KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Contoh Permohonan Uji Materiil ke Mahkamah Konstitusi / Judicial Review (Hak Cipta HERY SHIETRA Dilindungi oleh Undang-Undang)


Jakarta, 04 Oktober 2016

Kepada Yth.
KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI 
REPUBLIK INDONESIA
Di tempat

Hal:   Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan Hormat,

Pemohon sebagaimana bertanda-tangan di bawah ini, Hery Shietra, S.H., perorangan Warga Negara Indonesia, (NIK / Nomor KTP tidak perlu dicantumkan, karena fotocopy identitas Pemohon dilampirkan pada surat permohonan), usia ... tahun (jangan cantumkan tanggal lahir, agar privasi dan data pribadi Pemohon yang bersifat rahasia, tidak turut terpublikasi kepada publik), agama ... , (NPWP jangan dicantumkan, bila hendak ditampilkan kepada Hakim maka cukup jadikan sebagai alat bukti, demi menjaga privasi Pemohon), pekerjaan konsultan hukum, berdomisili di Jalan ... , Provinsi ... , Nomor Tlp: ... , surel ... , bertindak untuk dan atas nama sendiri, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.


I. POKOK PERKARA
Pemohon dengan ini mengajukan permohonan pengujian materiil terhadap norma Pasal 6, Pasal 59 Ayat (7), serta Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) ... untuk selanjutnya disebut Objek Permohonan.
II. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Ketentuan yang mengatur kewenangan Mahkamah untuk menguji dan memutus permohonan Pemohon, antara lain tertuang dalam:
1.  Pasal 24 ayat (2) UUD RI 1945: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang dibawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
2.  Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, ...”
3.  Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK): “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ...
4.  Pasal 29 ayat (1) huruf (a) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji UU terhadap UUD RI Tahun 1945.”
5.  Mahkamah berwenang pula memberi penafsiran konstitusional terhadap suatu ketentuan undang-undang, disaat bersamaan membatasi penafsiran lainnya atas suatu norma, sebagaimana dinyatakan oleh Kelsen:[1]
“Jika ketentuan konstitusi tidak dipatuhi, maka tidak akan ada norma hukum yang berlaku, dan norma yang diciptakan dengan cara ini juga tidak akan berlaku. Ini berarti: makna subjektif dari tindakan yang ditetapkan secara inkonstitusional dan tidak berpijak pada norma dasar, tidak ditafsirkan sebagai makna obyektifnya, dan penafsiran yang demikian ini akan dianulir.”
6.  Bahwa mengacu kepada ketentuan tersebut di atas, Mahkamah berwenang untuk melakukan pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang terhadap UUD NKRI 1945, disamping memberikan penafsiran konstitusional.
III. KEDUDUKAN PEMOHON (LEGAL STANDING) DAN KERUGIAN PEMOHON
Adapun yang menjadi dasar pijakan serta kedudukan Pemohon sebagai pihak yang berkepentingan terhadap permohonan a quo, dilandasi:
1.   Pasal 51 Ayat (1) Butir (a) UU MK: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau Hak Konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia;”
2.   Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK: “Yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UUD NKRI 1945.”
3.   Mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah dalam yurisprudensinya memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagaimana Putusan MK Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007, sebagai berikut:
a.   adanya hak dan/atau kewenangan Konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD NRI 1945;
b.   bahwa hak dan/atau kewenangan Konstitusional pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
c.    bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan Konstitusional pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d.   adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e.   adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan Konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
4.   Lima syarat sebagaimana dimaksud di atas dijabarkan lebih konkret oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009, 5/PUU-IX/2011, 49/PUU-IX/2011, dan Putusan Nomor 81/PUU-IX/2011 yang memberikan pengakuan kepada pembayar pajak sebagai Pemohon dalam pengajuan uji Undang-Undang, dengan pertimbangan sebagai berikut:
Perkara Nomor 27/PUU-VII/2009 dalam Pengujian UU MA (halaman 59-60):
- Dari praktik Mahkamah (2003-2009), perorangan WNI, terutama pembayar pajak (tax payer; vide Putusan Nomor 003/PUU-I/2003) berbagai asosiasi dan NGO/LSM yang concern terhadap suatu Undang-Undang demi kepentingan publik, badan hukum, Pemerintah daerah, lembaga negara, dan lain-lain, oleh Mahkamah dianggap memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian, baik formil maupun materiil, Undang-Undang terhadap UUD 1945.
- Dalam kasus a quo, para Pemohon adalah para pekerja bantuan hukum (advokat/lawyers, penggiat antikorupsi) yang concern dan/atau berkepentingan dengan Mahkamah Agung, termasuk Undang-Undang yang mengaturnya (UU 3/2009) apakah konstitusional atau tidak, baik dalam proses pembentukannya maupun materi muatannya. Oleh karena itu, para Pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian formil UU 3/2009.
Perkara Nomor 5/PUU-IX/2011 dalam Pengujian UU KPK (halaman 59):
[3.9] Menimbang bahwa Mahkamah merujuk pada Putusan Mahkamah Nomor 27/PUU-VII/2009 bertanggal 16 Juni 2010 yang menguraikan mengenai kedudukan hukum (legal standing) bagi perseorangan dan NGO/LSM dalam mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang;
[3.10] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan dalam paragraf [3.7], paragraf [3.8], dan paragraf [3.9] di atas, serta dihubungkan dengan dalil-dalil kerugian konstitusional yang dinyatakan oleh Pemohon I selaku perorangan warga negara Indonesia dan Pemohon II selaku badan hukum publik dan/atau privat yang peduli (concern) terhadap pemberantasan korupsi, sehingga menurut Mahkamah para Pemohon memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan a quo;
Perkara Nomor 49/PUU-IX/2011 dalam Pengujian UU MK (Hal 65):
[3.8] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan selaku perorangan warga negara yang merupakan pengajar Hukum Tata Negara yang peduli terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan lembaga-lembaga negara serta ide-ide konstitusionalisme, dan merupakan individu-individu yang melakukan pemantauan terhadap penyimpangan yang terjadi dalam proses pelaksanaan nilai-nilai konstitusionalisme UUD 1945;
[3.9] Menimbang bahwa dengan merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 bertanggal 16 Juni 2010 yang menguraikan mengenai kedudukan hukum (legal standing) bagi perseorangan dan NGO/LSM dalam mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang sebagai berikut, “...”, Mahkamah berpendapat, para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan permohonan pengujian pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo;
Perkara Nomor 81/PUU-IX/2011 dalam Pengujian UU Pemilu (hlm. 51-52):
[3.8] Menimbang bahwa pada pokoknya Pemohon Nomor 1 sampai dengan Pemohon Nomor 23 mendalilkan sebagai subyek hukum yang telah mempunyai badan hukum yang peduli terhadap isu-isu terkait pemilu dan demokrasi;
Pemohon Nomor 14, dan Pemohon Nomor 16 sampai dengan Pemohon Nomor 23 mendalilkan sebagai lembaga swadaya masyarakat namun tidak mengajukan bukti mengenai keberadaannya sebagai lembaga swadaya masyarakat. Meskipun demikian, para Pemohon dimaksud, yang mewakili lembaganya masing-masing, memenuhi kualifikasi sebagai perorangan warga negara Indonesia yang di dalamnya termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama;
[3.9] Menimbang bahwa dengan memperhatikan potensi akibat yang dialami oleh para Pemohon terkait dengan pelaksanaan dan hasil pemilihan umum, atau setidaknya terkait dengan pembentukan komisi pemilihan umum, dikaitkan dengan hak konstitusional para Pemohon, menurut Mahkamah, terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara potensi kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, sehingga para Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang a quo;
Bahwa dalam praktek pengujian Undang-Undang sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-IX/2011, Mahkamah menerapkan syarat legal standing minimal seorang pembayar pajak dalam pengujian Undang-Undang yakni pembayar pajak dari berbagai asosiasi dan NGO/LSM yang concern terhadap suatu Undang-Undang demi kepentingan publik, badan hukum, Pemerintah daerah, lembaga negara, dan lain-lain.
Pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan Nomor 16/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012:
[3.7] Menimbang bahwa para Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai advokat mendalilkan telah dirugikan oleh berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dengan alasan bertentangan dengan asas negara hukum dan menimbulkan ketidakpastian hukum, karena ketentuan tersebut tumpang tindih tentang institusi yang berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang-orang yang diadili pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer. Di samping itu frasa “atau kejaksaan” yang ada dalam Pasal 44 ayat (4), dan ayat (5), Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU 30/2002 tidak mempunyai dasar hukum yang jelas;
[3.8] Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil permohonan para Pemohon tersebut di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon memiliki kualifikasi sebagai warga negara Indonesia yang hak konstitusionalnya berpotensi dirugikan oleh berlakunya norma-norma yang dimohonkan pengujian, yang apabila permohonan dikabulkan ada kemungkinan kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, para Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;”
5.   Pemohon berprofesi sebagai konsultan hukum, penulis buku, serta pendiri dari situs konsultasi www.hukum-hukum.com yang salah satunya memberi layanan konsultasi terkait hukum ketenagakerjaan Indonesia, namun terbentur oleh standar ganda penafsiran yang dianut Objek Permohonan, sebagai sumber kerugian Pemohon.
6.   Profesi Pemohon sangat mengandalkan kepastian hukum sebagai penyedia jasa konsultasi. Senada dengan itu, John C.H. Wu dalam bukunya The Juristic Philosophy of Mr. Justice Holmes, menuliskan:
“Secara psikologis hukum adalah ilmu tentang prediksi dengan derajat yang paling tinggi.”[2]
7.   Rata-rata sengketa PHK pekerja kontrak, ialah dimana pengusaha beralasan bahwa masa kerja dalam kontrak telah berakhir. Ketika hal itu terjadi, apakah pekerja/buruh tidak mendapatkan Upah Proses sekalipun hakim kemudian menyatakan status PKWT-nya “demi hukum” berubah menjadi PKWTT? Demikian pertanyaan kerap dilontarkan oleh pihak pengguna jasa Pemohon dalam meminta Legal Opinion.
8.   Merasa Objek Permohonan “sudah jelas”, tanpa menyadari bahaya laten dibalik “celah” ruang interpretasi yang dibuka oleh Objek Permohonan, yakni penafsiran secara sempit dan penafsiran secara luas, Pemohon memberikan Opini Hukum bahwasannya pekerja yang dinyatakan demi hukum sebagai pekerja tetap lewat putusan hakim, berhak atas Upah Proses. Namun senyatanya terbuka peluang penafsiran lain sebagaimana dibakukan lewat yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI yang diikuti secara konsisten: Pekerja “PKWTT demi hukum” tidak berhak atas Upah Proses. Perbedaan sudut pandang ini membawa akibat secara dramatis.
9.   Adalah hak Pemohon selaku konsultan maupun hak para klien Pemohon atas kepastian hukum serta unifikasi penafsiran, mengingat pertanyaan tersebut dapat kembali dilontarkan oleh klien Pemohon, sehingga menyukarkan Pemohon dalam memberi jawaban, apakah:
-      Pemohon akan menyatakan “PKWTT demi hukum” tidak dapat Upah Proses, mengikuti penafsiran secara sempit yurisprudensi tetap Mahkamah Agung sesuai realita lapangan—dengan resiko akan mendapat komplain para klien; ataukah
-      Menggunakan penafsiran luas bahwasannya dapat Upah Proses, namun realita fakta hukum yang terjadi ialah terbentur yurisprudensi tetap Mahkamah Agung yang juga merusak dan akan kembali merusak reputasi Pemohon sebagai penerbit Legal Opinion; ataukah
-      Bersikap ambigu, yang hanya akan mengundang penilaian kurang baik dari pengguna jasa konsultasi hukum Pemohon.
10. Kondisi serba-salah Pemohon selaku penyedia jasa konsultasi, sekaligus merupakan wajib payak (tax payer) yang terdaftar (KPP maupun nomor NPWP jangan dicantumkan, cukup lampirkan sebagai alat bukti dari permohonan, demi menjaga data rahasia pribadi Pemohon yang bersifat privasi), mohon dapat dimaklumi serta dipahami Mahkamah, dimana kepastian hukum merupakan hak konstitusional Pemohon selaku warga negara sekaligus penyedia jasa hukum yang sangat bergantung kepada sebentuk kepastian.
11. Dalam perkara nomor 36/PUU-X/2012 dan perkara nomor 7/PUU-XI/2013, Mahkamah mendapat permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Perkara Nomor 7/PUU-XI/2013 dimohonkan pengujiannya oleh Dr. Andi Muhammad Asrun S.H., M.H. dan Dr. Zainal Arifin Hoesein, S.H., M.H., Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian, dimana para pemohon berpotensi dirugikan. Sementara dalm pengujian Undang-Undang tentang Migas, bukan diajukan oleh pihak yang terkena dampak langsung dari norma undang-undang yang diujikan. Collateral damage sudah menjadi prasyarat minimum terpenuhinya unsur kepentingan sebagai bentuk konkret legal standing.
12. Posisi Pemohon sebagai konsultan menjadi demikian riskan akibat ketidakpastian hukum, sebab belum penah terdapat putusan konstitusional yang memberi penafsiran sempit ataukah penafsiran luas atas Objek Permohonan agar dapat terbentuk unifikasi penafsiran.
13. Pemohon juga memiliki hak yang sama dengan para pembayar pajak lain, berupa hak atas pekerjaan untuk mencari nafkah dengan berprofesi sebagai konsultan hukum yang memberi jawaban terhadap pertanyaan hukum klien. John Austin maupun Hans Kelsen menyebutkan, ilmu hukum adalah ilmu prediksi. Multi-tafsirnya Objek Permohonan, menyukarkan pihak Pemohon dalam memberikan Opini Hukum terhadap pertanyaan hukum klien.
