Menggugat Subjek Hukum yang Telah Meninggal Dunia

LEGAL OPINION
Question: Hukum perdata bilang, kalau seseorang meninggal, artinya segala hak dan kewajiban dirinya beralih kepada ahli warisnya. Artinya juga, ketika seseorang yang hendak digugat ternyata telah meninggal dunia, maka artinya otomatis yang menjadi pengganti kedudukan pihak tergugat, adalah para sekalian ahli warisnya, bukan?
Brief Answer: Jika ditinjau dari sudut pandang pragmatis kemanfaatan, demikian adanya. Begitupula secara teori, hak dan kewajiban demi hukum beralih kepada ahli waris, tidak terkecuali segala resiko atas gugatan. Meninggalnya suatu subjek hukum, tidak menghapus perikatan berupa hak dan kewajiban. Sebagai contoh, meninggalnya debitor, tidak menghapus perikatan hutang-piutang—inilah salah satu perbedaan mendasar antara hukum perdata dan hukum pidana.
Namun dalam praktik litigasi, tampaknya tidak sesederhana itu, karena pihak yang telah meninggal dunia dan kemudian digugat, wajib dalam subjek hukum pihak tergugat, disebutkan nama subjek hukum ahli waris sebagai pengganti kedudukan tergugat pewaris.
PEMBAHASAN:
Resiko bila teknis prosedural litigasi demikian tidak diindahkan pihak penggugat, maka yang kemudian terjadi ialah sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa perdata register Nomor 1811 K/PDT/2011 tanggal 30 April 2011, perkara antara:
- Yoshiaki Takamichi, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
1. PT. Multiprima Jayaputra Abadi, sebagai Termohon Kasasi I dahulu Tergugat I;
2. Raden Eddy Purnomo, selaku Termohon Kasasi II dahulu Tergugat II;
3. Nyonya Silvia Windajanti, selaku Termohon Kasasi III dahulu Tergugat III.
Hubungan hukum antara Penggugat dengan Tergugat I adalah hubungan mitra usaha pemasok mesin printing sebagai pembuat bahan baku Karpet, dan dalam hal ini Penggugat bertindak sebagai mitra usaha dalam pengadaan mesin printing. Sementara, Tergugat II merupakan Direktur Tergugat I yang bertindak atas nama dan untuk kepentingan Tergugat I dalam memesan mesin Printing dari Penggugat. Tergugat III selaku Komisaris, turut serta menentukan pemesanan bersama-sama Tergugat II atas nama serta untuk kepentingan Tergugat I dalam memesan mesin Printing dari Penggugat.
Seluruh mesin-mesin pesanan Tergugat I diterima dengan kondisi baik dan dipergunakan sesuai peruntukannya, namun Tergugat II dan Tergugat III tidak melaksanakan kewajibannya yaitu membayar seluruh harga mesin sesuai dengan invoice.
Adapun sanggahan pihak Tergugat, bahwa hubungan hukum yang ada adalah antara Tergugat I selaku “badan hukum” dengan Penggugat, dan tindakan yang dilakukan oleh Tergugat II adalah bertindak selaku Direktur Perseroan yang bila merujuk kaedah Pasal 92 dan Pasal 98 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, adalah mempunyai tugas mengurus perseroan dan mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar Pengadilan.
Demikian pula kedudukan Tergugat III selaku Komisaris, yang mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana Pasal 108 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, antara lain memeriksa buku-buku, surat-surat dan memeriksa keuangan perseroan dan melakukan pengawasan atas segala tindakan Direksi.
Dengan demikian, seharusnya Penggugat hanya mengajukan gugatan hukum hanya terhadap Tergugat I, karena berdasarkan fakta dan bukti-bukti yang ada hubungan hukum yang terjadi antara Penggugat dan Tergugat I, terlebih lagi Tergugat II pada tanggal 17 Juli 2006 telah meninggal dunia.
Oleh karenanya, gugatan Penggugat adalah eror in persona, sejalan dengan yurisprudensi putusan MA No. 601 K/Sip/1975, tentang seorang pengurus Yayasan yang digugat secara pribadi untuk mempertanggung jawabkan sengketa yang berkaitan dengan Yayasan. Dalam kasus demikian, orang yang (hanya dapat) ditarik sebagai Tergugat adalah badan hukum Yayasan.
