Cara Membaca dan Memahami Undang-Undang bagi Orang Awam

ARTIKEL HUKUM
BEKALI DIRI ANDA DENGAN KETERAMPILAN PRAKTIS HUKUM
Acapkali orang awam akan rancu menafsirkan ketika mendengar istilah undang-undang sudah “dirubah” dengan sudah “diganti”. Memang ada bedanya? Apa pula beda antara "dan", "atau", dengan "dan/atau"? Mengapa sensitifitas perbendahaan kata ini menjadi demikian penting dalam hukum?
Dalam bahasa umum, hal tersebut sama maknanya. Namun berbicara mengenai hukum, kita bergelut dalam terminologi hukum. Dalam bahasa linguistik hukum, terdapat perbedaan signifikan antara peraturan perundang-undangan yang “diubah” dengan peraturan perundang-undangan yang “diganti”. Undang-undang dan peraturan perundang-undangan pun dua “spesies” yang berbeda.
 Dalam artikel khusus ini, SHIETRA & PARTNERS akan mengupas tata cara membaca dan memahami peraturan perundang-undangan secara utuh dan lugas bagi kalangan awam.
Undang-undang adalah salah satu peraturan tertulis dari peraturan perundang-undangan, sementara peraturan perundang-undangan merupakan seluruh peraturan hukum tertulis oleh otoritas negara mulai dari undang-undang yang disusun serta disahkan bersama baik oleh parlemen dan oleh lembaga eksekutif, hingga peraturan menteri, peraturan daerah, bahkan peraturan mahkamah agung yang mengikat umum.
Secara hierarkhi, Konstitusi RI berupa UUD RI 1945 menjadi peraturan perundang-undangan tertinggi dan “payung” dari segala peraturan perundang-undangan. Maka dari itu Mahkamah Konstitusi berwenang untuk membatalkan suatu undang-undang yang dinilai bertentangan dengan UUD RI 1945.
Hierakhi berikutnya satu tingkat dibawah UUD RI 1945 ialah undang-undang, dan dibawah undang-undang kita dapat menemukan jenjang sebagai berikut: peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan presiden, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu), peraturan menteri, peraturan daerah (Perda), bahkan hingga peraturan Mahkamah Agung (Perma). "Keputusan" pejabat negara maupun "Penetapan" hakim bersifat individual serta konkret, sementara "peraturan" bersifat umum dan abstrak. Sementara itu "putusan" merupakan produk lembaga peradilan atas suatu sengketa pidana maupun keperdataan.
Setiap peraturan perundang-undangan memiliki tiga jenis kategorisasi substansi, yakni suatu: kebolehan, perintah, dan/atau larangan. Karena secara falsafah tidaklah mungkin negara lewat otoritas pemerintahnya mampu membentuk peraturan perundang-undangan tertulis secara lengkap yang dapat fleksibel mengikuti perkembangan zaman (tidak heran bila Presiden Jokowi menyatakan bahwa dirinya yang ingin bergerak cepat justru terjerat oleh kekakuan peraturan yang anehnya dibentuk sendiri oleh pemerintah), maka dari itu dikenal pula aturan hukum otonom yang dibentuk sendiri oleh organisasi atau komunitas sipil yang mengikat anggota organisasi/komunitas sipil tersebut.
Contoh, sebuah partai politik terikat oleh Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah tangga, begitupula dengan Yayasan, Koperasi, Perseroan Terbatas, hingga sebuah sekolah dasar, masing-masing memiliki peraturan yang mereka susun dan bentuk sendiri.
Hukum negara merupakan abstraksi dari konsep “kontrak sosial” Rousseau. Sementara dalam segi mikro, terdapat peristilahan “perjanjian berlaku sebagai hukum bagi para pihak yang mengikatkan diri didalam perjanjian tersebut” sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Karena tidak mungkin bagi negara untuk mengatur secara detail apakah jual-beli rumah termasuk juga dengan perabotnya atau tidak, maka para pihak dalam perjanjian jual-beli tersebut dapat mengatur sendiri substansi perikatan dalam perjanjian, dimana bila perjanjian tidak ditepati, maka pengadilan dapat diminta untuk mengeksekusi berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap berdasarkan jenis gugatan “wanprestasi”, alias telah dilanggarnya janji yang berlaku sebagai hukum bagi para pihak yang mengikatkan diri.
Hukum tertulis tidak mungkin lengkap. Terbukti, telah terdapat demikian banyaknya aturan hukum tertulis di Indonesia, sehingga tampak demikian menakutkan dan bagai rimba belantara yang tidak ujung pangkal hingga ujung akhirnya, bahkan untuk orang sekaliber sarjana hukum sekalipun. Jangankan bagi orang awam, sarjana hukum sendiri acapkali terkejut ketika mengetahui adanya suatu peraturan perundang-undangan tertentu mengingat demikian luasnya bidang disiplin ilmu hukum yang tidak mungkin dikuasai tanpa spesialisasi penguasaan ilmu hukum, terutama sifatnya yang selalu berubah dan dapat dibatalkan/direvisi/dicabut sewaktu-waktu.
