Bermula dari Cinta, Berakhir kepada
Kebencian. Semakin Anda Mencintai Seseorang, (maka) Semakin Besar Resiko Anda akan
Merasa Tersakiti dan Terluka
Tanpa Hitam, Tanpa Putih. Tanpa Cinta, Tanpa Benci. Tanpa Pernikahan, Tanpa Perceraian
Di negara China, mengupayakan perceraian lewat gugatan ke pengadilan, tidak semudah praktek putusnya perkawinan akibat gugatan perceraian di peradilan Indonesia. Alasan gugatan perceraian yang klise, seperti telah berpisah tempat tinggal selama dua tahun atau lebih, maupun perselisihan pendapat yang terjadi terus-menerus, tidaklah cukup untuk membuat hakim bersedia mengabulkan gugatan perceraian. Banyak pasangan yang secara “de facto” rumah tangganya telah putus di China, merasa frustasi karena secara “de jure” administrasi kependudukan masih tercatat sebagai masih terikat perkawinan sehingga tidak dapat menjalin rumah-tangga dengan pihak lain. Ibaratnya, sekali memilih untuk menikah, maka akan tersandera untuk seumur hidup, satu buah keputusan yang dapat menjerat untuk sepanjang hayat hidup Anda, keputusan mana bisa jadi akan Anda sesali sendiri dikemudian hari.
Itulah sebabnya, perkara perceraian
di China cukup dipandang prestise mengingat tingkat kesukarannya untuk
dikabulkan hakim, dimana pengacara untuk litigasi perceraian dibayar cukup mahal
jasanya, serta bila berhasil memutus perkawinan sang klien lewat gugatan maka
menjadi kebanggaan tersendiri karena tantangannya yang memang tidak mudah, disamping
upaya yang intens menyelesaikan di luar pengadilan serta memakan waktu cukup
lama untuk memediasi agar kedua pihak bersedia bercerai tanpa proses gugat-menggugat
di pengadilan sebagai upaya dan harapan paling rasional untuk ditempuh.
Akan tetapi, terlepas dari hal
demikian, telah ternyata ada yang melatar-belakangi sukarnya hakim di pengadilan
China mengabulkan suatu gugatan perceraian. Cobalah Anda pertimbangkan faktor
berikut, bila sang istri yang digugat, telah ternyata telah lewat masa
keemasannya yang tidak muda lagi, “hanya” berprofesi sebagai ibu rumah tangga,
tidak bekerja dan tidak punya pengalaman bekerja karena selama ini sibuk
mengurus rumah-tangga, tidak memiliki rumah pribadi miliknya sendiri (bertempat-tinggal
di rumah milik bersama sang pasangan suami-istri), maka divonis “perkawinan
putus akibat perceraian” tidak ubahnya “vonis MATI” (death pinalty) bagi
sang istri.
Pernikahan atau perkawinan, terkadang
bukan soal urusan percintaan antar pasangan semata, namun rasionalisasi turut
terlibat di dalamnya, yang seringkali ialah faktor ekonomi. Putusnya pernikahan
akibat perceraian, entah bercerai “baik-baik” ataukah akibat digugat maupun
menggugat cerai, tidak identik “akhir dari hidup” sang mantan suami. Sang mantan
suami selama ini telah membangun karir, atau memiliki keterampilan yang terasah
sepanjang hidupnya untuk mencari nafkah sendiri, serta kemungkinan untuk memiliki
istri baru yang masih muda bukanlah urusan sukar bilamana memiliki “modal” berupa
harta-materi yang memadai.
Kini, mari kita beralih kepada
perspektif seorang istri yang digugat cerai oleh seorang pria yang tidak menaati
prinsip awalnya ketika menikah, yang telah ternyata ketika tubuh sang istri tidak
lagi menarik, lalu tertarik kepada wanita lain yang masih muda—ibarat bunga
yang masih mekar sempurna dipetik, ketika layu dicampakkan dan beralih kepada
bunga muda lainnya yang masih segar—maka selain merasa terkhianati, janjinya
diingkari untuk setia seumur hidup “suka dan suka bersama”, harapan atas masa
depan dan tua yang saling menjaga satu sama lainnya menjadi pupus seketika, suami
sebagai tempatnya bergantung selama ini tidak lagi dapat menjadi “pegangan”, bahkan
tidak lagi memiliki harapan mengingat sang istri selama ini mendedikasikan seumur
hidupnya untuk merawat rumah, merawat suami, merawat anak-anak, diceraikan oleh
gugatan maupun bercerai merupakan sebuah vonis mati dalam arti yang sesungguhnya.
