NOMINEE secara Hukum (De Jure) Dipandang sebagai PEMILIK
Question: Saat mau beli rumah, kami selaku pembeli telah membayar sejumlah DP. Saat mau melunasi, kami baru tahu ternyata pihak yang menjual alias yang menerima uang DP pembelian dari kami, hanya punya AJB (akta jual beli), sementara sertifikat tanahnya masih atas nama pihak lain yang tidak kami kenal dan tidak pernah kami jumpai. Apa ada resiko, tetap membeli dan membayar lunas harga jual-beli kepada pihak yang punya AJB itu? Alasan yang pihak menjual, ia hendak menghindari pajak pembeli, sehingga tidak balik-nama sertifikat tanah.
Brief Answer: Resikonya besar bila memaksakan diri membeli
dari pihak yang secara hukum bukanlah pemilik (de jure). Perlu diingat oleh masyarakat, akta notaris / PPAT
sekalipun seperti AJB (Akta Jual-Beli), Akta Pelepasan Hak Atas Tanah, dan
sebagainya, bukanlah “alas hak”. “Alas hak”, menurut hukum agraria
nasional, hanya sebatas tanah dengan bukti kepemilikan berupa girik (tanah
hukum adat yang tercatat dalam pembukuan tanah di Kantor Desa) serta sertifikat
hak atas tanah yang diterbitkan oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional) dalam hal
ini masing-masing Kantor Pertanahan.
Kerap dijumpai dalam praktik, kalangan notaris /
PPAT berani menerbitkan AJB ataupun Akta Pelepasan Hak, akan tetapi tidak
terdapat “alas hak” apapun dibaliknya, sehingga seolah menyerupai “klaim gunung
anu sebagai pemilik”, “klaim kebun anu sebagai pemilik”, “klaim sawah anu
sebagai pemilik”, “klaim lahan anu sebagai pemilik”, alias “klaim suka-suka”. Dampaknya,
terjadi efek berantai berbagai blunder hukum berupa sengketa hukum secara
perdata dan pidana akibat pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab
menyalah-gunakan akta-akta notaris / PPAT demikian. Itulah sebabnya, kita dapat
menyebut bahwa kalangan profesi notaris / PPAT sebagai profesi yang paling
tidak bertanggung-jawab serta kerap berjejaring dengan kalangan “mafia tanah”—karena
realitanya memang kerapkali demikian adanya.
Dalam konstruksi peristiwa hukum dimana pihak pembeli
hak atas tanah yang telah bersertifikat, namun AJB yang bersangkutan tidak
kunjung di-balik-nama ke Kantor Pertanahan setempat sebagaimana prosedur
peralihan hak atas tanah, maka pihak penjual beralih kedudukannya menjadi “nominee”—ironisnya, praktik demikian
kerapkali difasilitasi oleh (lagi-lagi) kalangan notaris / PPAT. Sekalipun kedudukannya
ialah digolongkan sebagai “nominee”,
namun yang bersangkutan secara yuridis berhak untuk mengalihkan kepemilikan
sertifikat hak atas tanahnya kepada pihak ketiga lainnya, memohon penerbitan
sertifikat pengganti, mengagunkan (menjadikan jaminan) kepada kreditor, dan
lain sebagainya.
Karenanya, bila “the worst case” demikian sampai terjadi, maka Anda hanya memiliki
hubungan hukum sebatas dengan pihak yang menerima uang DP maupun uang pelunasan
pembelian dari Anda, yakni pihak yang sekadar memegang AJB yang tidak kunjung
di-balik-nama-kan, tidak memiliki hubungan hukum apapun terhadap pihak yang
namanya tercantum dalam sertifikat hak atas tanah—tidak terpenuhinya unsur “kesepakatan”
dan “kecapakan hukum” dalam syarat sah perjanjian. Sama halnya, pihak tersebut
pun tidak dapat menuntut pihak “nominee”
kepada pihak berwajib, mengingat penyidik akan bertanya-balik : “Mengapa tidak di-balik-nama sejak AJB dibuat
dan ditanda-tangani oleh Anda selaku pembeli?”
