SINOPSIS e-novel
Novel ini berkisah mengenai kehidupan di sebuah sekolah dengan latar
belakang dunia pendidikan. Novel edukatif semi hukum ini berpusar pada
kehidupan tokoh bernama Rex Archer, seorang mantan pengacara yang mengasingkan
diri dari gemerlap kehidupan urban, sebelum kemudian kembali ke kota
kelahirannya sebagai seorang guru.
Kisah yang sederhana dan bersahaja, namun penuh dengan filosofi
pendidikan. Sebagian besar alur kisah pada novel ini mengangkat kehidupan
seorang guru yang memulai kehidupan barunya sebagai seorang pendidik, dengan
segala lika-liku aktivitas para murid dan guru di sekolah.
Rex Archer kini hanya menginginkan kehidupan yang damai dan tenang, jauh
dari hiruk-pikuk keriuhan perkotaan. Namun dinamika kehidupan manusia membuat
‘sang naga’ yang tertidur, bangkit dari tidur panjangnya dan membuat Rex Archer
kembali bertarung di meja hijau demi menjaga kehidupan sekolah yang
dicintainya.
Kehidupan nyata telah penuh oleh berbagai intrik yang membuat ‘darah
mendidih’, tidaklah perlu kita menambah ruwet dan keruhnya kehidupan manusia
yang sudah cukup rumit ini. Kita tidak pernah benar-benar membutuhkan bacaan
mengenai tragedi kemanusiaan.
Biarlah kisah yang penulis angkat sebagai latar belakang novel ini
mengalir cukup datar dengan segala kepolosan karakter namun menyiratkan makna
intrinsik dibaliknya, tetap membuat pembaca mampu memetik sesuatu yang berkesan
dibalik sebuah kisah yang bersahaja dan nuansa kedekatan dengan kehidupan kita
sehari-hari.
Novel ini tidak menawarkan plot yang diwarnai tipu-muslihat ataupun
rangkaian kekotoran kehidupan manusia. Biarlah kisah dalam novel ini seperti
sebuah kisah dongeng yang acapkali kita baca ketika masih duduk di bangku taman
kanak-kanak, dengan semangat menunggu kisah kembali dibacakan dengan sukacita.
Sebuah bacaan renyah yang bersahaja namun tanpa mengurangi berbagai pesan
semangat kehidupan dibaliknya: idealisme diri yang sering kali luntur seiring
perjalanan waktu menapaki usia dewasa. Novel ini adalah sebuah dongeng, dongeng
mengenai idealisme seorang manusia yang beranjak dewasa.
Judul e-Book : The Unbeatable
Penulis :
Hery
Shietra, S.H.
Bahasa :
Indonesia
Penerbit :
SHIETRA PUBLISHER
Tahun terbit :
Mei 2017
File E-book : pdf, dapat dibaca dan dibuka pada
berbagai aplikasi, baik mobile, smartphone, tablet, maupun personal computer
(PC).
Harga : Rp.
29.000;-. Bebas ongkos kirim, sebab e-novel akan dikirimkan via email. Secara esklusif hanya dijual oleh hukum-hukum.com
Lisensi : "END USER AGREEMENT", HANYA DIJUAL KEPADA PEMBELI ORANG-PERORANGAN (Pembeli Individual), BUKAN UNTUK KEPERLUAN PERKANTORAN, PERPUSTAKAAN, ATAU SEJENISNYA. Lisensi 1 eBook HANYA UNTUK 1 ORANG PEMBELI. Dapat dibaca untuk SEUMUR HIDUP pembeli, kapanpun dan dimanapun.
Lisensi : "END USER AGREEMENT", HANYA DIJUAL KEPADA PEMBELI ORANG-PERORANGAN (Pembeli Individual), BUKAN UNTUK KEPERLUAN PERKANTORAN, PERPUSTAKAAN, ATAU SEJENISNYA. Lisensi 1 eBook HANYA UNTUK 1 ORANG PEMBELI. Dapat dibaca untuk SEUMUR HIDUP pembeli, kapanpun dan dimanapun.
Cara Pemesanan :
Kirimkan pemesanan Anda pada alamat email kami di legal.hukum@gmail.com , selanjutnya kami akan memberikan instruksi tata cara pemesanan serta 'syarat dan ketentuan'. Paling lambat E-book akan kami kirimkan 3 x 24 jam setelah
klarifikasi penerimaan dana.
1
“Rex Archer,” gumam pria berpostur sedang yang
menampakkan berbagai tanda-tanda penuaan namun tidak melunturkan kharisma
seorang intelek, dengan cermat menelisik dokumen di tangannya. Ia adalah sang
kepala dari sekolah yang berdiri diatas sebidang lahan di pinggir kota.
Pria yang duduk di seberang meja hadapannya hanya duduk
bersandarkan punggung kursi tanpa banyak menunjukkan ekspresi. Umurnya
kira-kira 38 tahun bila dilihat dari tanggal lahirnya. Namun relung matanya
menunjukkan tanda-tanda keletihan, yang mungkin diakibatkan deraan hidup yang
membuat parasnya tampak lebih tua dari umurnya.
Sang kepala sekolah memalingkan pengamatannya dari
dokumen resume profil sang pelamar, mengamati lekat-lekat tamu di hadapannya
yang hanya mematung bagai hidup di dunia lain.
“Sepertinya namamu sudah tak asing lagi, Tuan Archer.”
Sang tamu hanya memberi respon dengan sedikit menampilkan
senyum, senyum ala kadarnya yang kaku, sebuah ekspresi pertama kali yang ia
tunjukkan hari itu.
“Banyak kemiripan antara nama saya dengan nama-nama
serupa, Bapak Kepala Sekolah.”
“Panggil saja saya, Elnor. Atau Anda pun dapat memanggil
saya dengan nama sebutan El.”