14. Bagi seorang konsultan hukum yang menyediakan dan memberi jasa pendapat hukum maupun advice, kepastian “penafsiran atas norma” sama pentingnya dengan kepastian “substansi normatif”. Ketika “substansi normatif” telah jelas dan tegas disimbolikkan dengan  frasa “demi hukum”, namun guna unifikasi putusan pengadilan, dibutuhkan derajat yang lebih tinggi dari lex scripta, yakni “unifikasi penafsiran”.
15. Tidak tertutup kemungkinan, Pemohon akan bergabung dengan sebuah kantor hukum dengan dilandasi ikatan PKWT sebagaimana jamak terjadi.
16. Bahwa dengan demikian, Pemohon memiliki keterkaitan kepentingan dengan subjek hukum yang diatur dalam Objek Permohonan serta relevansi kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon pengujian undang-undang dalam perkara a quo.
IV. NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DIUJI
A. NORMA MATERIIL
Norma yang diujikan, adalah :
- Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan):
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.”
Sumber kerugian yang dialami oleh Pemohon, ialah terkecoh oleh rumusan yang tampak “sudah jelas”, namun senyatanya membuka ruang interpretasi sebagaimana diadopsi oleh Mahkamah Agung RI, yakni menafsirkan “tanpa diskriminasi” dengan sudut pandang apple to apple pareto principle, yakni:
1.   Memperlakukan pekerja “PKWTT sejak semula” sama dengan “PKWTT sejak semula” lainnya;
2.   Memperlakukan pekerja “PKWTT demi hukum” sama dengan “PKWTT demi hukum” lainnya;
3.   Memperlakukan pekerja “PKWT sejak semula” sama dengan “PKWT sejak semula” lainnya; dan
4.   Memperlakukan standar yang berbeda terhadap masing-masing jenis pekerja yang berbeda tersebut diatas. Antara Pekerja Borongan diperlakukan secara berbeda dengan Pekerja Harian. Antara Pekerja Harian diperlakukan secara berbeda dengan Pekerja Tetap. Sehingga antara Pekerja Tetap dengan Pekerja “PKWTT demi hukum” maupun dengan Pekerja “PKWT sejak semula”-pun diperlakukan secara berbeda.
5.   PHK terhadap PKWTT mensyaratkan penetapan pengadilan penyelesaian hubungan industrial, sementara PHK terhadap PKWT tidak mensyaratkan penetapan.
Dimanakah letak “sudah jelas”-nya frasa “tanpa diskriminasi” bila disaat bersamaan terjadi antinomi (ambiguitas) yang disebabkan oleh standar ganda yang dianut UU Ketenagakerjaan?
- Pasal 59 Ayat (7) UU Ketenagakerjaan:
“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.”
Adapun ruang penafsiran yang berkembang, antara lain:
1. “Demi hukum” terjadi oleh sebab amar putusan hakim berjenis amar putusan constitutif, sehingga dihitung sejak hakim menjatuhkan amar putusan—sehingga berkonsekuensi logis tak mendapat Upah Proses;
2. “Demi hukum” terjadi sejak pelanggaran kaedah hukum terjadi, dimana amar putusan hakim hanya bersifat jenis amar declaratif semata—sehingga menjadi jelas mendapat Upah Proses; ataukah
3. ”Demi hukum” terhitung sejak saat pekerja/buruh mulai bekerja.
- Pasal 155 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan:
“Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.”
Adapun ruang penafsiran yang berkembang, antara lain:
1.   Selama belum terdapat putusan pengadilan yang membatalkan pemutusan hubungan kerja (PHK) atas dasar masa berlaku dalam PKWT, maka PHK dapat dibenarkan sehingga tiada konsekuensi yuridis berupa Upah Proses;
2.   Pasal 61 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan: “Perjanjian kerja berakhir apabila: b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;”—Pekerja PKWT menggunakan mekanisme Butir (b), sementara koridor Butir (c) berlaku terhadap “PKWTT sejak semula”.
3.   Selama PKWT belum dibatalkan pengadilan, maka jangka waktu perjanjian kerja diasumsikan benar adanya.
4.   Hanya pekerja tetap (PKWTT sejak semula) yang mensyaratkan penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial untuk memutus hubungan kerja, sementara PKWT tidak mensyaratkan adanya penetapan/putusan demikian.
Pasal 155 UU Ketenagakerjaan tak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 151 UU Ketenagakerjaan, dimana Pasal 151 UU Ketenagakerjaan tidak berlaku dalam konteks pengusaha mem-PHK dengan dalil masa kerja telah berakhir (vide Pasal 61 Ayat (1) Butir (b) UU Ketenagakerjaan). Merujuk pada kaedah Pasal 155 UU Ketenagakerjaan:
(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.
(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Yang bila dikaitkan terhadap Pasal 151 UU Ketenagakerjaan:
(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Menjadi pertanyaan besar, apakah Upah Proses Pasal 155 dapat diberlakukan terhadap PHK berdasarkan Pasal 61 Ayat (1) Butir (b) UU Ketenagakerjaan?
Pasal 155 Ayat (2) dan Ayat (3) menyatakan berhak atas Upah Proses, namun tidak menyatakan secara tegas, jenis perjanjian kerja apakah yang berhak atas Upah Proses, mengingat UU Ketenagakerjaan tidak menganut standar tunggal—namun mengadopsi standar ganda antara Pekerja Tetap, Pekerja Kontrak, Pekerja Alih Daya, Pekerja Harian, Pekerja Borongan, dsb.
Mengingat PHK terhadap PKWT tidak membutuhkan penetapan PHI sebagaimana dimaksud Pasal 61 Ayat (1) Butir (b) UU Ketenagakerjaan, maka dalam persepsi MA RI, Upah Proses menjadi tidak relevan dalam kasus PKWT. Terlepas apakah PKWT akan dinyatakan demi hukum sebagai PKWTT oleh pengadilan, hal tersebut merupakan spekulasi belaka, hal mana ruang multi-interpretasi dibuka sendiri oleh Objek Permohonan.
Pekerja PKWT (yang meski akan dinyatakan sebagai PKWTT oleh pengadilan), tidak memiliki hak perlindungan/kepastian hukum yang sama dengan pekerja “PKWTT sejak semula” berupa PHK efektif sejak penetapan/putusan PHI. Inilah standar ganda yang harus kita akui keberadaannya dalam UU Ketenagakerjaan, sehingga membaca sebuah Undang-Undang tidaklah dapat dibaca secara parsial pasal per pasal.
Dikarenakan masih bersifat spekulasi, tidak heran bila MA RI berasumsi bahwa berakhirnya hubungan kerja karena habisnya masa kerja dalam PKWT, adalah benar adanya sampai Majelis Hakim memeriksa pokok perkara, oleh karenanya Upah Proses menjadi tampak tidak relevan.