Sehingga, rekomendasi SHIETRA & PARTNERS
ialah : Batalkan niat Anda membeli tanah “bermasalah” demikian (jangan bersikap
seolah-olah tidak ada bidang tanah lain yang dapat Anda beli secara tenteram
dan damai bebas dari resiko yang tidak perlu diambil), serta meminta
dikembalikan uang DP yang telah pernah Anda serahkan dalam tempo waktu segera, disertai
ancaman bahwa bila dana-dana Anda tersebut tidak dikembalikan secara utuh, maka
Anda akan melaporkan yang bersangkutan kepada pihak berwajib, mengingat yang
berhak menjual tanah tersebut kepada Anda dan menerima uang hasil transaksi
jual-beli ialah pihak yang namanya tercantum dalam sertifikat hak atas tanah—bukan
pihak yang hanya sekadar memiliki dan memegang AJB.
PEMBAHASAN:
Pasal 36 Peraturan Pemerintah
No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang dilekatkan pada lembaran
lampiran setiap sertifikat hak atas tanah terbitan BPN, sebenarnya telah tegas-tegas
alias secara eksplisit menyebutkan:
1. Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi
perubahan pada data fisik atau data yuridis sertifikat.
2. Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kantor Pertanahan.”
Pasal 40 Ayat (1) PP No. 24
Tahun 1997 yang sama mengatur pula, dimana bermakna bahwa bila AJB tidak segera
diproses “balik-nama” maka bisa berpotensi menjadi KADALUARSA secara hukum :
[perhatikan frasa “wajib” yang bermakna “imperatif”]
“Selambat-lambatnya 7 hari kerja
sejak tanggal ditanda-tangani akta jual beli, PPAT wajib menyampaikan akta yang
dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahn
untuk didaftarkan.”
Dikaitkan dengan keberlakuan Surat
Edaran Mahkamah Agung RI No. 10 Tahun 2020 tentang Rumusan kamar Pleno MA RI
2020, mengatur sebagai berikut—surat edaran mana benar-benar diberlakukan
secara efektif oleh lembaga peradilan di Indonesia, sehingga tidak dapat “dipandang
sebelah mata” terlebih diremehkan konsekuensi yuridisnya dikemudian hari:
“Penggunaan Pinjam Nama
(Nominee Arrangement)
Pemilik sebidang tanah adalah
pihak yang namanya tercantum dalam sertifikat,
meskipun tanah tersebut dibeli menggunakan uang / harta / aset milik WNA / pihak
lain.”
Kaedah dalam surat edaran di
atas secara analogi dapat juga diberlakukan dalam praktik “nonimee” pembelian saham perseroan, kreditor pemohon lelang
eksekusi yang justru mengutus anak-buahnya untuk menjadi pembeli lelang objek lelang
eksekusi yang dimohonkan oleh sang kreditor pemohon lelang eksekusi, tidak
terkecuali pihak yang membeli sebidang hak atas tanah yang telah bersertifikat namun
tidak kunjung membalik-nama sertifikat hak atas tanah dimaksud. Secara sederhana,
yang dimaksud dengan “nominee” ialah
subjek hukum yang namanya tercantum secara “de
jure” dalam bukti kepemilikan—baik sertiifkat tanah, lembar saham, dan
sebagainya.
Sementara itu yang dimaksud
dengan istilah “WNA / pihak lain” dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung di atas, ialah bisa berupa sesama warga sipil antar WNI (Warga
Negara Indonesia). Sehingga, praktik “nominee”
terhadap bidang-bidang tanah, tidak hanya terjadi dalam konteks penguasaan bidang-bidang
tanah hak milik di Indonesia oleh pihak warga berkebangsaan asing, namun juga
praktik “nominee” pertanahan oleh
sesama anak bangsa. Akibatnya, terbit potensi riskan yang tinggi resikonya,
mengingat pihak yang namanya secara “de
jure” tercantum sebagai pemilik dalam bukti kepemilikan semisal sertifikat
tanah maupun lembar saham perseroan, ialah yang berhak sepenuhnya secara bebas
untuk mengalihkan hak kepemilikannya kepada pihak ketiga, semisal menghibahkan,
menukar, memperjual-belikan, dan sebagainya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.