KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

TELUSURI Artikel dalam Website Ini:

Perbuatan Melawan Hukum

SINOPSIS e-book
KAEDAH-KAEDAH MENARIK PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Hery Shietra Konsultan Hukum

Baik dalam ranah pidana maupun ranah perdata, dikenal isitlah “Perbuatan Melawan Hukum” (PMH)—namun keduanya memiliki implementasi yang berbeda secara kontras. Bila dalam konteks hukum pidana, karakter PMH bersifat laten / inheren, dalam artian terhadap setiap pasal pidana yang dilanggar, maka pelaku pelanggar secara sendirinya dikategorikan sebagai telah melakukan PMH, sekalipun pasal-pasal dalam undang-undang pidana tidak menyatakan suatu PMH sebagai salah satu unsur kualifikasi delik.
Mengapa demikian? Karena pada dasarnya hukum pidana bertopang diatas landasan kokoh bernama “asas legalitas”, dimana subjek hukum hanya dapat dipidana bila telah terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur suatu perbuatan yang dapat dijerat secara pidana—yang secara tidak langsung menutup celah pemberlakuan norma hukum pidana secara retroaktif (tidak dapat diberlakukan secara “surut” ke belakang). Tidak heran, bila kaedah yurisprudensi dalam ranah pidana sangat minim, karena memang seorang warga tidak dapat diancam pidana, bila tiada sebelumnya telah diatur secara tegas dalam suatu peraturan perundang-undangan bahwa suatu perbuatan adalah dilarang dan terdapat sanksi bila dilanggar.
Sebaliknya, karakter PMH dalam konsep hukum perdata, bersifat unik, karena segala hal yang diatur maupun yang tidak diatur dalam aturan undang-undang terkait ranah perdata, maka dapat digugat atas dasar telah terjadi PMH. Karena itulah, sifat PMH dalam ranah perdata lebih dinamis dan lebih cepat mengikuti perkembangan zaman ketimbang sifat PMH dalam ranah pidana yang cenderung rigid dan terbatas lingkupnya (terbatas pada telah atau belumnya ketentuan pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan). Karena itu jugalah, akan lebih menarik untuk mengulas lebih banyak implementasi PMH dalam ranah perdata.
Karena sifatnya yang demikian elastis, tidak heran bila pasal perihal PMH dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) seringkali dijuluki sebagai “pasal karet”, karena memiliki plastisitas yang kadang menjadi sumber dari berbagai pembentukan yurisprudensi menarik dibidang hukum perdata. Justru karena itulah, membedah konsep PMH dalam hukum perdata dalam praktiknya, menjadi sangat menarik. Dapat dikatakan, bahwa memelajari konsep PMH dalam hukum perdata, ialah mendalami perihal hukum preseden / yurisprudensi. Kaedah norma hukumnya tidak terkandung dalam undang-undang, namun dijabarkan lebih konkret dalam praktik peradilan sebagai suatu best practice yang tidak pernah “kering” untuk digali.
Dalam buku ini penulis tidak membatasi pembahasan perihal PMH dalam konteks pidana atau perdata semata, karena PMH juga dapat terjadi / dikenal dalam ranah Hukum Tata Usaha Negera (lebih tepatnya ialah “penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara”), Hukum Ketenagakerjaan, Hukum Lingkungan, dan berbagai bidang hukum lainnya.
Kontras dengan hukum kontrak, kalangan akademisi hukum memandang bahwa pasal-pasal dalam kontrak adalah “harga mati”, dalam artian: bila dalam suatu kontrak yang telah ditanda-tangani para pihak ternyata tidak mengatur secara tegas (leterlijk) suatu ketentuan mengenai sanksi atau hukuman bila pelanggaran terjadi, maka dianggap bahwa norma-norma dalam kontrak tersebut dapat dilanggar sesuka hati dan dilecehkan.