Posisi dilematisnya tidak cukup
sampai di situ, ketika sang istri digugat cerai oleh sang suami, apakah sang
istri harus memperjuangkan “hak asuh” terhadap anak-anak? Bagaimana mungkin dapat
membiayai biaya hidup anak untuk bersekolah dari Sekolah Dasar hingga Perguruan
Tinggi, bila untuk menafkahi dirinya sendiri saja tidak dimungkinkan mengingat
keterampilannya ialah “hanya” sebagai ibu rumah tangga tanpa penghasilan dari
profesi lainnya? Pernah terjadi, yang digugat cerai menuntut agar “hak asuh” dari
salah satu dari beberapa anaknya diserahkan kepadanya, anak-anak lainnya
dipersilahkan untuk diasuh oleh pihak pasangan yang menggugat. Anda tahu, apa
yang kemudian terjadi? Pengacara pihak penggugat mendalilkan bahwa pihak
Tergugat “pilih kasih” terhadap anak-anaknya sendiri. Tidak ada yang lebih
jahat dan keji, daripada tudingan-tudingan pengacara dalam suatu gugat-mengguat
perkara perceraian, “pembunuhan karakter” dalam arti harafiah.
Dalam kesempatan sebelumnya,
penulis pernah menuliskan bahwa “janganlah kita bersikap seolah-olah tidak
memiliki syarat”, dalam aspek kehidupan apapun, terutama untuk urusan komitmen jangka
panjang seperti perkawinan. Sedari awal, Anda jika perlu membuat “perjanjian
perkawinan”, bahwa Anda tidak dapat dilarang untuk membangun karir serta
memiliki profesi Anda sendiri sekalipun Anda berstatus sebagai istri ataupun
ibu dari anak-anak dalam perkawinan Anda. Dengan cara begitulah, Anda memiliki “back
up plan” ketika skenario terburuk terjadi : digugat cerai oleh suami yang
selama ini begitu Anda percaya, bergantung, dan cintai. Anda boleh menyebutnya
sebagai “ber-politik dalam rumah tangga”. Anda perlu menjadi diplomat sekalipun
pengacara bagi diri Anda sendiri, bukankah begitu?
Jika Anda ingin hidup damai,
maka bersiaplah untuk “berperang”, sivis pacem para bellum. Anektot demikian,
tetap relevan untuk konteks pernikahan, terutama bila Anda adalah seorang
istri, Anda harus menyiapkan mitigasi diceraikan secara paksa lewat pengadilan.
Ingatlah (demi kebaikan Anda sendiri), manusia adalah makhluk yang tidak
konsisten, terutama urusan percintaan dan komitmen dalam rumah tangga. Cinta,
adalah tentatif dan temporer sifatnya, tidak permanen, setidaknya itulah “psikologi
rata-rata kaum pria”. Ada yang menyebutkan, wanita berurusan dengan rasa, sementara
pria berurusan dengan akal-logika. Namun, untuk urusan percintaan, yang terjadi
ialah sebaliknya. Pria atau kalangan suami, dapat dengan mudahnya berpindah ke
lain hati, bilamana “rasa” menjelma “hambar” di mata.
Usia prima seorang wanita, pada
usia 30-an, sementara kaum pria tidak memiliki masa prima. Untuk memenangkan
peperangan, Anda harus mengenal “lawan” Anda, termasuk siapa yang Anda nikahi,
yakni seorang pria bila Anda adalah seorang wanita, begitulah “seni perang” (the
art of war) berpesan. Karenanya, rekomendasi terbaik bagi kalangan wanita,
ialah asah dan pertajam terus keterampilan Anda, bangun dan lestarikan profesi Anda,
dan miliki sumber pendapatan Anda sendiri. Anda dapat bergantung pada masa tua Anda
sendiri dari karir atau profesi Anda, alias “berdikari” (berdiri di atas kaki
sendiri), bilamana skenario terburuk terjadi. Anda tidak perlu mengemis-ngemis agar
tidak diceraikan, Anda masih memiliki hidup Anda sendiri, serta profesi atau
kegiatan dan penghasilan Anda sendiri tentunya, “dunia” yang telah Anda persiapkan
sejak sebelum ataupun saat mulai terikat perkawinan, ketika skenario terburuk benar-benar
terjadi.