“Baik, Pak Elnor. Anda pun dapat memanggil saya Rex.”
“Apa yang membawa Anda untuk mengajukan diri sebagai guru
di sekolah ini, Rex?” pertanyaan sang kepala sekolah tegas, delik serta sorotan
tatapan matanya tajam dari balik bingkai kacamata kecilnya.
Rex tak lekas menjawab, ia mencoba mencari-cari jawaban
seakan ia sendiri tidak tahu mengapa dirinya berada di tempat itu. “Sebuah
upaya pencarian, mungkin.”
“Pencarian jati diri? Sungguh menarik,” sahut Elnor,
meletakkan dokumen itu kembali pada mejanya, menyilangkan jemari-jemari
tangannya, menyadandarkan diri pada punggung kursinya, dan mulai mengamati
dengan penuh minat. “Jika begitu, mari kita diskusi sejenak. Apa yang Anda
lakukan sebelum ini, Rex?”
Pria itu kini saling beradu tatapan dengan Elnor.
“Kehidupan saya sederhana saja, monoton, tidak banyak hal
yang menarik.”
“Lalu?” tanya Elnor dengan sabar menyimak.
Rex mengalihkan pandangan, mulai sedikit gelisah
tampaknya. “Well, seperti yang telah saya cantumkan dalam profil resume saya,
memperoleh gelar sebagai sarjana hukum, dan berprofesi sesuai dengannya.”
Rex tak menguraikan lebih jauh mengenai detail latar
belakang dirinya. Mereka saling mengamati untuk beberapa saat.
“Apa yang membuatmu memutuskan menjadi seorang guru? Saya
rasa profesi hukum lebih menjanjikan. Anda lulusan fakultas hukum terbaik, Rex,
sebagaimana dapat saya lihat dari profil Anda. Apa yang membuatmu mengambil
langkah berbeda?”
Rex kini mulai benar-benar gelisah dibuatnya. Namun
kemudian ia menemukan kata-kata yang ia rasa cukup tepat.
“Tidak seindah yang Anda bayangkan, Pak Elnor. Saya sudah
lama meninggalkan profesi itu.”
Elnor sama sekali tak menunjukkan mimik atau nada bicara
menekan ataupun merendahkan Rex. Tak ada tanda-tanda konfrontasi. Cara Elnor
dalam melakukan pendekatan lebih menyerupai seorang kawan yang penuh minat akan
kisah hidup seorang sahabat lama. Ini membuat Rex merasa cukup lega.
“Semua orang pasti akan menemukan suatu titik untuk
membuat keputusan besar dalam hidupnya, meski itu akan dilihat sebagai hal
remeh atau aneh bagi pandangan orang lain yang memakai kacamata pengalamannya
sendiri. Akupun dahulu demikian, Rex. Tapi aku menaruh keyakinan bahwa pilihan
itu adalah sangat berarti bagimu. Aku sendiri pun pernah mengalami masa muda.”
Rex hanya terdiam, tak memberi respon apapun selain lebih
banyak menyimak.
Sementara Elnor mulai bertopang siku pada meja,
mencondongkan tubuhnya dan kembali menyibukan diri dengan dokumen-dokumen
tersebut, Rex tetap pada posisi duduknya menyandar sedalam mungkin pada
sandaran kursinya.
“Bukan perkara mudah seseorang mampu mencapai tahap
kerendahan hati.”
“Saya sempat bertani beberapa tahun belakangan ini,” sambung
Rex dengan nada rendah kurang meyakinkan. Rex tampak sebagai pria yang kaku,
namun disaat bersamaan memancarkan aura penuh misteri yang mengundang
penasaran.
Elnor menegakkan pundaknya lalu turut menyandar kembali
pada kursinya. “Agak tidak lazim. Sarjana hukum dengan predikat yang
mengagumkan. Apa yang membuatmu kemudian mencoba bertani, Rex? Jika saya boleh
mendengar cerita Anda.”
Elnor mulai terbiasa dengan sikap Rex yang tidak
reaksioner terhadap berondongan pertanyaan. Rex tipe pria introspektif yang
paling mendalam dari berbagai calon guru yang pernah diwawancarai olehnya.
Disaat bersamaan Elnor cukup menyukai sikap tenang sang tamu ini. Dan ia tak
terburu-buru. Ia biarkan Rex mencerna pikirannya sendiri sebelum memberikan
jawaban.
Biasanya seseorang berasumsi bahwa tingkat kecerdasan
seseorang diukur dari daya kemampuan berbicara cepat dan menanggapi pertanyaan
lawan bicara dengan lekas-lekas. Tapi sikap introspektif Rex memancarkan aura
kedalaman intelektual yang membuatnya lain daripada yang lain. Rex memiliki
paralinguistik yang cukup membuat orang lain tertarik untuk berdiskusi
dengannya.
Setelah beberapa detik yang hening berlalu, Rex
menggerakkan bibirnya, “Seorang sarjana pendidikan pun boleh menjadi seorang
pedagang, bukankah demikian, Pak kepala sekolah?” Tak ada nada suara konfrontir
dari intonasi ucapan Rex.
Tawa Elnor meledak mendengarnya.
“Seperti kata Anda, memang tidak ada yang salah dengan
semua itu. Berapa lama Anda berkecimpung di bidang tani, Rex? Saya sudah lama
menyimpan hobi berladang, namun selalu gagal dengan tanaman-tanaman sayur
percobaan yang saya tanam di pot kebun kecil rumah saya. Hahaha.”
“Sekitar empat tahun.”
“Cukup menyenangkan kedengarannya. Oke Rex, apa yang kau
lakukan sebelum bertani?”
