TELUSURI Artikel dalam Website Ini:

Hukum BISNIS


SINOPSIS e-book
KASUS-KASUS PENTING HUKUM BISNIS
HERY SHIETRA e-book Kasus-Kasus Penting Hukum Bisnis

Suka atau tidak suka, setiap pelaku usaha penting untuk memahami sendi-sendi terkait Hukum Bisnis, karena setiap aspek usaha selalu bersinggungan dengan aspek hukum, baik secara perdata maupun pidana. Hukum, dapat menjadi sarana “pedal akselerasi” sekaligus menjadi potensi “batu sandungan” bila kita tidak memiliki bekal pengetahuan praktik aspek Hukum Bisnis di Indonesia. Betul bahwa pengusaha cukup berfokus pada core of business, namun bagaimana kita dapat melaju dalam bisnis bila kita akan senantiasa “tersandung” oleh norma hukum atau bahkan rencana manuver bisnis justru “menabrak” kaedah hukum yang ada?
Sebagai contoh, banyak dijumpai perusahaan produsen yang menggunakan tenaga distributor eskternal untuk memasarkan dan memasok produk kepada retail maupun pelanggan. Namun ketika dana hasil penjualan senilai produk yang disalurkan, tidak kunjung disetorkan kepada pihak produsen, apakah pihak distributor dapat dituntut secara pidana, dengan dakwaan “penggelapan” dana penjualan karena telah diberi kewenangan untuk mendistribusikan produk milik produsen?
Secara akal sehat, seorang distributor dapat disebut tidak menanggung resiko bisnis secara “utuh”, Jika tidak terserap pasar, maka produk dapat dikembalikan kepada produsen (retur). Resiko hanya sebatas biaya logistik untuk retur. Namun menjadi tidak wajar, bila distributor tidak mampu menyerahkan pembayaran kepada pihak produsen atas barang yang telah berhasil dijual olehnya.
Tampaknya praktik peradilan masih menerapkan standar ganda, dimana terhadap perkara-perkara pidana lainnya sebagai contoh seorang debitor meminjam dana kepada kreditornya dengan alasan untuk renovasi rumahnya yang akan dijual. Ketika dana kredit diberikan dan rumah yang dibiayai renovasinya tersebut kemudian berhasil dijual oleh sang debitor, namun kemudian pihak debitor tidak mengembalikan dana pinjaman sesuai perjanjian, maka hal tersebut jelas merupakan pidana “penipuan”, dan praktik peradilan memang menjatuhkan vonis bagi debitor bersangkutan. Disini, akal sehat menjadi “panglima” hukum.
Tampaknya, logika hukum yang sama tidak berlaku dalam konteks bisnis distributor barang yang tidak kunjung melakukan pembayaran kepada pihak produsen, maka dapat disimpulkan adanya niat / itikad tidak baik dari sang distributor—karena tidak mungkin seorang distributor menjual harga barang dibawah harga pabrik (alias “jual rugi”). Tetap saja, pengadilan memiliki pendirian tersendiri sebagaimana akan diulas secara utuh dan gamblang dalam buku ini.
Dikatakan bahwa salah satu syarat sah perjanjian ialah harus terpenuhinya unsur objektif berupa “causa yang sahih”. Terdapat norma hukum yang melarang pencantuman nominal dalam kontrak dalam bentuk selain Rupiah di wilayah NKRi. Ketika “causa yang sahih” tidak terpenuhi, oleh sebab isi perikatan kontrak menggunakan mata uang valuta asing, apakah artinya perjanjian tersebut “batal demi hukum”, seperti kasus dibatalkannya kontrak oleh pengadilan semata karena isi kontrak menggunakan bahasa asing?
Berbicara perihal bisnis, maka salah satu faktor produksi ialah terkait hubungan industrial dengan buruh / karyawan. Seringkali, tanpa dapat dihindari, konflik dan sengketa dapat terjadi karena satu atau lain sebab. Kerap menjadi pertanyaan yang mengemuka oleh kalangan pebisnis, terhadap keadaan seperti “disharmoni” kerja demikian, dapatkan pekerja bersangkutan di-PHK (putus hubungan kerja)? Apakah memang terdapat dasar hukum dimana disharmoni dapat menjadi alasan terjadinya PHK? Bila memungkinkan, bagaimana bila karyawan tersebut menolak PHK demikian dan bagaimanakah konsekuensi yuridis yang dapat terjadi?
Setelah dilakukan penawaran, biasanya kebiasaan dunia bisnis akan ditindak-lanjuti dengan diterbitkannya Purchase Order oleh pihak pengguna jasa maupun barang. Bagaimanakah kekuatan atau daya mengikat hukum sebuah Purchase Order, apakah dapat disamakan dengan sebuah perjanjian? Apakah sebuah perikatan perdata harus berupa kontrak yang berisi tanda-tangan para pihak yang saling bersepakat seperti model perjanjian klasik?
Bagaimana cara pandang hukum mengenai sebuah Purchase Order, dan apa konsekuensi yuridis dibalik sebuah Purchase Order? Apa sajakah elemen sebuah Purchase Order agar dapat mengikat secara hukum? Tanpa pemahaman konsep hukum yang mendalam, pertanyaan yang tampak sederhana tersebut dapat menjadi sangat mengecoh dan penuh spekulasi.
Sebuah cek maupun bilget giro, merupakan “alat pembayaran”. Dibutuhkan kepercayaan dari pihak penjual untuk bersedia menerima alat pelunasan berupa cek maupun bilyet giro oleh pihak pembeli. Namun, ketika kepercayaan demikian dirusak oleh itikad tidak baik pihak pemberi cek, dengan tidak dapat dicairkannya sejumlah dana dalam cek, adakah terdapat konsekuensi hukum secara pidana? Dapat dijatuhi sanksi pidana dengan kategori pidana apakah?
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita belum mengatur perihal sanksi perilaku yang “menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan”, namun apakah artinya si pelaku tidak dapat dijerat oleh pasal-pasal lainnya? Pertanyaan selanjutnya yang kerap timbul dalam praktik, bila si pelaku kemudian telah dipidana penjara akibat memberi “cek kosong” demikian, apakah artinya korban pelapor kehilangan haknya untuk juga menggugat secara perdata (menuntut ganti-rugi secara perdata)? Ulasan konkret dalam buku ini, sekaligus menjawab dua isu hukum, apakah antara gugatan perdata dan laporan pidana, dapat berjalan secara paralel?
Jelas bahwa indikator pencapaian produktivitas serta pemasaran, membutuhkan parameter pasti yang disebut sebagai “target” kinerja maupun penjualan. Apakah merupakan hal tabu dalam hukum bagi pihak pengusaha untuk menetapkan sebentuk kebijakan sepihak berupa “target” pekerjaan? Apakah hakim berhak menilai apakah target tersebut adalah niscaya ataukah mustahil untuk dicapai oleh seorang pekerja?
Sebetulnya, bukanlah itu permasalahan dalam praktik yang mengemuka. Namun apakah konsekuensi dibalik pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan dalih tidak tercapainya “target” demikian, sehingga isu hukum yang kerap terlontar seperti apakah tidak tercapainya “target” dapat menjadi alasan untuk terjadinya PHK?
