LEGAL OPINION
Question: Ini gimana, jika sebagai kontraktor sudah keluar biaya bahan bangunan dan konstruksi yang telah kami beli dan stok timbun, bayar pekerja, lalu proyek konstruksi yang kami bangun rubuh kena bencana, tapi pihak pengguna jasa tidak mau mengakui itu sebagai force majeure? Masak kami yang tanggung kerugian semua jirih payah dan biaya kami itu yang tidak sedikit nilainya?
Kami kontraktor pendatang yang mendapat borongan proyek, bukan warga lokal yang tahu betul kebiasaan kondisi cuaca terutama hujan yang bisa buat longsor dan banjir. Kami sebagai kontraktor hanya punya kesanggupan menilai kondisi permukaan tanah, bukan ahli cuaca. Pihak pengguna jasa yang justru telah secara tidak jujur, tidak memberi tahu kami kondisi sebenarnya dari iklim dan cuaca ekstrim terutama hujan, yang memang ternyata sering terjadi di lokasi pembangunan konstruksi kami, sampai akhirnya terjadi banjir bandang yang meluluh-lantakkan semua kerjaan kami.
Brief Answer: Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi mewajibkan pengguna jasa konstuksi untuk membuka segala informasi terkait keadaan bentang alam serta cuaca dari lokasi pembangunan konstruksi kepada pengedia jasa. Dalam praktik, tiada pengguna jasa yang mau mengakui suatu bencana sehingga terjadi kegagalan konstruksi / bangunan sebagai suatu “keadaan kahar” (force majeure).
Oleh karena itulah, hakim di pengadilan lewat makanisme gugatanlah, yang kemudian berwenang menentukan dan menyatakan apakah suatu kejadian / peristiwa yang membawa kerugian demikian, termasuk “keadaan kahar” ataukah tidak dikategorikan sebagai “keadaan kahar”, disertai penentuan siapa dan besaran ganti-rugi yang harus dipertanggung-jawabkan.
Undang-undang tentang Jasa Konstruksi itu sendiri tidak mengatur secara tegas, pihak siapakah yang dibebani tanggung jawab untuk membayar ganti-kerugian terhadap pengerjaan yang telah dikerjakan penyedia jasa konstruksi bila proyek pembangunan mengalami kegagalan akibat suatu “force majeure”.
Sering kali juga antara pengguna jasa dan penyedia jasa, berada dalam posisi tidak seimbang. Namun ketika peraturan perundang-undangan tidak mengatur perihal menjadi beban siapakah kerugian akibat terjadinya force majeure harus ditanggung, maka salah satu sumber formil hukum lainnya yang menjadi dasar hukum sahih sebagai rujukan utama / patokan, ialah: yurisprudensi / preseden.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi konkret yang cukup representatif, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa jasa konstruksi register Nomor 2401 K/Pdt/2013 tanggal 22 Januari 2014, perkara antara:
1. PEJABAT PELAKSANA TEKNIS KEGIATAN (PPTK), yang dikelola Bidang Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Nias; 2. KUASA PENGGUNA ANGGARAN DINAS PEKERJAAN UMUM KABUPATEN NIAS; 3. KEPALA DINAS PEKERJAAN UMUM KABUPATEN NIAS, sebagai Para Pemohon Kasasi, semula selaku Para Pelawan / Para Tergugat Asal; melawan
- PT CITRA ASEAN UTAMA, selaku Termohon Kasasi dahulu Terlawan / Penggugat Asal.
Tergugat I merupakan waktil dari Tergugat II dan III, sebagai Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), untuk Proyek Lanjutan Pembangunan Jembatan Sungai Muzoi dan Jalan Ruas Lasara Tanose’o – Ononamolo Hilimbowo, sebagaimana dimaksud dalam Surat Perjanjian Pemborongan (Kontrak Induk) tanggal 19 Oktober 2009, yang ditandatangani Tergugat I sebagai pihak pertama dan Penggugat sebagai Pihak Kedua dengan nilai kontrak Rp2.391.250.000 yang dibagi dalam 2 kontrak yakni Kontrak Anak I tertanggal 19 Oktober 2009 senilai Rp167.387.500,00 dengan masa pelaksanaan 19 Oktober 2009 sampai dengan 31 Desember 2009 dan kontrak anak II tertanggal 19 Oktober 2009 senilai Rp2.223.862.500,00 dengan masa pelaksanaan 1 Januari 2010 sampai dengan 6 Mei 2010.
Namun masa pelaksanaan pekerjaan Penggugat ini mengalami perubahan (addendum) beberapa kali perpanjangan waktu disebabkan keterlambatan selesainya pekerjaan pihak lain yang berhubungan dengan pekerjaan Penggugat dan terakhir disebabkan terjadinya bencana alam (force majeure).
Tergugat II merupakan Kuasa Pengguna Anggaran yang merupakan kuasa Tergugat III dalam menjalankan tugasnya selaku Pengguna Anggaran pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Nias. Sementara Tergugat III merupakan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Nias selaku Pengguna Anggaran / Jasa pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Nias dan membawahi serta merupakan atasan dari Tergugat I dan II.
