SINOPSIS e-book
KAEDAH-KAEDAH MENARIK
PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Baik dalam ranah pidana maupun ranah perdata,
dikenal isitlah “Perbuatan Melawan Hukum” (PMH)—namun keduanya memiliki
implementasi yang berbeda secara kontras. Bila dalam konteks hukum pidana,
karakter PMH bersifat laten / inheren, dalam artian terhadap setiap pasal
pidana yang dilanggar, maka pelaku pelanggar secara sendirinya dikategorikan
sebagai telah melakukan PMH, sekalipun pasal-pasal dalam undang-undang pidana
tidak menyatakan suatu PMH sebagai salah satu unsur kualifikasi delik.
Mengapa demikian? Karena pada dasarnya hukum
pidana bertopang diatas landasan kokoh bernama “asas legalitas”, dimana subjek
hukum hanya dapat dipidana bila telah terdapat peraturan perundang-undangan
yang mengatur suatu perbuatan yang dapat dijerat secara pidana—yang secara
tidak langsung menutup celah pemberlakuan norma hukum pidana secara retroaktif (tidak dapat diberlakukan
secara “surut” ke belakang). Tidak heran, bila kaedah yurisprudensi dalam ranah
pidana sangat minim, karena memang seorang warga tidak dapat diancam pidana,
bila tiada sebelumnya telah diatur secara tegas dalam suatu peraturan
perundang-undangan bahwa suatu perbuatan adalah dilarang dan terdapat sanksi
bila dilanggar.
Sebaliknya, karakter PMH dalam konsep hukum
perdata, bersifat unik, karena segala hal yang diatur maupun yang tidak diatur
dalam aturan undang-undang terkait ranah perdata, maka dapat digugat atas dasar
telah terjadi PMH. Karena itulah, sifat PMH dalam ranah perdata lebih dinamis
dan lebih cepat mengikuti perkembangan zaman ketimbang sifat PMH dalam ranah
pidana yang cenderung rigid dan terbatas lingkupnya (terbatas pada telah atau
belumnya ketentuan pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan). Karena
itu jugalah, akan lebih menarik untuk mengulas lebih banyak implementasi PMH
dalam ranah perdata.
Karena sifatnya yang demikian elastis, tidak
heran bila pasal perihal PMH dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) seringkali dijuluki sebagai “pasal karet”, karena memiliki
plastisitas yang kadang menjadi sumber dari berbagai pembentukan yurisprudensi
menarik dibidang hukum perdata. Justru karena itulah, membedah konsep PMH dalam
hukum perdata dalam praktiknya, menjadi sangat menarik. Dapat dikatakan, bahwa
memelajari konsep PMH dalam hukum perdata, ialah mendalami perihal hukum
preseden / yurisprudensi. Kaedah norma hukumnya tidak terkandung dalam
undang-undang, namun dijabarkan lebih konkret dalam praktik peradilan sebagai
suatu best practice yang tidak
pernah “kering” untuk digali.
Dalam buku ini penulis tidak membatasi pembahasan
perihal PMH dalam konteks pidana atau perdata semata, karena PMH juga dapat
terjadi / dikenal dalam ranah Hukum Tata Usaha Negera (lebih tepatnya ialah
“penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara”), Hukum Ketenagakerjaan,
Hukum Lingkungan, dan berbagai bidang hukum lainnya.
Kontras dengan hukum kontrak, kalangan akademisi
hukum memandang bahwa pasal-pasal dalam kontrak adalah “harga mati”, dalam
artian: bila dalam suatu kontrak yang telah ditanda-tangani para pihak ternyata
tidak mengatur secara tegas (leterlijk) suatu ketentuan mengenai sanksi atau
hukuman bila pelanggaran terjadi, maka dianggap bahwa norma-norma dalam kontrak
tersebut dapat dilanggar sesuka hati dan dilecehkan.
Namun pernahkah kita mau bertanya: Lantas, jika
demikian, apa bedanya antara norma hukum dengan norma sosial? Kontrak, adalah
norma hukum, sehingga tidak sepatutnya bila tiada klasusul mengenai ganti-rugi
lantas membuat pihak yang telah membawa kerugian, lolos begitu saja dengan
berlindung dibalik kontrak yang tidak memuat klausul sanksi. Kontrak yang memuat
klausul sanksi secara definitif kadang menjadi bumerang, karena keadaan dan
kondisi yang akan terjadi dikemudian hari tidak dapat diprediksi, dan siapa
yang akan tahu akan terjadi seperti apa.
Belum lagi fakta empirik terdapatnya 1001 variasi
suatu pelanggaran kontrak, maka apakah harus dibuat 1001 klausul sanksi bagi
1001 pelanggaran demikian? Pernyataan para sarjana hukum yang fatalistis
demikian, tidak lagi dapat diterima oleh praktik yang kian menuntut keadilan
bagi pihak yang dirugikan. Beruntung, konsep hukum kontrak yang lebih
kontemporer tidak lagi memandang segregasi antara wanprestasi dan PMH sebagai
dua hal yang terpisah sama sekali.
Dalam sebuah preseden bersejarah, Lindenbaum vs.
Cohen (1991), dimana salah satu percetakan mencuri informasi rahasia dari
pegawai percetakan lain, diganjar hukuman ganti-rugi oleh Mahkamah Agung
Belanda, Hoge Raad. Apa yang menjadi dasar pengenaan ganti-rugi tersebut, ialah
suatu “kontrak sosial”. Nah, berangkat dari analogi demikian, kontrak sosial
tidak menentukan diawal berapa jumlah ganti-rugi yang harus dibebankanf dan
dieksekusi, namun ditentukan dikemudian hari. “Kontrak sosial” tersebut
kemudian dijewantahkan dalam bentuk konsep perdata yang kini dikenal sebagai
“perbuatan melawan hukum”. Konsepsi demikian bersifat teoritis-praktis, yang
dinilai lebih mengakomodasi kepentingan para pihak.
Selama ini segregasi seolah dipaksakan antara
genus “wanprestasi / cidera janji atas suatu kontrak” dengan “perbuatan melawan
hukum”. Bila perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang
saling mengikatkan diri, maka bukankah artinya bila salah satu pihak melanggar
isi perjanjian tersebut, juga sama artinya dengan pihak pelanggar tersebut
telah melakukan “PMH”?
Keduanya bersumber dari “kontrak sosial”, hanya saja
bila hubungan “kontraktual” adalah suatu opsional dimana hubungan yang ada
ialah peer to peer individu terhadap individu; sementara dalam konsep
“perbuatan melawan hukum” terdapat hubungan antar warga negara yang berdiri
dibawah payung “negara hukum” yang berdasarkan “kontrak sosial”. Secara
sederhana, dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Dalam hubungan kontrak antara A dan B, hal itu
terjadi secara peer to peer (semata) A dan B. Di sini, peran negara tidak
menonjol. Ia bersifat opsional, dalam artian fakultatif. Ketika klausul
mengenai sanksi tidak diatur secara tegas, bukan diartikan bahwa salah satu
pihak melepas haknya untuk menuntut ganti-rugi, itu dua hal yang berbeda.
- Dalam hubungan “perbuatan melawan hukum”,
peran negara menjadi sentral yang mana dapat memutus suatu pemberian
ganti-rugi, kepada pihak yang telah dirugikan, dan membebankan ganti-kerugian
kepada si pembuatnya. Jika ketentuan mengenai sanksi tidak diatur definitif
dalam kontrak / perjanjian yang ada antara A dan B, maka negara menampilkan
perannya lewat intervensi ketika salah satu pihak meminta keadilan dengan
mengatas-namakan “negara hukum” dan “kontrak sosial”. Sehingga,
ketidak-sempurnaan klausul dalam kontrak “tidak menjadi harga mati”. Kita tahu,
kerap terjadi kontrak bersifat “baku” dan dipaksakan pihak yang posisinya lebih
dominan, sehingga tidak mungkn membuka celah untuk dijatuhi sanksi bagi dirinya
sendiri bila melanggar, dengan cara tidak mengatur perihal sanksi dalam
kontrak.
Adalah keliru memandang bahwa kontrak yang tidak
memuat sanksi dapat dilanggar dengan bebas tanpa resiko apapun. Hal ini
diakibatkan oleh segregasi yang dipaksakan atas konsepsi “perbuatan melawan
hukum” dan “wanprestasi / cidera janji”. Sekalipun norma primer (ketentuan yang
mengatur larangan, perintah, ataupun kebolehan) tidak memiliki norma sekundair
(sanksi konkret atas pelanggaran norma primer), pelanggar dari norma primer
tetap dapat dijatuhi sanksi, baik dalam ranah pidana maupun perdata. Dasar
hukumnya: falsafah “kontrak sosial”.
Norma hukum harus “tampil beda” dengan norma
sosial, dan harus dibedakan dengan tegas, dalam arti tiada lagi pandangan bahwa
ketiadaan norma sekundair mengakibatkan norma primer menjadi “macan ompong”,
yang memiliki kekuatan tidak lebih tinggi dari norma sosial. Sumber hukum
formil bukan hanya kaedah tertulis, namun termasuk juga didalamnya
yurisprudensi (putusan hakim yang dilembagakan lewat suatu preseden), doktrin,
traktat, bahkan kebiasaan itu sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 1339
KUHPerdata.