Bila Anda, menikahi seorang
pria, dengan impian atau harapan dapat “hidup nyaman”, maka itu adalah delusi
yang harus Anda buang jauh-jauh. Oke, katakanlah suami Anda tidak akan menghianati
Anda untuk seumur hidupnya, namun siapa yang bisa menjamin atau memprediksi, Anda
akan benar-benar “menua” bersama suami Anda? Bisa saja suami Anda akan
meninggal dunia di usia mudanya, akibat kecelakaan atau penyakit, ataupun faktor
lainnya. Anda siap? Menikahlah dengan “cerdas”, bukan dengan “keras”. Anda harus
belajar memahami, bahwa orang-orang yang bekerja “keras” mengapa selalu kalah bersaing
terhadap mereka yang bekerja secara “cerdas”—tanpa melepas fakta bahwa orang-orang
yang bekerja “cerdas” sekalipun akan kalah menghadapi orang-orang yang “beruntung”
sekalipun bekerja secara tidak cukup “banting-tulang” dan juga kurang “pandai”.
Bagaimana cara menciptakan “the LUCK Factor”, telah penulis bahas dalam kesempatan
sebelumnya.
Kita kembali kepada “psikologi
pria”, terutama pria-pria kolot-konservatif “tempoe doeloe”. Mengapa banyak
suami, seolah tidak senang atau bahkan melarang istrinya bekerja? Alasan mereka,
pasti terdengar klise di pendengaran Anda : siapa yang akan merawat anak, bila
bukan ibunya? Anak-anak masih kecil, butuh curahan perhatian dan kasih sayang
sang ibu. Siapa yang akan menyusui anak balita, sapi? Tidak boleh bekerja di
luar rumah, agar tidak melirik ataupun dilirik pria lain. Itulah, pikiran-pikiran
picik-dangkal kalangan banyak pria “tempoe doeloe” yang mungkin masih dapat Anda
jumpai hingga saat kini, yang harus betul-betul Anda waspadai dan sadari sedini
mungkin sebelum terikat pernikahan.
Alasan sebenarnya ialah, kalangan
suami tidak mau tersaingi oleh keberhasilan karir ataupun bisnis sang istri. Bagi
mereka, “membonsai” istri adalah ibarat mencuri selendang bidadari yang sedang
mandi, agar sang bidadari tidak bisa terbang kembali ke alam surgawi sehingga bersedia
dinikahi dan terikat di Bumi untuk seumur hidupnya. Cara atau modus paling sempurna
untuk “mematahkan sayap, tangan, dan kaki” istri, ialah agar sang istri
bergantung sepenuhnya kepada penghasilan sang suami. Bila Anda, kalangan istri,
masih berdelusi untuk “hidup nyaman” dengan cara masuk ke dalam pernikahan dan
membangun rumah-tangga, maka Anda sedang menyiapkan lubang kubur serta
perangkap maut untuk diri Anda sendiri.
Pernah penulis amati, karir /
profesi istri yang lebih sukses daripada sang suami, membuat kalangan suami
tampak inferior di hadapan sang istri. Penulis bahkan menilai rumah-tangga pasangan
semacam itu lebih menyerupai “matrilineal”. Yang terburuk ialah, sebagaimana
fakta terjadi di lapangan, karir istri yang melonjak tinggi sementara karir
suami justru menukik ke arah sebaliknya, tiarap, membuat istri memandang remeh
dan tidak lagi menghormati suami. Muaranya, istri mulai berselingkuh dan pada
akhirnya rumah-tangga pun retak.