Tidak banyak kalangan usaha yang mengetahui kerugian terbesar menggunakan jasa perusahaan leasing (sewa guna usaha). Terdapat bahaya besar menjadi konsumen lembaga pembiayaan seperti leasing. Dalam buku ini, Penulis mengupas kelebihan dan kelemahan leasing dan lembaga keuangan perbankan dalam hal kredit alat-alat berat maupun kendaraan bermotor, yang relevan sesuai praktik di lapangan, disertai gambaran konkret modus-modus yang kerap terjadi sebagai langkah antisipasi guna menghindari kemungkinan terburuk. Langkah bisnis harus senantiasa disertai pengetahuan hukum bisnis yang memadai, agar tidak menjadi kontraproduktif di kemudian hari bagi kegiatan usahanya.
Sedikit atau banyaknya, dalam praktik bisnis dan dunia usaha pada umumnya, unsur “kepercayaan” dan “itikad baik” menjadi peranan dan kunci penting keberlangsungan hubungan kerja-sama. Sekalipun tanpa diikat kontrak yang demikian “tebal saking canggihnya” atau sebaliknya dirancang perjanjian yang demikian “rapat” pengaturan sampai-sampai tidak menyisakan satu celah pun bagi “debu” pun menempel, namun tanpa kedua unsur esensial bisnis demikian, menjadi sama sekali tiada artinya.
Dengan itikad baik menjaga kepercayaan yang diberikan, kadang lebih dari cukup daripada kontrak setebal buku. Apa jadinya bila salah satu pihak melakukan penipuan atau bahkan menggelapkan uang, dan telah dinikmati oleh si pelaku, apakah terdapat perbedaan dalam hal vonis pidana dalam amar putusan?
Dalam buku ini pula Penulis akan mengungkap satu cara praktis (sekaligus efekfif) membuat tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum disertakan pula pemulihan hak-hak keuangan korban secara perdata, terutama bagi korban pidana penipuan maupun penggelapan, sehingga pihak korban tidak perlu direpotkan dengan mengajukan gugatan perdata secara terpisah agar kerugiannya dapat dipulihkan, namun cukup disertakan pemulihan tersebut dalam vonis amar putusan. Dengan menggunakan tips tersebut, diharapkan akan banyak waktu serta energi yang dapat diefisienkan.
Modus penipuan dalam bisnis, sangat marak dewasa ini. Namun perihal menjeratnya, terbilang sangat sukar. Meski pihak penyidik kepolisian maupun kejaksaan sepakat bahwa perbuatan terlapor dapat dikategorikan sebagai tindak pidana “penipuan”, namun kerap kali hakim berkata lain. Jika sudah demikian, yang pada gilirannya “merugi dua kali” ialah pihak korban itu sendiri. Kerena itulah, tuduhan yang diajukan korban perlu lebih bersifat “strategis” sebagaimana dibahas dalam buku ini secara lugas.
Buku ini mengupas bahwasannya akan lebih mudah menuntut pelaku sebagai telah melakukan tindak pidana penggelapan, daripada tuduhan penipuan, bila konstruksi hukum permulaannya ialah sebuah perjanjian hutang-piutang, terutama ketika pihak peminjam telah menguasai dana.
Jelas bahwa tidak memenuhi janji merupakan sebuah penipuan yang bisa jadi “terencana” (modus), terutama dalam kasus-kasus seperti bila meminjam dana untuk tujuan modal usaha ternyata digunakan untuk diluar tujuan usaha, dengan sengaja merugi “by design”, atau bahkan mencetak keuntungan namun tidak kunjung melunasi hutang-hutangnya. Namun buku ini mengajak pembaca untuk memahami juga, bahwa praktik peradilan masih memandang masalah ingkar janji demikian, meski secara disengaja sekalipun, akan dikategorikan semata menjadi ranah perdata “non-pidana”. Ruang peradilan ialah tempat dimana segala moral hazard banyak tercipta dan menemukan “legitimasi”-nya.
Tidak banyak diantara masyarakat kita yang menyadari bahwa dakwaan “Tindak Pidana Pencucian Uang” (TPPU) bisa jauh lebih mengerikan daripada sebuah tuntutan telah melakukan “Tindak Pidana Korupsi” (Tipikor). Mengapa dapat terjadi demikian? Bila dalam Tipikor, Terdakwa dibebani oleh “beban pembuktian terbalik”, sementara dalam kasus-kasus TPPU semua harta dapat dianggap hasil pencucian-uang karena tercampur-aduk—sehingga melahirkan pertanyaan krusial dalam hukum: bagaimana sebenarnya cara membuktikan manakah harta hasil “pencucian uang” dan manakah harta yang bukan hasil “pencucian uang” demikian? Tepatlah peribahasa yang menyebutkan : Nila setitik, rusak susu sebelanga.
Dalam melakukan rantai produksi maupun kegiatan, kita tidak dapat bersikap “masa bodoh” terhadap legalitas pihak pemasok bahan baku. Dalam rezim pidana umum, dikenal pemidanaan terkait “penadahan”, begitupula dalam peraturan perundang-undangan spesifik seperti pertambangan, mengolah mineral dari pemasok tak berizin, menunggu ancaman pidana maupun denda. Penulis memberikan ilustrasi konkret dimana bila kegiatan “hulu”-nya ilegal, maka kegiatan “hilir”-nya pun akan dinilai sebagai kegiatan ilegal yang dapat dijerat pemidanaan.
Sekalipun pengusaha yang bergerak dibidang produksi memiliki kegiatan utama memproduksi produk, namun tetap saja produk yang diproduksi tersebut perlu “dilempar” ke pasar. Alhasil, tenaga pemasaran menjadi tumpuan utama agar produksi dapat terus berlangsung sebagai roda ekonomi suatu perusahaan. Menjadi pertanyaan yang hanya dapat dijawab dalam tataran praktik, dapatkah tenaga merketing diikat dengan hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu alias sebatas sebagai Pegawai Kontrak?
Banyak kalangan umum yang berminat pada tawaran bisnis berupa waralaba. Namun tidak banyak diantara kalangan awam yang memahami bahwa terdapat konsekuensi turunan / ikutan dari Perjanjian Francise. Menjadi isu hukum sentral yang perlu dicermati, ialah apakah SOP dan Peraturan Perusahaan pembeli lisensi waralaba saja yang berlaku, atau harus mematahui pula berbagai SOP dan Peraturan (internal) Perusahaan pihak Francisor? Sebagian besar Francisee biasanya tergiur oleh apa yang tercantum dalam proposal / tawaran kerjasama waralaba, tanpa menelisik lebih jauh hingga ke dalam konsekuensi yuridis yang menyertainya.
Disebutkan bahwa kontrak jasa konstruksi dengan pihak pemerintah selaku pengguna jasa, selalu memiliki “wajah berganda”, yakni ancaman pidana maupun perdata jika pihak penyedia jasa dinilai telah “merugikan keuangan APBN/D”. Bagaimana dengan bentuk-bentuk kelalaian menjalankan isi kontrak jasa konstruksi tender pemerintah, seperti terlambat menyelesaikan konstruksi?