Jangka waktu pelaksanaan Kontrak Induk adalah 200 hari kerja yakni mulai tanggal 19 Oktober 2009 sampai dengan 6 Mei 2010. Namun karena terjadi keterlambatan selesainya pekerjaan pihak lain dalam pembuatan pier (karena pekerjaan pihak lain tersebut berhubungan dengan pekerjaan Penggugat) maka Penggugat pun menjadi ikut-ikutan terlambat memulai pekerjaan. Disamping itu yang lebih memperparah terlambatnya pekerjaan Penggugat lagi adalah terjadinya bencana alam (force majeure), dimana kemajuan pekerjaan Penggugat yang sangat bermakna, dirusak oleh bencana alam tersebut. Sehingga pekerjaan Penggugat yang tadinya sudah menuju selesai, terpaksa diulang dan dimulai dari bawah lagi, dan keterlambatan akibat bencana alam (force majeure) ini tidak bisa dielakkan.
Kejadian bencana alam yang menghancurkan pekerjaan Penggugat ini juga diketahui oleh Para Tergugat, hal ini terbukti dalam Laporan Mingguan Kemajuan Pekerjaan, dimana setiap terjadi bencana alam (force majeure) maka terjadi penurunan volume pekerjaan Penggugat yakni pekerjaan Penggugat yang sudah selesai 73,849 persen, tiba-tiba turun dan hanya tersisa 48,364 persen, akibat bencana alam yang merusak pekerjaan Penggugat tersebut.
Sehingga karena peristiwa bencana alam (force majeure) tersebut maka Para Tergugat membuat beberapa kali Addendum perpanjangan waktu. Perpanjangan waktu ini dilakukan karena Penggugat harus menunggu selesainya pekerjaan pembuatan pier yang dikerjakan oleh pihak lain, yang terlambat selesai sehingga mendapat Addendum perpanjangan waktu dari Para Tergugat. Sebab Penggugat baru bisa memulai pekerjaan bila pekerjaan pembuatan pier oleh pihak lain tersebut selesai, sebab pier merupakan dudukan / bantalan gelegar untuk pekerjaan Penggugat.
Sehingga Penggugat yang mestinya memulai pekerjaan bulan Januari 2010 dan selesai bulan Mei 2010, akan tetapi karena keterlambatan selesai pekerjaan pihak lain tersebut, yakni sekitar bulan Agustus 2010, sehingga Penggugat baru bisa memulai pekerjaan pada bulan September 2010. Dan efek domino dari terlambatnya pekerjaan pihak lain tersebut telah berimbas pada terlambatnya pekerjaan Penggugat, hingga kemudian terjadilah bencana alam (force majeure) yang telah menghancurkan pekerjaan Penggugat. Dilemanya, bila pekerjaan dimulai bulan September, kurang kondusif menurut Penggugat karena curah hujan sangat tinggi di Nias pada umumnya.
Dilakukan perubahan perpanjangan waktu kembali, yakni semula 19 Oktober 2009 sampai dengan 31 Januari 2011, diperpanjang lagi menjadi 19 Oktober 2009 sampai dengan 30 Juni 2011 yang disebabkan bencana alam (force majeure) yang terjadi tanggal 26 Januari 2011, kemudian diperpanjang kembali menjadi 19 Oktober 2009 sampai dengan 30 September 2011, dikarenakan bencana alam yang terjadi tanggal 18 Mei 2011, yang ternyata kemudian terpaksa diperpanjang lagi menjadi 19 Oktober 2009 sampai dengan 20 Desember 2011.
Peristiwa bencana alam tersebut juga dialami dan dilihat oleh sejumlah warga masyarakat yang berdomisili di daerah sekitar lokasi pekerjaan Penggugat. Disamping itu diantara warga masyarakat ada juga yang mengabadikan foto-foto yang menggambarkan bagaimana keadaan alam saat terjadi peristiwa bencana alam tersebut, yang menghanyutkan kayu-kayu besar dari hulu sungai, hingga menghancurkan jembatan yang sedang dikerjakan Penggugat.
Dalam mengerjakan proyek ini Penggugat juga telah menerima pembayaran dari Para Tergugat, yakni sebagai berikut:
1. Pembayaran harga selesainya pekerjaan Kontrak Anak I pada tanggal 17 Desember 2009 atau jumlah yang dibayarkan sebesar Rp159.018.125,00;
2. Pembayaran uang muka pada tanggal 15 Maret 2010 sebesar 20 persen dari nilai kontrak Anak II atau jumlah yang dibayarkan sebesar Rp396.251.863,00;
3. Pembayaran Uang Muka Termin I (Pertama) pada tanggal 17 Desember 2010 sebesar 54,75 persen dari nilai Kontrak Anak II atau jumlah yang dibayarkan sebesar Rp1.084.739.477,00.
Sehingga total pembayaran yang diterima Penggugat atas pekerjaan yang telah selesai dikerjakan Penggugat berdasarkan Laporan Mingguan Kemajuan Pekerjaan (sekitar 73,849 persen) adalah sebesar Rp1.640.009.465,00. Akan tetapi menurut penghitungan para Tergugat diduga karena adanya tambahan PPN dan lain-lain, maka total yang diterima Penggugat adalah sebesar Rp1.821.355.344,00.
Sesuai dengan Laporan Mingguan Kemajuan Pekerjaan, maka proyek ini terbukti telah 3 kali mengalami bencana alam pada tahun 2011, sehingga menimbulkan kerugian yang sangat besar di pihak Penggugat, yakni:
1. Tanggal 26 Januari 2011, terjadi banjir bandang yang pertama sehingga telah menghancurkan dan merusak konstruksi bangunan jembatan yang telah siap dibangun sampai 73,849 persen. Akibat banjir bandang tersebut volume pekerjaan Penggugat yang sebelumnya 73,849 persen hancur dan turun menjadi tinggal tersisa 48,364 persen Sehingga akibat bencana alam tersebut Penggugat mengalami yakni sebesar 73,849 persen - 48,364 persen = 25,485 persen atau setara dengan nilai uang Rp609.410.062,00;
2. Kemudian Penggugat kembali melanjutkan pekerjaan bertitik tolak dari volume pekerjaan yang sudah turun menjadi 48,364 persen dan hingga pada awal bulan Mei 2011 mencapai kemajuan sangat bermakna menjadi 67,799 persen. Namun kemajuan pekerjaan yang sangat signifikan tersebut, kembali dihancurkan oleh bencana alam pada tanggal 18 Mei 2011. Sehingga volume pekerjaan yang telah mencapai 67,799 persen tersebut kembali turun menjadi 52,143 persen pada bulan Mei 2011. Sehingga akibat bencana alam tersebut Penggugat kembali mengalami kerugian yakni sebesar 67,799 persen - 52,143 persen = 15,656 persen atau setara dengan nilai uang Rp374.374.100,00.
3. Kemudian bertitik tolak dari kemajuan pekerjaan yang telah turun menjadi 52,143 persen pada bulan Mei 2011 tersebut. Penggugat kembali mengejar ketertinggalan dan melanjutkan pekerjaan hingga pada tanggal 17 Desember 2011 mencapai kemajuan pekerjaan sangat signifikan yakni 72,491 persen. Namun kemajuan pekerjaan signifikan tersebut kembali ditelan bencana alam yang sangat dahsyat pada tanggal 22 Desember 2011, sehingga pekerjaan Penggugat yang telah siap 72,491 persen tersebut hancur. Sehingga volume pekerjaan yang tadinya telah mencapai 72,491 persen tersebut kembali turun menjadi 52,143 persen. Sehingga akibat bencana alam tersebut Penggugat kembali mengalami kerugian yakni sebesar 72,491persen - 52,143 persen = 20, 348 persen atau setara dengan nilai uang Rp486.571.550,00.
Sehingga total kerugian Penggugat akibat bencana alam (force majeure) yang terjadi 3 kali dalam tahun 2011 tersebut, adalah sebesar Rp1.470.355.712,00. Proses tuntutan penggantian kerugian Penggugat akibat bencana alam tersebut, belum pernah Penggugat ajukan, karena rencana Penggugat sebelumnya baru diajukan setelah selesainya pekerjaan Penggugat.
Sudah terbukti kepada Para Tergugat bahwa dalam melaksanakan pekerjaan proyek ini telah berulang-ulang terjadi bencana alam (force majeure). Oleh karenanya setiap kali dibuat addendum mestinya langsung diperhitungkan atau ditambahkan nilai harga kerusakan untuk mengganti kerugian Penggugat atau setidak-tidaknya ditambahkan untuk penyesuaian nilai harga pekerjaan Kontrak Anak II yang semula bernilai Rp2.223.862.500,00 lalu berubah karena ditambah harga nilai kerusakan akibat bencana alam.
Sehingga mestinya setiap kali terjadi bencana alam yang menimbulkan kerusakan, maka setiap kali itu juga direvisi / ditambah harga pekerjaan untuk penyesuaian nilai kontrak pekerjaan yakni sebesar selisih nilai harga kemajuan pekerjaan, dikurangi nilai harga kerusakan yang terjadi akibat bencan banjir tersebut, yakni:
1. Untuk kejadian tanggal 26 Januari 2011 ditambah sebesar selisih kemajuan pekerjaan dikurangi nilai kerusakan pekerjaan yakni : 73,849 persen - 48,364 persen = 25,485 persen atau setara dengan nilai uang Rp609.410.062,00;
2. Untuk kejadian tanggal 18 Mei 2011 ditambah sebesar selisih kemajuan pekerjaan dikurangi nilai kerusakan pekerjaan yakni : 67,799 persen - 52,143 persen = 15,656 persen atau setara dengan nilai uang Rp374.374.100,00;
3. Untuk kejadian tanggal 22 Desember 2011 ditambah sebesar selisih kemajuan pekerjaan dikurangi nilai kerusakan pekerjaan yakni : 72,491 persen - 52,143 persen = 20,348 persen atau setara dengan nilai uang Rp486.571.550,00.
Maka total kerugian Penggugat akibat bencana alam (force majeure) adalah Rp609.410.062,00 + Rp374.374.100,00 + Rp486.571.550,00 = Rp1.470.355.712,00. Jadi nilai kerugian kerusakan akibat bencana alam (force majeure) ini mestinya telah diperhitungkan untuk direvisi dan ditambahkan pada nilai proyek pekerjaan yang semula Rp2.223.862.500,00. Sehingga total nilai Kontrak setelah bencana alam seharusnya berubah menjadi Rp2.223.862.500,00 + Rp1.470.355.712,00 = Rp3.694.218.212,00.
Karena Surat Perjanjian Pemborongan tertanggal 19 Oktober 2009 Pasal 16 yang telah disepakati antara Penggugat dan Tergugat I yang berkapasitas mewakili Tergugat II dan III, dari dan oleh karenanya sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Oleh karenanya maka Surat Perjanjian Pemborongan tersebut harus ditaati oleh kedua belah pihak. Sehingga dengan demikian perbuatan atau tindakan Para Tergugat yang tidak memperhitungkan dan melaksanakan pembayaran kerugian Penggugat akibat pekerjaan Penggugat yang hancur karena bencana alam (force majeure), adalah merupakan perbuatan wanprestasi.
Dalam Surat Perjanjian Pemborongan tertanggal 19 Oktober 2009, pada Pasal 16 telah jelas diatur dan disepakati bahwa:
1. Bahwa keadaan kahar (force majeure) adalah keadaan luar biasa yang terjadi di luar kemampuan dan kesalahan Pihak Kedua ic. Penggugat, seperti gempa bumi, banjir, badai, gunung meletus, wabah penyakit, angin topan, tanah longsor, peperangan, kerusuhan, revolusi, pemogokan, kebakaran, gangguanindustry lainnya yang mengakibatkan Pihak Kedua ic. Penggugat tidak mampu menanggulangi dan mengambil tindakan-tindakan pencegahan sebelumnya;
2. Bahwa apabila terjadi keadaan kahar maka penyedia jasa ic. Penggugat memberitahukan dalam waktu 14 (empat belas) hari dari hari terjadinya keadaan kahar dengan menyatakan pernyataan keadaan kahar dari instansi yang berwenang;
3. Bahwa keadaan kahar (force majeure) tersebut pada Pasal 16 ayat (1) dinyatakan sah apabila telah mendapat pengakuan/pernyataan dari suatu Tim / instansi yang berwenang atau pernyataan dari pihak pemilik dan dinyatakan benar bahwa menimbulkan gangguan terhadap pelaksanaan pekerjaan;
4. Bahwa dalam hal pihak kedua ic. Penggugat tidak dapat melanjutkan pelaksanaan pekerjaan borongan akibat keadaan kahar (force majeure), kepada pihak kedua ic. Penggugat dapat dibayarkan sejumlah pekerjaan yang telah dilaksanakan dikurangi 5 persen (lima persen) dari total biaya yang diterima sebagai biaya pemeliharaan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan berdasarkan Berita Acara yang disetujui pihak pertama ic. Tergugat I, II, dan III.
Maka, semestinya Para Tergugat sebelum memutus Kontrak Pekerjaan, maka Penggugat harus terlebih dahulu mengganti kerugian Penggugat yakni bila dihitung dan lalu dikompensasi dengan tingkat penyelesaian pekerjaan yang telah Penggugat kerjakan sesuai Laporan Mingguan Kemajuan Pekerjaan.
Maka Penggugat mestinya menerima pembayaran dari pada Para Tergugat setidak-tidaknya yakni 73,849 persen x Rp2.391.250.000,00 = Rp1.765.914.212,00 – Rp88.295.710,00 (5 persen ketentuan Pasal 16 ayat 4 sebagai biaya pemeliharaan) - Rp16.738.750,00 (denda keterlambatan 0,1 persen perhari yakni 7 hari x Rp2.391.250,00), sehingga yang mesti diterima Penggugat adalah = Rp1.660.879.752,00 + Rp1.470.355.712,00 (biaya ganti kerugian Penggugat akibat kerusakan bencana alam / force majeure) sehingga setidak-tidaknya nilai harga pekerjaan yang dibayar Para Tergugat kepada Penggugat ketika diputus kontrak adalah Rp1.660.979.752,00 + Rp1.470.355.712,00 = Rp3.131.235.464,00.
Berdasarkan kalkulasi di atas, maka kalau pun diputus kontrak terhadap Penggugat, maka pembayaran yang harus diberikan kepada Penggugat adalah: Rp3.131.235.464,00 dikurangi pembayaran Para Tergugat terhadap Penggugat sebesar Rp1.821.355.344,00; lalu dikurangi 5 persen ketentuan Pasal 16 ayat 4 sebagai biaya pemeliharaan sebesar Rp88.295.710,00; lalu dikurangi denda keterlambatan terhadap Penggugat ketentuan Pasal 13 ayat 7 yakni 0,1 persen perhari = Rp2.391.250,00 x 7 hari = Rp16.738.750,00; sehingga sebelum memutuskan kontrak pekerjaan Penggugat seharusnya Para Tergugat terlebih dahulu melakukan pembayaran kepada Penggugat senilai Rp3.131.235.464,00 – Rp1.821.355.344,00 – Rp88.295.710,00 – Rp16.738.750,00 = Rp1.204.845.660,00.
Terhadap gugatan sang kontraktor, Pengadilan Negeri Gunungsitoli kemudian menjatuhkan putusan sebagaimana Nomor 15/Pdt.G/2012/PN.GS, tanggal 21 Juni 2012 dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
1. Menyatakan Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III tidak hadir di persidangan walaupun telah dipanggil secara sah dan patut;
2. Megabulkan gugatan Penggugat sebagian secara verstek;
3. Menyatakan Para Tergugat telah melakukan wanprestasi;
4. Menyatakan Para Tergugat bertanggung-jawab baik secara jabatan maupun secara pribadi atas Perjanjian Pemborongan Nomor ... tanggal 19 Oktober 2009, yang dibuat antara Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Kabupaten Nias dengan Penggugat;
5. Menghukum Para Tergugat untuk membayar ganti rugi sebesar Rp1.204.845.660,00 (satu miliar dua ratus empat juta delapan ratus empat puluh lima ribu enam ratus enam puluh rupiah) kepada Penggugat secara tunai dan seketika;
6. Menghukum Para Tergugat untuk membayar biaya perkara ini yang sampai saat ini ditaksir sebesar Rp441.000,00 (empat ratus empat puluh satu ribu rupiah);
7. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Terhadap putusan verstek Pengadilan Negeri Gunungsitoli Nomor 15/Pdt.G/2012/PN.GS, tanggal 21 Juni 2012 tersebut, Para Tergugat / Para Pelawan mengajukan “gugat-perlawanan” (verzet). Terhadap upaya hukum verzet demikian, Pengadilan Negeri Gunungsitoli kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 15/Pdt/VZ/2012/PN.GS, tanggal 19 Desember 2012, dengan pertimbangan serta dengan amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa setelah memperhatikan dan mempertimbangkan segala sesuatu yang diajukan sebagai pembuktian dalam pemeriksaan perkara ini, Majelis Hakim menyimpulkan bahwa keadaan banjir tersebut dapat dikatagorikan sebagai keadaan kahar / force majeure sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat 3 Perjanjian Pemborongan antara Pelawan dan Terlawan;
“Terlawan mendalilkan bahwa pekerjaannya tersebut tidak selesai dikerjakan karena adanya bencana alam berupa yang terjadi sebanyak 3 kali di lokasi dengan adanya bukti tambahan P.14 berupa CD berisikan video dokumentasi peristiwa bencana alam yang terjadi tanggal 22 Desember 2011, hingga menghanyutkan jembatan yang sedang dibangun oleh Terlawan ...;
“Perlawanan yang diajukan Para Pelawan adalah tidak tepat dan tidak beralasan oleh karenanya Pelawan haruslah dinyatakan sebagai Pelawan yang tidak benar (kwaad opposant);
“MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Menyatakan bahwa perlawanan terhadap putusan verstek tertanggal 21 Juni 2012 Nomor 15/Pdt.G/2012/PN GS, tersebut di atas adalah tidak tepat dan tidak beralasan;
2. Menyatakan bahwa Para Pelawan adalah Pelawan yang tidak benar (kwaad opposant);
3. Mempertahankan putusan verstek dimaksud.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Para Pelawan / Para Tergugat Asal, Putusan Pengadilan Negeri Gunungsitoli Nomor 15/Pdt./VZ/2012/PN.GS, tersebut kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dengan Putusan Nomor 92/PDT/2013/PT.MDN, tanggal 4 Juni 2013.
Pihak pemerintah selaku pengguna jasa, mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gunungsitoli yang mengadili perkara perdata Nomor 15/Pdt/VZ/2012/PN.GS, hanya fokus pada perbuatan Pembanding yang melakukan pemutusan hubungan kontrak kepada Terbanding, tetapi tidak mempertimbangkan hal-hal yang menyebabkan Pembanding melakukan pemutusan kontrak yakni bahwa Terbanding telah diberikan 6 kali perpanjangan kontrak dalam melaksanakan pekerjaan, yang secara logika adalah telah diberikan kesempatan yang cukup lama dalam menyelesaikan pekerjaannya dan dalam rentan waktu yang cukup lama tersebut ada cukup waktu bagi Terbanding menyelesaikan pekerjaan, karena di lokasi tempat pekerjaan Terbanding tidak terus-menerus terjadi hujan apalagi banjar.
Telah diberi perpanjangan jangka waktu / addendum, namun Terbanding tetap tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya, malah menggunakan alasan banjir (force majeure) sebagai alasannya tidak dapat menyelesaikan pekerjaan dan alasan tersebut tidak dapat dibuktikan secara sah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 ayat 3 Surat Perjanjian Pemborongan tertanggal 19 Oktober 2009 yang telah disepakati antara Pembanding dengan Terbanding, yaitu: “Keadaan kahar (force majeure) tersebut pada Pasal 16 Ayat (1) dinyatakan sah apabila telah mendapat pengakuan / pernyataan dari suatu tim / instansi yang berwenang atau pernyataan dari pihak pemilik dan dinyatakan benar bahwa menimbulkan gangguan terhadap pelaksanaan pekerjaan.”
Nyatanya sampai saat ini tidak ada pengakuan / pernyataan dari suatu tim / instansi yang berwenang yang menyatakan bahwa yang dialami oleh Terlawan dalam pelaksanaan pekerjaan pembangunan Jembatan Sungai Muzoi dan Jalan Ruas Lasara Tanose’o – Ononamolo Hilimbowo, Kecamatan Hiliduho, adalah keadaan kahar (force majeure).
Majelis Hakim berpendapat bahwa benar telah terjadi bencana alam berupa banjir sebanyak 3 kali di lokasi proyek sebagaimana perjanjian antara Pelawan dengan Terlawan, yang mengakibatkan terhentinya pekerjaan Terlawan, hal tersebut tidak dapat diterima karena bukti tambahan P.14 berupa CD berisikan video dokumentasi peristiwa bencana alam yang terjadi tanggal 22 Desember 2011 tersebut, diragukan kebenarannya karena bukti tambahan P.14 tersebut rawan terjadinya tindakan editing (diragukan kebenarannya), mengingat Majelis Hakim tidak memiliki kompetensi dibidang keahlian forensik untuk memastikan kebenaran isi video dimaksud dari segi kebenaran lokasi, waktu pembuatan / pengambilan gambar.
Dimana terhadap keberatan demikian, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan yang penting untuk disimak, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah memeriksa secara saksama memori kasasi tanggal 19 Juli 2013 dan jawaban memori tanggal 14 Agustus 2013 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Putusan Pengadilan Negeri Gunungsitoli yang dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Medan, ternyata Judex Facti tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa oleh karena terhentinya pekerjaan pembangunan jembatan Sungai Muzoi yang dilakukan oleh Terlawan / Penggugat karena terjadinya bencana alam banjir yang mengkibatkan jembatan hanyut, sehingga merupakan keadaan force majeure, maka berdasarkan Pasal 16 ayat (3) Surat Perjanjian Pemborongan Nomor ... tanggal 19 Oktober 2009, Pelawan / Tergugat harus membayar ganti rugi kepada Terlawan / Penggugat;
- Bahwa dengan demikian pertimbangan Judex Facti yang menyatakan bahwa Para Pelawan sebagai Pelawan yang tidak benar dan mempertahankan putusan verstek sudah tepat dan benar;
- Bahwa lagi pula alasan-alasan kasasi lainnya mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata putusan Judex Facti (Pengadilan Tinggi / Pengadilan Negeri) dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PEJABAT PELAKSANA TEKNIS KEGIATAN (PPTK) dan kawan-kawan tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: 1. PEJABAT PELAKSANA TEKNIS KEGIATAN (PPTK), 2. KUASA PENGGUNA ANGGARAN DINAS PEKERJAAN UMUM KABUPATEN NIAS, dan 3. KEPALA DINAS PEKERJAAN UMUM KABUPATEN NIAS, tersebut.”
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI
Pasal 39
(1) Para pihak dalam pengikatan Jasa Konstruksi terdiri atas:
a. Pengguna Jasa; dan
b. Penyedia Jasa.
(2) Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. orang perseorangan; atau
b. badan.
(3) Pengikatan hubungan kerja Jasa Konstruksi dilakukan berdasarkan prinsip persaingan yang sehat dan dapat dipertanggung-jawabkan secara keilmuan.
Pasal 40
Ketentuan mengenai pengikatan di antara para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hukum keperdataan kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 47
(1) Kontrak Kerja Konstruksi paling sedikit harus mencakup uraian mengenai:
a. para pihak, memuat secara jelas identitas para pihak;
b. rumusan pekerjaan, memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, harga satuan, lumsum, dan batasan waktu pelaksanaan;
c. masa pertanggungan, memuat tentang jangka waktu pelaksanaan dan pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab Penyedia Jasa;
d. hak dan kewajiban yang setara, memuat hak Pengguna Jasa untuk memperoleh hasil Jasa Konstruksi dan kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan, serta hak Penyedia Jasa untuk memperoleh informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan layanan Jasa Konstruksi;
e. penggunaan tenaga kerja konstruksi, memuat kewajiban mempekerjakan tenaga kerja konstruksi bersertifikat;
f. cara pembayaran, memuat ketentuan tentang kewajiban Pengguna Jasa dalam melakukan pembayaran hasil layanan Jasa Konstruksi, termasuk di dalamnya jaminan atas pembayaran;
g. wanprestasi, memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan;
h. penyelesaian perselisihan, memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan;
i. pemutusan Kontrak Kerja Konstruksi, memuat ketentuan tentang pemutusan Kontrak Kerja Konstruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak;
j. keadaan memaksa, memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak; (Penjelasan Resmi: Keadaan memaksa mencakup:
1) keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut) yakni bahwa para pihak tidak, mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya;dan
2) keadaan memaksa yang bersifat tidak mutlak (relatif), yakni bahwa para pihak masih dimungkinkan untuk melaksanakan hak dan kewajibannya. Risiko yang diakibatkan oleh keadaan memaksa dapat diperjanjikan oleh para pihak, antara lain melalui lembaga pertanggungan (asuransi).
k. Kegagalan Bangunan, memuat ketentuan tentang kewajiban Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa atas Kegagalan Bangunan dan jangka waktu pertanggungjawaban Kegagalan Bangunan;
l. pelindungan pekerja, memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial;
m. pelindungan terhadap pihak ketiga selain para pihak dan pekerja, memuat kewajiban para pihak dalam hal terjadi suatu peristiwa yang menimbulkan kerugian atau menyebabkan kecelakaan dan/atau kematian;
n. aspek lingkungan, memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan tentang lingkungan;
o. jaminan atas risiko yang timbul dan tanggung jawab hukum kepada pihak lain dalam pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi atau akibat dari Kegagalan Bangunan; dan
p. pilihan penyelesaian sengketa konstruksi.
(2) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kontrak Kerja Konstruksi dapat memuat kesepakatan para pihak tentang pemberian insentif.
Pasal 48
Selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Kontrak Kerja Konstruksi:
a. untuk layanan jasa perencanaan harus memuat ketentuan tentang hak kekayaan intelektual;
b. untuk kegiatan pelaksanaan layanan Jasa Konstruksi, dapat memuat ketentuan tentang Sub penyedia Jasa serta pemasok bahan, komponen bangunan, dan/atau peralatan yang harus memenuhi standar yang berlaku; dan
c. yang dilakukan dengan pihak asing, memuat kewajiban alih teknologi.
Pasal 49
Ketentuan mengenai Kontrak Kerja Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 berlaku juga dalam Kontrak Kerja Konstruksi antara Penyedia Jasa dan Subpenyedia Jasa.
Pasal 56
(1) Dalam hal tanggung jawab atas biaya Jasa Konstruksi dibuktikan dengan kemampuan membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) huruf a, Pengguna Jasa wajib melaksanakan pembayaran atas penyerahan hasil pekerjaan Penyedia Jasa secara tepat jumlah dan tepat waktu.
(2) Pengguna Jasa yang tidak menjamin ketersediaan biaya dan tidak melaksanakan pembayaran atas penyerahan hasil pekerjaan Penyedia Jasa secara tepat jumlah dan tepat waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai ganti kerugian sesuai dengan kesepakatan dalam Kontrak Kerja Konstruksi
Pasal 60
(1) Dalam hal penyelenggaraan Jasa Konstruksi tidak memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa dapat menjadi pihak yang bertanggung jawab terhadap Kegagalan Bangunan.
(2) Kegagalan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh penilai ahli.
(3) Penilai ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
(4) Menteri harus menetapkan penilai ahli dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya laporan mengenai terjadinya Kegagalan Bangunan.
Pasal 61
(1) Penilai ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) harus:
a. memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja pada jenjang jabatan ahli di bidang yang sesuai dengan klasifikasi produk bangunan yang mengalami Kegagalan Bangunan;
b. memiliki pengalaman sebagai perencana, pelaksana, dan/atau pengawas pada Jasa Konstruksi sesuai dengan klasifikasi produk bangunan yang mengalami Kegagalan Bangunan; dan
c. terdaftar sebagai penilai ahli di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Jasa Konstruksi.
(2) Penilai ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas antara lain:
a. menetapkan tingkat kepatuhan terhadap Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
b. menetapkan penyebab terjadinya Kegagalan Bangunan;
c. menetapkan tingkat keruntuhan dan/atau tidak berfungsinya bangunan;
d. menetapkan pihak yang bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan;
e. melaporkan hasil penilaiannya kepada Menteri dan instansi yang mengeluarkan izin membangun, paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal pelaksanaan tugas; dan
f. memberikan rekomendasi kebijakan kepada Menteri dalam rangka pencegahan terjadinya Kegagalan Bangunan.
Pasal 62
(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) penilai ahli dapat berkoordinasi dengan pihak berwenang yang terkait.
(2) Penilai ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib bekerja secara profesional dan tidak menjadi bagian dari salah satu pihak.
Pasal 88
(1) Sengketa yang terjadi dalam Kontrak Kerja Konstruksi diselesaikan dengan prinsip dasar musyawarah untuk mencapai kemufakatan.
(2) Dalam hal musyawarah para pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mencapai suatu kemufakatan, para pihak menempuh tahapan upaya penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi.
(3) Dalam hal upaya penyelesaian sengketa tidak tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), para pihak yang bersengketa membuat suatu persetujuan tertulis mengenai tata cara penyelesaian sengketa yang akan dipilih.
(4) Tahapan upaya penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. mediasi;
b. konsiliasi; dan
c. arbitrase.
(5) Selain upaya penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan huruf b, para pihak dapat membentuk dewan sengketa. (Penjelasan Resmi: Yang dimaksud dengan “dewan sengketa” adalah tim yang dibentuk berdasarkan kesepakatan para pihak sejak pengikatan Jasa Konstruksi untuk mencegah dan menengahi sengketa yang terjadi di dalam pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi.)
(6) Dalam hal upaya penyelesaian sengketa dilakukan dengan membentuk dewan sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (5), pemilihan keanggotaan dewan sengketa dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalitas dan tidak menjadi bagian dari salah satu pihak.
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 29 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI
Pasal 20
1. Kontrak kerja konstruksi pada dasarnya dibuat secara terpisah sesuai tahapan dalam pekerjaan konstruksi yang terdiri dari kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanaan, kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan pelaksanaan, dan kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan pengawasan.
2. Dalam hal pekerjaan terintegrasi, kontrak kerja konstruksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dituangkan dalam 1 (satu) kontrak kerja konstruksi.
3. Kontrak kerja konstruksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibedakan berdasarkan:
a. Bentuk imbalan yang terdiri dari:
1. Lump Sum;
2. harga satuan;
3. biaya tambah imbalan jasa;
4. gabungan Lump Sum dan harga satuan; atau
5. Aliansi.
b. Jangka waktu pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang terdiri dari:
1. tahun tunggal; atau
2. tahun jamak.
c. Cara pembayaran hasil pekerjaan:
1. sesuai kemajuan pekerjaan; atau
2. secara berkala.
Pasal 21
1. Kontrak kerja konstruksi dengan bentuk imbalan Lump Sum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf a angka 1 merupakan kontrak jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam jangka waktu tertentu dengan jumlah harga yang pasti dan tetap serta semua risiko yang mungkin terjadi dalam proses penyelesaian pekerjaan yang sepenuhnya ditanggung oleh penyedia jasa sepanjang gambar dan spesifikasi tidak berubah.
2. Kontrak kerja konstruksi dengan bentuk imbalan Harga Satuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf a angka 2 merupakan kontrak jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam jangka waktu tertentu berdasarkan harga satuan yang pasti dan tetap untuk setiap satuan / unsur pekerjaan dengan spesifikasi teknis tertentu, yang volume pekerjaannya didasarkan pada hasil pengukuran bersama atas volume pekerjaan yang benar-benar telah dilaksanakan oleh penyedia jasa.
3. Kontrak kerja konstruksi dengan bentuk imbalan Biaya Tambah Imbalan Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf a angka 3 merupakan kontrak jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam jangka waktu tertentu, di mana jenis-jenis pekerjaan dan volumenya belum diketahui dengan pasti, sedangkan pembayarannya dilakukan berdasarkan pengeluaran biaya yang meliputi pembelian bahan, sewa peralatan, upah pekerja dan lain-lain, ditambah imbalan jasa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
4. Kontrak kerja konstruksi dengan bentuk imbalan Gabungan Lump Sum dan Harga Satuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf a angka 4 merupakan gabungan Lump Sum dan atau harga satuan dan atau tambah imbalan jasa dalam 1 (satu) pekerjaan yang diperjanjikan sejauh yang disepakati para pihak dalam kontrak kerja konstruksi.
5. Kontrak kerja konstruksi dengan bentuk imbalan Aliansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf a angka 4 merupakan kontrak pengadaan jasa di mana suatu harga kontrak referensi ditetapkan lingkup dan volume pekerjaan yang belum diketahui ataupun diperinci secara pasti sedangkan pembayarannya dilakukan secara biaya tambah imbal jasa biaya lebih yang timbul dari perbedaan biaya sebenarnya dan harga kontrak referensi.
Pasal 23
1. Kontrak kerja konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) sekurang-kurangnya harus memuat uraian mengenai:
g. Ketentuan mengenai cidera janji yang meliputi: 2. Dalam hal terjadi cidera janji yang dilakukan oleh penyedia jasa atau pengguna jasa, pihak yang dirugikan berhak untuk memperoleh kompensasi, penggantian biaya dan atau perpanjangan waktu, perbaikan atau pelaksanaan ulang hasil pekerjaan yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau pemberian ganti rugi;
j. Keadaan memaksa mencakup kesepakatan mengenai:
1. risiko khusus;
2. macam keadaan memaksa lainnya; dan
3. hak dan kewajiban pengguna jasa dan penyedia jasa pada keadaan memaksa.
[Note SHIETRA & PARTNERS: Jika di kontrak tak diatur, maka bagaimana hukumnya? Maka, yang berlaku ialah Hukum Kebiasaan (1339 KUHPerdata) serta Yurisprudensi.]
Pasal 32
4. Penyedia jasa wajib mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 yang disebabkan kesalahan penyedia jasa atas biaya sendiri.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.