Pupil mata Rex mengecil, rahang mengatup erat. Dahinya
berkerut, ketegangan pada saraf matanya yang menerawang jauh ke dalam relung
memorinya yang dalam, terkubur dalam masa lalu yang ingin ditutup untuk
selamanya.
Ingatan itu muncul kembali, sekitar empat tahun lampau,
ruang sidang, jeritan dan teriakan seorang bocah perempuan cilik yang
meneriakkan caci-maki frustasi, kutukan, dan makian yang memilukan. Riuh sekali
ruang sidang itu. Hakim mengetukkan palu. Sementara pengunjung saling
tarik-menarik dan memekik, meronta, bersitegang.
Kelebat ingatan seorang pria menjabat tangannya, pujian,
mengeluh-elukan namanya, ujaran-ujaran penuh kesalutan, gemuruh massa
pengunjung pengadilan, sorotan lampu blitz kamera, wartawan yang mengerubuti
dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu, tawa kemenangan,
kebanggaan, kemenangan.
Kemenangan palsu yang kini membuatnya mengenal apa yang
disebut dengan perasaan muak.
“... Seorang pengacara,” Rex menjawab dengan perlahan.
Nadanya lirih seperti tertahan di tenggorokan yang kering dan menyakitkan.
Elnor menarik nafas, menghembuskannya perlahan, dan
dengan nada hangat menanggapi, “Rex, aku rasa aku tidak perlu terburu-buru
untuk saling mengenal. Namun dari pengamatanku sejauh ini, kau adalah seorang
pria yang memiliki sikap tanggung-jawab. Itulah penilaianku, apapun
pengalamannya di masa lampau.”
Mungkin Anda keliru, El. Rex membatin.
Elnor bangkit berdiri dari kursinya, berjalan menuju ke
jendela di samping ruang kantornya yang tertata rapih, kontras dengan keadaan
meja kerjanya yang penuh oleh berbagai tumpukan dokumen, mengamati lapangan
olahraga di kejauhan dengan rumput hijau yang terpangkas baik.
“Sudah hampir tiga puluh tahun saya menjadi seorang guru,
Rex. Bukan waktu yang singkat untuk bidang ini,” Elnor berkata-kata tanpa
memalingkan wajah dari jendela. “Kebetulan sekolah kami sedang membutuhkan
tenaga mengajar. Kau mungkin adalah orang yang tepat berada di sini, Rex
Archer. Bisakah kau datang besok pagi untuk memulai. Kini persiapkanlah dirimu,
Pak Guru Archer. Selamat datang pada sekolah kita bersama ini.”
Rex terngaga atas ucapan sang kepala sekolah. Ia menduga
akan datang berondongan interogasi demi interogasi yang meletihkan. Hanya
seperti demikian? Dan kini ia seorang guru? Sukar dipercaya.
Elnor menoleh, menatap pria yang duduk kebingunan itu
sambil memberinya sebuah senyum kecil, “Semua orang punya masa lalu, Rex. Namun
setiap orang pun berhak untuk membangun masa depan tanpa dipenjara oleh masa
lalu.”
Sebuah senyum yang paling hangat dan paling bijak yang
pernah disaksikan Rex beberapa tahun belakangan ini.
Elnor menutup perjumpaan mereka hari itu dengan
mengatakan, “Seorang guru dari guruku mewarisi sebuah puisi berikut ini dari
generasi ke generasi sebagai sebuah filosofi pendidikan.”
Rex yang sudah siap beranjak, berdiri ditempatnya siap
untuk menyimak.
“Sebaik apapun benih bila tak dipupuk dan tak dirawat,”
sambul Elnor, “ia hanya menjadi onggokan tumbuhan terbengkalai. Seburuk apapun
benih bila dirawat dan diperhatikan, ia akan menjadi penopangmu. Sebaik apapun
tanaman itu, kau bonsai maka kau mendapatkan yang kerdil. Kau bantu ia
bertumbuh, maka ia akan dapat menaungimu. Tak ada hal yang lebih sesederhana
prinsip mendasar ini. Bukankah begitu menurutmu?”
2
Jarum jam belum benar-benar tepat menunjuk pukul dua
belas malam. Hanya terdengar desahan nafas yang berat. Pria yang berbaring di
matras lipat tersebut meronta dalam tidurnya yang penuh gelisah.
Teriakan-teriakan itu lagi. Jeritan-jeritan itu kembali
muncul. Mimpi buruk yang sama yang telah menghantuinya selama lebih dari empat
tahun lamanya. Nafas Rex berat, ia meronta di balik selimut. Keringat dingin
mulai bermunculan dari pori-pori kulit wajahnya.
Tenggelam dalam kenangan masa lalu yang kelam. Bagaikan
pusaran lubang hitam yang menyeret dan membuatnya terhisap masuk dalam
kegelapan.
Hakim membacakan vonis, sang klien yang duduk di meja
terdakwa bersorak gembira, sementara seorang bocah cilik menjerit dengan wajah
memerah serta becek oleh air mata, memekik, menjerit sebisanya.
Ketukan palu. Hakim mencoba menenangkan kericuhan
pengunjung sidang.
Kegaduhan.
Rex terlonjak dari mimpinya. Terduduk dengan peluh
menetes dari leher membasahi singletnya. Nafasnya memburu. Udara malam terasa
berat sekali.
Kondisi malam itu hening. Hanya sesekali terdengar bunyi
anjing menggonggong dari kejauhan.
Ia mencoba menopang kepalanya dengan tangan di kening,
hatinya pedih. Seperti merasakan perih atau sakit. Pria bertubuh kekar seperti
dirinya pun dapat merasakan dukha pada hatinya. Sesuatu yang disesali adalah
hukuman batin yang telah dijalaninya beberapa tahun ini.