Mahkamah Agung merasa tidak memiliki landasan hukum untuk memberi Upah Proses, dengan dalil:
1.   Bila pengadilan memberi Upah Proses, ternyata pengakhiran hubungan kerja akibat berakhirnya masa berlaku PKWT adalah sah karena PKWT murni tanpa pelanggaran kaedah hukum, maka pengadilan telah melanggar hukum karena tiada landasan hukum bagi pengadilan untuk memberi Upah Proses bagi PKWT murni;
2.   Bila pengadilan memberi Upah Proses, sementara PKWT ternyata sah adanya, dan hubungan kerja berakhir pada akhir tahun ketiga, namun pengadilan memberi Upah Proses untuk tahun keempat, sama artinya pengadilan telah menabrak hukum, karena PKWT maksimum hanya berlaku untuk tiga tahun;
3.   Bila pengadilan memberi Upah Proses, berarti pengadilan tidak tunduk pada ketentuan Pasal 61 Ayat (1) Butir (b) UU Ketenagakerjaan.
Pemohon tidak mengajukan Uji Materiil terhadap Pasal 61 Ayat (1) Butir (b) UU Ketenagakerjaan, karena dipastikan akan ditolak Mahkamah, mengingat pasal tersebutlah yang menjadi esensi pembeda paling kentara antara PKWT dengan PKWTT. Baik PKWT dan PKWTT terikat dalam suatu perjanjian kerja, sementara yang menjadi pembeda ialah PKWT tidak mencantumkan berakhirnya jangka waktu hubungan kerja.
Konsekuensi bila Pasal 61 Ayat (1) Butir (b) UU Ketenagakerjaan dibatalkan, maka baik PKWT maupun PKWTT hanya dapat diakhiri hubungan kerjanya lewat penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Hanya ketika Pasal 61 Ayat (1) Butir (b) UU Ketenagakerjaan dibatalkan, barulah PKWT berhak atas Upah Proses.
Dengan kata lain, konstruksi yang berkembang dalam praktik, ialah penafsiran atas Objek Permohonan yang dikaitkan dengan keberlakuan Pasal 61 Ayat (1) Butir (b) UU Ketenagakerjaan—penafsiran mana justru menimbulkan ambiguitas nilai, ketimbang penafsiran secara ter-cluster pada Objek Permohonan semata.
B. NORMA UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 YANG DIJADIKAN SEBAGAI PENGUJI, yaitu :
Baik “PKWTT sejak semula” maupun “PKWTT demi hukum” bukan menjadi legitimasi perlakuan diskriminatif oleh pelaku usaha, diamanatkan Pasal 28D Ayat (1) UUD RI 1945:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Objek Permohonan tidak mengatur hak normatif pekerja/buruh ketika status PKWT diri mereka “demi hukum” dinyatakan sebagai PKWTT. Terbukanya ruang penafsiran secara sempit akan Upah Proses, maupun penafsiran secara sempit akan frasa “tanpa diskriminasi”, tidak terkecuali penafsiran secara sempit terjadinya perubahan status “demi hukum” adalah sejak hakim menjatuhkan amar putusan (bukan saat pelanggaran terjadi), mengakibatkan Mahkamah Agung RI membuat yurisprudensi tetap yang membakukan penafsiran sempit demikian.
Pemohon dalam kedudukan (mungkin) sebagai seorang pekerja pada sebuah kantor hukum (suatu waktu nanti), akan menghadapi PKWT yang tidak memberi jaminan, perlindungan, maupun kepastian hukum ketika di-PHK dengan alasan “habis jangka waktu kontrak” meski berjenis pekerjaan tetap, tanpa Upah Proses. Potensi ini bersifat faktual sebagaimana dijumpai pada hampir setiap kantor hukum ternama di Indonesia.
Pemohon dalam kedudukan sebagai seorang konsultan hukum, tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan klien atas problematika PKWT yang demi hukum menjelma PKWTT, di-PHK dengan alasan masa kontrak berakhir, apakah “dapat” atau “tidak dapat” Upah Proses? Konsultan hukum yang ambigu akan ditinggalkan para kliennya, sehingga kepastian hukum menjadi sangat penting disamping krusial. Fakta ini dihadapi seluruh profesional konsultan hukum.
V. ALASAN-ALASAN PEMOHON DENGAN DITERAPKAN UNDANG-UNDANG A QUO BERTENTANGAN DENGAN UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
1.   Permohonan a quo memiliki pokok permasalahan yang berbeda dengan Putusan Mahkamah Nomor 37/PUU-IX/2011 tanggal 19 September 2011 perihal besaran Upah Proses, maupun Putusan Mahkamah Nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012 perihal lembaga PKWT dan outsourcing. Permohonan a quo menintikberatkan standar ganda antara pekerja dengan kategori “PKWTT sejak semula” dengan “PKWTT demi hukum”.
2.   Dengan demikian berlaku ketentuan Pasal 42 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang:
“Terlepas dari ketentuan ayat (1) diatas, permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda.”
3.   Dalam setiap kaidah tertulis, sejelas apapun rumusan norma tertulis tersebut tampaknya, selalu terkandung pemaknaan secara sempit dan pemaknaan secara lebih luas. Inferensi ini ditarik dari Putusan Mahkamah Nomor 98/PUU-X/2012 tanggal 21 Mei 2013, yang menyatakan:
[3.14.1] Bahwa terhadap penafsiran frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80 UU 8/1981, Mahkamah telah menjatuhkan putusan dalam perkara Nomor 76/PUU-X/2012 pada tanggal 8 Januari 2013, yang dalam pertimbangannya, antara lain:
- paragraf [3.15] menyatakan, “...walaupun KUHAP tidak memberikan interpretasi yang jelas mengenai siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, namun menurut Mahkamah, yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan bukan hanya saksi korban tindak pidana atau pelapor tetapi harus juga diinterpretasikan secara luas. Dengan demikian, interpretasi mengenai pihak ketiga dalam pasal a quo tidak hanya terbatas pada saksi korban atau pelapor saja tetapi juga harus mencakup masyarakat luas yang dalam hal ini bisa diwakili oleh perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama yaitu untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy) seperti Lembaga Swadaya Masyarakat atau Organisasi Masyarakat lainnya karena pada hakikatnya KUHAP adalah instrumen hukum untuk menegakkan hukum pidana. Hukum pidana adalah hukum yang ditujukan untuk melindungi kepentingan umum”;
- paragraf [3.16] menyatakan, “...peran serta masyarakat baik perorangan warga negara ataupun perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy) sangat diperlukan dalam pengawasan penegakan hukum.