Tidak jarang terjadi, salah satu pihak dari pemegang saham perseroan, meminjam sejumlah dana dari pihak perseroan. Ketika sang pemegang saham tersebut cidera janji untuk mengembalikan dana pinjaman, maka apakah langkah yang paling efisien serta paling efektif untuk memulihkan hak piutang perseroan?
Hubungan kerja, dan hubungan kemitraan, apakah merupakan dua “makhluk” yang saling berbeda ataukah sejatinya hanya nama yang berbeda untuk merujuk pada suatu esensi yang sama? Dalam buku ini pula Penulis mengulas isu hukum sensitif perihal “kemitraan”, apakah diputuskannya hubungan kemitraan melahirkan hak pembayaran pesangon, dan apakah sama sekali tidak terdapat konsekuensi yuridis yang tercipta dalam praktik di ruang peradilan atas suatu hubungan “kemitraan”?
Selama ini sebagian kalangan pelaku usaha mungkin mengira bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) hanya berwenang menjatuhkan sanksi administrasi berupa denda bagi pelaku usaha yang melakukan persaingan usaha tidak sehat dalam proses pengadaan barang ataupun jasa yang diadakan pemerintah. Namun ternyata dapat juga disertai sanksi sertaan selama kurun waktu tertentu—yang bahkan bisa lebih “menakutkan” dalam konteks hilangnya potential income, alias menjadi suatu potential loss yang patut diperhitungkan oleh setiap pelaku usaha.
Selama ini kita hanya sering mendengar perihal audit keuangan. Namun pernahkah kita memerhatikan perihal audit lingkungan dan audit sosial sebelum mengikatkan diri dalam suatu hubungan kontraktual dengan suatu calon rekan bisnis? Hal tersebut menjadi sangat krusial dalam kerja-sama bisnis seperti jasa konstruksi yang padat modal dan dipengaruhi berbagai faktor eskternal proyek yang dikerjakan. Untuk itu Penulis juga akan memaparkan sejauh apa kemungkinan terburuk (the worst cases) yang dapat terjadi dalam praktik konkretnya.
Performance bond (sering juga disebut sebagai surety bond, kini menjadi monopoli lembaga penjaminan bukan lagi cakupan lingkup bidang usaha lembaga asuransi) merupakan suatu keniscayaan dalam suatu hubungan bisnis, sebagai suatu jaminan pemenuhan “prestasi” dalam suatu kerja-sama. Namun ketika terjadi wanprestasi, dan pihak penerbit performace bond justru tidak bersedia mencairkan sebagaimana klaim yang diajukan, maka siapakah yang patut untuk digugat, pihak rekanan yang memberi garansi, atau lembaga yang menerbitkan performance bond?
Apakah dimungkinkan, perusahaan penerbit jaminan hanya bersedia mencairkan separuh dari nilai klaim dalam performance bond, dengan alasan pihak rekan bisnis telah melaksanakan pengerjaan mencapai separuh dari total proyek? Tentu saja isu hukum semacam itu hanya dapat terjawab lewat bentukan norma preseden praktik peradilan sebagai suatu best practice yang patut kita perhatikan dan pahami dengan baik kaedah hukumnya bentukannya.
Tidak jarang kita jumpai kalangan buruh yang kerap meminjam sejumlah dana dari pihak perusahaan. Menjadi pertanyaan yang kerap timbul dalam praktik di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), ketika hubungan kerja dengan pekerja bersangkutan diputus, maka untuk menuntut pengembalian segala dana pinjaman sang pekerja, haruskah berupa gugatan perdata secara terpisah di Pengadilan Negeri, ataukah dalam perkara gugatan PHK di PHI dapat juga sekaligus memulihkan hak-hak piutang pihak pemberi kerja? Bagaimana juga dengan rumah dinas milik perusahaan yang ternyata masih dipakai oleh pekerja yang sedang dalam proses gugatan PHK demikian? Terkadang, hukum yang demikian prosedural formil, sangat tidak efisien dan kurang akomodatif, sehingga hakim merasa perlu untuk mencairkan kekakuan dan kebekuan hukum formil.
Apakah memindahkan lokasi pabrik tempat buruh selama ini bekerja, otomatis dimaknai sebagai PHK? Menutup tempat usaha, dan memindahkannya ke lokasi di kota lain, adalah keniscayaan. Namun apa saja yang menjadi kewajiban hukum bagi pihak pengusaha dan pihak buruh, ketika penutupan dan pemindahan tempat usaha demikian terjadi? Dalam buku ini, Penulis mengupas ketika kedua belah pihak sama-sama melakukan sebentuk “kelalaian” terkait pemindahan lokasi tempat usaha.
Sekalipun prosedur pembentukan / pendirian badan hukum seperti Perseroan Terbatas telah cukup relatif mudah, hingga kini masih jamak dijumpai badan usaha seperti CV. Ketika suatu entitas usaha hendak menggugat CV, apakah pemilik CV bersangkutan yang harus dijadikan pihak penanggung-jawab CV sebagai pihak tergugat? Dalam buku ini diperlihatkan, terkadang praktik peradilan khususnya Pengadilan Hubungan Industrial, tidak memandang demikian kaku konsep hukum—demi asas kemanfaatan, yakni tujuan yang hendak dicapai ketimbang demi aturan hukum yang kaku dan prosedural-formil.
Tidak tertutup kemungkinan, dan memang pernah terjadi atau mungkin kerap terjadi, aset yang kita beli mendadak disita oleh penyidik, dengan alasan pemilik sebelumnya dari aset tersebut tersangkut tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sebagaimana kita ketahui, dana hasil kejahatan si pelaku ketika masuk dalam suatu rekening miliknya, maka dana tersebut ibarat “nila setitik rusak susuk sebelanga”, sehingga apapun yang dibelanjakan oleh yang bersangkutan, akan dinilai sebagai bagian dari TPPU, sekalipun kemudian kita yang tidak tahu-menahu dan tidak mengenal si pelaku, hanya sebatas membeli aset miliknya, maka aset yang dibeli tersebut ternyata dapat tetap terkena sita pidana, yang kemudian oleh hakim justru diperintahkan agar dikembalikan kepada pihak “korban” dari si pelaku.
Sebagai contoh ketika pembeli membeli sebuah mobil di suatu showroom, mendadak objek mobil disita penyidik, dengan alasan pemilik sebelumnya dari mobil tersebut terjerat perkara TPPU, dimana PPATK menyatakan antara tanggal aliran dana masuk hasil “tindak pidana asal” dan tanggal saat pembelian mobil ada suatu kecocokan. Walaupun si pembeli tidak mengenal si pelaku, hanya membeli mobil second di showroom, pihak penyidik tetap menyita dan pihak hakim akan menyatakan agar objek sita (mobil) dikembalikan kepada pihak “korban” dari si pelaku—alias pembeli selaku “pihak ketiga” menjadi terkena “getah”-nya. Apakah langkah hukum yang dapat ditempuh untuk memulihkan hak kepemilikan?