Malam yang sunyi dan menakutkan. Ruangan itu hanya
ditemani suara jangkerik yang mengisi udara dingin menusuk tulang. Cahaya
rembulan merembes masuk melalui celah jendela yang sedikit membuka meniupkan
tirai horden tipis bewarna putih polos yang sesekali berkelebat.
Mungkin siksaan inilah yang telah menorehkan tanda-tanda
letih pada raut wajahnya.
Butuh waktu sekitar sepuluh menit sebelum ia mampu
kembali terpejam. Ia terkulai dengan melipat tubuhnya seperti kepompong yang
terluka.
Malam yang dingin seperti malam-malam sebelumnya. Dalam
kesendiriannya yang mencekam membekukan jiwa.
Kesepian.
...
Hari menjelang subuh. Rex bergegas mempersiapkan diri.
Sebelum tepat pukul setengah delapan, ia telah berada pada kompleks sekolah.
Gerbang yang sederhana namun menawan di bawah naungan
pohon besar yang telah berusia setidaknya ratusan tahun menjadi tapal batas
kompleks sekolah, dengan logo sekolah melekat pada pucuk gapura gerbang, yang
menyerupai gambar sebuah kecambah yang akan mulai bertumbuh, dengan nama
“Bertumbuh dan Berkembang”.
Sebuah nama sekolah yang cukup aneh di telinga pada
mulanya.
Celotehan muda-mudi dengan seragam sekolah yang bewarna
hijau cerah, antusiasme kaum muda, semangat pembelajar yang terbangun dengan
baik terpancar dalam aura yang berhasil dibentuk oleh para pendiri sekolah.
Para remaja dan kanak-kanak berjalan cepat dengan tas
ransel disandang pada punggung mereka, beberapa mengendarai sepeda melaju
menuju gedung sekolah bertingkat dua yang berjarak sekitar setengah kilometer jaraknya
dari gerbang.
Rex berjalan menikmati udara segar, dan mulai belajar
mencintai kehidupan alam beberapa tahun belakangan ini setelah dirinya
mengasingkan diri dari hingar-bingar kehidupan urban. Mencintai kehidupan
berarti berbagi ruang hidup dengan aneka satwa dan tetumbuhan, sebagai
ekosistem yang saling berdampingan. Tanpa ekosistem, maka tiada daya dukung
lingkungan, yang artinya manusia akan terancam punah. Ia mempelajari falsafah
ini dari sanak keluarganya di desa.
Sekolah inilah satu-satunya sekolah di kota itu yang
memiliki hamparan taman dan kebun yang demikian luas. Memang sekolah yang unik.
Sebuah lonceng tanda jam masuk kelas berbunyi dari puncak
gedung sekolah. Umur dari gedung sekolah itu sendiri sukar untuk diprediksi,
namun dipastikan sudah berusia sangat tua, dipugar pada beberapa bagian,
menyisakan beberapa sudut yang masih terjaga rangkanya. Terdapat beberapa
bagian yang dibangun baru-baru ini pada sisi samping gedung utama untuk
menampung aktivitas para siswa.
Anak-anak yang sebelumnya bermain-main di taman kini
tampak berlarian menuju gedung. Rex pun turut bergegas seraya berlari-lari
kecil.
Tepat ketika ia tiba di depan gedung, Rex menyempatkan
diri mengamati sebuah sajak yang tertulis tepat di atas pintu masuk gedung.
“Mengubah Cara Berpikir Berarti Mengubah Kebiasaan.
Merubah Kebiasaan Berarti Merubah Nasib.”
Sungguh kalimat yang sukar dipahami.
Sebenarnya Rex telah melihat sajak yang terukir di atas
pintu masuk gedung ketika ia pertama kali mengunjungi sekolah itu tempo hari.
Namun hingga kini ia belum dapat memahami makna yang terkandung didalamnya.
Elnor bukan tipe kepala sekolah yang gemar bersembunyi
pada ruang kantornya. Ia berdiri di dalam ruang tengah gedung, menyambut dan
menyapa setiap murid seperti seorang kakek yang berjumpa dengan para cucunya.
“Pak Guru Archer, selamat datang,” sambut Elnor setibanya
Rex di ruang tersebut. Kelas-kelas riuh oleh koor para siswa yang mengucapkan
selamat pagi kepada guru mereka, dan memulai pelajaran.
Mereka berbincang sejenak, dimana Elnor mengucapkan
betapa ia mengapresiasi minat Rex untuk bersama-sama berkarya sebagai seorang
pendidik di sekolah mereka.
“Sekarang, ini menjadi sekolah kita bersama. Bagi kami,
para siswa dan siswi merupakan aset negeri yang paling berharga, mereka adalah
penerus masa kita. Aula terdapat di bagian belakang gedung sebelah sana. Pukul
delapan akan diadakan pertemuan para guru di aula. Adalah wajar bila pertama
kali bergabung merasa sedikit menegangkan. Takkan butuh waktu yang lama untuk
beradabtasi dan membiasakan diri di sekolah ini. Tak banyak aturan di tempat
ini. Saya menganggap para guru adalah manusia dewasa yang sudah tidak perlu
kuatur-atur lagi.”
Elnor sendiri yang memandu Rex berkeliling memantau
setiap kelas di kedua tingkat lantai sekolah. Isi dalam gedung sekolah ternyata
jauh lebih besar ketimbang penampakan dari fisik luarnya.
Murid-murid sekolah dasar memulai kelas mereka dengan
bernyanyi, semarak sekali. Membuat Rex teringat akan masa kanak-kanak yang
samar-samar masih dapat diingatnya. Masa kanak-kanak memang masa bermain yang
menyenangkan dan tak terlupakan. Rasa ingin tahu yang tinggi, serta antusiasme.
Tanpa direcoki berbagai intrik manusia dewasa yang penuh manipulasi.