Karena hukum tertulis tidak mungkin lengkap, seperti halnya fenomena ojek dan taksi plat hitam berbasis aplikasi yang belum dikenal saat undang-undang tentang lalu lintas dibentuk parlemen, maka hukum kebiasaan yang berlaku. Terbukti dari Pasal 1339 KUHPerdata mengakui peranan kebiasaan niaga yang mengatur dan mengikat pelaku usaha jika perjanjian mereka tidak mengatur secara terperinci.
Indonesia menganut sistem hukum Civil Law System yang diwarisi dari pemerintahan Kolonial Belanda, yang artinya peraturan perundang-undangan tertulis sebagai rujukan utama bagi hakim maupun aparatur negara untuk memutus dan menetapkan sesuatu terkait hak dan kewajiban warga negara. Benar atau salahnya menjadi bersifat tentatif, yakni benar atau salah sejauh peraturan tertulis tersebut belum diganti ataupun dicabut.
Ketika peraturan tertulis itu diganti atau dirubah bahkan dicabut, maka berubah pula parameter benar atau salahnya. Berbeda dengan negara dengan sistem hukum Anglo Saxon seperti Amerika Serikat dan Inggris serta negara-negara persemakmuran, dimana putusan pengadilan terdahulu menjadi landasan hukum yang mengikat bagi para penerusnya berdasarkan asas the binding force of preceden, yang mana dalam terminologi hukum di Indonesia disebut dengan julukan sebagai yurisprudensi. Dalam aplikasinya, perbedaan ini tak lagi kentara, sebab di negara USA sekalipun terdapat demikian banyak peraturan tertulis dan di Indonesia pun masih menganut putusan-putusan berdasarkan yurisprudensi hakim terdahulu seperti larangan "milik beding" yang diterapkan hakim dalam memutus secara konsisten hingga saat ini.
Jenjang atau hierarkhi dalam peraturan perundang-undangan, diperlukan untuk menentukan mana hukum yang akan diberlakukan ketika peraturan perundang-undangan satu tingkat ternyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tingkat lainnya.
Mengapa hal ini menjadi penting dan perlu diketahui dengan baik oleh setiap warga negara? Karena setiap negara hukum (rechtsstaat) mengakui dan menerapkan satu asas fiksi yang sangat kejam: “Setiap orang dianggap mengerti dan mengetahui hukum. Tidak mengetahui berarti lalai untuk mau mengetahui, dan itu berarti ancaman hukuman terbuka lebar di bawah kaki mereka.” Sadis bukan?
Asas dasar hukum pertama yang perlu dikenal oleh setiap warga negara (baca: pengemban hukum), ialah asas yang disebut sebagai “lex superior derogat legi inferiori”—yang bila diterjemahkan memiliki makna: peraturan dengan tingkat yang lebih tinggi, memiliki legitimasi untuk mengesampingkan keberlakuan peraturan dengan tingkat yang lebih rendah. Baik pejabat negara maupun sipil wajib berpedoman pada regulasi yang lebih tinggi hierakhinya ketika suatu perundang-undangan saling tidak konsisten dan overlaping kaidah.
Contoh, tidaklah dapat sebuah Perda bertentangan dengan Undang-Undang, sekalipun Perda tersebut diterbitkan saat ini dan undang-undang yang dimaksud diterbitkan jauh sebelumnya. Maka bilamana terjadi hal demikian, Perda tersebut dapat diajukan uji materiil (judicial review) ke hadapan Mahkamah Agung RI.
Asas hukum dasar kedua, ialah “lex posterior derogat legi priori”—yang bermakna: peraturan dalam tingkat yang sama, namun diatur dalam waktu yang berbeda, maka peraturan perundang-undangan yang terbaru yang berlaku dan menutup keberlakuan peraturan perundang-undangan yang mendahuluinya. Contoh, bila kita mendengar suatu undang-undang telah “dirubah”, artinya hanya sebagian substansi dari undang-undang tersebut yang direvisi dan berlaku pasal-pasal revisi yang terbaru, sementara pasal-pasal yang tidak dirubah dalam undang-undang lama tersebut tetap berlaku dan mengikat. Artinya, dalam konteks ini, setidaknya terdapat dua buah undang-undang yang berlaku dengan tema yang sama, namun hanya seperangkat pasal didalamnya yang tidak dirubah dalam undang-undang lama yang masih memiliki kekuatan mengikat.
Berbeda dengan bila peraturan perundang-undangan “diganti”, artinya keseluruhan pasal dalam peraturan perundang-undangan tersebut dibuat yang baru dan peraturan perundang-undangan yang lama kemudian dinyatakan dicabut dan tidak lagi berlaku. Yang kemudian berlaku dan mengikat secara umum, ialah peraturan perundang-undangan yang baru dibentuk.
Asas hukum dasar ketiga, ialah asas “lex specialis derogat legi generalis”—yang bermakna: suatu peraturan yang bersifat lebih spesifik, mengesampingkan keberlakuan peraturan yang sifatnya masih general/umum. Sebagai contoh, untuk Perseroan Terbatas yang bukan “Tbk” maka tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Sementara untuk PT terbuka yang sahamnya ditawarkan dalam bursa efek “pasar modal”, maka ia tunduk pada undang-undang tentang PT, selama tidak diatur lain dalam Undang-Undang tentang Pasal Modal.