[3.14.2] Bahwa norma yang dimohonkan oleh Pemohon dalam perkara a quo adalah sama dengan norma yang dimohonkan dalam permohonan Nomor 76/PUU-X/2012, namun maksud permohonan dalam perkara Nomor 76/PUUX/2012 adalah untuk mempersempit penafsiran frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80 UU 8/1981 sehingga permohonannya ditolak, sedangkan maksud permohonan Pemohon a quo adalah sebaliknya, yaitu untuk memperluas penafsiran frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80 UU 8/1981. Oleh karena maksud permohonan dalam permohonan a quo sudah sejalan dengan pertimbangan Mahkamah dalam perkara Nomor 76/PUU-X/2012 tersebut di atas maka pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-X/2012 tersebut mutatis mutandis menjadi pertimbangan pula dalam permohonan a quo;
[4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;”
4.   Ruang ketidakpastian penafsiran yang dibuka Objek Permohonan, menjadi cara paling efektif bagi pengusaha untuk mengikat hubungan kerja setiap pekerjanya dengan PKWT, meski pekerjaan bersifat tetap, atau melampaui batas maksimum tiga tahun, guna menghindari Upah Proses.
5.   Kaedah normatif “demi hukum” sebagaimana diatur oleh Objek Permohonan dipandang oleh Mahkamah Agung RI sebagai jenis putusan constitutief, meski senyatanya amar putusan pengadilan yang menyatakan “demi hukum berubah menjadi PKWTT” adalah deklaratif belaka.
6.   Dalam teoretis ilmu hukum acara, terdapat setidaknya tiga jenis/kriteria amar putusan Hakim ketika mengatasnamakan institusi pengadilan, yakni:[3]
a.   condemnatoir, yakni putusan hakim yang dengan sifat berisi penghukuman salah satu atau kedua belah pihak untuk memenuhi prestasi, yang dapat berupa perintah untuk memberi sesuatu, berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu;
b.   constitutif, yakni putusan hakim dengan mana keadaan hukum dihapuskan atau ditetapkan sesuatu keadaan hukum baru, alias putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum. Contoh, putusan tentang pernyataan pailit dari sebelumnya solvensi menjadi insolvensi, putusan tentang pengangkatan wali, pemberian pengampuan, putusan putusnya hubungan perkawinan akibat perceraian, dsb. Perubahan keadaan atau hubungan hukum itu sekaligus terjadi pada saat putusan itu diucapkan tanpa memerlukan upaya pemaksa;
c.    declaratoir, yakni putusan yang semata bersifat menerangkan hal mana ditetapkan suatu keadaan hukum atau menentukan benar adanya situasi hukum yang dinyatakan oleh penggugat/pemohon (menyatakan apa yang sah). Contoh, menyatakan perjanjian kredit sebagai sah dan benar adanya (atau sebaliknya), menyatakan seseorang sebagai anak sah dalam perkawinan, sebagai ahli waris, dsb. Putusan declaratoir murni tidak mempunyai atau memerlukan upaya memaksa karena sudah mempunyai akibat hukum tanpa bantuan daripada pihak lawan yang dikalahkan untuk melaksanakannya.
7.   Kriteria amar putusan constitutif hanya dapat terjadi ketika undang-undang atau ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menyatakan suatu hubungan hukum terjadi “demi hukum”, alias peran hakim menjadi mutlak. Ketika suatu ketentuan hukum telah dengan tegas (leterlijk) berlandaskan asas lex scripta menyatakan suatu hubungan hukum terjadi “demi hukum”, maka sekalipun hakim menjatuhkan amar putusan, sifatnya hanyalah semata deklaratif, alias hanya sekadar menyatakan apa yang telah terjadi “demi hukum”.
8.   Contoh, sekalipun debitor telah dalam keadaan insolvensi karena passiva lebih besar dari aktiva, namun undang-undang tentang kepailitan tidak menyatakan debitor tersebut “demi hukum” jatuh dalam keadaan pailit meski terdapat dua kreditor dan salah satunya telah jatuh tempo. Debitor hanya jatuh dalam keadaan pailit ketika kreditor mengajukan permohonan pailit terhadap debitornya.
9.   Suatu amar putusan yang sifatnya hanya sekadar menyatakan atau membuat pernyataan guna menghindari bias atau multitafsir, menjadi fungsi dari jenis amar putusan declaratoir. Terhadap apa yang telah dikonstitutifkan oleh “demi hukum”, sejatinya hakim dalam amar putusannya hanya sekedar mendeklarasikan saja, alias menegaskan belaka apa yang telah dikonstitutifkan oleh undang-undang sebagai “demi hukum”.
10.   Pengingkaran Lembaga Yudikatif terhadap undang-undang yang menjadi domain Lembaga Eksekutif bersama Lembaga Legislatif, mengakibatkan pergeseran definisi hukum dari sebelumnya “hukum adalah undang-undang” telah direduksi menjadi “hukum adalah amar putusan hakim”, sehingga konsep Trias Politica terbias. Meminjam bahasa Jimly Asshiddiqie:[4]
“Hakim tidak boleh menambah kata atau pengertian apapun dalam ketentuan undang-undang dalam upayanya memahami pengertian yang terkandung dalam undang-undang dengan pandangan atau pengertian ia sendiri harapkan ada untuk diterapkan terhadap kasus konkret tertentu. Jika suatu ketentuan sudah dirumuskan secara “expressis verbis” dengan hanya satu pengertian atau penafsiran tunggal saja, tidaklah terbuka bagi pengadilan untuk menafsirkannya secara lain. Jika hakim berbuat demikian berarti ia berubah menjadi pembentuk undang-undang atau legislator.
“Prinsip pertama dan utama dalam “rule of construction” adalah bahwa kehendak pembentuk undang-undang (legislature) harus ditemukan dalam kata-kata yang dipakai oleh pembentuk undang-undang itu sendiri.”
11.   Karena “demi hukum” merupakan implementasi hukum, sehingga saat PKWT memasuki tahun keempat tanpa terputus, atau ketika jenis pekerjaan bersifat tetap, atau PKWT yang mensyaratkan masa percobaan/evaluasi, ataupun ketika PKWT tak tertulis, maka seketika itu pula perubahan status terjadi, sehingga peranan hakim pemutus perkara hanya sebatas sebagai penerbit amar declaratoir, bukan selaku penerbit amar constitutif—sebagaimana disebutkan Hamid Attamimi:[5]
“Kalimat-kalimat yang berupa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dan berisi norma hukum yang umum dan abstrak merupakan kalimat-kalimat normatif, tidak deskriptif atau deklaratif. ... Selain itu, menurut Hans Kelsen, norma ialah perintah yang tidak personal dan anomim (An impersonal and anonymous “command”—that is the norm).”
12.   Bila undang-undang sudah merupakan memiliki kekuatan constitutief itu sendiri, sebagaimana disebutkan Kelsen diatas, maka peran putusan hakim hanyalah bersifat pernyataan declaratif semata.