Sebagai suatu perbandingan, dalam sistem hukum
pidana dikenal dua buah konsepsi yang saling tarik-menarik: mala perse dan mala
prohibita. “Mala perse” ialah suatu perbuatan yang bertentangan dengan
keadilan, kasuistis, tidak terikat oleh ruang dan waktu yang stagnan sebagaimana
suatu aturan tertulis yang hanya berupa potret ‘mati’, terlepas apakah
perbuatan itu diancam delik pidana dalam suatu ketentuan tertulis atau tidak.
Berbeda dengan “mala prohibita”, yakni suatu perbuatan yang terikat oleh ruang
dan konteks waktu yang terpatok pada saat pengesahan suatu regulasi, perbuatan
mana yang oleh khalayak baru dilegitimasi sebagai tindak pidana karena
peraturan tertulis menyebutnya demikian.
Sekarang, mari kita telaah perbedaan akibat
pelanggar hak warga negara yang bersumber dari “negara hukum”, dengan akibat
pelanggaran hak yang diatur dalam suatu perjanjian. Sumber hukum gugatan
“perbuatan melawan hukum” ialah Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata):
“Tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Dalam tataran teoretis-praktis, yang mewajibkan
si pelaku pembawa kerugian untuk mengganti kerugian, ialah negara (selaku
pembentuk undang-undang), bukan oleh individu yang menjalin kontrak dengan si
pelaku pelanggaran kontrak. Berbeda dengan ancaman sanksi yang tercantum dalam
kontrak, hal demikian merupakan pembebanan kewajiban yang bersumber dari
individu kepada individu, peer to peer,
person to person, pihak kesatu dalam
kontrak dan pihak kedua dalam kontrak. Oleh sebab itulah, Pasal 1365 KUHPerdata
hanya dapat ditafsirkan dan dimaknai sebagai:
“Tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, (negara) mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut (kepada
warga negara lainnya yang dirugikan).”
“Kontrak sosial”, merupakan konsekuensi logis
dari berdirinya suatu negara hukum. Adalah bukti konkret dari kebenaran suatu
“kontrak sosial”, adalah fakta di negara hukum manapun, bahwa warga negara yang
menyakiti warga lainnya akan dihukum. Setiap warga negara terikat oleh “kontrak
sosial” yang dibentuk oleh negara lewat wakil rakyatnya di parlemen. “Kontrak
sosial” lewat berbagai peraturan perundang-undangan yang kemudian mengikat
setiap warga-negara, tanpa terkecuali (perhatikan, regulasi adalah salah satu
contoh konkret pengejewantahan “kontrak sosial” yang merupakan suatu perikatan
bagi seluruh warga-negara, baik dalam segi pidana, perdata, maupun lingkup
bidang lainnya).
Berbeda dengan perikatan dalam “kontrak sosial”
yang bersifat komunal, perikatan dalam kontrak individual bersifat
ter-“cluster” peer to peer, business to business, sebagaimana dapat kita baca
dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata:
“Suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih.”
Pasal 1313 KUHPerdata diatas menggambarkan sifat
suatu “kontrak individual”, terbatas pada peer to peer, oleh sebab itulah
berbeda karakter dengan “kontrak sosial” yang berlaku bagi umum dan khalayak
apapun. Pasal 1313 KUHPerdata inilah yang disebut sebagai “perikatan-perikatan
yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian”. Sementara, setiap warga negara
terikat oleh perikatan “kontrak sosial”. Maka menjadi kontras dengan suatu
“kontrak individual” yang memiliki keterbatasan lingkup, sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 1340 KUHPerdata: “Suatu
perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.”
Yang perlu digaris-bawahi dan dipahami oleh
masyarakat pada umumnya dan para sarjana hukum pada khususnya, ketiadaan
“kontrak individual” tidak mengakibatkan “kontrak sosial” menjadi terdegradasi
keberlakuannya. Dengan kata lain, sekalipun dalam “kontrak individual” tidak
dicantumkan suatu klausul definitif mengenai sanksi konkret (ketiadaan norma
sekundair), maka “kontrak sosial” yang akan tampil dan akan berlaku (sosial
contract shall prevail upon).
Adalah suatu kekeliruan bila hakim mengadopsi
cara pandang hukum yang bersifat fatalistis, dengan menutup hak kewarganegaraan
yang bersumber dari “negara hukum” yang dikonkretkan oleh “kontrak sosial”
lewat keberlakuan Pasal 1365 KUHPerdata dan mengamputasi hak warga-negara atas
ganti-rugi dari si pelaku pelanggaran hak warga negara tersebut, hanya karena
“kontrak individu” tidak mencantumkan klausul mengenai sanksi definitif—yang
bisa jadi disengajakan pihak yang berposisi lebih kuat saat merancang kontrak.
Sebagai bukti bahwa “kontrak sosial” merupakan perikatan itu sendiri, sebagai
konkretisasi konsep “negara hukum”, merujuk pada:
- Pasal 1233 KUHPerdata: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena
undang-undang.”
- Pasal 1234 KUHPerdata: “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat
sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”
Bila kita konkretisasi dari kedua pasal tersebut
diatas, kita dapat berkesimpulan, bahwa perikatan untuk memberikan sesuatu,
untuk berbuat sesuatu, ataupun untuk tidak berbuat sesuatu, kesemua itu adalah
perikatan-perikatan yang bisa jadi tidak bersumber dari “kontrak individual”,
namun dapat juga bersumber dari “kontrak sosial dalam rangka negara hukum”.
Itulah juga sebabnya, sekalipun tidak terdapat
anasir kontrak, seseorang dapat dibebani kewajiban untuk memberikan sesuatu,
untuk berbuat sesuatu, ataupun untuk tidak berbuat sesuatu sebagai suatu
prestasi—yang mana jika tidak dilaksanakan maka akan dinyatakan “wanprestasi”
terhadap “kontrak sosial”.
Ambil contoh, seorang warga negara bernama A
ditabrak oleh B sehingga mengalami cedera, bahkan patah tulang. Perikatan yang
lahir sebelum peristiwa tabrakan itu terjadi, bukanlah perikatan untuk
memberikan sesuatu, bukan pula untuk berbuat sesuatu, namun perikatan untuk
“tidak berbuat sesuatu”, yakni: untuk tidak merugikan dan tidak menyakiti warga
negara lainnya.
Contoh serupa ditemukan pada peristiwa karyawan
yang terlibat hubungan perjanjian kerja dengan majikannya. Meski tidak
tercantum secara spesifik definitif dalam kontrak kerja, sang karyawan terikat
oleh perikatan “untuk tidak berbuat sesuatu” berupa tidak membocorkan rahasia
perusahaan, untuk tidak merusak inventaris kantor, dsb. Disaat bersamaan,
karyawan tersebut terikat pula oleh perikatan “untuk berbuat sesuatu” seperti
untuk bekerja dengan itikad baik, untuk masuk kerja setiap hari kerja dan jam
kerja, dsb. Apabila dalam kontrak kerja tidak diatur secara detail demikian,
dan terjadi pelanggaran kontrak oleh pegawai, maka apakah sang majikan tidak
diperkenankan membebankan ganti-rugi atau denda pada sang karyawan?
Jika hanya karena alasan tiada klausul spesifik
definitif mengenai besaran sanksi maka kontrak dapat dilanggar, maka majikan
pun dapat mengelak dari perikatan “untuk membayar gaji karyawan”, “untuk tidak
mendiskriminasi karyawan”, dan perikatan lainnya. Tidak mungkin suatu
perjanjian kerja mencantumkan klausul mengenai sanksi bagi pemberi lapangan
kerja. Tentang perikatan-perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak
berbuat sesuatu, diatur dalam ketentuan-ketentuan berikut:
- Pasal 1239 KUHPerdata: “Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan
penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi, dan bunga.”
- Pasal 1240 KUHPerdata: “Dalam pada itu si berpiutang adalah berhak menuntut akan penghapusan
segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan, dan bolehlah ia
minta supaya dikuasakan oleh Hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu
yang telah dibuat tadi atas biaya si berutang; dengan tak mengurangi hak
menuntut penggantian biaya, rugi, dan bunga jika ada alasan untuk itu.”
- Pasal 1241 KUHPerdata: “Apabila perikatan tidak dilaksanakannya, maka si berpiutang boleh juga
dikuasakan supaya dia sendirilah mengusahakan pelaksanannya atas biaya si
berutang.”
- Pasal 1242 KUHPerdata: “Jika perikatan itu bertujuan untuk tidak berbuat sesuatu, maka pihak
yang manapun jika yang berbuat berlawanan dengan perikatan, karena pelanggaran
itu dan karena itu pun saja, wajiblah ia akan penggantian biaya, rugi, dan
bunga.”
Keempat pasal diatas bukan monopoli timbul dalam
hubungan kontraktual individual semacam kontrak atau perjanjian peer to peer,
namun hubungan “kontrak sosial” berupa perikatan perdata pada umumnya.
Sehingga, keempat pasal diatas dapat digunakan baik bagi mereka yang memiliki
sengketa “wanprestasi” maupun sengketa “perbuatan melawan hukum”.
Suatu “kontrak individual”, tidak dapat membatasi
“hak dan kewajiban” warga-negara lain meskipun warga-negara lain tersebut
adalah para pihak dalam kontrak / perjanjian individual (vide Pasal 1337 KUHPerdata). Yang dapat dibatasi oleh suatu
“kontrak individual” hanyalah lewat diaturnya oleh para pihak dalam perjanjian
mengenai klausul perikatan “untuk tidak berbuat sesuatu”.