Contoh yang lebih sederhana, dahulu kala, sebelum Undang-Undang tentang Perkawinan diterbitkan pada tahun 1974, terhadap pasangan suami-istri tunduk pada ketentuan umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang sering disingkat dengan sebutan “KUHPerdata”. Dalam KUHPerdata, seorang istri adalah “tidak cakap hukum”—artinya istri tanpa persetujuan suami tidak dapat mengikat diri dalam kontrak apapun. Kini, sejak terbit undang-undang tentang perkawinan, seorang istri secara pribadi dapat membuat kontrak mempekerjakan pembantu rumah tangga, sebagai contoh.
Asas legalitas menjadi tonggak utama hukum pidana, dalam arti bila tiada suatu peraturan tertulis yang menyatakan itu terlarang lengkap dengan aturan mengenai ancaman sanksi pidananya, tak dapatlah si pelaku dihukum secara pidana. Asas ini ditegakkan demikian "sak-lek" dalam negara hukum klasik sebagai pencegahan praktik kesewenangan penguasa bercermin dari kejadian buruk masa lampau ketika pemerintahan despotik kerajaan bersikap diktator dengan mengatakan: “Saya adalah raja, dan raja adalah hukum itu sendiri”—jadilah, para lawan politik sang raja dipidana tanpa ada aturan tertulis apapun yang sebelumnya melarang.
Dalam konteks hukum perdata, justru sebaliknya, dimana pelanggaran terhadap kepatutan dan kesusilaan pun dapat dijerat secara perdata dengan mewajibkan ganti-kerugian terhadap si pelaku yang telah mengakibatkan kerugian pada korbannya. Dahulu, sebelum Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) dalam memutus kasus Lindenbaum vs. Cohen pada tahun 1919, pendirian hakim bersikap legalistis dalam arti seseorang tidak dapat digugat bila tiada aturan tertulis yang menyatakan perbuatan demikian adalah terlarang.
Arrest Lindenbaum vs. Cohen bermula ketika karyawan Lindenbaum, yang merupakan perusahaan yang bergerak dibidang percetakan, menjual rahasia dagang dan pelanggan dari Lindenbaum kepada Cohen yang memiliki usaha percetakan pula. Tindakan mantan karyawan Lindenbaum yang menjual rahasia dagang kepada kompetitor, tidak diatur oleh hukum tertulis. Alhasil, pengadilan negeri hingga pengadilan tinggi menolak gugatan Lindenbaum. Barulah Hoge Raad kemudian mengoreksi putusan pengadilan sebelumnya, dan menyatakan bahwa pelanggaran terhadap kepatutan pun dapat dijerat oleh hukum perdata dan wajib mengganti kerugian kepada Lindenbaum. Arrest ini pun kemudian diadopsi oleh Indonesia.
Antara frasa sederhana seperti "dan", "atau", maupun "dan/atau" ternyata memiliki makna yang kontras. "Dan" bermakna kumulatif, "atau" bermakna fakultatif, sementara "dan/atau" bermakna dapat bersifat alternatif dapat pula bersifat kumulatif. Demikian secara singkat paparan sederhana yang perlu diketahui dan dipahami dengan baik oleh setiap warga negara yang hidup di dalam setiap negara hukum.
Kelemahan utama menjadi sarjana hukum, yang menjadi alasan utama mengapa sarjana hukum menuntut fee yang tinggi dan dibayar mahal, karena dituntut harus selalu “up to date” regulasi, yang mana bila sebuah undang-undang dirubah atau diganti, mau tidak mau setiap sarjana hukum di negeri ini harus memulai dari “nol” kembali, dan yang relatif rigid hanyalah asas-asas hukum umum.
Hal terakhir yang paling penting untuk kita cermati dan pahami, kaitkan pula konteks pengaturan masing-masing pasal dalam suatu undang-undang, dengan BAB yang dicantum di atasnya. Dalam satu undang-undang, terdiri dari beberapa BAB, dan dalam satu BAB terdiri dari satu atau lebih PASAL.
Agar kita dapat memahami konteks dari pengaturan norma dalam suatu pasal, maka harus disadari dan dipahami betul apa yang menjadi judul dari BAB yang dicantum di bagian atas yang melingkupi pasal bersangkutan. Itulah yang disebut dengan, membaca teks tanpa terlepas dari konteksnya. Teks terkandung dalam pasal-pasal, sementara konteksnya terkandung dalam judul masing-masing BAB. Keduanya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Baca selengkapnya dalam:

- TIPS MENGHADAPI SARJANA HUKUM BAGI ORANG AWAM
MEMAHAMI HUKUM KONTRAK PERDATA BAGI ORANG AWAM
TATA CARA PEMBUATAN SERTA ASPEK HUKUM SOMASI (SURAT TEGURAN/PERINGATAN) BAGI ORANG AWAM

© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.