13.   Meminjam istilah dari Alfred North Whitehead, putusan declaratoir yang dimaknai sebagai putusan constitutief tersebut merupakan bentuk “kesalahpahaman tentang kenyataan yang salah tempat” (fallacy of misplaced concreteness).[6]
14.   Bahasa memiliki keterbatasan, tidak terkecuali aturan tertulis. Tiada yang sudah jelas “dari sananya”, sehingga senantiasa terbuka ruang interpretasi dimana pengadlian yang pemutus sengketa hubungan industrial meyakini bahwa “demi hukum” tidak memiliki daya keberlakuan otomatis, suatu keyakinan yang memiliki bahaya laten karena dengan demikian mengadu domba kalangan buruh terhadap pengusaha dengan provokasi agar setiap buruh/pekerja PKWT yang bersifat pekerjaan tetap atau memasuki tahun keempat tanpa terputus untuk menggugat pemberi kerja hanya agar statusnya baru diakui hukum sebagai PKWTT, sehingga tercipta ketidakharmonisan dalam hubungan industrial.
15.   Adapun yang menjadi prinsip-prinsip Hermeneutika Konstitusional sebagaimana diuraikan James Farr, antara lain:[7]
1. Kesejahteraan publik merupakan hukum tertinggi dari setiap negeri, salus populi suprema lex. Tidak boleh ada konstruksi yang bertentangan dengan hukum dari segala hukum ini.
2. Konstruksi transenden (yang dibangun di atas prinsip yang lebih tinggi di atas teks) kadangkala bisa dijadikan rujukan (bukan dalam rangka membenarkan pelanggaran kekuasaan).
3. Kita bisa menafsirkan lebih bebas suatu undang-undang (asalkan tidak ada pihak yang dirugikan) dibandingkan ketika kita menafsirkan suatu konstitusi (karena jumlah orang dan kepentingan yang terlibat di dalamnya).
4. Carilah kandungan semangat sebenarnya yang ada pada konstitusi dan laksanakan interpretasi dengan keyakinan yang baik pula, sepanjang semangat ini ditujukan bagi kesejahteraan publik dan sepanjang instrumennya bisa disejajarkan dengan zaman sekarang.
16.   Bagi Ronald Dworkin, makna suatu perundangan tidak pernah “terbentuk secara pasti untuk selamanya”, melainkan berwujud sebagai “kisah yang terus bersambung”. Jadi persoalannya bukanlah apakah pemikiran hermeneutika mengenai identitas tekstual merupakan hal yang cukup menarik, melainkan apakah pemikiran tersebut merupakan hal yang masuk akal. Pemikiran hermeneutika akan masuk akal hanya apabila terdapat cara untuk menspesifikasi ciri-ciri teks yang akan memungkinkannya agar tetap menjadi teks yang sama meskipun maknanya mengalami perubahan.
17.   Membaca ketentuan pada Objek Permohonan secara sepenggal-sepenggal memang sekilas tampak “sudah jelas”. Namun ketika kita kaitkan dengan “kisah yang terus bersambung” (sebagaimana istilah Ronald Dworkin), berupa kaidah Pasal 61 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan: “Perjanjian kerja berakhir apabila: b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.”—maka Objek Permohonan tak lagi tampak sesederhana yang kita asumsikan.
18.   Untuk itu Mahkamah berwenang memberi penafsiran konstitusional terhadap keberlakuan frasa “demi hukum” dalam undang-undang a quo yang dimohonkan pengujian materil, apakah hakim pada gilirannya hanya membuat amar declaratoir ataukah amar constitutif.[8]
19.   Akibat tiada kepastian hukum yang menimbulkan multitafsir terminologi “demi hukum”, “PKWTT sejak semula” menjadi suatu kemewahan tersendiri—lebih tepatnya kemewahan bagi pengusaha. Bertolak belakang dengan itu, Montesquieu secara relevan menuliskannya sebagai berikut:[9]
“Semakin sedikit kemewahan dalam suatu republik, semakin sempurna republik itu. Seiring dengan tumbuhnya kemewahan dalam suatu republik, maka pikiran rakyat pun beralih kepada kepentingan mereka sendiri. Mereka yang diperbolehkan untuk memiliki apa yang diperlukan, tidak berharap apa-apa kecuali kemuliaan mereka sendiri dan negeri mereka. Tetapi suatu jiwa yang rusak oleh kemewahan akan melahirkan nafsu-nafsu lainnya dan akan segera menjadi musuh bagi hukum yang membatasinya.”
20.   Hart mengingatkan, teori-teori hukum mengenai perintah paksaan, bertolak dari pengamatan yang sepenuhnya benar terhadap fakta bahwa dimana ada hukum disana tindakan manusia dalam segi tertentu menjadi tidak bersifat pilihan (non-optional) atau bersifat wajib (obligatory).[10]
21.   Ketika hukum menyatakan PKWT berubah “demi hukum” menjadi PKWTT, bukanlah pilihan bagi pihak-pihak untuk menolak, dan bukan pula baru dapat terjadi ketika hakim “mengetuk palu” demikian di meja hijau. “Demi hukum” artinya “ought”, sementara hakim yang menyatakan “PKWT berubah menjadi PKWTT” merupakan “is” semata.
22.   Terminologi hukum “demi hukum” memiliki makna “self-legitimating”, dalam arti menampilkan supremasi kaedah normatifnya secara independen sementara peranan hakim yang mendeklarasikannya dalam amar putusan hanya bersifat komplementer, bukan sebagai prasyarat mutlak. Seorang hakim Inggris dalam Farrell vs. Alexander [1977] A.C. 59, menuliskan sebagai berikut:[11]
“Dalam konstruksi semua instrumen tertulis, termasuk undang-undang, yang menjadi perhatian pengadilan ialah mengetahui dengan pasti makna yang dikatakan instrumen-instrumen tersebut, bukan apa yang dimaksudkan hendak dikatakan oleh pihak yang mengumumkan instrumen-instrumen itu.”
23.   Ketika hukum menampilkan dirinya sendiri dengan pencantuman frasa “demi hukum” dalam kaedah tertulis, hakim/pengadilan yang mengamputasi daya eksekusi otomatis oleh hukum (self-executing of law) menjadi ranah monopoli kewenangan hakim, yang terjadi kemudian ialah ketergantungan hukum pada peran hakim (judges heavy)—suatu keadaan yang terbalik bila meninjau dari falsafah hukum.[12]
24.   Kelsen menguraikan, sebagai tatanan pemaksa, hukum memiliki kriteria utama berupa unsur paksaan, yang berarti bahwa suatu keadaan hukum yang ditetapkan oleh tatanan itu sebagai konsekuensi dari fakta yang merugikan masyarakat harus dilaksanakan dengan tanpa mempertimbangkan kehendak individu dan dengan suatu kekuatan perangkat hukum dengan segenap dayanya. Bila tindakan paksa yang diatur oleh tatanan hukum yang berfungsi sebagai reaksi terhadap perilaku seorang subjek hukum ditetapkan oleh tatanan hukum tersebut, maka tindakan paksa ini memiliki karakter sanksi.[13]
25.   Adalah percuma suatu norma kaedah hukum tertulis yang tidak memiliki daya imperatif, dimana karakter sanksi menjadi syarat mutlak unsur pemaksa hukum. Frasa “demi hukum” tidak mensyaratkan kesukarelaan pengusaha untuk menjadikan status pekerjanya sebagai PKWTT, namun “PKWTT demi hukum” adalah sanksi itu sendiri akibat dilanggarnya norma imperatif dalam hukum.