Pada prinsip bisnisnya, suatu kesempatan baru menjadi berharga dan layak diberlangsungkan ketika para pihak yang mengikatkan diri saling beritikad baik menjalan setiap perikatan hak dan kewajiban yang tertuang dalam perjanjian. Namun ketika salah satu pihak menunjukkan indikasi penyimpangan, pengabaian, atau bahkan pelanggaran, maka menjadi isu hukum penting : apakah sebuah kesepakatan menjadi suatu “harga mati” yang mencekik? Sementara kalangan pebisnis menyadari betul, lebih baik segera mengambil langkah “amputasi” sebelum kerugian akan kian menggerogoti. Senyatanya, “syarat batal” selalu melekat dalam setiap perjanjian, guna menghindari potensi kerugian lebih lanjut.
Masalah kepemilikan objek sengketa merupakan milik siapa, merupakan kewenangan hakim peradilan perdata untuk memeriksa dan memutus. Menjadi isu hukum yang juga kerap mengemuka dalam praktik bisnis maupun di peradilan, apakah dapat melaporkan suatu pihak dengan tuduhan sebagai pelaku penipuan ataupun penggelapan, sementara status kepemilikan objek masih dipersengketakan? Buku ini memperlihatkan, acap kali ranah pidana berdiri atau bertopang pada ranah perdata sebagai tolak-ukurnya—meski untuk karakter perkara tertentu justru menjadi sebaliknya, sehingga tiada satu jawaban untuk segala jenis perkara.
Setiap usaha, pastilah mengandung resiko. Menjadi pertanyaan, apakah etis, menjadikan kelesuan bisnis seorang debitor, menjadi alasan untuk menunggak bahkan tidak melunasi hutang-hutangnya kepada phak kreditor? Sama halnya dengan kasus terjadinya penggelapan barang-barang oleh pegawai yang kita pekerjakan, dapatkan menjadi alasan untuk menghindari pembayaran pada pihak pemasok? Apakah kejadian semacam itu dapat dikategorikan sebagai “keadaan kahar” (force majeure), sehingga dapat menuntut dibebaskan dari beban kewajiban untuk membayar pihak suplier? Terdapat pandangan yang cukup menarik dari praktik peradilan mengenai isu hukum demikian, dalam hal ini pendirian kalangan Hakim Agung mengenai kejadian semacam penggelapan oleh karyawan, menjadi sangat penting untuk diketahui kalangan pelaku usaha.
Apa sajakah yang patut perlu kita ketahui sebelum menjatuhkan pilihan menjadi investor suatu tawaran lisensi waralaba? Tentu kita paham betul, tujuan berinvestasi pada waralaba (francise) untuk meminimalisir faktor tiadanya pangsa pasar potensial sebagaimana membuka usaha dengan merek dan produk baru yang belum dikenal luas oleh pasar. Bila tiada kepastian serta jaminan menuai profit, maka untuk apakah investor membeli lisensi waralaba?
Parameter apa yang dapat dijadikan indikator pihak penawar lisensi waralaba yang layak untuk dipilih sebagai investasi? Tidak sedikit pembeli lisensi waralaba justru meraup kerugian demi kerugian yang tidak dapat diputus di tengah jalan masa ikatan lisensi waralaba—menjelma kemelut tanpa jalan mundur dan tanpa jalan keluar yang sangat menakutkan, dan patut dijadikan pembelajaran bersama.
Apakah yang dimaksud dengan “cidera janji” atau wanprestasi, parameternya, serta konsekuensi dan opsi yang dapat dituntut? Dalam kesempatan lewat buku ini akan Penulis kupas kasus konkret dimana pembatalan secara sepihak terhadap sebuah kesepakatan ternyata dapat saja dilakukan, sepanjang telah terjadi wanprestasi oleh pihak lainnya, dan surat pernyataan pembatalan demikian perlu mendapat pengukuhan lewat gugatan perdata. Kontrak yang rasional tidaklah “menjerumuskan”, dalam artian akan tetap memberi ruang untuk “melangkah mundur” ketika ternyata salah satu pihak tidak beritikad baik.
Jamak dijumpai pendapat maupun kajian hukum yang berpendapat bahwa MOU (Memorandum of Understanding) itu hanya sebatas “seremonial” yang tidak punya daya ikat apapun secara yuridis untuk memiliki daya paksa secara perdata. Namun benarkah demikian? Penulis kerap mengingatkan, janganlah menilai sebuah buku dari cover halaman sampulnya. Sama seperti itu, janganlah menilai isi sebuah kontrak dari judulnya. Dalam buku ini Penulis akan memaparkan resiko konkret ketika kita meremehkan daya ikat sebuah MoU, dapat sangat fatal akibatnya.
Dalam kesempatan dalam buku ini pula, Penulis akan mengupas sekilas terminologi kontemporer yang tengah berkembang dalam praktik peradilan di Mahkamah Agung RI, yakni perbenturan antara “law in concreto” Vs. “law in abstracto”. Salah satu contohnya rasionalisasi para Hakim Agung RI dalam menghadapi perkara-perkara efisiensi usaha. Haruskah perusahaan benar-benar tutup permanen lengkap dengan seluruh divisi usahanya, untuk baru dapat dikategorikan efisiensi usaha menurut hukum ketenagakerjaan sebagaimana telah lama menjadi putusan Mahkamah Konstitusi RI?
Hukum bersifat murni, namun tidaklah naif. Besar harapan Penulis, para pembaca dapat lebih memahami falsafah dibalik cara kerja hukum lewat telaah-telaah praktis yang konkret dan nyata sebagaimana banyak terjadi praktik-praktik rasionalisasi hukum yang tidak dapat dihindari demi menghindari kegaduhan / “legal chaos” yang lebih tidak berfaedah untuk dterapkan secara kaku letterlijk.
Berbisnislah secara ber-etika, sekalipun tidak pernah ada standar baru Kode Etik kalangan profesi Pebisnis di Tanah Air. Berbisnis dengan rambu-rambu etik, akan menghindarkan pelaku usaha dari sanksi yang dapat dijatuhkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Perlu juga mulai kita pahami konsep-konsep persaingan usaha seperti prinsip Single Economic Entity Doctrine, oleh karena mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat. Untuk itu Penulis memberi ilustrasi kasus dihukumnya produsen daging ayam potong yang sengaja memusnahkan ternak anak di kandang demi mendongkrak dan mempermainkan harga di pasar.
Salah satu contoh lainnnya bisnis yang dilandasi oleh praktik usaha yang sehat dan etis, ialah adanya hubungan tali keluarga antar peserta tender pengadaan barang dan/atau jasa yang diadakan pihak pemerintah. Lewat pembahasan dalam buku ini, para pembaca akan mulai memahami, bahwa asumsi bahwa otoritas KPPU tidak akan dapat “mengendus” dan melacak praktik persekongkolan demikian, ternyata hanyalah sekadar asumsi, karena ancaman sanksi akan menunggu dibalik itu.
Gadai saham merupakan istilah yang memang belum lazim di tengah masyarakat kita, meski bukan mustahil dilakukan, karena pada prinsipnya saham juga merupakan benda tidak berwujud yang memiliki nilai, sehingga dapat dijadikan sebagai objek agunan. Untuk itu Penulis akan mengurai potensi resiko dibalik gadai saham Perseroan Terbatas.