Meski setiap kanak-kanak merasa lemah dan merasa iri
terhadap manusia dewasa yang kuat, namun setiap insan dewasa pun merasa iri
terhadap kanak-kanak yang demikian penuh semangat dan senantiasa antusias.
Sementara kelas-kelas tingkat atas memiliki aura yang
lazim dijumpai, keseriusan proses belajar meski suasananya cukup hangat.
“Sekolah adalah momen dan wadah yang tepat untuk
menumbuh-kembangkan idealisme pada para peserta didik sebagai bekal mereka
ketika dewasa nanti. Semacam prinsip-prinsip dasar kehidupan untuk bertahan
hidup disaat bersamaan berkontribusi terhadap kehidupan bersama,” ujar Elnor
ketika mereka berjalan secara perlahan menuju kelas lain dan memantau dari luar
pintu kelas. “Pada dasarnya yang dibutuhkan peserta didik ialah bekal hidup
mengenai prinsip-prinsip dasar, dalam segi dan bidang apapun. Ketika konsepsi dasar
telah mereka kuasai, maka selebihnya dapat mereka kembangkan sendiri seiring
talenta mereka yang mulai terasah sesuai minat mereka masing-masing. Sekolah
juga merupakan wadah yang baik bagi mereka yang menjadi guru, sebuah wadah yang
sangat cocok untuk panggilan hati akan idealisme diri kita. Sekolah ini
menawarkan benih-benih idealisme bentuk kehidupan yang harmoni. Sekolah ini
memiliki tujuan besar, Rex, sebuah mimpi untuk memanusiakan manusia. Bukan
lewat ucapan, namun lewat teladan.”
Sejauh ini Rex lebih banyak menyimak.
Elnor melanjutkan uraiannya, “Seorang pendidik adalah
seorang inspirator, Rex, kau pernah mendengarnya?”
“Inspirator?”
“Ya, ia bisa menjadi inspirator bagi para siswanya untuk
menjadi seorang berandalan, atau sebaliknya, sebagai orang dewasa yang
menawarkan inspirasi bagi generasi muda ini sebagai sosok ideal yang dapat
mereka bentuk pada citra diri mereka sendiri dewasa kelak untuk kita dorong
realisasikan. Seorang guru adalah seorang agen, Rex. Setiap anak pada dasarnya
gemar meniru, guru menjadi role model. Bukankah ini luar biasa?”
“Agen?”
“Ya, agen pembentukan karakter. Seorang guru membantu
para peserta didik menemukan potensi dan minat mereka masing-masing untuk
diasah dan ditumbuh-kembangkan. Hal ini penting, yakni memahami siapa
murid-murid kita. Anggap ini sebagai pengantar untuk bekalmu berpraktik sebagai
seorang pendidik, Archer. Bukan bermaksud menggurui, anggap saja sebagai
sharing seorang senior yang kebetulan telah lebih dahulu mengenal dunia
mengajar. Setiap karakter memiliki pendekatan tersendiri untuk mengasahnya.
Kita hanya membantu mengarahkan mereka, mengenalkan diri mereka pada potensi
diri mereka sendiri, memberi dorongan semangat, dan menumbuhkan kepercayaan
diri pada diri mereka untuk mereka mampu mandiri diatas kaki dan pikiran mereka
sendiri dewasa kelak. Ini penting sekali bagi para guru di sekolah ini.”
Elnor menghentikan langkahnya, menghadap Rex, dan
menyentuh pundaknya seraya menyampaikan, “Tidak sembarang orang dapat menjadi
seorang guru sejati, Rex. Selamat datang, dab bersemangatlah!”
“Ah?!”
Pukul delapan tepat, para guru dikumpulkan di aula. Elnor
yang memimpin pertemuan para guru pagi itu. Ia memberi sambutan atas kehadiran
seorang guru baru, lalu menyampaikan kembali sejarah berdirinya sekolah, visi misi
sekolah, dan mengingatkan kembali mengapa mereka terpanggil untuk menjadi
seorang guru.
“Yang paling dibutuhkan para murid bukanlah materi ilmu,
namun sebuah bimbingan untuk melihat dan menyikapi realita serta ide-ide
kehidupan. Ketika murid merasa tergerak, dengan sendirinya mereka akan
mengeksplorasi potensi diri mereka. Guru, adalah seorang pembimbing, bukan
seorang penghukum ataupun pembuat perintah,” demikian kata-kata Elnor di
hadapan para guru dalam pertemuan yang membuat mereka senantiasa terpana
sekaligus tertanam pada benak para pendengarnya hingga lama setelahnya.
Elnor mengenalkan Rex pada para pengajar. Cukup sukar
bagi Rex mengingat nama dan wajah-wajah pemilik nama itu dengan demikian
cepatnya. Entah mengapa, sukar baginya mengingat nama seseorang dengan lekas.
Terkadang sesi perkenalan tak pernah efektif untuk mengingat nama.
Kurang lebih terdapat tiga puluh guru berkumpul di ruang
aula. Jumlah tersebut baru separuh dari total guru yang ada, karena sebagian
sedang mengajar pada jam masuk kelas pagi. Beberapa nama yang dapat dengan
cepat diingatnya, Madeline seorang guru musik yang sudah cukup berumur namun
masih memancarkan jiwa muda, Lungren seorang guru komputer, Jonah seorang guru
fisika, Dante seorang guru olahraga, Orchid seorang guru bahasa, dan selebihnya
tak lagi mampu diingat. Rata-rata umur mereka sudah sama tuanya dengan usia
sekolah itu sendiri.
Yang membuat Rex menghargai sekolah ini, setiap guru
tampak saling menghormati dan tiada sikap-sikap senioritas yang ditonjolkan.
Sambutan ucapan selamat datang secara sederhana namun
diwarnai kehangatan itu membuat Rex sedikit canggung pada mulanya. Rex diminta
Elnor untuk naik ke atas podium dan menyampaikan beberapa patah kata untuk
perkenalan.