Namun pernahkah kita mau bertanya: Lantas, jika demikian, apa bedanya antara norma hukum dengan norma sosial? Kontrak, adalah norma hukum, sehingga tidak sepatutnya bila tiada klasusul mengenai ganti-rugi lantas membuat pihak yang telah membawa kerugian, lolos begitu saja dengan berlindung dibalik kontrak yang tidak memuat klausul sanksi. Kontrak yang memuat klausul sanksi secara definitif kadang menjadi bumerang, karena keadaan dan kondisi yang akan terjadi dikemudian hari tidak dapat diprediksi, dan siapa yang akan tahu akan terjadi seperti apa.
Belum lagi fakta empirik terdapatnya 1001 variasi suatu pelanggaran kontrak, maka apakah harus dibuat 1001 klausul sanksi bagi 1001 pelanggaran demikian? Pernyataan para sarjana hukum yang fatalistis demikian, tidak lagi dapat diterima oleh praktik yang kian menuntut keadilan bagi pihak yang dirugikan. Beruntung, konsep hukum kontrak yang lebih kontemporer tidak lagi memandang segregasi antara wanprestasi dan PMH sebagai dua hal yang terpisah sama sekali.
Dalam sebuah preseden bersejarah, Lindenbaum vs. Cohen (1991), dimana salah satu percetakan mencuri informasi rahasia dari pegawai percetakan lain, diganjar hukuman ganti-rugi oleh Mahkamah Agung Belanda, Hoge Raad. Apa yang menjadi dasar pengenaan ganti-rugi tersebut, ialah suatu “kontrak sosial”. Nah, berangkat dari analogi demikian, kontrak sosial tidak menentukan diawal berapa jumlah ganti-rugi yang harus dibebankanf dan dieksekusi, namun ditentukan dikemudian hari. “Kontrak sosial” tersebut kemudian dijewantahkan dalam bentuk konsep perdata yang kini dikenal sebagai “perbuatan melawan hukum”. Konsepsi demikian bersifat teoritis-praktis, yang dinilai lebih mengakomodasi kepentingan para pihak.
Selama ini segregasi seolah dipaksakan antara genus “wanprestasi / cidera janji atas suatu kontrak” dengan “perbuatan melawan hukum”. Bila perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang saling mengikatkan diri, maka bukankah artinya bila salah satu pihak melanggar isi perjanjian tersebut, juga sama artinya dengan pihak pelanggar tersebut telah melakukan “PMH”?
Keduanya bersumber dari “kontrak sosial”, hanya saja bila hubungan “kontraktual” adalah suatu opsional dimana hubungan yang ada ialah peer to peer individu terhadap individu; sementara dalam konsep “perbuatan melawan hukum” terdapat hubungan antar warga negara yang berdiri dibawah payung “negara hukum” yang berdasarkan “kontrak sosial”. Secara sederhana, dapat dijelaskan sebagai berikut:
-  Dalam hubungan kontrak antara A dan B, hal itu terjadi secara peer to peer (semata) A dan B. Di sini, peran negara tidak menonjol. Ia bersifat opsional, dalam artian fakultatif. Ketika klausul mengenai sanksi tidak diatur secara tegas, bukan diartikan bahwa salah satu pihak melepas haknya untuk menuntut ganti-rugi, itu dua hal yang berbeda.
-  Dalam hubungan “perbuatan melawan hukum”, peran negara menjadi sentral yang mana dapat memutus suatu pemberian ganti-rugi, kepada pihak yang telah dirugikan, dan membebankan ganti-kerugian kepada si pembuatnya. Jika ketentuan mengenai sanksi tidak diatur definitif dalam kontrak / perjanjian yang ada antara A dan B, maka negara menampilkan perannya lewat intervensi ketika salah satu pihak meminta keadilan dengan mengatas-namakan “negara hukum” dan “kontrak sosial”. Sehingga, ketidak-sempurnaan klausul dalam kontrak “tidak menjadi harga mati”. Kita tahu, kerap terjadi kontrak bersifat “baku” dan dipaksakan pihak yang posisinya lebih dominan, sehingga tidak mungkn membuka celah untuk dijatuhi sanksi bagi dirinya sendiri bila melanggar, dengan cara tidak mengatur perihal sanksi dalam kontrak.