Betul bahwa Hukum Perseroan Terbatas telah memberi perlindungan bagi pemegang saham minoritas, yang memiliki saham paling sedikit 10 % dari total suara dengan hak suara, untuk mengajukan gugatan terhadap pengurus perseroan, hingga mengajukan permohonan Audit Investigasi ke hadapan pengadilan terhadap Perseroan. Namun bukan berarti dengan telah mengantungi saham sebesar 10% dapat selamanya “memasang” badan menghadapi pemegang saham mayoritas. Terdapat manuver bisnis semacam merger maupun Mandatory Convertible Bond yang dapat digunakan dengan baik oleh pemegang saham mayoritas guna “membungkam” pemegang saham minoritas, yang dalam buku ini akan Penulis kupas bagaimana cara kerja Mandatory Convertible Bond dalam membungkam pemegang saham minoritas “untuk selama-lamanya” agar tidak lagi dapat berkutik dalam hal apapun—suatu taktik bisnis yang jauh lebih sederhana ketimbang opsi (modus) merger.
Terdapat hal yang sangat penting yang Penulis ulas dalam buku ini, yakni perihal niat untuk menggugat perjanjian atau akta agar dibatalkan oleh pengadilan, dengan alasan telah terjadi penipuan dan/atau pemalsuan. Sebagaimana telah kita ketahui, untuk menggugat sebuah perjanjian agar dibatalkan oleh hakim, semudah dan sesederhana mendalilkan telah terjadi “cacat kehendak”, cukup dalam ranah peradilan perdata. Namun bagaimana bila dalilnya ialah telah terjadi pemalsuan maupun penipuan sebagai latar belakang terbentuknya perjanjian dimaksud? Ulasan dalam buku ini akan memberi gambaran lugas dan utuh, sehingga mampu menghindarkan pembaca dari upaya hukum yang salah langkah agar tidak “merugi dua kali”.
Bisakah mendaftarkan Merek Dagang lengkap dengan logonya, ke dalam daftar / pendaftaran Hak Cipta? Kita tahu bahwa Hak Cipta memiliki tempo perlindungan puluhan tahun, berbeda dengan masa perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI) seperti merek yang perlu diperpanjang secara rutin serta adanya kewajiban hukum untuk merek tersebut diusahakan secara de facto oleh pemiliknya. Namun bagaimana saat kini, sejak ditatapkannya undang-undang terbaru terkait HKI?
Apakah pemutusan hubungan kerja (PHK) selalu berupa “pemecatan”, lengkap ataupun tanpa disertai surat pemberhentian kerja bagi sang buruh / pekerja? Praktik peradilan selalu berkembang dari waktu ke waktu, termasuk dalam praktik di ruang Pengadilan Hubungan Industrial, dimana Majelis Hakim bahkan mengkategorikan tiadanya aktivitas lingkup pekerjaan yang dapat dikerjakan, sama artinya dengan PHK, tidak terkecuali dengan segenap hak-hak normatif yang harus dibayarkan layaknya sebuah kejadian PHK biasa.
Sengketa keluarga kerap terjadi dalam ranah perkara pertanahan. Namun tidak jarang pula terjadi sengketa bisnis yang melibatkan antar anggota keluarga. Dalam buku ini Penulis akan mengangkat kasus “pencurian dalam keluarga” atas barang modal milik bersama keluarga yang dicuri oleh salah satu anggota keluarga lainnya. Yang cukup mengejutkan, faktor hubungan darah antara korban dan sang pelaku, yang alih-alih dapat menjadi faktor peringan hukuman, justru menjadi faktor pertimbangan yang memberatkan vonis sanksi hukuman dalam amar putusan. Terkadang antara “logika hukum” dan “logika awam”, memang tampak tidak kongruen—tanpa bermaksud untuk bagi Penulis untuk selalu mengunggulkan salah satunya secara parsial.
Apa juga yang menjadi tanggung jawab pengelola jasa dari kelalaian yang mengakibatkan kerugian konsumen. Dalam kesempatan ini pula, Penulis menyertakan preseden yang cukup terkenal terkait tanggung-jawab pengelola perparkiran atas hilangnya kendaraan bermotor pembayar tarif parkir, agar kalangan pelaku usaha jasa penitipan tidak lagi bermain-main terhadap kendaraan milik konsumen yang telah memberikan kepercayaan bagi pengusaha penitipan.
Terkadang, sebagai bentuk penindakan terhadap pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh seorang pegawai, kebijakan memberlakukan skoorsing, tidak dapat dihindari. Menjadi penting untuk diketahui, apakah kebijakan pemberlakuan skoorsing wajib disebutkan pula masa akhir keberlakuan skoorsing? Dalam artian, apa jadinya serta apa yang menjadi konsekuensi hukumnya, bila skoorsing diberlakukan tanpa batas waktu? Bisakah skoorsing demikian disamakan dengan PHK?
Sebagaimana kita ketahui, Upah Minimum Sektoran (UMS) dapat bersifat lebih tinggi ketimbang Upah Minimum Regional (UMR). Namun menjadi pokok sentral permasalahan, mungkinkah antara pihak Manajemen perusahaan dan pihak Serikat Buruh, sama-sama menyepakati Kesepakatan Bersama yang esensi subtansinya pada pokoknya menyepakati agar pihak Pengusaha dapat membayar gaji mereka cukup dibawah tingkat UMS? Apakah besaran gaji dalam Kesepkatan Bersama, harus selalu lebih tinggi dari Upah Minimum yang telah ditetapkan pemerintah, atau bisa juga sebagai suatu bentuk “dispensasi” guna win win solution agar perusahaan tetap dapat hidup dan beroperasi?
Masa yang paling riskan bagi seorang pejabat direksi suatu perseroan, ialah ketika yang bersangkutan akan habis menjelang masa berlaku jabatannya—itu pun tanpa kepastian apakah akan diangkat kembali ataukah tidak oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk periode jabatan berikutnya, dan apakah laporan pertanggung-jawabannya dalam forum RUPS akan dinyatakan diterima ataukah tidak.
Pernah menjadi isu hukum yang cukup menegangkan di pengadilan, seorang pejabat direksi akan berakhir masa jabatannya dan mengetahui dirinya tidak akan diangkat kembali untuk periode masa jabatan berikutnya karena akan diangkat direktur baru. Namun direksi bersangkutan masih saja tetap membeli bahan baku dalam jumlah besar, yang ternyata kini hanya menumpuk di gudang. Apakah sang mantan pejabat direksi, oleh pemilik perusahaan dapat digugat “perbuatan melawan hukum”?
Apakah dimungkinkan, mengajukan hak Paten terhadap apa yang sejatinya telah menjadi “domain publik” (public domain)? Domain publik itu sendiri dimaknai sebagai apa yang telah menjad hak milik umum, sekalipun tidak teregistrasi secara terdaftar pada otoritas HKI. Dalam buku ini Penulis akan memperlihatkan, bahwa Paten atas “Domain Publik” dapat saja diberikan, namun selalu terancam dibatalkan dikemudian hari oleh pihak lainnya. Pembaca akan mulai memahami, bahwa istilah lain dari “Paten”, ialah adanya “invensi”. Dengan memahami apa yang dimaksud dengan “invensi”, secara sendirinya pembaca akan mengetahui apa saja yang dapat diajukan hak atas Paten dan mendapat perlindungan hukum dari negara.