Rex mengamati wajah-wajah yang menatapnya. “... Selamat
pagi, kepada para guru yang saya hormati,” Rex membuka ucapannya. “Rex Archer,
adalah nama lengkap saya. Ini menjadi pengalaman pertama saya menjadi seorang
guru. Jadi, mohon bimbingannya.”
Singkat saja, toh memang tak banyak yang bisa disampaikannya
sebagai pembuka perkenalan.
Bertahun-tahun meninggalkan kota membuatnya seperti orang
baru di kota itu. Namun setiap guru yang kemudian dikenalkan padanya menerima
dengan tangan terbuka, sebuah awal yang baik, pikirnya.
Seorang guru biologi yang sepantaran dengan umur Elnor,
bernama Lucy, telah mempersiapkan sebuah meja kerja untuk Rex. Letaknya di
tengah-tengah ruang guru, dan entah bagaimana dirinya mendapat kehormatan
berada di lokasi strategis demikian sekaligus membuatnya merasa kurang nyaman
karena posisi meja kerjanya tepat di tengah-tengah ruang terbuka yang
menjadikannya pusat pengamatan seisi ruang guru.
Rex mengucapkan terimakasih pada Lucy karena telah
memberi orientasi singkat mengenai sekolah itu kepada Rex, memperkenalkannya
pada para pekerja lainnya di sekolah, dan menyampaikan pesan bahwa ia boleh
bertanya apa saja mengenai sekolah itu kepada dirinya atau ketika ia
membutuhkan sesuatu.
Setelah mencoba duduk pada kursi meja kerjanya, dan
melihat apa saja yang sekiranya dapat ditaruh pada laci meja kerjanya yang
telah dilengkapi berbagai alat tulis, sambil bertanya-tanya siapa saja
guru-guru para pendahulunya yang sebelum ini menempati mejanya, Rex menyadari
dirinya telah kembali ke tengah kehidupan perkantoran yang sudah lama ia tinggalkan.
...
Satu tahun lampau, di sebuah ladang pertanian di daerah
perbukitan, seorang paman Rex bernama Reno, berdiri di tengah jembatan
sementara air terjun yang bergemuruh dengan buih putih raksasa hingga
menimbulkan kabut awam putih tebal yang naik dari bawah jembatan dan
menampilkan rona pelangi ketika diterobos sinar matahari pagi menjelang siang
yang menyeruak dari balik awan tebal pegunungan.
Mereka baru saja selesai membajak sawah dan mengejar
musim tanam yang tidak lagi dapat diprediksi akibat perubahan iklim yang
ekstrim. Masa tanam dan masa paceklik menjadi sukar diukur. Terkadang musim
hujan turun sepanjang tahun. Kadang sebaliknya. Para petani menjadi para
spekulan yang selalu sibuk mengomentari dan memprediksi perihal cuaca di
berbagai tempat perkumpulan kaum petani di daerah pertanian itu.
Badai dan hujan dapat turun dan dapat juga kekeringan
melanda tanpa kenal ampun. Berbagai hama menghebat dari tahun-tahun sebelumnya.
Kehidupan kaum tani sungguh keras, bertarung melawan alam. Bagaikan berjudi
dengan tantangan alam. Pemanasan global tidak banyak memengaruhi kehidupan
warga perkotaan yang hidup di dalam ruang tertutup dengan air conditioner
mereka, namun sangat dirasakan oleh para kaum tani yang beradu nasib ladang
mereka dengan kemurahan hati alam.
Sembari menyandarkan kedua siku pada tepian jembatan,
angin menyapu wajah dan pakaian mereka. Buih-buih air terjun terus terbentuk
tanpa terputus. Molekul-molekul air yang bercampur ke tengah udara membuat
kelembaban udara di tempat itu sangat tinggi dan terbawa hembusan angin yang
kemudian melekat di wajah mereka, membuat sensasi kesegaran tersendiri.
Keindahan alam di desa ini cukup berhasil menentramkan
gejolak hati Rex.
Kedalaman air terjun itu kurang lebih dua ratus meter
dari puncaknya, menjatuhkan curahan air dengan debit besar hingga ke dasar
sungai, menimbulkan suara gemuruh tanpa henti itu, sementara lebar sungai itu
sendiri mungkin mencapai seratus meter panjangnya. Sungai itu pula yang selama
ini menjadi tumpuan sebagian sumber irigasi ladang para petani yang sangat
menggantungkan nasib padanya. Namun pada saat musim kering, sungai dan air
terjun itu tidak sederas saat ini, dan berubah keruh.
Aliran udara membawa serta butiran-butiran kecil partikel
air yang bercampur dengan udara lembab yang dingin terhirup pula oleh nafas
mereka.
“Aku merasa, pikiranmu saat ini sedang tak berada di
tempat ini,” ujar Reno tanpa saling beradu pandangan dengan Rex. Reno memiliki
wajah yang sangat menyerupai Rex, hanya saja lebih gemuk dan lebih bulat, kulit
hitam legam dengan janggut dan kumis yang putih sepenuhnya.
Rex membisu, pandangan mata dirinya menerawang seperti
sering terjadi. Tiada antusias, tiada gairah. Reno menyaksikan pertumbuhan
hidup Rex, sejak ia masih muda, menjadi pria perkasa, dan kini menjelma
menyerupai zombie.
“Jika kau sedang melarikan diri, saranku sebaiknya kau
hadapi saja. Bila masalahmu tidak berada di tempat ini, selamanya kau mungkin
tidak akan bisa menuntaskan permasalahan yang telah kau mulai sebelumnya.
Pikiran yang terperangkap, akan membuat hidup ini serasa merana, bukankah
begitu menurutmu?”