Bila pihak yang melanggar “kontrak individual”
mendalilkan diri bahwa dirinya dapat melanggar kontrak tersebut karena tiada
klausul yang mengatur mengenai sanksi bagi pihak pelanggar, berarti ia telah
melanggar “hak untuk menuntut ganti-rugi” pada warga-negara lainnya selaku
sesama warga-negara, dimana hak tersebut bersumber / diberikan oleh negara,
sehingga “kontrak individual yang ditafsirkan mengamputasi hak pihak lain untuk
menuntut ganti-rugi”, dinyatakan tidak sah oleh Pasal 1337 KUHPerdata yang
mengatur:
“Suatu sebab adalah terlarang,
apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan
baik atau ketertiban umum.”
Alternatif lain, untuk kasus tertentu, bila hakim
secara orthotoks memutuskan bahwa gugatan “perbuatan melawan hukum” sebagai
“tidak dapat diterima” karena pandangan konservatif teori hukum bahwa
“wanprestasi” dengan “perbuatan melawan hukum” adalah dua kategori yang
berbeda, maka dapat diajukan gugatan ulang (putusan dengan amar “tidak dapat
diterima”, tetap dapat diajukan gugatan ulang), dengan memakai dasar gugatan
berupa “pembatalan perjanjian”.
Sekalipun didalam “kontrak individual” dinyatakan
bahwa Pasal 1266 KUHPerdata “disimpangi” atau dinyatakan tidak berlaku oleh
para pihak, KUHPerdata sendiri telah menegaskan bahwa Pasal 1266 KUHPerdata
tidak dapat disimpangi oleh bentuk perjanjian apapun. Adapun bunyi selengkapnya
dari Pasal 1266 KUHPerdata:
“Syarat batal dianggap selalu
dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah
satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
“Dalam hal yang demikian
persetujuan tidak dapat batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan
kepada hakim.
“Permintaan ini juga harus
dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban
dinyatakan didalam perjanjian.
“Jika syarat batal tidak
dinyatakan dalam persetujuan, hakim adalah leluasa untuk menurut keadaan, atas
permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi
kewajibannya. Jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan.”
Mengapa strategi patut diubah menjadi gugatan
wanprestasi yang meminta pembatalan perjanjian? Karena, bila permohonan
pembatalan perjanjian dikabulkan, konsekuensi / akibatnya ialah berlakunya
Pasal 1265 KUHPerdata, yang berbunyi:
“Suatu syarat batal adalah
syarat yang apabila dipenuhi (atau terjadi),
menghentikan perikatan, dan membawa segala sesuatu kembali, pada keadaan
semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak
menangguhkan pemenuhan perikatan; hanyalah ia mewajibkan si berpiutang
mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan
terjadi.”
Dalam banyak kasus, adalah mustahil membawa
segala sesuatu kembali pada keadaan semula seperti sebelum terjadinya suatu
perikatan. Ambil contoh sederhana, cost konsumtif yang telah dikeluarkan
seperti tenaga, bahan bakar, akomodasi, waktu, dan pemakaian bahan material
yang bersifat amortatif, adalah tidak mungkin dikembalikan ke keadaan semula
seperti tidak pernah ada pemakaian. Untuk itu, peran hakim menjadi krusial,
sehingga tidaklah mungkin pula sebuah kontrak mengesampingkan / menderogasi (waive) ketentuan Pasal 1267 KUHPerdata
yang mengatur:
“Pihak terhadap siapa perikatan
tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan
akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan
menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian dan bunga.”
Pasal 1267 KUHPerdata yang menjadi tujuan utama
gugatan pembatalan perjanjian, yakni lewat perantara peran / fungsi hakim, akan
diputuskannya sejumlah kerugian yang diderita, dimana nominal ganti-rugi
sebagai pengganti dari keadaan yang tidak mungkin kembali ke keadaan semula
seperti sebelum terjadinya perikatan.
Ibarat permainan biliard, menepuk bola satu
dengan tujuan untuk mengenai bola yang lain. Mengajukan gugatan pembatalan
dengan tujuan untuk mewajibkan pihak pelanggar kontrak untuk mengganti-rugi
sejumlah kerugian yang diderita pihak lainnya. Teknik atau taktik ini potensial
untuk berhasil, kecuali terhadap “potensi keuntungan yang hilang”. Tak-tik ini
semata hanya untuk memulihkan kondisi dari pihak yang terlanggar hak-haknya
dalam suatu perjanjian, dan paling tidak meminimalisasi kerugian yang diderita.
Karena peran hakim adalah sentral, oleh sebab
adalah tidak logis dan dilarang oleh “kontrak sosial” untuk menghilangkan
keberlakuan Pasal 1266 maupun Pasal 1267 KUHPerdata. Sebagai solusi, atau jalan
tengah, ketika kontrak tidak mencantumkan suatu klausul spesifik definitif
mengenai sanksi, sebagai contoh besaran nominal ganti-rugi, jangan ajukan
gugatan “wanprestasi”, namun ajukan gugatan “perbuatan melawan hukum” karena
perikatan tidak hanya lahir dari persetujuan—namun juga dapat lahir karena
undang-undang (vide Pasal 1233 KUHPerdata).
Dalam Arrest Lindenbaum vs. Cohen tahun 1919 yang
telah menjadi yurisprudensi tetap baik di Belanda maupun praktik peradilan di
Indonesia, perbuatan tercela yang melanggar kepatutan dan moralitas sekalipun
dapat diganjar dengan hukuman ganti-rugi, meski nyata-nyata tidak terdapat
aturan hukum tertulis yang menyatakan demikian. Mengapa? Karena terdapat
“kontrak sosial” dalam rangka “negara hukum”. Demikian kajian filosofis-yuridis
sebagai solusi akibat demikian kakunya segregasi “wanprestasi” dan “perbuatan
melawan hukum”.
Bila perjanjian berlaku sebagai undang-undang
bagi para pihak yang membuatnya (pacta sunt servanda), maka “wanprestasi” itu
sendiri memang merupakan “perbuatan melawan hukum”. Tidak pada zamannya lagi
dibuat sekat pemisah antara gugatan perdata “wanprestasi” dengan gugatan
perdata “perbuatan melawan hukum”.
“Kontrak sosial” maupun konsep “negara hukum”
memang konsep abstrak. Siapa yang wajib mengkonkretisasinya jika bukan hakim di
pengadilan. Dan, ketika hakim nenolak memutus ganti-rugi terhadap salah satu
pihak dalam hubungan kontraktual yang tidak mengandung klausul mengenai hukuman
sanksi, sama artinya hakim / pengadilan tersebut telah melakukan pelanggaran
terhadap yurisprudensi Lindenbaum vs. Cohen sebagai salah satu sumber hukum
formil.
Mengapa sesuatu yang berangkat dari hubungan
kontraktual, dapat bergeser menjadi gugatan Perbuatan Melawan Hukum? Pengaturan
dalam kontrak / perjanjian, bukanlah harga mati yang “saklek”. Hukum kontrak
selalu “dibayang-bayangi” hukum negara dan kebiasaan niaga dan kepatutan dalam
pergaulan hidup bermasyarakat; dalam artian, bila pengaturan dalam kontrak
tidak mengatur, maka hukum negara lewat Pasal 1365 KUHPerdata yang akan
berlaku.
Wacana demikian bukanlah retorika, namun telah
lama dipraktikkan oleh lembaga peradilan, salah satunya dicerminkan dalam
putusan Mahkamah Agung RI register Nomor 2169 K/Pdt/2015 tanggal 21 Desember
2015, dimana Hakim Agung membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut tidak dapat
dibenarkan, oleh karena Penggugat telah berhasil membuktikan kebenaran dalil
gugatannya bahwa ternyata perbuatan Tergugat yang telah menyelewengkan modal
dan tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian kerjasama antara
Penggugat dengan Tergugat merupakan perbuatan melawan hukum, sebaliknya
Tergugat tidak dapat membuktikan kebenaran dalil bantahannya, sebagaimana
pertimbangan Putusan Judex Facti telah tepat dan benar serta tidak bertentangan
dengan hukum.”
Akan banyak kita jumpai kejutan-kejutan dalam
ulasan buku ini, seakan hendak menyampaikan, bahwa praktik peradilan telah
selangkah lebih maju ketimbang teori-teori yang cenderung tertinggal dan usang.
Praktik peradilan kadang merasakan urgensi untuk menerobos “kekakuan” dan
“kebekuan”, untuk itulah konsep PMH yang demikian elastis dalam ranah hukum
perdata, menjadi kaya akan argumentasi serta “penemuan hukum” yang “mendobrak”
doktrin-doktrin klasik yang sudah tidak sesuai tuntutan zaman.
Sebagai contoh, apakah harus menunggu terbitnya
kerugian terlebih dahulu, barulah seorang warga memiliki hak untuk mengajukan
gugatan perdata PMH? Doktrin klasik menjadikannya sebagai unsur prasyarat
mutlak gugatan PMH. Namun, praktik peradilan ternyata telah memiliki pendirian
lain.