Pekerja yang mengambil barang milik perusahaan tanpa izin dari manajemen atas atasannya, dapat dipidana sebagai pencurian ataukah penggelapan? Apa yang menjadi elemen prinsipil pembeda antara tindak pidana pencurian dan penggelapan? Bukankah pegawai yang menerima upah sebagai pelaku, selama ini identik dengan pasal pidana penggelapan? Ilmu hukum terus berkembang, terutama sumbangsih tataran parktik peradilan. Dalam buku ini, Penulis memberi ilustrasi konkret seorang pekerja yang dipidana sebagai “pencuri” alih-alih sebagai pelaku “penggelapan” barang milik perusahaan tempatnya bekerja.
Buku ini juga akan memperlihatkan, bahwa sengketa kekayaan intelektual, terutama terkait Merek, tidak murni merupakan ranah perdata, namun juga masuk dalam ranah “hukum publik”. Salah satu imbasnya, kemelut sengketa kontraktual seperti perjanjian francise yang telah berakhir masa berlakunya, namun pihak penyewa lisensi merek francise ternyata masih tetap menggunakan Merek pemilik francise demi kepentingan komersiel pribadinya, merupakan murni sengketa kontrak yang dapat dimintai putusan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri, ataukah akan ada batu sandungan tersendiri terkait Merek?
Masif terjadi gugatan debitor yang justru menggugat kreditornya sendiri ketika terjadi kredit macet. Hukum perdata sudah secara terang-benderang menyatakan, untuk mengajukan gugatan pembatalan perjanjian, konsekuensi logisnya segala sesuatu harus dikembalikan seperti ke keadaan semula, dalam artian sang debitor harus seketika dan sekaligus mengembalikan seluruh fasilitas dan dana kredit yang pernah diterima olehnya.
Menjadi irasional, ketika seorang debitor mengharap lewat gugatan dapat bebas dari tagihan dan hutang, tanpa bersedia mengembalikan fasilitas dana pinjaman yang dahulu pernah diterima olehnya. Telah menikmati, masih bisakah dimohonkan pembatalannya ke pengadilan, itulah yang akan Penulis angkat isunya dalam bentuk ilustrasi konkret. Ibarat seorang bocah membeli sebotol minuman ringan, setelah mencicipi kemudian menikmatinya hingga tetes terakhir, bisakah ia mengajukan pembatalan pembelian minuman itu dengan mengatakan tidak sesuai dengan selera?
Terkadang mayoritas gugatan sifatnya cukup naif diajukan oleh seorang penggugat yang “kelewat” percaya diri. Besar harapan Penulis agar para pembaca buku ini mulai menyadari, untuk tidak tergiur oleh harapan palu “janji-janji surgawi” bernama gugatan. Mendewasakan diri dengan memperlajari berbagai gugatan irasonal, dapat membuat kita lebih perpandangan terbuka, tidak picik dan sempit.
Kita kembali kepada pembahasan perihal Convertible Bond, “binatang” ajaib sekaligus “liar” yang dapat memporak-porandakan struktur pemegang saham di suatu perseroan. Dalam buku ini, secara lugas Penulis akan mengungkap berbagai modus yang membuktikan bahwa menjadi pemegang saham minoritas selalu menyerupai “telur di ujung tanduk”.
Mimpi buruk ibarat menjadi kodrat bagi pihak pemegang saham minoritas, terombang-ambing oleh manuver bisnis “direksi boneka” pihak pemegang saham mayoritas yang bermain dalam tataran “cantik” bernama Convertible Bond. Bukan bermaksud mengajari pembaca modus-modus “curang”, namun ulasan dalam buku ini menjadi gambaran nyata kerugian menjadi pemegang saham minoritas, dalam perseroan lokal maupun PT. PMA (penanam modal asing).
Tidaklah lengkap bila buku ini tidak secara tuntas mengurai juga tips atau strategi agar pemegang saham minoritas dapat “membendung” hasrat pemegang saham mayoritas untuk menyalah-gunakan manuver Convertible Bond guna membungkam pemegang saham minoritas. Untuk itu Penulis sertakan pula langkah-langkah yang dapat ditempuh sesuai dengan ketentuan hukum perseroan yang berlaku. Perlindungan hukum bagi pemegang saham minoritas, barulah ada ketika pemegang saham minoritas itu sendiri mau bersikap aktif alih-alih pasif menunggu perlindungan hukum.
Asas legalitas mensyaratkan asas publikasi sebagai syarat keberlakuannya. Begitupula asas legalitas dalam hubungan industrial. Pernah terjadi, kalangan pengusaha mem-PHK buruh mereka, dengan alasan perilaku para buruh tersebut telah melanggar SOP perusahaan. Akan tetapi fakta yang kemudian terungkap di persidangan, pihak manajemen perusahaan tidak pernah mensosialisasikan SOP apapun kepada kalangan buruhnya. Apakah alasan demikian sah dan berharga di mata hakim Pengadilan Hubungan Industrial?
Apakah untuk memungkinkannya seorang direksi perseroan dimintai pertanggung-jawaban kinerja, wajib melewati mekanisme forum RUPS tahunan maupun RUPS insidentil (sering diistilahkan RUPS Luar Biasa)? Sebagaimana kita ketahui, agenda acara RUPS salah satunya dapat berupa menerima dan mengesahkan atau sebaliknya, tidak menerima dan tidak mengesahkan laporan pertanggung-jawaban kepengurusan suatu direksi dan komisaris. Banyak terjadi salah-kaprah di tengah masyarakat kita, seolah RUPS merupakan kepentingan pemegang saham, bukan kepentingan seorang direksi. Asumsi demikian, terbukti berakhir secara fatal.
Keburukan dan tabiat kurang bagus dari kalangan pejabat Kantor Perpajakan di Indonesia, ialah kerap menyatakan sebagai pajak pungutan untuk sesuatu yang sejatinya bukanlah objek kena pajak. Bahasa sederhananya: apa yang semestinya tidak dikenakan pajak, tetap ditetapkan sebagai pajak yang harus disetorkan oleh wajib pajak. Jamak kita jumpai putusan Pengadilan Pajak yang menganulir ketetapan kurang bayar pajak yang diterbitkan berbagai Kantor Pajak di Tanah Air.
Norma dalam Undang-Undang Perpajakan bersifat sangat multitafsir, sehingga kepastian implementasinya selalu membutuhkan peraturan pelaksana. Namun bila regulasinya berupa Surat Edaran Dirjen Pajak, tentunya pejabat Kantor Pajak tidak dapat lagi berkilah. Salah satunya ialah pengaturan tentang perlakuan pajak penghasilan terhadap penerimaan manfaat asuransi jiwa, apakah masih dapat dikategorikan sebagai objek PPh?