Pernah ada seorang wanita,
menyukai penulis, namun penulis merasa yang bersangkutan berasal dari “dunia
yang berbeda” karena latar-belakang ekonomi keluarganya yang tergolong sangat
mapan, kelas atas. Kami hidup di “dua dunia yang berbeda”, karenanya menikah ataupun
membangun hubungan bersama dengannya bukanlah opsi yang rasional. Mari kita
tinjau kembali contoh kasus sebelumnya, dimana ketika sang suami menikahi
istrinya, istrinya hanyalah pekerja tanpa jabatan struktural di kantornya
bekerja, sementara sang suami adalah pada posisi “top manajemen”.
Awalnya hubungan rumah-tangga
mereka harmonis, memiliki anak, sampai kemudian karir sang istri melonjak,
menapaki posisi “top manajemen”, sementara posisi karir sang suami justru
terjerembab ke “selokan”. Kini, mereka mulai hidup di “dua dunia yang berbeda”,
lengkap dengan gaya hidup yang berbeda. Itulah sebabnya, penulis membuat
hipotesis, bahwa ketidak-harmonisan atau ketimpangan posisi dominan dari urusan
kesuksesan bisnis dan karir antara suami-istri, merupakan salah satu faktor peretak
rumah-tangga selain perselingkuhan. Jangan pernah kalangan suami berdelusi,
bahwa istri bersedia menafkahi suami. Istri adalah kaum yang—mohon maaf atas
kejujuran penulis—paling egois dan serakah. Bagi mereka, penghasilan suami adalah
uang milik istri juga. Sebaliknya, penghasilan istri adalah milik sang istri
seorang.
Anda mungkin akan bertanya,
bagaimana bila keduanya, sama-sama sukses? Keduanya adalah para pengusaha atau
karir yang sukses, maka mereka akan membangun kerajaan “EGO”-nya masing-masing,
dengan mudah dapat berkata : “Cerai, siapa takut?! Saya tidak akan minta
makan dari kamu dan selama ini saya mampu memberi makan diri saya sendiri!”
Telah ternyata, tidak ada jaminan yang menjamin. Seperti yang dikatakan oleh
Sang Buddha, tidak ada yang dapat digenggam erat, karenanya tidak selayaknya
kita bersikukuh untuk menggenggam erat apapun yang pada akhirnya hanya akan
menyecewakan diri kita sendiri.
Harta, tidak Anda bawa mati,
justru realitanya kerap menjadi pemicu keretakan antar anak selaku ahli waris
yang saling memperebutkan harta warisan. Ada resiko dan derita orang yang
memilih untuk menikah, serta ada juga resiko serta derita orang-orang yang memilih
untuk melajang. Singkatnya, bila Anda tidak siap dikhianati pasangan hidup,
janganlah menikah. Bila Anda tidak siap dengan anak-anak yang nakal, janganlah
menikah dan memiliki anak. Bila Anda tidak siap pasangan Anda menceraikan Anda,
janganlah bermimpi untuk membangun rumah-tangga. Bila Anda tidak siap ditinggal
mati terlebih dahulu oleh pasangan Anda, janganlah bergantung padanya sejak
awal. Bila Anda tidak siap berspekulasi, janganlah jebloskan diri Anda. Tidak ada
jaminan dan tidak ada yang dapat menjamin, hidup menyerupai serangkaian opsi
dan spekulasi, lengkap dengan konsekuensinya masing-masing.
Cukuplah dengan mitos seperti “menikah
dan punya anak adalah sumber rejeki” atau semacam “banyak anak maka banyak
rezeki”. Data statistik di Indonesia menunjukkan, angka perceraian yang tinggi
kerap diakibatkan faktor tekanan ekonomi. Umat manusia tidak akan punah hanya
karena ada kehidupan monastik yang selibat ataupun orang-orang yang memilih
melajang seumur hidupnya. Hewan saja, tanpa disuruh sekalipun, gemar “kawin”. Yang
hebat, ialah mereka yang mampu hidup dalam keheningan dan kesendirian. Anda lahir
dan mati, juga akan seorang diri tanpa membawa-serta orang lain selain diri Anda
sendiri. Kita tidak “mengikat” siapapun, serta tidak “diikat-terikat” oleh
siapapun.
© Hak Cipta HERY
SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.