Adakah yang lebih tinggi dari alat bukti berupa
akta otentik? Terlagi, teori klasik menjadikan akta otentik sebagai alat bukti
tertinggi dalam ranah stelsel pembuktian perdata, yang konon pembuktiannya
bersifat “formal” semata. Namun praktik peradilan telah membuat rasionaliasi alat
bukti yang disebut sebagai “bukti argumentasi”, yang sifatnya dapat jauh lebih
memiliki nilai “kualitas” ketimbang akta otentik, dimana akta otentik sekalipun
dapat dipatahkan validitasnya lewat “bukti argumentasi” demikian. Mengejutkan?
Tidak bagi mereka yang mendalami “hukum preseden”, ketimbang berkutat pada
“hukum undang-undang”, terlebih “hukum doktrin” belaka yang tidak empirik.
Apa yang dapat terjadi, bila seandainya Anda
menusuk seseorang di bagian kakinya, sementara Anda hanya berdiam diri
menyaksikan korban meninggal kehabisan darah tatkala hukum pidana mewajibkan
setiap warga negara untuk mengambil langkah pertolongan segera bagi mereka yang
membutuhkan pertolongan darurat, maka sebesar apakah tanggung-jawab yang akan
dijatuhkan kepada Anda, dan sebagai kualifikasi delik apakah? Pembunuhan,
ataukah sebatas penganiayaan? Dari contoh kasus ini, kita dapat memahami betapa
berat bagi Majelis Hakim Pengadilan dalam memutus perkara pidana, meski sifat
PMH dibatasi oleh “asas legalitas”, namun penerapan pasalnya tidak pernah
demikian linear, kompleksitasnya berdimensi moral yang tidak terdapat
sangkut-paut dengan bunyi undang-undang.
Contoh lainnya yang diangkat dalam buku ini,
ialah kasus pidana dimana seluruh unsur-unsur pasal pidana terpenuhi oleh
perbuatan terdakwa, namun apakah artinya seorang terdakwa selalu harus dijatuhi
hukuman pidana? Dalam dialektikanya, dahulu pernah diwacanakan agar sifat PMH
dalam ranah dipidana juga dapat diperluas keberlakuannya seperti konteks PMH
perdata.
Namun karena terbentur “asas legalitas”, maka
yang kemudian lebih berkembang ialah konsep pidana perihal “perbuatan melawan
hukum materiil” fungsi negatif, dalam artian sekalipun seluruh unsur-unsur
kualifikasi pasal pidana terpenuhi, namun terhadap terdakwa tidak harus selalu
dijatuhi pidana, bila terdapat faktor lain diluar itu yang mampu meniadakan
pemidanaan. Sebagai contoh, hutan kawasan lindung tidak boleh dijamah oleh
kegiatan manusia. Namun bila tujuan menjamahnya untuk tujuan rehabilitasi,
apakah pelakunya tetap juga akan dihukum pidana? Hukum itu murni, namun
tidaklah naif.
Bukan pula berarti pembahasan konsep PMH dalam
konteks hukum pidana yang terpaku pada asas legalitas, menjadi tidak menarik.
Tiada undang-undang yang telah lengkap pengaturannya. Tiada bahasa lisan maupun
tertulis undang-undang yang telah sempurna. Sehingga, seringkali ketentuan
hukum pidana dihidupkan lewat praktik peradilan yang membentuk “judge made
law”.
Salah satu contoh kasus yang penulis angkat,
ialah sebuah isu yang tampak sepele namun penting dipahami, yakni: apakah
terhadap istri dan anak hasil “nikah secara siri”, sang suami yang melakukan
kekerasan dapat dikategorikan dan ditindak berdasarkan Undang-Undang tentang
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)? Kita tidak akan menemukan jawabannya di
undang-undang, atau justru bahkan hakim merasa perlu untuk mendobrak sifat kaku
undang-undang.
Apakah bermain kartu, selalu dikonotasikan
identik dengan “per-ju-di-an”? Kapan saat permainan kartu dianggap sebagai olah
raga otak, dan kapan permainan kartu dikategorikan sebagai PMH?
Bagaimanahkan merumuskan pokok permohonan dalam
gugatan (petitum) yang baik dan ideal? Dalam buku ini penulis mengurasi tips
serta trik untuk meminimalisir ketergantungan terhadap peran seorang jurusita
pengadilan. Kita tahu, dalam praktik, kendala paling utama bukanlah bagaimana
memenangkan gugatan, namun bagaimana agar putusan perdata tidak menjelma “menang
diatas kertas”. Ketergantungan terhadap peran jurusita, menjadi momok
tersendiri yang selama ini menjadi kendala dalam hukum acara perdata. Kunci
untuk mengatasinya, ialah merumuskan petitum yang meminimalisir pihak pemenang
gugatan untuk bersentuhan dengan jurusita, atau bahkan menutup ketergantungan
terhadap seorang jurusita. Memangkas birokrasi, sebagai solusi menutup celah
kolusi.
Apakah, dalil “tidak tahu” dapat menjadi “alasan
pemaaf” dari suatu kesalahan pidana? Banyak diantara kalangan masyarakat awam,
yang tidak mengetahui bahwa terdapat sebuah adagium yang memang harus
ditegakkan secara keras dan tegas dalam praktik hukum, yakni: semua warga
negara dianggap tahu hukum. Ketidak-tahuan terhadap hukum, ialah PMH, dan dapat
dijerat pidana penjara. Bukan sekadar teori atau bunyi pasal undang-undang,
penulis mengupasnya secara lugas disertai ilustrasi kasus konkret untuk
memudahkan pemahaman.
Bagaimana juga bila yang lalai oleh pihak korban
itu sendiri, bisakah pihak lain yang dipersalahkan bila korban tewas akibat
kelalaiannya sendiri, sekalipun korban tewas akibat tersengat listrik pihak
perusahaan listrik? Bisakah, seseorang warga menyerobot suatu bidang tanah,
dengan alasan dirinya merupakan pemilik paling sah atas bidang lahan, dan apa
konsekuensinya bila merampas penguasaan tanah tanpa didahului gugatan perdata?
Dalam buku penulis yang mengupas Hukum Kontrak,
telah diurai bagaimana praktik peradilan telah mengakui, bahwa hubungan PMH
dapat timbul akibat undang-undang, juga akibat didahului pembentukan suatu
perjanjian. Kini, apa resikonya, bila dalam suatu kontrak bisnis, disepakati
forum penyelesaian sengketa berupa arbitrase, namun pihak penggugat mengajukan
gugatan PMH, bukan gugatan wanprestasi terhadap rekan bisnisnya tersebut, maka
apakah klausula arbitrase demikian tetap mengikat para pihak dalam gugatan PMH,
ataukah gugatan PMH dapat tetap diajukan ke Pengadilan Negeri setempat?
Konsep yang kurang sempurna dalam PMH pidana
terkait “luka berat”, dapat kita jumpai dalam kasus penusukan oleh seorang
pelaku dengan menggunakan senjata tajam, dimana kita tahu bahwa senjata tajam
sangatlah mematikan. Namun, ketika terlibat faktor eksternal dari si pelaku,
semisal tubuh korban sangat kuat daya tahan serta metabolisme pemulihan
dirinya, alih-alih divonis sebagai melakukan “percobaan pembunuhan”, maka
apakah si pelaku akan dijatuhi pidana karena penganiayaan yang menyebabkan luka
berat, ataukah bahkan hanya sebatas dakwaan “luka ringan”? Telah berabad-abad
kita hidup dalam rezim KUHP yang sangat tidak ideal dalam merumuskan definisi
“luka berat”. Ambiguitas demikian, penulis ulas secara utuh dalam bentuk studi
kasus.
Banyak diantara kalangan pelaku usaha berasumsi,
bahwa ketika para pekerja mereka melakukan aksi mogok kerja secara tidak sah,
maka otomatis hubungan kerja berakhir / putus demi hukum. Benarkah asumsi
demikian, atau hanya sekadar asumsi fatalistis? Tentu, adalah sangat mahal
harganya bila kita berspekulasi tanpa mau belajar dari pengalaman yang telah
terjadi sebelumnya di Peradilan Hubungan Industrial atas parkara dengan
karakter serupa.
Penulis juga akan membahas praktik Hukum Acara
Perdata terkait gugatan PMH di peradilan, salah satunya isu perihal gugatan
yang justru “kelebihan pihak Penggugat”. Sebagaimana telah kita ketahui,
gugatan yang kurang dalam menarik pihak-pihak Tergugat, maka gugatan akan
dinyatakan sebagai “kurang pihak”. Namun bagaimana bila sebaliknya, gugatan
diajukan dengan banyak pihak Penggugat, adakah resiko hukumnya?
Andaikata dalam suatu duel dengan senjata tajam,
dimana pihak-pihak yang saling serang-menyerang tersebut saling terluka, namun
salah satunya kemudian tewas, apakah pelaku yang juga mengalami luka akibat
senjata tajam korbannya, akan dikategorikan sebagai tindak pidana pembunuhan?
Disayangkan, pihak yang melukai terdakwa telah tewas, sehingga tidak dapat
dimintai pertanggung-jawaban, sementara terdakwa yang harus seorang diri
dijadikan pesakitan di persidangan dengan dakwaan serta vonis yang sangat
mengerikan.
Bagaimanakah cara membedakan, semisal dalam suatu
hubungan kontraktual, pihak penjual tidak kunjung menyerahkan barang yang
dijualnya meski telah dibayar lunas, apakah itu wanprestasi ataukah PMH?
