa Tegal maja tanggal 24 Mei 2019 sehingga dengan ini ditariknya Serita
sebagai Tergugat I berarti Penggugat telah menggugat orang yang telah meninggal
dunia, maka jelas gugatan Penggugat telah salah alamat /salah sasaran dan
merupakan gugatan yang keliru dalam menarik pihak sebagai Tergugat (Error In
Persona)
[hlm. 9]
“Menimbang bahwa, berdasarkan
bukti T.1 berupa Surat Keterangan Meninggal Nomor 41/Pem.14.2/TM/VIII/2019
tanggal 19 Agustus 2019 ternyata benar Tergugat I telah meninggal dunia namun
tidak jelas kapan Tergugat I meninggal dunia Hal ini diperkuat pengakuan
Penggugat dalam Repliknya Penggugat menyatakan Tergugat I meninggal dunia pada
tanggal 24 Mei 2019; [hlm. 22, dst]
Menimbang bahwa, jika benar
Tergugat I baru meninggal dunia setelah gugatan ini didaftarkan Penggugat di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Mataram Kelas I A maka ada kewajiban Penggugat
untuk menyampaikan daftar ahli waris Tergugat I di persidangan, namun demikian
Penggugat tidak pernah menyerahkan daftar ahli waris dimaksud sehingga tidak
jelas kepada siapa hak menjawab gugatan Penggugat akan diberikan. Tidak
diberikannya daftar ahli waris Tergugat I oleh Penggugat telah menghilangkan
kesempatan ahli waris Tergugat I untuk menyatakan sikapnya atas gugatan
Penggugat terhadap Tergugat I;
“Menimbang bahwa, berdasarkan
ketentuan Pasal 833 BW, maka para ahli waris dengan sendirinya karena hukum,
mendapat hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang
meninggal. Demikian pula Pasal 1100 BW menentukan bahwa Para ahli waris yang
telah bersedia menerima warisan, harus ikut memikul pembayaran utang, hibah,
wasiat dan beban-beban lain, seimbang dengan apa yang diterimanya masing-masing
dari warisan itu.
“Menimbang bahwa, J. Satrio,
S.H. dalam bukunya Hukum Waris (hal. 87) mengatakan bahwa Hak Saisine
adalah hak dari pada ahli waris untuk tanpa berbuat suatu apa, otomatis/demi
hukum menggantikan kedudukan si pewaris dalam lapangan hukum kekayaan. Hak
dan kewajiban si pewaris (secara otomatis menjadi hak dan kewajiban ahli
waris), sekalipun ahli waris belum/ tidak mengetahui adanya pewarisan.
“Mahkamah Agung dalam beberapa
putusannya perihal kedudukan ahli waris sebagai pihak yang harus menggantikan
kedudukan si pewaris di persidangan menentukan sebagai berikut: Putusan Mahkamah
Agung RI Register Nomor: 332 K/Sip/1971 : ‘Dalam hal sebelum perkara
diputuskan, tergugatnya meninggal, haruslah ditentukan lebih dahulu siapa-siapa
yang menjadi ahliwarisnya dan terhadap siapa selanjutnya gugatan itu
diteruskan, karena bila tidak putusannya akan tidak dapat dilaksanakan.’”
KAEDAH HUKUM dari putusan di atas:
- Tidak bisa dibenarkan
pengadilan secara sumir menyatakan betul Tergugat telah meninggal berdasarkan
pengakuan kuasa hukum tergugat ataupun pengakuan salah satu pihak tergugat
lainnya, namun setidaknya harus ada bukti SURAT KETERANGAN KEMATIAN dari
pejabat yang berwenang.
- Akta Kematian yang
diterbitkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil belum ada atas nama almarhum
tergugat, maka secara yuridis (de jure)
yang bersangkutan adalah “masih hidup”, Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu
Keluarga aktif tercatat sebagai warga secara administrasi kependudukan. Adalah
bentuk itikad tidak baik pihak tergugat, bilamana secara “de facto” sudah almarhum namun secara “de jure” dibiarkan masih hidup—potensi penyalah-gunaan identitas
kependudukan almarhum seperti dokumen KTP dan sebagainya untuk mengaburkan
aset-aset kepemilikan dalam rangka membuat gugatan menjadi tidak berbuah hasil
saat pihak penggugat hendak melacak aset milik “almarhum tergugat” yang hendak
dieksekusi.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.