Adalah keliru memandang bahwa kontrak yang tidak memuat sanksi dapat dilanggar dengan bebas tanpa resiko apapun. Hal ini diakibatkan oleh segregasi yang dipaksakan atas konsepsi “perbuatan melawan hukum” dan “wanprestasi / cidera janji”. Sekalipun norma primer (ketentuan yang mengatur larangan, perintah, ataupun kebolehan) tidak memiliki norma sekundair (sanksi konkret atas pelanggaran norma primer), pelanggar dari norma primer tetap dapat dijatuhi sanksi, baik dalam ranah pidana maupun perdata. Dasar hukumnya: falsafah “kontrak sosial”.
Norma hukum harus “tampil beda” dengan norma sosial, dan harus dibedakan dengan tegas, dalam arti tiada lagi pandangan bahwa ketiadaan norma sekundair mengakibatkan norma primer menjadi “macan ompong”, yang memiliki kekuatan tidak lebih tinggi dari norma sosial. Sumber hukum formil bukan hanya kaedah tertulis, namun termasuk juga didalamnya yurisprudensi (putusan hakim yang dilembagakan lewat suatu preseden), doktrin, traktat, bahkan kebiasaan itu sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 1339 KUHPerdata.
Sebagai suatu perbandingan, dalam sistem hukum pidana dikenal dua buah konsepsi yang saling tarik-menarik: mala perse dan mala prohibita. “Mala perse” ialah suatu perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, kasuistis, tidak terikat oleh ruang dan waktu yang stagnan sebagaimana suatu aturan tertulis yang hanya berupa potret ‘mati’, terlepas apakah perbuatan itu diancam delik pidana dalam suatu ketentuan tertulis atau tidak. Berbeda dengan “mala prohibita”, yakni suatu perbuatan yang terikat oleh ruang dan konteks waktu yang terpatok pada saat pengesahan suatu regulasi, perbuatan mana yang oleh khalayak baru dilegitimasi sebagai tindak pidana karena peraturan tertulis menyebutnya demikian.
Sekarang, mari kita telaah perbedaan akibat pelanggar hak warga negara yang bersumber dari “negara hukum”, dengan akibat pelanggaran hak yang diatur dalam suatu perjanjian. Sumber hukum gugatan “perbuatan melawan hukum” ialah Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata):
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Dalam tataran teoretis-praktis, yang mewajibkan si pelaku pembawa kerugian untuk mengganti kerugian, ialah negara (selaku pembentuk undang-undang), bukan oleh individu yang menjalin kontrak dengan si pelaku pelanggaran kontrak. Berbeda dengan ancaman sanksi yang tercantum dalam kontrak, hal demikian merupakan pembebanan kewajiban yang bersumber dari individu kepada individu, peer to peer, person to person, pihak kesatu dalam kontrak dan pihak kedua dalam kontrak. Oleh sebab itulah, Pasal 1365 KUHPerdata hanya dapat ditafsirkan dan dimaknai sebagai:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, (negara) mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut (kepada warga negara lainnya yang dirugikan).”
“Kontrak sosial”, merupakan konsekuensi logis dari berdirinya suatu negara hukum. Adalah bukti konkret dari kebenaran suatu “kontrak sosial”, adalah fakta di negara hukum manapun, bahwa warga negara yang menyakiti warga lainnya akan dihukum. Setiap warga negara terikat oleh “kontrak sosial” yang dibentuk oleh negara lewat wakil rakyatnya di parlemen. “Kontrak sosial” lewat berbagai peraturan perundang-undangan yang kemudian mengikat setiap warga-negara, tanpa terkecuali (perhatikan, regulasi adalah salah satu contoh konkret pengejewantahan “kontrak sosial” yang merupakan suatu perikatan bagi seluruh warga-negara, baik dalam segi pidana, perdata, maupun lingkup bidang lainnya).
Berbeda dengan perikatan dalam “kontrak sosial” yang bersifat komunal, perikatan dalam kontrak individual bersifat ter-“cluster” peer to peer, business to business, sebagaimana dapat kita baca dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Pasal 1313 KUHPerdata diatas menggambarkan sifat suatu “kontrak individual”, terbatas pada peer to peer, oleh sebab itulah berbeda karakter dengan “kontrak sosial” yang berlaku bagi umum dan khalayak apapun. Pasal 1313 KUHPerdata inilah yang disebut sebagai “perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian”. Sementara, setiap warga negara terikat oleh perikatan “kontrak sosial”. Maka menjadi kontras dengan suatu “kontrak individual” yang memiliki keterbatasan lingkup, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1340 KUHPerdata: “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.”