Bagaimana bila contoh kasusnya, penjual justru menjual kembali barang yang
sudah dibayar pihak pembeli, kepada pihak ketiga? PMH, ataukah wanprestasi?
Buku yang penulis susun ini, bukanlah buku teoretis yang tidak aplikatif, namun
seluruh argumentasinya dilandasi contoh nyata yang terjadi dalam praktik dan
implementasi hukumnya, dengan harapan dapat menjadi keterampilan praktis bagi
pembaca untuk dipraktikkan.
Baik “gugatan wanprestasi” maupun “gugatan PMH”,
dimungkinkan pihak Tergugat untuk mengajukan gugatan balik (rekonvensi) disaat
membantah gugatan Penggugat. Namun banyak tidak diketahui masyarakat, bahkan diantara
kalangan litigator di Tanah Air, terdapat syarat-syarat khusus agar hak untuk
mengajukan gugatan-balik demikian tidak dinyatakan “tidak lagi berwenang untuk
komplain”, oleh hakim pengadilan.
Dalam buku ini, penulis mengurai betapa
pentingnya menunjukkan itikad baik dengan cara sederhana seperti memberikan
jawaban terhadap berbagai surat somasi yang dilayangkan pihak seberang. Bila
tidak demikian, konsekuensinya terbukti “sangat mahal” yang harus dibayar
dikemudian hari.
Dalam norma hukum acara perdata, disebutkan bahwa
beban pembuktian diletakkan pada pundak pihak yang menggugat. Namun, apakah
selamanya harus demikian adanya dalam praktik peradilan, tanpa adanya sentuhan
rasionalisasi dari kalangan majelis hakim agar praktik peradilan dapat lebih humanis
terhadap pihak-pihak yang lebih lemah? Kita tahu dan sadari sepenuhnya,
terdapat pihak-pihak tertentu yang memiliki posisi lebih dominan dan lebih
berkuasa daripada pihak lainnya dalam suatu sengketa. Ibarat semut mencoba
menggugat seekor gajah, maka apakah seorang hakim hanya akan duduk dan berdiam
diri?
Dalam stelsel pemidanaan, kelalaian merupakan
kesalahan. Namun, bukan berarti faktor kesalahan tidak dapat dikontribusikan
juga oleh pihak korban. Sebagai contoh konkret yang penulis angkat dalam buku ini,
seorang pejalan kaki tertabrak hingga tewas oleh pengendara kendaraan bermotor.
Apakah artinya, pengendara harus divonis penjara oleh hakim?
Dalam rezim Hukum Tata Usaha Negera, aparatur
pemerintahan yang tidak memproses permohonan layanan masyarakat, dikategorikan
sebagai “PMH dalam lingkup tanggung-jawab pemerintah dalam melayani
masyarakat”, sehingga menimbulkan hak bagi warga untuk menggugat pemerintah
yang melalaikan permohonannya.
Masalah timbul, meski Undang-Undang tentang
Administrasi Pemerintahan menegaskan bahwa sikap diam pemerintah diartikan
sebagai keputusan yang mengabulkan permohonan (fiktif-positif), namun dalam
praktiknya bandul justru bergerak kembali ke rezim “fiktif-negatif”,
sebagaimana penulis urai dalam bentuk contoh kasus konkret.
Membeli tanpa membayar, maka kriterianya sebagai
ingkar janji, perdata. Namun bagaimana bila pihak pembeli saat melakukan
transaksi menggunakan identitas palsu, sehingga pihak penjual tidak dapat
melakukan penagihan karena nama dan alamatnya ternyata tidak benar? Untuk
membedakan antara wanprestasi dan PMH Pidana, fakta-fakta hukum menjadi penting
dan menjadi elemen paling substansiel.
Kristalisasi dari rasionalisasi kalangan hakim di
pengadilan, itulah yang lebih tepatnya disebut sebagai preseden, termasuk
preseden yang menyimpangi kekakuan norma peraturan perundang-undangan. Salah
satu contoh kasus preseden jenis kedua yang penulis sebutkan dimuka, ialah
perihal ketidak-bolehan untuk menceraikan pasangan dalam hukum agama Kristiani.
Tampak akan sangat fatalistis bila hakim memegang kaku kaedah hukum agama,
dirasa memasung kebebasan pasangna untuk memilih saling bercerai. Agar tidak
lagi mengundang kontraproduktif dimana pasangan yang hendak menceraikan harus
mendalilkan bahwa pasangannya telah berzina untuk dapat memohon perceraian,
maka apakah yang kemudian menjadi pendirian praktik peradilan terhadap
ketentuan hukum agama?
Ketika seorang allet direkrut dan dikontrak oleh
sebuah organisasi olah-raga, dan beberapa waktu kemudian cedera dalam sesi
latihan yang diselenggarakan organisasi, namun sang atlet tidak segera mendapat
penanganan medis secara memadai, maka jika sang atlet kemudian mengalami cacat
permanen, maka apakah sang atlet hanya berhak menggugat wanprestasi kepada
organisasinya tersebut, ataukah gugatan PMH? Tidak ada organisasi atlet
manapun, yang dalam kontraknya membuka celah untuk digugat wanprestasi oleh
atlet mereka.
Apakah dimungkinkan, menggugat class action /
citizen lawsuit ke hadapan PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara)? Class action, atau
gugatan kelompok warga ke hadapan Pengadilan Negeri, sudah lazim kita jumpai.
Namun bagaimana bila lawan yang hendak digugat ialah pihak pemerintah oleh
sekelompok warga? Jika memungkinkan, syarat mutlak apa saja yang harus
diperhatikan agar “gugatan kelompok” demikian tidak menjadi mubazir?
Pasal 1365 KUHPerdata menjadi dasar menggugat
ganti-rugi karena kesengajaan pihak Tergugat, sementara yang menjadi dasar
hukum gugatan PMH akibat kelalaian pihak yang menimbulkan kerugian bagi pihak
Penggugat, ialah Pasal 1366 KUHPerdata: “Setiap
orang bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.”
Sementara dasar hukum dapat digugatnya pihak
pemberi kerja selaku majikan dari pelaku maupun kepala dari suatu instansi yang
mengawasi anak-buahnya (vicarious
liabilities) terdapat pengaturannya dalam Pasal 1367 KUHPerdata. Maka,
mungkinkah menggugat untuk meminta ganti-kerugian dari pihak Kepolisian yang
telah, sebagai contoh, salah menembak sehingga menimbulkan korban jiwa dari
warga setempat yang tidak bersalah?
Membuat dan menyepakati perjanjian, adalah ranah
tanggung jawab kontraktual (contractual
liabilities). Namun, ketika perjanjian tersebut kesepakatannya dibuat
berdasarkan paksaan ataupun dibawah ancaman kekerasan, maka hal tersebut masuk
dalam ranah tanggung jawab PMH (tortious
liabilities).
Selama ini, banyak diantara anggota masyarakat
yang berpandangan bahwa pencemaran nama baik adalah ranah pidana, tanpa mengetahui bahwa pencemaran nama baik juga masuk ranah
perdata sebagai PMH. Seperti apa dasar hukum serta implementasinya dalam
praktik peradilan di Tanah Air? Tidak jarang terjadi, “pembunuhan karakter”
terjadi menggunakan medium media massa. Seperti apa bentuk pemulihan yang dapat
dituntut di hadapan pengadilan perkara perdata?
Gugatan PMH dapat diajukan ke hadapan PTUN,
Pengadilan Negeri, maupun Pengadilan Agama. Namun, mungkinkah dalam praktiknya,
gugatan PMH dapat juga diajukan ke hadapan Pengadilan Niaga? Bagaimana dengan
gugatan PMH perihal pembatalan merek?
Pernah terbit Landmark Decision oleh Mahkamah
Agung di Belanda (Hoge Raad), dalam arest “cerobong asap”. Kisahnya bermula
saat sseorang pemilik rumah membangun cerobong asap diatas rumahnya, namun
mengundang gugatan PMH oleh sang tetangga, karena cerobong asap tersebut dibangun
tepat di depan jendela rumah Penggugat, sehingga pemandangan luar terhalang
oleh cerobong asap yang baru dibangun oleh sang tetangga. Saat proses di
persidangan, terbukti bahwa cerobong asap yang dibangun oleh Tergugat, adalah
berdasar itikad tidak baik, karena tidak memiliki fungsi sebagai cerobong asap,
namun semata dibangun untuk menghalangi pandangan tetangganya.
Hoge Raad lalu membuat yurisprudensi yang kini
menjadi preseden tetap gugatan PMH, bahwa gugatan PMH tidak harus semata adanya
pelanggaran terhadap undang-undang oleh pihak Tergugat, cukuplah bila perbuatan
Tergugat menimbulkan kerugian bagi pihak Penggugat, dimana perbuatan yang
menimbulkan kerugian tersebut bersifat tidak patut. Kini, bagaimana dengan bila
seseorang membangun gedung persis di depan halaman untuk keluar-masuk rumah
seorang penduduk setempat? Dalam buku ini penulis menguraikan ilustrasi kasus
konkret, dimana “penyalah-gunaan hak” dapat melahirkan hak mengajukan gugatan
PMH.
Terdapat juga kasus menarik yang penulis angkat, perihal
diberikannya hibah wasiat berupa separuh bidang tanah. Namun ahli waris dari
pemberi hibah, menolak memberikan sertifikat hak atas tanah untuk dipecah
sehingga dapat dialihkan sebagian bidang tanah dalam sertifikat tersebut ke
atas nama penerima hibah. Tidak kooperatifnya pihak ahli waris pemberi hibah
yang memegang sertifikat hak atas tanah, apakah artinya menyandera pihak
penerima hibah?