Janganlah menggunakan segala cara untuk memecat seorang pegawai. Praktik di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) telah membuka kemungkinan PHK sekalipun tanpa alasan pelanggaran apapun oleh sang pekerja, namun dengan dikategorikan sebagai efisiensi usaha, disertai kompensasi PHK kategori efisiensi usaha. Namun hendaknya kalangan pelaku tidak menggunakan cara-cara curang seperti menghapus nama seorang pegawai pada mesin fingerprint presensi, sebagai cara politis mem-PHK. Berbagai best practice di PHI sudah sangat maju dalam mengisi setiap celah hukum yang mungkin dapat terjadi seperti cara-cara tidak etis demikian.
Untuk dapat menuduhan telah terjadi pidana penggelapan oleh seorang direksi, wajib menyertakan alat bukti Audit dari Auditor Independen terhadap keadaan keuangan perusahaan? Direktur keuangan yang terampil, tentu dapat memanipulasi bahan data sehingga auditor luar sekalipun dapat saja terkecoh.
Sudah lazim dan umum, laporan hasil audit Auditor Independen akan membuat disclaimer “tidak menjamin kebenaran substansi bahan-bahan yang diaudit, karena dokumen yang kami audit bersifat ‘disodorkan’ apa adanya oleh pihak pengguna jasa audit”. Namun bagaimana bila sebaliknya, dapatkah seorang direktur secara serta-merta dinyatakan terbukti bersalah ketika hasil audit menyatakan ada dana perseroan yang “digelapkan”?
Meminjam atau menyewakan kendaraan, terutama mobil truk, perlu mewaspadai dan mengetahui maksud dan tujuan pihak calon penyewa. Lalai untuk menggali informasi demikian, dengan asumsi bahwa kegiatan usaha pengangkutan hanya sekadar bertanggung-jawab mengangkut, tanpa perlu memusingkan komoditas apa yang akan diangkut nantinya dan dari mana sumbernya, ternyata dapat berbuntut tuntutan pidana di meja hijau.
Masa-masa paling kritis, bukan hanya terjadi tatkala direksi yang lama akan mengakhiri masa jabatannya, tapi juga saat peralihan “warisan” dari pengurus lama kepada tangan pengurus baru dari perseroan. Pengurus baru, tidak dapat berasumsi bahwa tugasnya ialah hanya meneruskan dan melanjutkan manuver bisnis yang telah “dilakoni” pihak pengurus sebelumnya yang ia gantikan. Pernah terjadi, seorang direksi baru justru melanjutkan kegiatan ilegal sebuah perbankan. Alhasil, pengadilan pidana menjatuhkan vonis bagi sang direktur baru sebagai “perbuatan berlanjut”.
Apakah “take over” kredit selalu identik dengan terjadinya subrogasi? Subrogasi adalah “take over” piutang, namun tak semua “take over” piutang demikian adalah subrogasi. Dalam bahasa kaum awam, biasa kita dengar ungkapan seperti “menalangi” hutang seseorang dengan dana pribadi. “Menalangi” dan subrogasi adalah dua hal yang berbeda, dengan dua konsekuensi yuridis yang saling berbeda. Dimanakah letak perbedaannya?
Apakah usaha bersama atau usaha “patungan” modal, identik dengan perjanjian manajerial dan sewa? Sejauh apa resiko bisnis dan resiko hukum yang kerap menanti, ketika kesemua itu “dicampur-aduk”? Kita bisa jadi tergiur untuk melakukan “join” dengan seorang calon rekanan usaha.
Ketika kita menyadari resiko yuridis yang mungkin dapat terjadi, sebuah perjanjian dapat menjelma “penyanderaan” yang sangat menyandera dan merugikan pada muaranya. Pembelajaran dari pengalaman yang telah ada, dapat menjadi sangat berharga agar tidak terjerat sengketa serupa. Pembaca tidak harus mengalami kerugian yang sama, cukup belajar dari pengalaman nyata yang dikupas dalam buku ini.
Istilah konsinyasi, ternyata tidak hanya dikenal dalam dunia bisnis seperti jual-menjual baju, makanan, dsb. Ketika pihak penjual justru tidak bersedia menerima uang pembelian, atau bahkan sebaliknya, pihak pembeli tidak bersedia menerima kembali uang pembelian karena jual-beli dinilai batal, maka uang tersebut dapat dititipkan kepada pihak kepaniteraan pengadilan.
Seperti apakah prosedur dan mekanisme konsinyasi demikian? Apakah permohonan konsinyasi selalu akan dikabulkan oleh pengadilan, dan apakah ada upaya hukum terhadap penetapan konsinyasi pengadilan? Sebagai seorang pelaku usaha, tentunya isu hukum tersebut menjadi sangat relevan dalam kegiatan bisnis sehari-hari Anda.
...
Judul eBook : Kasus-Kasus Penting Hukum Bisnis
Penulis : Hery Shietra, S.H.
Bahasa : Indonesia
Penerbit : SHIETRA PUBLISHER
Tahun terbit : Agustus 2019.
File E-book : “.pdf, dapat dibaca pada berbagai aplikasi PDF Reader perangkat digital seperti Komputer PC, Laptop, ataupun Tablet. Ebook dapat dibaca untuk seumur hidup pembeli, tidak akan rusak oleh “kutu buku”.
Harga : Rp. 109.000;-. Bebas ongkos kirim karena eBook akan dikirimkan kepada alamat email pembeli. Hanya dijual secara eksklusif oleh hukum-hukum.com
Lisensi : END USER AGREEMENT. HANYA DIJUAL KEPADA PEMBELI ORANG-PERORANGAN (Pembeli Individual), BUKAN UNTUK KEPERLUAN PERKANTORAN, PERPUSTAKAAN, ATAU SEJENISNYA. Dilarang untuk digandakan ataupun disebarkan tanpa seizin penulis dengan maksud apapun.
Cara Pemesanan : kirimkan pemesanan Anda pada alamat email legal.hukum@gmail.com , selanjutnya kami akan memberikan tata cara pemesanan serta 'syarat dan ketentuan'. Paling lambat eBook akan kami kirimkan 3 x 24 jam setelah klarifikasi penerimaan dana. (PERINGATAN : Menyalahgunakan alamat email ini ataupun nomor kontak kerja kami untuk peruntukan lain diluar pemesanan eBook, akan kami kategorikan sebagai pelanggaran terhadap “syarat dan ketentuan” dalam website profesi kami ini. Hanya klien pembayar tarif jasa konsultasi yang berhak menceritakan ataupun bertanya tentang isu hukum, karena Anda pastilah menyadari serta telah membaca keterangan sebagaimana header maupun sekujur website ini bahwa profesi utama kami ialah mencari nafkah sebagai Konsultan Hukum dengan menjual jasa berupa konseling seputar hukum.)