Yang perlu digaris-bawahi dan dipahami oleh masyarakat pada umumnya dan para sarjana hukum pada khususnya, ketiadaan “kontrak individual” tidak mengakibatkan “kontrak sosial” menjadi terdegradasi keberlakuannya. Dengan kata lain, sekalipun dalam “kontrak individual” tidak dicantumkan suatu klausul definitif mengenai sanksi konkret (ketiadaan norma sekundair), maka “kontrak sosial” yang akan tampil dan akan berlaku (sosial contract shall prevail upon).
Adalah suatu kekeliruan bila hakim mengadopsi cara pandang hukum yang bersifat fatalistis, dengan menutup hak kewarganegaraan yang bersumber dari “negara hukum” yang dikonkretkan oleh “kontrak sosial” lewat keberlakuan Pasal 1365 KUHPerdata dan mengamputasi hak warga-negara atas ganti-rugi dari si pelaku pelanggaran hak warga negara tersebut, hanya karena “kontrak individu” tidak mencantumkan klausul mengenai sanksi definitif—yang bisa jadi disengajakan pihak yang berposisi lebih kuat saat merancang kontrak. Sebagai bukti bahwa “kontrak sosial” merupakan perikatan itu sendiri, sebagai konkretisasi konsep “negara hukum”, merujuk pada:
-  Pasal 1233 KUHPerdata: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang.”
-  Pasal 1234 KUHPerdata: “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”
Bila kita konkretisasi dari kedua pasal tersebut diatas, kita dapat berkesimpulan, bahwa perikatan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, ataupun untuk tidak berbuat sesuatu, kesemua itu adalah perikatan-perikatan yang bisa jadi tidak bersumber dari “kontrak individual”, namun dapat juga bersumber dari “kontrak sosial dalam rangka negara hukum”.
Itulah juga sebabnya, sekalipun tidak terdapat anasir kontrak, seseorang dapat dibebani kewajiban untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, ataupun untuk tidak berbuat sesuatu sebagai suatu prestasi—yang mana jika tidak dilaksanakan maka akan dinyatakan “wanprestasi” terhadap “kontrak sosial”.
Ambil contoh, seorang warga negara bernama A ditabrak oleh B sehingga mengalami cedera, bahkan patah tulang. Perikatan yang lahir sebelum peristiwa tabrakan itu terjadi, bukanlah perikatan untuk memberikan sesuatu, bukan pula untuk berbuat sesuatu, namun perikatan untuk “tidak berbuat sesuatu”, yakni: untuk tidak merugikan dan tidak menyakiti warga negara lainnya.
Contoh serupa ditemukan pada peristiwa karyawan yang terlibat hubungan perjanjian kerja dengan majikannya. Meski tidak tercantum secara spesifik definitif dalam kontrak kerja, sang karyawan terikat oleh perikatan “untuk tidak berbuat sesuatu” berupa tidak membocorkan rahasia perusahaan, untuk tidak merusak inventaris kantor, dsb. Disaat bersamaan, karyawan tersebut terikat pula oleh perikatan “untuk berbuat sesuatu” seperti untuk bekerja dengan itikad baik, untuk masuk kerja setiap hari kerja dan jam kerja, dsb. Apabila dalam kontrak kerja tidak diatur secara detail demikian, dan terjadi pelanggaran kontrak oleh pegawai, maka apakah sang majikan tidak diperkenankan membebankan ganti-rugi atau denda pada sang karyawan?
Jika hanya karena alasan tiada klausul spesifik definitif mengenai besaran sanksi maka kontrak dapat dilanggar, maka majikan pun dapat mengelak dari perikatan “untuk membayar gaji karyawan”, “untuk tidak mendiskriminasi karyawan”, dan perikatan lainnya. Tidak mungkin suatu perjanjian kerja mencantumkan klausul mengenai sanksi bagi pemberi lapangan kerja. Tentang perikatan-perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, diatur dalam ketentuan-ketentuan berikut:
-  Pasal 1239 KUHPerdata: “Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi, dan bunga.”