Apakah kekerasan selalu identik dengan kekerasan
fisik? Bagaimana dengan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga, apakah
juga tergolong PMH dalam ranah pidana? Bagaimana juga dengan ketika seseorang
keliru mentransfer sejumlah dana kepada nomor rekening orang yang “salah
tujuan”, meski kemungkinan untuk terjadinya salah transfer demikian adalah
hampir mustahil, sebab sistem komputerisasi akan menampilkan data
pra-konfirmasi berisi verifikasi nama pemilik rekening yang akan menerima dana
transfer. Terlepas dari fakta empirik demikian, maka apakah masih terbuka upaya
hukum untuk memulihkan dana yang “salah tujuan transfer” demikian?
Apa konsekuensinya, bila pihak perusahaan terus
menunda-nunda penisun pekerjanya yang telah memasuki usia pensiun 10 tahun
lampau? Apakah artinya, pihak pengusaha memiliki kewenangan untuk terus
membiarkan pekerjanya bekerja tanpa kepastian usia pensiun, hanya karena
Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur perihal usia pensiun. PMH,
kadang bersumber dari kewajaran dan kepatutan, sebagai landasan paling utama
memaknai dan mengimplementasi hukum.
Apa yang dapat terjadi, ketika debt collector
menagih lewat cara-cara intimidasi dan teror, yang mengakibatkan sang debitor
meninggal dunia akibat ketakutan atau penyakit jantungnya terpicu saat
diintimidasi oleh pihak penagih utang, bisakah digugat ganti-rugi perdata atas
dasar PMH?
Begitupula dalam ranah pidana, ternyata
ganti-rugi akibat PMH dapat dimintakan oleh korban atau oleh keluarga korban,
dengan istilah restitusi. Bagaimanakah mekanismenya? Buku ini mengulas regulasi
yang relevan untuk itu, sehingga persinggungan antara ranah pidana dan perdata,
mendapat korelasinya dalam hal konsep PMH perdata perihal ganti-kerugian.
Banyak kalangan, termasuk diantara kalangan
Sarjana Hukum, yang belum memahami bahwa Perbuatan Melawan Hukum dapat terbit
dalam proses pembentukan kontrak maupun dalam implementasi perjanjian tersebut.
Sebagai ilustrasi konkret, penulis mengupas suatu kasus dimana perusahaan
penerbit polis asuransi telah bersikap tidak jujur pada pihak tertanggung /
pembeli polis, maka pada saat itulah ranah PMH dapat digunakan dalam rangka
menggugat ganti-rugi, karena kontrak polis asuransi tidak lagi dapat diandalkan
dan dijadikan dasar berpijak oleh hakim saat mengadili. Pembuatan kontrak,
tidak boleh bertentangan dengan hukum / PMH.
Hukum sangat kental akan nuansa prosedural. Dilanggarnya
suatu prosedur, sekalipun bertujuan baik, maka bisa jadi berujung pada pidana.
Penulis mengangkat kasus mengenai digugurkannya kandungan demi menyelamatkan
keselamatan sang ibu, namun pelaku pengguguran bukanlah pejabat yang berwenang
untuk itu. Apakah perbuatan demikian dapat dinyatakan sebagai PMH, sehingga
dipidana?
Apakah di undang-undang, dapat kita jumpai aturan
yang secara leterlijk menegaskan bahwa mutasi ke perusahaan yang berbeda badan
hukumnya, adalah sebagai PMH? Apabila pihak perusahaan menghapus data
pekerjanya pada mesin presensi sidik jari, apakah itu dikategorikan sebagai PMH
oleh undang-undang? Banyak hal yang tidak terdapat pengaturannya secara
spesifik dalam suatu undang-undang, dan pada titik itulah, konsep PMH memainkan
peranan yang penting dan paling utama. Itulah juga sebabnya, belajar hukum
tidak pernah dapat dimaknai sebagai belajar undang-undang—salah kaprah yang
selama ini terjadi di berbagai perguruan tinggi hukum di Tanah Air.
Terkadang, terdapat koneksitas PMH antara perkara
pidana dan perkara perdata. Sebagai contoh, untuk mengamputasi perkara pidana,
disaat bersamaan dapat diajukan gugatan perdata, dengan tujuan untuk membuat
pengadilan perkara perdata menyatakan bahwa perbuatan Penggugat tidaklah
merupakan PMH. Ketika terbit putusan perkara perdata yang menyatakan perbuatan
Penggugat tidak dikategorikan sebagai PMH, yang justru sebaliknya: perbuatan
Tergugat / Pelapor sebagai telah melakukan PMH, maka dokumen putusan perkara
perdata dapat dijadikan sebagai alat bukti otentik untuk kemudian dihadirkan
dalam perkara pidana, meski stelsel pembuktian perkara perdata bersifat formil
semata.
Tentunya, penulis tidak hendak berwacana, sebab
dalam buku ini akan dibedah kasus konkret sebagai sebentuk preseden.
Diharapkan, setelah membaca buku ini, pembaca dapat mulai memahami bahwa PMH
dapat menjembatani antara perkara perdata dan perkara pidana.
PMH ranah perdata bukan hanya dapat terbit karena
pelanggaran terhadap norma undang-undang, namun juga dapat terbit akibat
pelanggaran terhadap “norma otonom”, yakni norma yang dibentuk oleh internal
suatu organisasi yang mengikat seluruh anggota organisasi bersangkutan. Apa
saja contohnya? Salah satunya ialah Peraturan Perusahaan. Seorang karyawan,
dapat saja di-putus hubungan kerja (PHK) tidak hanya melanggar ketentuan
undang-undang, namun juga dapat ditindak berdasarkan “norma otonom” demikian.
Bagaimana implementasinya, dan seperti apakah praktik paradilan menyikapi
“norma otonom” demikian?
Terdapat sebuah karakter kasus yang cukup menarik
perhatian penulis, yakni perihal perbedaan esensial antara wanprestasi dan PMH.
Secara falsafah, sifat dari hubungan tanggung-jawab kontraktual adalah hubungan
antara “business to business” yang entitas bisnisnya saling “setara” antar para
pihak yang mengikatkan diri di dalamnya. Sementara, dalam kasus pihak
pemerintah selaku penyelenggara pengadaan jasa, kemudian tidak kunjung membayar
pihak pemenang tender, meski seluruh pengadaan jasa telah diselesaikan
sepenuhnya, apakah hal demikian dapat dikategorikan sebagai wanprestasi ataukah
PMH?
Dari segi teoritis, karakter perkara demikian
tampak seperti wanprestasi, namun dalam hemat penulis, karena entitasnya saling
tidak seimbang, maka penulis tetap memasukkan kasus konkret demikian dalam buku
tematik bertema PMH ini. Esensinya sama sama, ujungnya ialah menuntut pemulihan
kerugian (baik gugatan wanprestasi maupun PMH, tujuan utamanya ialah untuk
menuntut ganti-rugi / memulihkan kerugian), sekaligus memperlihatkan betapa
rancunya perbedaan antara wanprestasi dan PMH, sehingga sudah sewajarnya kita
tidak lagi terjebak dalam logika biner. Segregasi demikian dalam praktik
kontemporer di peradilan umum, telah tidak lagi menjadi momok sebagaimana
beberapa dekade lampau.
Bagi yang meremehkan fungsi “kode etik profesi”
bernama SOP (Standard Operation Procedure), maka bersiaplah untuk masuk
penjara. Pilih mana, menuruti perintah manajer Anda yang memerintahkan Anda
untuk menyimpangi SOP perusahaan, ataukah tetap tunduk pada SOP sekalipun harus
menolak perintah sang manajer? SOP dibentuk oleh direksi, memilih untuk
menyimpangi SOP sama artinya membangkang direksi, dimana dalam buku ini penulis
mengupas kasus konkret dipidananya seorang staf perseroan akibat menuruti
perintah manajer, dimana disaat bersamaan dirinya melanggar SOP yang berlaku di
perusahaan tempatnya bekerja.
Bila suatu putusan pengadilan belum resmi
berkekuatan hukum tetap, meski dirinya dimenangkan oleh pengadilan, namun
kemudian dirinya langsung melakukan “main hakim sendiri”, bisakah kemudian
dirinya digugat atas dasar PMH akibat perbuatannya yang “main hakim sendiri”
demikian? Apa pula akibatnya bila “berpura-pura” atau “bermain-main” dengan
hukum? Dalam kacamata hukum, tidak ada yang yang namanya “pura-pura”. Bersikap
“pura-pura”, selalu dimaknai sebagai suatu itikad tidak baik yang patut
diganjar hukuman.
Apabila telah dipidananya suatu pihak akibat PMH,
apakah terhadap PMH tersebut masih dapat digugat secara perdata pelakunya?
Sebagai contoh, suatu pihak yang telah dipidana akibat delik “pencemaran nama
baik”, maka masih dapatkah pihak korban menggugat secara perdata terhadap PMH
tersebut, untuk meminta ganti-rugi? Apakah dengan telah ditegakkannya ranah
pidana, maka menghapus tanggung jawab perdata?