Kali ini Rex menoleh pada Reno yang kini mulai sibuk
memperbaiki tambalan pada topi anyaman bambunya.
“Rex, aku tahu kau adalah seorang pria yang penuh dengan
energi. Aku hanya menyayangkan potensi yang kau miliki. Aku tahu kau cemas akan
emosimu sendiri. Namun bisakah kau memandang emosimu sebagai suatu potensi
energi yang bisa kau arahkan untuk sesuatu hal yang besar, seperti membangun
sesuatu atau sejenisnya. Aku tak pernah meninggalkan pertanian ini, jadi aku
tak tahu betul kehidupan perkotaan. Tapi prinsip hidup berlaku dimana saja,
kupikir.”
Rex hanya memandanginya. Reno mulai saling beradu
pandangan dengan Rex. “Aku hanya ingin kau tahu, tempat ini selalu terbuka
untukmu. Namun tampaknya kau belum sepenuhnya berada di tempat ini. Aku hanya
merasa kau sedang melarikan diri dari dirimu sendiri, Rex. ... Entahlah,
mungkin juga pandanganku yang keliru. Haha, mataku sudah mulai rabun, kau tahu
itu kan.”
Sebuah teguran membangunkan lamuran Rex.
“Selamat pagi !”
Seorang guru wanita berumur 29 atau 30 tahunan datang dan
duduk di meja sebelah Rex. Rex belum pernah menjumpainya di aula pertemuan
tadi. Sepertinya ia baru selesai mengajar pada kelas pagi. Mereka saling
memperkenalkan diri dan berbasa-basi layaknya rekan kerja yang baru saling
mengenal.
“Bidang studi apa yang akan Anda bawakan pagi ini?” tanya
guru wanita bernama sapaan Ivi itu. Nama lengkapnya Ivanni Lewits. Entah
mengapa, seketika nama itu membentuk kesan pada benaknya. “Saya wali kelas di
sekolah dasar kelas 3.”
“Saya membawakan bidang studi ilmu sosial, Bu Guru
Ivanni,” sahut Rex seramah yang ia bisa. “Saya baru saja menjadi seorang guru.”
“Oh, saya juga masih terbilang baru sebagai seorang
guru,” sahut Ivi dengan senyum manisnya yang jenaka. “Bagaimana pun umur Anda
lebih tua dari saya, jadi tak perlu sungkan.”
“Jika begitu saya mohon bimbingannya.”
“Mari saling membimbing jika demikian,” Ivi merendah
dengan nada bicaranya yang santun sedikit menyiratkan keriangan.
Rex mempersiapkan buku materi yang akan
dipresentasikannya kepada murid-murid kelas sepuluh pukul sembilan nanti. Ini
akan menjadi debut perdananya. Semua hal yang pertama kali dilakukan selalu
mendebarkan. Rex sudah membayangkan dirinya di depan kelas, berbicara dengan
banyak mata murid tertuju padanya. Mempersiapkan kata-kata pembuka, perkenalan,
dan sebagainya layaknya seorang guru.
“Sebelumnya Anda menekuni bidang apa, Pak Guru Archer?”
Sudah dapat diterkanya pertanyaan-pertanyaan seperti itu
akan dialamatkan kepadanya secara bertubi. Seramah mungkin Rex hanya menjawab
singkat, “Bertani.”
Rex sudah berlatih untuk melontarkan kata-kata itu dengan
penuh keyakinan. Berharap tiada pertanyaan lebih lanjut atau sebagainya.
Ivi pada mulanya terperangah, tidak percaya tepatnya,
namun senyum kembali tersungging di pipinya. “Anda memang pandai bercanda, Pak
Guru Archer.”
“Tidak juga ah, kulit saya tidak sehitam ini sebelum saya
mulai bertani.”
Namun Ivi kini benar-benar terkekeh.
Biarlah orang lain menilai apa, Rex tidak suka
diinterogasi oleh siapapun mengenai masa lampaunya. Lagi pula ia tak punya
kewajiban untuk menceritakan sesuatu perihal dirinya terhadap setiap orang yang
dijumpainya.
Terserah, mereka mau berpikir apa tentang dirinya.
3
Mata pelajaran sejarah, geografi, dan ilmu-ilmu sosial
memang menjadi bidang yang telah dikuasainya. Keterampilan seni argumentasi
yang selama ini menjadi andalannya ternyata tidak cukup membantunya membuka
karir sebagai seorang pengajar. Rex merasa perlu dengan cepat berbaur melebur
dengan atmosfer sekolah, serta sedikit bimbingan tentunya akan cukup
menyenangkan.
Pengalamannya dibidang profesi hukum memiliki tuntutan
yang berbeda dengan profesi sebagai seorang guru. Kenyataannya, tidaklah mudah
membangun kedekatan dengan para murid, terutama agar kemunculan sosoknya yang
baru ini dapat diterima oleh para peserta didik dan agar mereka merasa nyaman
dengannya. Untuk dapat menyerap materi pelajaran dengan baik dibutuhkan diskusi
dari hati ke hati.
Tak ada yang lebih buruk dari sesi pelajaran yang
diwarnai perasaan takut, cemas, ataupun penuh ketegangan dari para peserta
didik.
Selama ini profesi hukum mendidik dan mengasahnya menjadi
seorang petarung, menang atau kalah, seorang pendebat ulung. Lari atau melawan.
Pendekatan seperti itu sama sekali tak dapat diterapkan untuk berkarir di sekolah.
Seorang guru bukanlah bertarung dengan para muridnya.
Bukan pula memiliki misi untuk menumbangkan para murid. Namun menjadi rekan
mereka, demikian urai Lucy, guru biologi yang dahulu memandu Rex dalam
orientasi sekolah, ketika Rex kembali mencari dirinya untuk menanyakan perihal
“bagaimana cara menjadi seorang guru?”