26.   “PKWTT demi hukum” merupakan sanksi itu sendiri bagi pelaku usaha, sanksi yang diatur, diakui, dan di-generated oleh hukum secara mandiri terlepas dari sumber daya institusi kehakiman.
27.   Ketika undang-undang tidak menyatakan diri dalam frasa “demi hukum”, barulah menjadi wewenang hakim dengan mengatasnamakan institusi peradilan untuk membuat amar putusan constitutif, sebagaimana secara eksplisit dinyatakan oleh Hans Kelsen:[14]
“ ... tindakan paksa itu sendiri tidak mesti diperintahkan penugasannya atau pelaksanaannya boleh jadi hanya dikuasakan.”
28.   Ketika undang-undang telah menyatakan secara tegas perubahan status seorang pekerja, yakni tersurat dari frasa “demi hukum”, maka hukum tidak mendelegasikan kewenangan jenis amar putusan constitutif pada Majelis Hakim pengadilan. Ketika undang-undang membuat kaedah normatif namun tidak menyertakan frasa “demi hukum”—seperti debitor dalam kasus kepailitan—maka hukum memberikan amanat/delegasi kewenangan tersebut kepada pengadilan untuk menyatakan debitor dari keadaan solvensi menjadi insolvensi.
29.   Dengan demikian Mahkamah berwenang untuk memberikan tafsir konstitusional terhadap apa yang menjadi “ought” (das sollen) terhadap “PKWTT demi hukum” terkait Upah Proses guna meluruskan “is” (das sein) yang bisa jadi belum sesuai dengan apa yang digariskan oleh “ought”.
30.   Menjadi tidak pasti, apakah terjadi “PKWT demi hukum” berlaku saat pelanggaran normatif hukum ketenagakerjaan terjadi, ataukah baru terbentuk saat hakim membacakan amar putusan?
31.   BUKTI BAHWA OBJEK PERMOHONAN MULTI-TAFSIR: Mahkamah Agung dengan berbagai putusannya, telah membakukan preseden lewat yurisprudensi tetap, yakni penafsiran versi MA RI bahwa “PKWT demi hukum” tidak berhak atas Upah Proses.
a)   Penafsiran Mahkamah Agung RI register perkara Nomor 379 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 31 Mei 2016, dimana Mahkamah Agung menganulir Upah Proses yang diberikan PHI, dengan interpretasi:
“..., namun adil tidak berhak atas upah proses karena perubahan status menjadi PKWTT dari Pekerja harian lepas/PKWT semata berdasarkan putusan Pengadilan, sebagaimana praktek-praktek putusan Pengadilan yang telah berulang-ulang terhadap kasus yang sejenis tidak memberikan upah proses.”
b)   Penafsiran Mahkamah Agung RI register Nomor 501 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 18 Agustus 2016:
“... harus membayar uang pesangon sebagaimana telah benar penerapan hukum dan perhitungannya oleh Judex facti dengan tanpa upah proses sesuai kebiasaan dalam praktek peradilan memutus perjanjian kerja waktu tertentu menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.”
c)    Penafsiran Mahkamah Agung RI register perkara Nomor 404 K/Pdt.Sus-PHI/2014 tanggal 29 September 2014:
“Bahwa putusan PHI yang tidak mengabulkan tuntutan Penggugat atas upah proses PHK dalam perkara a quo telah benar dan memenuhi rasa keadilan sebagaimana dimaksud ketentuan dalam Pasal 100 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, karena berbeda dengan tindakan PHK yang dilakukan terhadap Pekerja yang jika semula hubungan kerjanya memang telah didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu, dimana dalam perkara a quo tindakan PHK yang dilakukan oleh Tergugat kepada Penggugat a quo didasarkan pada asumsi bahwa hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat a quo berakhir demi hukum karena berakhirnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, dan oleh karenanya sudah patut dan seadilnya Tergugat tidak dihukum untuk membayar upah proses pasca tindakan PHK a quo.”
d)   Penafsiran Mahkamah Agung RI register Nomor 39 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 08 Maret 2016:
“Bahwa namun demikian putusan Judex Facti harus diperbaiki sepanjang upah proses karena hubungan kerja semula dalam PKWT berdasarkan putusan pengadilan menyatakan PKWTT, sehingga terhadap fakta hukum alasan PHK demikian berdasarkan keadilan dan praktek-praktek peradilan dalam memutus perkara tidak berhak atas upah proses;”
e)   Penafsiran Mahkamah Agung RI register Nomor 196 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 25 April 2016:
“Bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan membayar upah proses selama 6 (enam) bulan upah adil tidak diberikan, menimbang PHK dalam hubungan kerja PKWTT semata-mata berdasarkan putusan pengadilan, lagi pula para pihak telah menandatangani PKWT a quo sehingga berdasarkan praktek-praktek peradilan dalam putusan-putusan Mahkamah Agung terhadap PHK perkara sejenis tidak berhak atas upah proses.”
f)    Penafsiran Mahkamah Agung RI register Nomor 788 K/Pdt.Sus-PHI/2015 yang memberi pesangon namun menganulir Upah Proses:
“Bahwa namun demikian putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang juga menghukum Tergugat membayar upah proses kurang memberikan rasa keadilan sebagaimana dimaksud ketentuan dalam Pasal 100 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, sehingga harus dihilangkan karena pengakhiran hubungan kerja oleh Tergugat a quo semula didasarkan karena berakhirnya masa kerja yang diperjanjikan.”
32.   Penafsiran MA RI adalah ketika Objek Permohonan dilihat dari sudut pandang penafsiran sistematis yang menyertakan pula ketentuan Pasal 61 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang mengatur: “Perjanjian kerja berakhir apabila: b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.” Menyimak redaksional Objek Permohonan tanpa mengaitkannya dengan Pasal 61 Ayat (1) Butir (b), hanya berakibat pada terkecohnya sang penafsir—seakan Objek Permohonan telah “sudah sangat jelas”.
33.   Bila “PKWTT demi hukum” terhitung sejak pengadilan membacakan amar putusan—bukan sejak terjadinya pelanggaran, maka bila kita konsisten dengan cara Mahkamah Agung menafsirkan, semestinya buruh/pekerja “PKWTT demi hukum” sama sekali tak berhak atas pesangon, karena status “PKWTT demi hukum”-nya baru efektif terhitung sejak pengadilan membacakan amar putusan.