DAFTAR ISI
CHAPTER I : PROLOG ... 8
CHAPTER II : TELAAH KASUS, KAEDAH-KAEDAH PRESEDEN ... 29
Digugat Perdata Sekaligus Dipidana Penjara akibat Pinjam Hutang dengan Itikad Buruk Tanpa Dilunasi ... 30
Surat Kuasa Menjual Tanah Wajib Mencantumkan Harga ... 38
Causa yang Tidak Sahih Tidak Identik Berkonotasi “Batal Demi Hukum” ... 46
Distributor Mengemplang Dana Produsen / Pabrik ... 50
Kebolehan PHK Akibat Sudah Tidak Ada Lagi Keharmonisan dalam Hubungan Kerja (Disharmoni) ... 56
PHK akibat Tidak Mencapai Target Kinerja, Disamakan dengan Efisiensi ... 61
Pilih Leasing ataukah Kredit Kendaraan Bermotor? ... 67
Menikmati Uang Hasil Penipuan / Penggelapan, Menjadi Faktor Pemberat Vonis Hukuman Pidana ... 79
Sukarnya Mempidana Debitor Nakal sebagai Tersangka Pelaku Penipuan ... 84
Cara Menentukan Barang Bukti adalah Betul Hasil Pidana Pencucian Uang ataukah Milik Pribadi Terdakwa atau Pihak Ketiga ... 90
Mengolah Bahan Tambang dari Penambang Tidak Berizin, Pidana Penjara & Denda ... 99
Ambiguitas Tenaga Marketing terkait Bidang Usaha Perusahaan ... 103
Perjanjian Lisensi Francise, Turut Tunduk pada Peraturan Internal Perusahaan Pemilik Waralaba (Francisor) ... 110
Wajah Ganda Kontrak Jasa Konstruksi dengan Pemerintah sebagai Pengguna Jasa, Mengandung Ancaman Pidana disamping Perdata ... 119
Ketika Pemegang Saham Menunggak pada Perseroan ... 128
Aspek Hukum TENAGA KERJA LEPAS, Sifat Perikatan Cair & Tidak Saling Terikat dalam Unsur “Perintah” ... 132
Aspek Hukum Mitra Kerja & Uang Kerohiman Pemutusan Kemitraan ... 138
Vonis Hukuman KPPU Berupa Denda & Blacklist Peserta Tender ... 147
Urgensi Audit Sosial dan Survey Lingkungan Pra Kontrak ... 154
Performance Bond sebagai Instrumen Garansi yang Mengikat ... 166
Sifat Putusan Pengadilan Hukum Industrial, Kompensasi bagi Pekerja ... 183
Kewajiban Pengusaha & Pekerja bila Perusahaan Pindah ke Lain Kota ... 193
Rancu antara Pemilik & Direktur Badan Usaha CV ... 198
Keberatan Aset Milik Pihak Ketiga Disita Pidana Pencucian Uang ... 204
Kesepakatan Dibatalkan karena Gugatan Pembatalan, Perjanjian Bukanlah Ikatan dengan Harga Mati ... 217
Perizinan Belum Sempurna, Barang Jual-Beli Belum dapat Disebut sebagai Milik Pembeli ... 222
Dirampok / Digelapkan Karyawan, Bukanlah Force Majeur ... 238
Aspek Esensi Perjanjian Waralaba / Francise ... 244
Wanprestasi yang Melahirkan Hak Pembatalan Kontrak via Pengadilan ... 252
Kekuatan Hukum Memorandum of Understanding (MoU) ... 259
Efisiensi Usaha Tidak Mensyaratkan Perusahaan Tutup Permanen ... 268
Konsekuensi Yuridis Penerapan Prinsip Single Economic Entity Doctrine (SEED) ... 277
Resiko Hukum Dibalik Gadai Saham Perseroan ... 310
Persaingan Usaha Semu Perusahaan Keluarga dalam Tender Pemerintah ... 321
Mengenali Modus Membungkam Pemegang Saham Minoritas ... 327
Menggugat Perjanjian agar Dibatalkan karena Penipuan / Pemalsuan ... 331
Merek Dagang Tidak dapat Menyaru sebagai Hak Cipta ... 341
Tiada Upah dan Tiada Lagi Penugasan oleh Perusahaan terhadap Pekerja Tetap, diartikan sebagai Pemutusan Hubungan Kerja ... 346
Pencurian dalam Keluarga, Tetap Dipidana, bahkan dengan Hukuman yang Diperberat oleh Hakim ... 361
Tanggung Jawab Pengelola Jasa dari Kelalaian yang Mengakibatkan Kerugian Konsumen ... 365
Skorsing Tanpa Batas Waktu, Sama dengan PHK ... 371
Upah Minimum Sektoral Vs. Upah Berdasarkan Kesepakatan dalam Perjanjian Bersama ... 376
Masa Kritis Sebelum Jabatan Direksi Berakhir Tanpa Diangkat Kembali oleh RUPS ... 381
Hak Paten Versus Domain Publik (Public Domain) ... 391
Perbedaan antara Pidana Pencurian & Penggelapan oleh Pekerja ... 400
Sengketa Kekayaan Intelektual Merek termasuk Hukum Publik, Tidak Murni Perdata ... 406
Menikmati Dana Kredit, Perjanjian Hutang-Piutang Tidak Lagi dapat Dibatalkan ... 417
Menjadi Pemegang Saham Minoritas, Menyesal di Kemudian Hari ... 422
Kiat Mengatasi Penyalahgunaan Mandatory Convertible Bond oleh Pemegang Saham Mayoritas ... 428
Pekerja Dituduh Melanggar SOP Meski Perusahaan Tiada Memiliki SOP ... 439
Kerugian bagi Direksi / Pengurus Perseroan bila Tidak Menyelenggarakan RUPS untuk Melaporkan Pertanggung-Jawaban ... 444
Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap Penerimaan Manfaat Asuransi Jiwa ... 452
Penghapusan Masa Kerja secara Terselubung oleh Pemberi Kerja ... 455
Tuduhan Pidana Penggelapan Tanpa Didukung Audit Auditor Independen ... 463
Resiko Dibalik Peminjaman / Penyewaan Kendaraan Mobil Truk ... 486
Resiko Hukum Melanjutkan Praktik Tidak Sehat Badan Hukum ... 490
Idealnya Take Over Kredit lewat Subrogasi ... 498
Campur-Aduk Kerjasama Modal dan Manajerial, Tidak Fokus ... 504
Aspek Hukum Consignyasi, Penitipan Uang di Pengadilan ... 511
...
HERY SHIETRA e-book Kasus-Kasus Penting Hukum Bisnis
Untuk membaca uraian selengkapnya Kasus-Kasus Penting Hukum Bisnis, kirimkan order / pemesanan Anda kepada surel kami pada alamat legal.hukum@gmail.com
Paling lambat 3 x 24 jam setelah dana pembelian eBook kami terima, eBook akan kami kirimkan kepada alamat email pembeli.
Mengapa eBook menjadi evolusi modern media sastra? Karena sifatnya praktis serta mobile, mudah dan dapat dibawa kemana pun sebagai teman bacaan via gadget, tidak rusak termakan kutu buku, disamping tidak memakan ruang / tempat. Dengan membeli eBook, berarti kita telah turut menjaga kelestarian lingkungan. “Go Green ... !!!
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.

Arsip Artikel HUKUM-HUKUM.COM (Dropdown Menu)

Artikel yang Paling Populer Minggu Ini

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS