KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Psikologi Dibalik Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian dan Gugatan Cerai

Bermula dari Cinta, Berakhir kepada Kebencian. Semakin Anda Mencintai Seseorang, (maka) Semakin Besar Resiko Anda akan Merasa Tersakiti dan Terluka

Tanpa Hitam, Tanpa Putih. Tanpa Cinta, Tanpa Benci. Tanpa Pernikahan, Tanpa Perceraian

Di negara China, mengupayakan perceraian lewat gugatan ke pengadilan, tidak semudah praktek putusnya perkawinan akibat gugatan perceraian di peradilan Indonesia. Alasan gugatan perceraian yang klise, seperti telah berpisah tempat tinggal selama dua tahun atau lebih, maupun perselisihan pendapat yang terjadi terus-menerus, tidaklah cukup untuk membuat hakim bersedia mengabulkan gugatan perceraian. Banyak pasangan yang secara “de facto” rumah tangganya telah putus di China, merasa frustasi karena secara “de jure” administrasi kependudukan masih tercatat sebagai masih terikat perkawinan sehingga tidak dapat menjalin rumah-tangga dengan pihak lain. Ibaratnya, sekali memilih untuk menikah, maka akan tersandera untuk seumur hidup, satu buah keputusan yang dapat menjerat untuk sepanjang hayat hidup Anda, keputusan mana bisa jadi akan Anda sesali sendiri dikemudian hari.

Itulah sebabnya, perkara perceraian di China cukup dipandang prestise mengingat tingkat kesukarannya untuk dikabulkan hakim, dimana pengacara untuk litigasi perceraian dibayar cukup mahal jasanya, serta bila berhasil memutus perkawinan sang klien lewat gugatan maka menjadi kebanggaan tersendiri karena tantangannya yang memang tidak mudah, disamping upaya yang intens menyelesaikan di luar pengadilan serta memakan waktu cukup lama untuk memediasi agar kedua pihak bersedia bercerai tanpa proses gugat-menggugat di pengadilan sebagai upaya dan harapan paling rasional untuk ditempuh.

Akan tetapi, terlepas dari hal demikian, telah ternyata ada yang melatar-belakangi sukarnya hakim di pengadilan China mengabulkan suatu gugatan perceraian. Cobalah Anda pertimbangkan faktor berikut, bila sang istri yang digugat, telah ternyata telah lewat masa keemasannya yang tidak muda lagi, “hanya” berprofesi sebagai ibu rumah tangga, tidak bekerja dan tidak punya pengalaman bekerja karena selama ini sibuk mengurus rumah-tangga, tidak memiliki rumah pribadi miliknya sendiri (bertempat-tinggal di rumah milik bersama sang pasangan suami-istri), maka divonis “perkawinan putus akibat perceraian” tidak ubahnya “vonis MATI” (death pinalty) bagi sang istri.

Pernikahan atau perkawinan, terkadang bukan soal urusan percintaan antar pasangan semata, namun rasionalisasi turut terlibat di dalamnya, yang seringkali ialah faktor ekonomi. Putusnya pernikahan akibat perceraian, entah bercerai “baik-baik” ataukah akibat digugat maupun menggugat cerai, tidak identik “akhir dari hidup” sang mantan suami. Sang mantan suami selama ini telah membangun karir, atau memiliki keterampilan yang terasah sepanjang hidupnya untuk mencari nafkah sendiri, serta kemungkinan untuk memiliki istri baru yang masih muda bukanlah urusan sukar bilamana memiliki “modal” berupa harta-materi yang memadai.

Kini, mari kita beralih kepada perspektif seorang istri yang digugat cerai oleh seorang pria yang tidak menaati prinsip awalnya ketika menikah, yang telah ternyata ketika tubuh sang istri tidak lagi menarik, lalu tertarik kepada wanita lain yang masih muda—ibarat bunga yang masih mekar sempurna dipetik, ketika layu dicampakkan dan beralih kepada bunga muda lainnya yang masih segar—maka selain merasa terkhianati, janjinya diingkari untuk setia seumur hidup “suka dan suka bersama”, harapan atas masa depan dan tua yang saling menjaga satu sama lainnya menjadi pupus seketika, suami sebagai tempatnya bergantung selama ini tidak lagi dapat menjadi “pegangan”, bahkan tidak lagi memiliki harapan mengingat sang istri selama ini mendedikasikan seumur hidupnya untuk merawat rumah, merawat suami, merawat anak-anak, diceraikan oleh gugatan maupun bercerai merupakan sebuah vonis mati dalam arti yang sesungguhnya.

Posisi dilematisnya tidak cukup sampai di situ, ketika sang istri digugat cerai oleh sang suami, apakah sang istri harus memperjuangkan “hak asuh” terhadap anak-anak? Bagaimana mungkin dapat membiayai biaya hidup anak untuk bersekolah dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi, bila untuk menafkahi dirinya sendiri saja tidak dimungkinkan mengingat keterampilannya ialah “hanya” sebagai ibu rumah tangga tanpa penghasilan dari profesi lainnya? Pernah terjadi, yang digugat cerai menuntut agar “hak asuh” dari salah satu dari beberapa anaknya diserahkan kepadanya, anak-anak lainnya dipersilahkan untuk diasuh oleh pihak pasangan yang menggugat. Anda tahu, apa yang kemudian terjadi? Pengacara pihak penggugat mendalilkan bahwa pihak Tergugat “pilih kasih” terhadap anak-anaknya sendiri. Tidak ada yang lebih jahat dan keji, daripada tudingan-tudingan pengacara dalam suatu gugat-mengguat perkara perceraian, “pembunuhan karakter” dalam arti harafiah.

Dalam kesempatan sebelumnya, penulis pernah menuliskan bahwa “janganlah kita bersikap seolah-olah tidak memiliki syarat”, dalam aspek kehidupan apapun, terutama untuk urusan komitmen jangka panjang seperti perkawinan. Sedari awal, Anda jika perlu membuat “perjanjian perkawinan”, bahwa Anda tidak dapat dilarang untuk membangun karir serta memiliki profesi Anda sendiri sekalipun Anda berstatus sebagai istri ataupun ibu dari anak-anak dalam perkawinan Anda. Dengan cara begitulah, Anda memiliki “back up plan” ketika skenario terburuk terjadi : digugat cerai oleh suami yang selama ini begitu Anda percaya, bergantung, dan cintai. Anda boleh menyebutnya sebagai “ber-politik dalam rumah tangga”. Anda perlu menjadi diplomat sekalipun pengacara bagi diri Anda sendiri, bukankah begitu?

Jika Anda ingin hidup damai, maka bersiaplah untuk “berperang”, sivis pacem para bellum. Anektot demikian, tetap relevan untuk konteks pernikahan, terutama bila Anda adalah seorang istri, Anda harus menyiapkan mitigasi diceraikan secara paksa lewat pengadilan. Ingatlah (demi kebaikan Anda sendiri), manusia adalah makhluk yang tidak konsisten, terutama urusan percintaan dan komitmen dalam rumah tangga. Cinta, adalah tentatif dan temporer sifatnya, tidak permanen, setidaknya itulah “psikologi rata-rata kaum pria”. Ada yang menyebutkan, wanita berurusan dengan rasa, sementara pria berurusan dengan akal-logika. Namun, untuk urusan percintaan, yang terjadi ialah sebaliknya. Pria atau kalangan suami, dapat dengan mudahnya berpindah ke lain hati, bilamana “rasa” menjelma “hambar” di mata.

Usia prima seorang wanita, pada usia 30-an, sementara kaum pria tidak memiliki masa prima. Untuk memenangkan peperangan, Anda harus mengenal “lawan” Anda, termasuk siapa yang Anda nikahi, yakni seorang pria bila Anda adalah seorang wanita, begitulah “seni perang” (the art of war) berpesan. Karenanya, rekomendasi terbaik bagi kalangan wanita, ialah asah dan pertajam terus keterampilan Anda, bangun dan lestarikan profesi Anda, dan miliki sumber pendapatan Anda sendiri. Anda dapat bergantung pada masa tua Anda sendiri dari karir atau profesi Anda, alias “berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri), bilamana skenario terburuk terjadi. Anda tidak perlu mengemis-ngemis agar tidak diceraikan, Anda masih memiliki hidup Anda sendiri, serta profesi atau kegiatan dan penghasilan Anda sendiri tentunya, “dunia” yang telah Anda persiapkan sejak sebelum ataupun saat mulai terikat perkawinan, ketika skenario terburuk benar-benar terjadi.

Bila Anda, menikahi seorang pria, dengan impian atau harapan dapat “hidup nyaman”, maka itu adalah delusi yang harus Anda buang jauh-jauh. Oke, katakanlah suami Anda tidak akan menghianati Anda untuk seumur hidupnya, namun siapa yang bisa menjamin atau memprediksi, Anda akan benar-benar “menua” bersama suami Anda? Bisa saja suami Anda akan meninggal dunia di usia mudanya, akibat kecelakaan atau penyakit, ataupun faktor lainnya. Anda siap? Menikahlah dengan “cerdas”, bukan dengan “keras”. Anda harus belajar memahami, bahwa orang-orang yang bekerja “keras” mengapa selalu kalah bersaing terhadap mereka yang bekerja secara “cerdas”—tanpa melepas fakta bahwa orang-orang yang bekerja “cerdas” sekalipun akan kalah menghadapi orang-orang yang “beruntung” sekalipun bekerja secara tidak cukup “banting-tulang” dan juga kurang “pandai”. Bagaimana cara menciptakan “the LUCK Factor”, telah penulis bahas dalam kesempatan sebelumnya.

Kita kembali kepada “psikologi pria”, terutama pria-pria kolot-konservatif “tempoe doeloe”. Mengapa banyak suami, seolah tidak senang atau bahkan melarang istrinya bekerja? Alasan mereka, pasti terdengar klise di pendengaran Anda : siapa yang akan merawat anak, bila bukan ibunya? Anak-anak masih kecil, butuh curahan perhatian dan kasih sayang sang ibu. Siapa yang akan menyusui anak balita, sapi? Tidak boleh bekerja di luar rumah, agar tidak melirik ataupun dilirik pria lain. Itulah, pikiran-pikiran picik-dangkal kalangan banyak pria “tempoe doeloe” yang mungkin masih dapat Anda jumpai hingga saat kini, yang harus betul-betul Anda waspadai dan sadari sedini mungkin sebelum terikat pernikahan.

Alasan sebenarnya ialah, kalangan suami tidak mau tersaingi oleh keberhasilan karir ataupun bisnis sang istri. Bagi mereka, “membonsai” istri adalah ibarat mencuri selendang bidadari yang sedang mandi, agar sang bidadari tidak bisa terbang kembali ke alam surgawi sehingga bersedia dinikahi dan terikat di Bumi untuk seumur hidupnya. Cara atau modus paling sempurna untuk “mematahkan sayap, tangan, dan kaki” istri, ialah agar sang istri bergantung sepenuhnya kepada penghasilan sang suami. Bila Anda, kalangan istri, masih berdelusi untuk “hidup nyaman” dengan cara masuk ke dalam pernikahan dan membangun rumah-tangga, maka Anda sedang menyiapkan lubang kubur serta perangkap maut untuk diri Anda sendiri.

Pernah penulis amati, karir / profesi istri yang lebih sukses daripada sang suami, membuat kalangan suami tampak inferior di hadapan sang istri. Penulis bahkan menilai rumah-tangga pasangan semacam itu lebih menyerupai “matrilineal”. Yang terburuk ialah, sebagaimana fakta terjadi di lapangan, karir istri yang melonjak tinggi sementara karir suami justru menukik ke arah sebaliknya, tiarap, membuat istri memandang remeh dan tidak lagi menghormati suami. Muaranya, istri mulai berselingkuh dan pada akhirnya rumah-tangga pun retak.

Pernah ada seorang wanita, menyukai penulis, namun penulis merasa yang bersangkutan berasal dari “dunia yang berbeda” karena latar-belakang ekonomi keluarganya yang tergolong sangat mapan, kelas atas. Kami hidup di “dua dunia yang berbeda”, karenanya menikah ataupun membangun hubungan bersama dengannya bukanlah opsi yang rasional. Mari kita tinjau kembali contoh kasus sebelumnya, dimana ketika sang suami menikahi istrinya, istrinya hanyalah pekerja tanpa jabatan struktural di kantornya bekerja, sementara sang suami adalah pada posisi “top manajemen”.

Awalnya hubungan rumah-tangga mereka harmonis, memiliki anak, sampai kemudian karir sang istri melonjak, menapaki posisi “top manajemen”, sementara posisi karir sang suami justru terjerembab ke “selokan”. Kini, mereka mulai hidup di “dua dunia yang berbeda”, lengkap dengan gaya hidup yang berbeda. Itulah sebabnya, penulis membuat hipotesis, bahwa ketidak-harmonisan atau ketimpangan posisi dominan dari urusan kesuksesan bisnis dan karir antara suami-istri, merupakan salah satu faktor peretak rumah-tangga selain perselingkuhan. Jangan pernah kalangan suami berdelusi, bahwa istri bersedia menafkahi suami. Istri adalah kaum yang—mohon maaf atas kejujuran penulis—paling egois dan serakah. Bagi mereka, penghasilan suami adalah uang milik istri juga. Sebaliknya, penghasilan istri adalah milik sang istri seorang.

Anda mungkin akan bertanya, bagaimana bila keduanya, sama-sama sukses? Keduanya adalah para pengusaha atau karir yang sukses, maka mereka akan membangun kerajaan “EGO”-nya masing-masing, dengan mudah dapat berkata : “Cerai, siapa takut?! Saya tidak akan minta makan dari kamu dan selama ini saya mampu memberi makan diri saya sendiri!” Telah ternyata, tidak ada jaminan yang menjamin. Seperti yang dikatakan oleh Sang Buddha, tidak ada yang dapat digenggam erat, karenanya tidak selayaknya kita bersikukuh untuk menggenggam erat apapun yang pada akhirnya hanya akan menyecewakan diri kita sendiri.

Harta, tidak Anda bawa mati, justru realitanya kerap menjadi pemicu keretakan antar anak selaku ahli waris yang saling memperebutkan harta warisan. Ada resiko dan derita orang yang memilih untuk menikah, serta ada juga resiko serta derita orang-orang yang memilih untuk melajang. Singkatnya, bila Anda tidak siap dikhianati pasangan hidup, janganlah menikah. Bila Anda tidak siap dengan anak-anak yang nakal, janganlah menikah dan memiliki anak. Bila Anda tidak siap pasangan Anda menceraikan Anda, janganlah bermimpi untuk membangun rumah-tangga. Bila Anda tidak siap ditinggal mati terlebih dahulu oleh pasangan Anda, janganlah bergantung padanya sejak awal. Bila Anda tidak siap berspekulasi, janganlah jebloskan diri Anda. Tidak ada jaminan dan tidak ada yang dapat menjamin, hidup menyerupai serangkaian opsi dan spekulasi, lengkap dengan konsekuensinya masing-masing.

Cukuplah dengan mitos seperti “menikah dan punya anak adalah sumber rejeki” atau semacam “banyak anak maka banyak rezeki”. Data statistik di Indonesia menunjukkan, angka perceraian yang tinggi kerap diakibatkan faktor tekanan ekonomi. Umat manusia tidak akan punah hanya karena ada kehidupan monastik yang selibat ataupun orang-orang yang memilih melajang seumur hidupnya. Hewan saja, tanpa disuruh sekalipun, gemar “kawin”. Yang hebat, ialah mereka yang mampu hidup dalam keheningan dan kesendirian. Anda lahir dan mati, juga akan seorang diri tanpa membawa-serta orang lain selain diri Anda sendiri. Kita tidak “mengikat” siapapun, serta tidak “diikat-terikat” oleh siapapun.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.