Oleh karenanya gugatan Penggugat haruslah ditolak, atau setidak-tidaknya Tergugat II dan Tergugat III dikeluarkan dari perkara ini. Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Negeri Karawang kemudian menjatuhkan putusan Nomor 61/Pdt/G/2008/PN.Krw tanggal 8 Juni 2009, dengan pertimbangan serta amar yang penting untuk disimak, sebagai berikut :
“Menimbang bahwa benar Penggugat telah menggugat PT. MULTIPRIMA JAYAPUTRA ABADI sebagai Tergugat I, Raden Eddy Purnomo ‘pekerjaan Direktur’ sebagai Tergugat II dan Nyonya Silvia Windajanti ‘pekerjaan/jabatan Komisaris (pada) Tergugat I’;
“menimbang bahwa penyebutan Raden Eddy Purnomo pekerjaan Direktur sebagai Tergugat II, telah menimbulkan penafsiran apakah ia digugat dalam kapasitasnya sebagai Direktur Tergugat I atau selaku pribadi, atau kedua-duanya;
“Menimbang bahwa apabila Penggugat bermaksud menggugat Raden Eddy Purnomo dalam kapasitasnya selaku Direktur Tergugat I, maka seharusnya dipertegas ‘Raden Eddy Purnomo dalam kedudukannya selaku Direktur MULTIPRIMA JAYAPUTRA ABADI’;
“Menimbang bahwa Raden Eddy Purnomo (Tergugat II) menurut Tergugat III telah meninggal dunia yang dikuatkan dengan bukti T.4, ternyata bahwa Raden Eddy Purnomo telah meninggal dunia pada tanggal 17 Juli 2006, jauh sebelum gugatan ini diajukan;
“Menimbang bahwa oleh karena Raden Eddy Purnomo digugat secara pribadi dan ternyata pada saat gugatan ini diajukan telah meninggal dunia. Berarti Penggugat telah menggugat orang yang telah meninggal dunia yang tidak mungkin lagi dipanggil secara sah untuk datang menghadap persidangan, yang berarti pula persidangan tidak dapat dilanjutkan karena persidangan baru dapat dilanjutkan apabila yang bersangkutan hadir atau tidak hadir tetapi yang bersangkutan telah dipanggil secara patut;
“Menimbang berbeda halnya apabila para pihak meninggal dunia selama dalam proses, dimana Pengadilan wajib memberitahukan kepada ahli waris dari yang meninggal ic. Tergugat II telah meninggal dunia sebelum gugatan diajukan maka ahli waris Tergugat II secara sukarela datang menyatakan sebagai ahli waris dan akan membela kepentingan Tergugat II, (bandingkan putusan MA Nomor 332 K/Sip/1971 tanggal 10 Juli 1971); [Note SHIETRA & PARTNERS: Itulah salah satu fungsi utama yurisprudensi, tercipta kepastian hukum untuk meminimalisir disparitas antar putusan.]
Menimbang bahwa apabila gugatan semacam ini dibenarkan maka selain akan memungkinkan penyalahgunaan keadaan dimana Penggugat dapat dengan sengaja menggugat orang yang telah meninggal dunia tanpa menyebutkan ahli warisnya yang sudah dapat dipastikan tidak akan ada pembelaan dari orang yang telah meninggal dunia, juga putusan tersebut tidak akan dilaksanakan karena tidak mungkin ahli waris yang tidak digugat itu diminta untuk melaksanakan putusan tersebut, dipihak lain bukanlah kewenangan Pengadilan untuk mencari dan menentukan siapa ahli waris yang bersangkutan akan tetapi merupakan Kewenangan dari Penggugat;
MENGADILI :
DALAM EKSEPSI :
- Mengabulkan eksepsi Tergugat I dan II;
DALAM POKOK PERKARA :
- Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat, putusan Pengadilan Negeri diatas kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung dengan putusan Nomor 196/Pdt/2010/PT.BDG tanggal 31 Agustus 2010.
Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan argumentasi bahwa Penggugat adalah Penggugat yang beritikad baik dikarenakan Penggugat sungguh-sungguh tidak mengetahui bahwasanya Raden Eddy Purnomo telah meninggal dunia pada tanggal 17 Juli 2006, sehingga Penggugat tidak ada maksud untuk menyalahgunakan keadaan dengan sengaja menggugat orang yang telah meninggal dunia tanpa menyebut ahli warisnya.
Dalam hal ini Penggugat seakan dipaksa oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri untuk mengetahui bahwa Raden Eddy Purnomo telah meninggal dunia. Andaikan Penggugat mengetahui bahwa Tergugat II telah meninggal dunia, tentulah secara logis dimana Penggugat mengerti dan paham bahwa orang yang telah meninggal dunia tidak relevan untuk ditarik sebagai pihak dalam suatu perkara.
Penggugat juga menyebutkan, sebagai suatu artifisial person, Perseroan Terbatas tidaklah memiliki kehendak. Dalam keadaan dimana kehendak perseroan adalah kehendak pemegang saham, maka jelas yang bertanggung jawab adalah pemegang saham tersebut. Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 tahun 2007, pada Pasal 97 Ayat (3) memiliki pengaturan:
“Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2).”
Kaedah norma yang ditekankan, adalah akibat dari tindakan atau perbuatan Direksi yang salah karena disengaja ataupun lalai untuk berbuat, bertindak atau mengambil keputusan secara itikad baik, maka Direksi bertanggung jawab penuh terhadap kerugian Perseroan. Dimana terhadap dalil-dalil Penggugat, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa alasan kasasi tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti tidak salah dalam menerapkan hukum dengan pertimbangan bahwa telah benar bahwa gugatan terhadap seseorang sebagai anggota Direksi harus jelas disebutkan dalam gugatan sehingga gugatan sedemikian dalam perkara a quo adalah gugatan yang tidak sempurna;
“Bahwa Judex Facti telah menerapkan hukum secara tepat dan benar menyatakan gugutan tidak dapat diterima / Niet onvankelijk verklaard karena Penggugat menggugat orang yang telah meninggal dunia tanpa menunjuk menggugat serta ahli waris sehingga tidak mungkin untuk melaksanakan isi putusan, dan bukannya merupakan kewenangan dari Pengadilan untuk menetapkan siapa ahli waris yang harus bertanggung jawab;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, lagi pula ternyata bahwa putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi : Yoshiaki Takamichi tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Yoshiaki Takamichi tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.