Rex tak pernah sungkan untuk membantu dan meminta
bantuan. Rex sama sekali tak merasa malu ataupun sungkan meminta nasehat serta
bimbingan. Dirinya mengakui bahwa ia bukanlah pribadi yang tahu akan segala
hal.
“Terkadang, kita bukan mengajari, namun kita belajar dari
mereka bagaimana menjadi seorang guru yang mereka butuhkan,” Lucy menjelaskan
dengan perlahan kepada Rex ketika mereka kembali berjumpa di kantin saat makan
siang tiba. Yang paling Rex sukai, ialah sikap dan intonasi bicara Lucy yang
keibuan. “Menjadi seorang guru, dibutuhkan sebuah seni.”
“Seni?”
“Ya, pernah mendengar tentang pedagogi? Pedagodi ialah
seni pendekatan dalam kegiatan mengajar. Setiap peserta didik memiliki
karakternya masing-masing. Tak ada cara yang bersifat umum dapat berlaku
terhadap seluruh tipe peserta didik. Nah, saat kita sudah mengetahui apa yang
benar-benar mereka butuhkan, kita yang perlu menyesuaikan diri dengan karakter
mereka. Ketika kita mendapat kepercayaan dari murid-murid, saat itulah kita
akan mulai diterima oleh para murid sebagai seorang sahabat.”
...
Dalam perjalanan pulang, Rex melangkahkan kaki dengan
tidak terburu-buru. Ia memikirkan banyak hal tentang profesi barunya ini. Tidak
semudah yang dibayangkan, demikian Rex berpikir. Tapi bukankah memang tidak ada
hal yang mudah pada mulanya? Setiap hal akan dapat terpetakan, bila sudah
membiasakan diri.
Awal yang cukup menarik dan menantang untuk memulai
lembar kehidupan yang baru. Demikian keyakinan yang coba ditanamkan Rex ke
dalam benaknya setiap hari berganti hari. Rex yang dahulu hidup dalam segala
gegap-gempita, uang dan kehormatan bukan menjadi masalah baginya.
Namun kini ia seakan terlahir baru, dengan segala
kesederhanaan, dan kerendahan hati. Kemeja lengan pendek serta celana jeans,
sepatu casual yang solnya sudah hampir rata, mulai menjadi pakaian resminya
sehari-hari sebagai guru di sekolah. Berjalan kaki selama setengah jam menuju
sekolah dari unit tempat tinggal sewanya pada distrik tak jauh dari sekolah,
dan kembali dari sekolah melewati jalan yang sama selama setengah jam hingga
menjelang senja.
Tidak ada kemewahan yang dapat didapatkan menjadi seorang
petani ataupun seorang guru. Toh, Rex sudah lama menyesuaikan diri dengan
kehidupan penuh kesederhanaan ini. Mengecilkan keinginan, maka semuanya
berjalan baik.
Di kota tempat ia hidup selama lebih dari tiga puluh
tahun itu, kini bagai kota asing baginya. Tiada lagi kenalan yang mengenal
dirinya, begitupula sebaliknya. Ia telah lama memutus semua relasi itu ketika
memutuskan untuk mengasingkan diri dalam keterpencilan sebuah pedesaan.
Kesunyian sebuah desa telah banyak membantunya untuk
mulai berkenalan dengan diri sendiri. Setidaknya ia mulai belajar untuk
berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Kegaduhan dan segala hingar-bingar pusat
kota membuat manusia justru terasing pada jiwa terdalam mereka. Usaha untuk
mengenal dirinya, kembali membuatnya mampu menghimpun segenap kekuatan untuk
kembali ke kota itu.
Satu hal yang pasti, tiada lagi ambisi yang menguasai
benaknya seperti dahulu kala, bagai robot tanpa perasaan. Ia pun kini mulai
mencoba untuk menikmati kehidupan, disamping mengakui adanya rasa takut yang
tampaknya memang menguasai setiap orang di muka bumi ini. Rasa sakit, takut,
cemas, gelisah, khawatir, telah dijadikan bagian dari kawan hidup alih-alih
musuh yang ditolak yang mana akan membuat diri terpendam lebih dalam ke lembah
frustasi.
4
Alarm pada weker kalah gesit dengan Rex yang telah
terlebih dahulu bangun dan membereskan matras tidurnya. Hari belum juga
menampakkan sinar pagi di ufuk Timur, Rex telah selesai mandi tepat pada pukul
enam lewat lima. Kehidupan kaum tani di pedesaan bergerak lebih cepat saat
subuh daripada kaum urban.
Setelah sarapan roti sisa kemarin dengan selai kacang, ia
kini bercermin pada wastafel. Wajahnya berbeda sekali dengan empat tahun
lampau. Penampilan necis rambut tersisir dengan gel wangi mengilat, setelan
pakaian lux hitam, dasi merah mencolok yang tidak memiliki fungsi apapun selain
penghias leher yang dapat digunakan pula untuk menggantung diri, sepatu hitam
tersemir, dan kacamata hitam yang congkak. Seorang pria serba hitam.
Kini dilihatnya penampilan diri yang jauh dari berkelas,
goresan-goresan pada kulit wajahnya yang menghitam, kumis tipis, dan rambut
gondrong yang tersisir seadanya. Terkadang ia akan tertawa mengingat sosok
dirinya di masa lampau. Sosok yang serasa asing, bahkan bagi dirinya sendiri
saat ini.
...
Untuk membaca kisah
selengkapnya dari Rex Archer, kirimkan pemesanan Anda kepada surel kami pada alamat legal.hukum@gmail.com
Paling lambat 3 x 24 jam
setelah dana pembelian e-Novel kami terima, e-Novel akan kami kirimkan pada
email Anda.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.