Kasus sebaliknya juga pernah terjadi, dimana seorang
Terdakwa dinyatakan dibebaskan karena tidak bersalah oleh Majelis Hakim, namun
pihak Kejaksaan / Kepolisian tidak kunjung membebaskan sang Terdakwa. Apakah
sang Terdakwa yang dibiarkan terus mendekam di penjara, dapat memohon
ganti-rugi atas “perampasan kemerdekaan” yang dialaminya, lewat gugatan perdata
PMH?
Biasanya, kalangan litigator maupun Sarjana Hukum
hanya mengenal istilah “Kerugian Materiil” dan “Kerugian immateriil” dalam
konsep gugatan PMH. Dalam praktik peradilan, telah berkembang jenis kerugian
ketiga terkait PMH, yakni “Kerugian Yuridis”. Bagaimanakah relevansi dan
implementasinya? Sekali lagi, buku ini bukanlah buku teoretis maupun wacana,
namun mengupas praktik yang relevan, dengan harapan pembaca akan memiliki
keterampilan praktis setelah membaca uraian-uraian dalam buku aplikatif ini.
Apakah biaya pengacara / advokat dalam mengajukan
gugatan ke pengadilan, maupun fee Balai Lelang Swasta yang melakukan jasa
pra-lelang eksekusi Hak Tanggungan, dapat dibebankan kepada pihak debitor
tereksekusi? Pada hakekatnya, setiap subjek hukum dapat mengajukan gugatan ke
pengadilan tanpa difasilitasi oleh jasa seorang pengacara. Sama halnya, setiap
kreditor dapat mengajukan permohonan Lelang Eksekusi ke hadapan Kantor Lelang
Negara, tanpa jasa pihak swasta seperti Balai Lelang. Penulis mencantumkan pula
preseden tentang isu hukum tersebut, akibat masih kerap dijumpai salah-kaprah
mind-set banyak anggota masyarakat yang awam hukum.
Apabila seorang gadis berusia 17 tahun sudah
melakukan kegiatan sebagai seorang mucikari, dimana para pekerja s*ks
komersial-nya melakukan pekerjaan ilegal demikian berdasarkan keinginan sendiri
tanpa unsur paksaan, apakah menjadi “alasan pemaaf” bagi sang mucikari? Apakah
yang dapat diberlakukan jikalau pun dinyatakan bersalah, KUHP ataukah
Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang?
Menyalah-gunakan kepercayaan, dapatkah digugat
atas dasar PMH? Salah satu contoh kasus yang diulas dalam buku ini akan memberi
pemahaman, bahwa terdapat korelasi erat antara dilanggarnya norma kepatutan
dengan PMH. Sebagai contoh, pihak kreditor yang menyalah-gunakan surat kuasa
membebankan Hak Tanggungan atas agunan yang diberikan debitornya, namun
ternyata objek jaminan diagunkan kembali oleh sang kreditor kepada pihak ketiga
tanpa sepengetahuan sang debitor, maka apakah kemudian melahirkan hak gugat
wanprestasi ataukah gugatan PMH, bagi sang debitor terhadap kreditornya
tersebut? Atau pertanyaannya diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: bolehkan
kreditor yang hendak mendapat likuidasi dana dari pihak ketiga, mengagunkan
aset jaminan milik debitornya tersebut kepada pihak ketiga?
Apa juga yang dimaksud dengan “rezim perizinan
sebagai domain publik”? Dapatkah pemerintah dinyatakan telah melakukan PMH
karena tidak memberi ruang akses bagi publik dalam mengetahui berbagai
perizinan yang telah diterbitkannya? Ternyata, kewajiban berdasarkan apa yang
diamanatkan oleh hukum sebagai tugas penyelenggara pemerintahan, melahirkan hak
gugat oleh warga.
Namun, ketika perundang-undangan saling
tumpang-tindih (kerap terjadi), maka bahkan Majelis Hakim pada PTUN sekalipun
kerap melakukan “partial judicial review” terhadap regulasi yang dinilai
bermasalah—suatu telaah yang sangat menarik tentunya, karena terkesan seakan
PTUN pun memiliki hak untuk menguji materiil peraturan perundang-undangan.
Namun bukan satu atau dua kali penulis jumpai, praktik PTUN melakukan “judicial review” demikian, akibat suatu
kebutuhan yang tidak dapat tidak disegerakan untuk diputuskan.
Pernahkah pembaca mendengar istilah “PMH
berganda”? Tentu saja tidak, sebab hanya buku ini yang mengulas kasus perihal
“PMH ganda” demikian. Salah satu contoh kasus yang penulis angkat, ialah ketika
pembeli telah melunasi harga pembelian tanah, namun oleh pihak pengembang belum
juga di-balik-nama-kan ke atas nama pembeli, yang justru kemudian oleh
pengembang sertifikat hak atas tanah yang telah dijualnya diagunkan kepada
pihak perbankan.
Mengupas tataran praktik, tidak pernah
se-“kering” tataran teori yang menjemukan dan belum tentu sesuai dengan
tuntutan zaman. Praktik memang harus selalu satu langkah lebih maju dari
tataran teoretis. Dalam buku ini, pembaca akan dapat memahami maksud penulis
pada akhirnya.
Untuk mengajukan gugatan wanprestasi, dalam
praktik tidak dijumpai kendala yang berarti, sebab identitas subjek hukum yang
hendak digugat serta alamat domisili / kedudukan telah tercantum secara jelas
dalam komparasi surat perjanjian. Namun bagaimana dengan gugatan PMH yang tidak
memiliki dokumen identitas apapun dari pihak yang akan digugat? Semisal
kerancuan antara Badan Hukum dan Grub Usaha (Company Group), apakah Grub Usaha
dapat digugat? Jangan katakan Anda tidak tergiur untuk menggugat sebuah badan
hukum di Indonesia bila yang telah merugikan Anda adalah entitas perusahaan asing
di luar negeri, yang kebetulan memiliki anak usaha di Indoensia berupa
perusahaan tersebut.
Bagaimana juga, bila terdapat pihak-pihak yang
mendaku sebagai pemilik sebidang lahan, dengan cara memasang plang bertuliskan
“tanah ini milik ...” diatas tanah yang sudah bersertifikat hak atas tanah atas
nama pihak lain? Jika digugat PMH terhadap penyerobot demikian, ganti-kerugian
semacam apa sajakah yang dapat dituntut oleh pemilik sah atas tanah?
Bila karyawan Anda secara proaktif atas
inisiatifnya sendiri melakukan suatu kebijakan dalam lingkup perusahaan,
sementara Anda selaku supervisor-nya mengetahui niat karyawan Anda tersebut dan
membiarkannya untuk tetap melaksanakan rencananya demikian, maka apakah artinya
Anda berhak untuk menuntut pidana terhadap karyawan Anda tersebut, dengan
alasan penggelapan atau sejenisnya?
Terdapat sebuah kasus nyata, dimana pengadilan
memaknai sikap “tahu dan mendiamkan” sebagai izin serta pembenaran bagi sang
pegawai bersangkutan. Banyak akan kita jumpai berbagai landmark decision yang
dilahirkan oleh berbagai hakim di Pengadilan Negeri di berbagai sudut luar
Pulau Jawa yang jarang mendapat perhatian, sehingga bukan hanya Mahkamah Agung
RI.
Dalam banyak putusan pengadilan, Penggugat yang
tidak dapat merinci kerugiannya dinyatakan sebagai “gugatan kabur / tidak
jelas” (obscuure libel). Namun apakah kerugian selalu harus dibuktikan secara
terinci dan sedemikian mendetail? Tidak bisakah akal sehat saja sudah cukup
sebagai bukti logisnya? Dalam buku ini penulis mengupas isu hukum demikian
dalam korelasinya perihal PER SE RULE ILLEGAL dalam Prinsip-Prinsip Persaingan
Usaha.
Penting juga untuk turut penulis angkat dalam
buku ini, yakni isu hukum perihal jasa profesional, semisal jasa seorang
konsultan pajak yang membantu pihak pengusaha dalam “menggelapkan” beban wajib
pajak, apakah dapat digugat perdata maupun dituntut pidana secara renteng
bersama beban pajak sang wajib pajak?
Penulis juga menguraikan trik / tips praktis
“Cara Mengubah Norma Primer Tanpa Sanksi Menjadi Bersanksi”. Dalam rezim hukum
pidana, adanya Norma Primer (berisi larangan ataupun perintah) tanpa disertai
Norma Sekunder yang berisi ancaman hukuman, pada pelaku pelanggar tidak dapat
dipidana. Namun “momok” demikian, bila terdapat adanya Norma Primer tanpa
disertai Norma Sekundair, tidak berlaku selamanya dalam ranah perdata, berkat
keberadaan konsep PMH dalam stelsel hukum perdata yang penentuan Norma
Sekundairnya cukup dirangkum dalam kalimat berikut: ‘Siapa yang mengakibatkan
terbitnya kerugian, diwajibkan mengganti-rugi kerugian tersebut’—dimana Norma
Sekundair dijewantahkan saat Majelis Hakim menjatuhkan amar putusan
condemnatoir perkara PMH perdata—tanpa perlu disepakati terlebih dahulu berapa
besar nilai kerugian dimaksud.
Untuk menggambarkan betapa efektif serta kaya-nya
konsep PMH dalam hukum perdata, dikupas juga contoh kasus “potential loss”
akibat pencatutan merek, yakni dapat dikabulkannya gugatan ganti-rugi
“immateriil”. Kerugian immateriil artinya ialah kerugian yang bersifat moril,
bukan kerugian nyata. Meski jarang dikabulkan, untuk tataran potential loss
ternyata masih dapat dapat diakomodasi oleh praktik peradilan yang ada,
sebagaimana diulas secara utuh dalam buku ini.
...
Judul eBook : KAEDAH-KAEDAH MENARIK PERBUATAN
MELAWAN HUKUM
Penulis :
Hery
Shietra, S.H.
Bahasa :
Indonesia
Penerbit :
SHIETRA PUBLISHER
Tahun terbit :
Oktober 2018
File E-book
: “.pdf”, dapat dibaca pada berbagai aplikasi PDF Reader perangkat digital seperti Komputer PC,
Laptop, ataupun Tablet.
Harga : Rp. 95.000;-. Bebas ongkos kirim karena eBook akan dikirimkan kepada alamat email
pembeli.
Lisensi : END USER AGREEMENT. HANYA
DIJUAL KEPADA PEMBELI ORANG-PERORANGAN (Pembeli Individual), BUKAN UNTUK
KEPERLUAN PERKANTORAN, PERPUSTAKAAN, ATAU SEJENISNYA. Dilarang untuk digandakan
ataupun disebarkan tanpa seizin penulis dengan maksud apapun. Lisensi 1 eBook HANYA UNTUK 1 ORANG PEMBELI. Dapat dibaca untuk SEUMUR HIDUP pembeli, kapanpun dan dimanapun.
Cara Pemesanan :
kirimkan pemesanan Anda pada
alamat email legal.hukum@gmail.com
, selanjutnya kami akan memberikan tata cara pemesanan serta 'syarat dan
ketentuan'. Paling lambat eBook
akan kami kirimkan 3 x 24 jam setelah klarifikasi penerimaan dana. (PERINGATAN : Menyalahgunakan alamat email ini ataupun nomor kontak kerja kami untuk peruntukan lain diluar pemesanan eBook, akan kami kategorikan sebagai pelanggaran terhadap “syarat dan ketentuan” dalam website profesi kami ini. Hanya klien pembayar tarif jasa konsultasi yang berhak menceritakan ataupun bertanya tentang isu hukum, karena Anda pastilah menyadari serta telah membaca keterangan sebagaimana header maupun sekujur website ini bahwa profesi utama kami ialah mencari nafkah sebagai Konsultan Hukum dengan menjual jasa berupa konseling seputar hukum.)
DAFTAR ISI
BAB 1 :
PROLOG ... 7
BAB II :
STUDI KASUS ... 33
- Hukum Mencegah Kerugian, Bukan Menunggu Kerugian
Terjadi ... 34
- Akta yang Dibuat Notaris Tidak Dapat Diasumsikan Selalu
Benar Adanya ... 40
- Perbedaan Pidana Penyiksaan dan Penganiayaan ... 48
- Perbuatan Melawan Hukum Fungsi Negatif, Lahiriah Versus
Batiniah ... 52
- Pidana Pemukulan Istri (Nikah Siri), Sekalipun hanya
Mengakibatkan Luka Memar ... 58
- Permainan Kartu Tanpa Taruhan Uang, Apakah Merupakan
Perjudian? ... 65
- Hukum Bersifat “Seharusnya Tahu” (Ought to Know), Bukan
Membenarkan Kelalaian Seorang Warga untuk Tahu Hukum yang Berlaku ... 71
- Ketika Korban Sendiri yang telah Berbuat Lalai sehingga
Mengabibatkan Dirinya Tewas ... 76
- Merampas Tanah sebagai Perbuatan Melawan Hukum ... 84
- Perjanjian Arbitrase dalam Gugatan Perbuatan Melawan
Hukum ... 88
- Ambiguitas Luka Berat Akibat Penganiayaan ... 92
- Mogok Kerja Tidak Sah dan Tanpa Panggilan untuk Kembali
Masuk Kerja ... 100
- Resiko Dibalik Penggabungan Pihak Penggugat dalam Satu
Gugatan ... 108
- Duel Bersenjata Tajam yang Mengakibatkan Kematian ...
111
- Menjual Kembali Barang yang Telah Dijual ... 114
- Tidak Merespon Somasi, Menutup Hak Rekonpensi ... 121
- Rasionalisasi Beban Pembuktian, Hakim Wajib Memaklumi
Pihak yang Lebih Lemah ... 128
- Pejalan kaki Tertabrak Hingga Meninggal Akibat
Kecerobohannya Sendiri saat Menyeberang Jalan ... 135
- Keputusan Fiktif-Positif Bernuansa Rezim
Fiktif-Negatif, Sikap Status Quo Keputusan Tata Usaha Negara ... 139
- Membeli dengan Nama Palsu, Bukan Wanprestasi, Namun
Penipuan ... 150
- Tersandera oleh Hukum Agama Perkawinan ... 155
- Tanggung Jawab Organisasi atas Keselamatan Atlet yang
Diabaikan ... 160
- Class Action di PTUN ... 169
- Menggugat Polisi Republik Indonesia (POLRI) dan Tata
Cara Pembayaran Ganti Rugi oleh Negara bagi Korban Sipil ... 173
- Dipaksa Tanda-Tangan Karena Diancam / Adanya Ancaman
... 184
- Gugatan Perdata Ganti-Rugi akibat Pencemaran Nama Baik
... 190
- Gugatan Pembatalan Merek di Pengadilan Niaga ... 203
- Penyalahgunaan Hak (Misbruik
Van Recht), Telaah Kasus Penguasaan Tanah ... 211
- Hibah Tanah yang Dipersulit Ahli Waris Lainnya ... 219
- Psikologi Hukum dalam Dakwaan Pidana ... 224
- Salah Mentransfer Dana ke Rekening Milik Orang Lain ...
228
- Pengusaha Menunda-Nunda Kebijakan Pensiun Pekerja yang
Telah Lanjut Usia ... 230
- Menagih Secara Tidak Patut, Kreditor dapat Digugat
Debitor dan Dihukum Ganti-Rugi oleh Pengadilan karena Dinilai Perbuatan Melawan
Hukum yang Terbit dari Hubungan Kontraktual ... 236
- Hak Korban Tindak Pidana Atas Restitusi ... 247
- Pemegang Polis Terkecoh Tawaran Layanan Asuransi ...
256
- Kebenaran Hukum Bersifat Kebenaran Nisbi, Ambigu yang
Dilematis ... 262
- Mutasi Pekerja ke Badan Hukum Lain, Ilegal ... 268
- Melawan Status Tersangka, lewat Upaya Hukum Perdata ...
277
- Melanggar Norma Otonom, adalah Perbuatan Melawan Hukum
... 284
- Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa ... 292
- Pegawai Melanggar Prosedur Perusahaan, Berujung Pidana
... 298
- “Pura-Pura” yang Berujung Maut ... 307
- Pidana Berlanjut Gugatan Perdata Pencemaran Nama Baik
... 313
- Penahanan Tidak Sah = Perampasan Kemerdekaan yang dapat
Digugat Secara Perdata ... 320
- Antara Kerugian Yuridis, Kerugian Materiel dan
Immateriel ... 325
- Biaya Pengacara, Beban Siapa? ... 331
- Kredit yang Telah Dinikmati, Perjanjian Hutang-Piutang
Tidak dapat Dibatalkan ... 336
- Pidana Mucikari & Perdagangan Tubuh Wanita untuk
Dieksploitasi ... 342
- Data Perizinan Merupakan Domain Publik, Hak Warga Sipil
untuk Mengakses ... 349
- Perbuatan Melawan Hukum secara Berganda ... 355
- Memahami Hubungan Hukum dengan Entitas Badan Hukum Grub
Company ... 360
- Memasang Plang Nama Mengaku sebagai Pemilik Diatas
Tanah Milik Orang Lain ... 366
- Tahu & Mendiamkan, artinya Menyetujui &
Membenarkan, Tiada Pidana ... 370
- Petitum Gugatan yang Sumir, Menghasilkan Putusan
Pengadilan yang Non-Executeable ... 377
- Konsekuensi Hukum Membantu Kejahatan, Dihukum Renteng
... 392
- Norma Primair Tanpa Norma Sekundair ... 400
- Gugatan Ganti-Kerugian Imateriil terhadap Potential
Loss ... 403
BAB III :
EPILOG ... 410
- Amar Putusan Pengadilan yang Baik, Bersifat
“Executable”. Sementara, Surat Gugatan yang Ideal Bersifat “Dapat
Dieksekusi” Secara Mandiri oleh Pihak
Penggugat ... 411
...
Untuk membaca uraian selengkapnya mengenai KAEDAH-KAEDAH MENARIK PERBUATAN MELAWAN HUKUM, kirimkan order
/ pemesanan Anda kepada surel kami pada alamat legal.hukum@gmail.com
Paling lambat 3 x 24 jam
setelah dana pembelian eBook kami terima, eBook akan kami kirimkan kepada alamat
email pembeli.
Mengapa eBook menjadi evolusi
modern media sastra? Karena sifatnya praktis serta mobile, mudah dan dapat
dibawa kemana pun sebagai teman bacaan via gadget, tidak rusak termakan kutu
buku, disamping tidak memakan ruang / tempat. Dengan membeli eBook, berarti
kita telah turut menjaga kelestarian lingkungan. “Go Green ... !!!”
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.