34.   Antara masa kerja “PKWTT sejak semula” dengan “PKWTT demi hukum” adalah kongruen (bisa terjadi sama-sama lebih dari tiga tahun tanpa terputus); jenis pekerjaan yang sama (sama-sama jenis pekerjaan tetap); bobot dan tanggung jawab kerja yang sama—praktis tiada perbedaan faktual antara “PKWTT sejak semula” dengan “PKWTT demi hukum”. Namun terjadi diskriminasi karena berkembang penafsiran bahwa “PKWTT demi hukum” tidak berhak menuntut Upah Proses.[15]
35.   Hakim pada dasarnya memainkan peran sentral dalam proses komunikasi di pengadilan, yakni interpretasi. Terdapat kesenjangan komunikasi laten dalam “pandangan interpretasi”, yakni pandangan dari sudut persepsi mereka yang melakukan interpretasi, semacam penjelasan yang dapat menjadi kontroversial, karena memang diliputi kontroversi sejak semula.[16]
36.   Betul bahwa sistem keluarga hukum Eropa Kontinental seperti Indonesia tidak menganut prinsip stare decisis / the binding force of precedent. Namun keputusan pengadilan yang tidak mengikat pun, mempunyai otoritas persuasif—sekalipun demikian, dalam banyak kasus, pertanyaan apa yang sesungguhnya mengikat itulah yang penting.[17]
37.   Terdapat beberapa alasan substantif menurut A.W. Bradley dan K.D. Ewing, yang biasa dipakai untuk melakukan judicial review atas norma umum peraturan (regeling), salah satunya ialah improper purposes, yakni pelaksanaan kekuasaan untuk tujuan yang tidak pada tempatnya.[18]
38.   Dengan demikian terdapat urgensi/kemendesakan dari pengujian Objek Permohonan yang Pemohon ajukan ke hadapan Mahkamah untuk diputus dengan memberi penafsiran konstitusional yang mengikat erga omnes demi terwujudnya asas kepastian hukum. Apakah “PKWTT demi hukum” tidak mendapat perlindungan hukum yang setara dengan “PKWTT sejak semula”?
39.   Oleh sebab itu tepat sekiranya Objek Permohonan dimaknai bahwa: Setiap pekerja/buruh, baik “PKWTT sejak semula” maupun “PKWTT demi hukum” berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha maupun oleh hakim ketika memutus, tidak terkecuali hak normatif atas pesangon, Upah Proses, hak cuti, jaminan sosial ketenagakerjaan maupun jaminan kesehatan, serta hak normatif lainnya, sebagai bentuk pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum sebagaimana diamanatkan Pasal 28D Ayat (1) UUD RI 1945.
40.   Apakah pengusaha yang sekalipun dengan itikad buruk menyalahgunakan lembaga PKWT berhak atas impunitas dari penghukuman Upah Proses?

VI. PETITUM
Berdasarkan uraian serta bukti-bukti konkret faktual sebagaimana terurai diatas, Pemohon memohon sekiranya Bapak / Ibu Ketua dan para Anggota Majelis Hakim Konstitusi yang Pemohon muliakan, berkenan untuk memutuskan:
1.   Menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2.   Menyatakan frasa “tanpa diskriminasi” dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai baik “PKWTT sejak semula” maupun “PKWTT demi hukum”;
3.   Menyatakan frasa “demi hukum” dalam Pasal 50 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu terhitung sejak hari saat pelanggaran ketentuan hukum terjadi;
4.   Menyatakan frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai termasuk sengketa pemutusan hubungan kerja yang disertai perselisihan hak/kepentingan, ketika Perjanjian Kerja Waktu Tertentu demi hukum dikonstitutifkan sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu;
5.   Menyatakan agar memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau, bilamana Mahkamah memiliki pendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya, ex aequo et bono.

VII. PENUTUP
Demikian permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 ini Pemohon ajukan, dilengkapi dengan dokumen-dokumen pendukung. Atas kesediaannya Mahkamah memberi pertimbangan serta memutus, Pemohon serta segenap warga negara lainnya yang berkepentingan, menghanturkan ucapan terimakasih.
PEMOHON

ttd & Materai
Hery Shietra, S.H.


© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.


[1] Hans Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Penerjemah: Raisul Muttaqien, Certakan VI, (Bandung: Nusa Media, 2008), hlm. 58.
[2] Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Penerjemah: Raisul Muttaqien, (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 241. Oliver Wendell Holmes dengan tepat mendefinisikan profesi konsultan hukum 
Hak dan kewajiban pokok yang menjadi urusan ilmu hukum tidak lain adalah ramalan-ramalan. Yang disebut kewajiban hukum tidak lain, adalah prediksi tentang penderitaan apa yang akan ditimpakan oleh keputusan pengadilan kepada seseorang jika dia melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu; dan demikian pula halnya dengan hak hukum.” (Ibid).
[3] Dirangkum dari Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 124 serta dari Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hlm. 229—230.
[4] Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Rajawali Pers: Jakarta, 2010), hlm. 177.
[5] A. Hamid S. Attamimi, Ilmu Perundang-Undangan: Proses dan Teknik Pembentukannya , Ed: Maria Farida Indrati S., (Penerbit Kanisius: Yogyakarta, 2007), hlm. 201.
[6] Alfred North Whitehead, Science and Modern World, sebagaimana dikutip oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Penerjemah: Raisul Muttaqien, (Nusa Media: Bandung, 2010), hlm. 11.
[7] James Farr, “Amerikanisasi Hermeneutka”, dalam Gregory Leyh (ed.), Hermeneutka Hukum, Penerjemah: M. Khozim, (Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 144.
[8] Steven Knapp dan Walter Benn Michaels, “Maksud, Identitas, dan Konstitusi: Tanggapan untuk David Couzens Hoy”, dalam Gregory Leyh (ed.), Hermeneutka Hukum, Loc. Cit., hlm. 262.
[9] Montesquieu, The Spirit of Laws, Penerjemah: M. Khoiril Anam, (Nusa Media: Bandung, 2007), hlm. 153.
[10] H.L.A. Hart, Konsep Hukum (the Concept of Law), Penerjemah: M. Khozim, (Bandung: Nusamedia, 2011), hlm. 128—129.
[11] Michael Bogdan, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Penerjemah: Derta Sri Widowatie, (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 163.
[12] Meminjam istilah yang dipakai oleh Roberto Unger, sebagai suatu “absolutisme birokrasi” (Roberto M. Unger, Op.Cit., hlm. 219).
[13] Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Op.Cit., hlm. 39.
[14] Ibid, hlm. 57.
[15] Sementara bila merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012: “Menimbang, ... Jaminan dan perlindungan demikian tidak dapat dilaksanakan dengan baik hanya melalui perjanjian kerja yang mengikat antara perusahaan dengan pekerja/buruh berdasarkan PKWT, karena posisi pekerja/buruh berada dalam posisi tawar yang lemah, akibat banyaknya pencari kerja atau oversupply tenaga kerja.”
[16] Anthon Freddy Susanto, Semiotika Hukum: dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 149.
[17] Michael Bogdan, Op.Cit., hlm. 141.
[18] Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hlm. 102—103.