-  Pasal 1240 KUHPerdata: “Dalam pada itu si berpiutang adalah berhak menuntut akan penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan, dan bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh Hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat tadi atas biaya si berutang; dengan tak mengurangi hak menuntut penggantian biaya, rugi, dan bunga jika ada alasan untuk itu.”
-  Pasal 1241 KUHPerdata: “Apabila perikatan tidak dilaksanakannya, maka si berpiutang boleh juga dikuasakan supaya dia sendirilah mengusahakan pelaksanannya atas biaya si berutang.”
-  Pasal 1242 KUHPerdata: “Jika perikatan itu bertujuan untuk tidak berbuat sesuatu, maka pihak yang manapun jika yang berbuat berlawanan dengan perikatan, karena pelanggaran itu dan karena itu pun saja, wajiblah ia akan penggantian biaya, rugi, dan bunga.”
Keempat pasal diatas bukan monopoli timbul dalam hubungan kontraktual individual semacam kontrak atau perjanjian peer to peer, namun hubungan “kontrak sosial” berupa perikatan perdata pada umumnya. Sehingga, keempat pasal diatas dapat digunakan baik bagi mereka yang memiliki sengketa “wanprestasi” maupun sengketa “perbuatan melawan hukum”.
Suatu “kontrak individual”, tidak dapat membatasi “hak dan kewajiban” warga-negara lain meskipun warga-negara lain tersebut adalah para pihak dalam kontrak / perjanjian individual (vide Pasal 1337 KUHPerdata). Yang dapat dibatasi oleh suatu “kontrak individual” hanyalah lewat diaturnya oleh para pihak dalam perjanjian mengenai klausul perikatan “untuk tidak berbuat sesuatu”.
Bila pihak yang melanggar “kontrak individual” mendalilkan diri bahwa dirinya dapat melanggar kontrak tersebut karena tiada klausul yang mengatur mengenai sanksi bagi pihak pelanggar, berarti ia telah melanggar “hak untuk menuntut ganti-rugi” pada warga-negara lainnya selaku sesama warga-negara, dimana hak tersebut bersumber / diberikan oleh negara, sehingga “kontrak individual yang ditafsirkan mengamputasi hak pihak lain untuk menuntut ganti-rugi”, dinyatakan tidak sah oleh Pasal 1337 KUHPerdata yang mengatur:
“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”
Alternatif lain, untuk kasus tertentu, bila hakim secara orthotoks memutuskan bahwa gugatan “perbuatan melawan hukum” sebagai “tidak dapat diterima” karena pandangan konservatif teori hukum bahwa “wanprestasi” dengan “perbuatan melawan hukum” adalah dua kategori yang berbeda, maka dapat diajukan gugatan ulang (putusan dengan amar “tidak dapat diterima”, tetap dapat diajukan gugatan ulang), dengan memakai dasar gugatan berupa “pembatalan perjanjian”.
Sekalipun didalam “kontrak individual” dinyatakan bahwa Pasal 1266 KUHPerdata “disimpangi” atau dinyatakan tidak berlaku oleh para pihak, KUHPerdata sendiri telah menegaskan bahwa Pasal 1266 KUHPerdata tidak dapat disimpangi oleh bentuk perjanjian apapun. Adapun bunyi selengkapnya dari Pasal 1266 KUHPerdata:
“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
“Dalam hal yang demikian persetujuan tidak dapat batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.
“Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan didalam perjanjian.
“Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, hakim adalah leluasa untuk menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya. Jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan.”
Mengapa strategi patut diubah menjadi gugatan wanprestasi yang meminta pembatalan perjanjian? Karena, bila permohonan pembatalan perjanjian dikabulkan, konsekuensi / akibatnya ialah berlakunya Pasal 1265 KUHPerdata, yang berbunyi:
“Suatu syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi (atau terjadi),  menghentikan perikatan, dan membawa segala sesuatu kembali, pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan; hanyalah ia mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi.”
Dalam banyak kasus, adalah mustahil membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seperti sebelum terjadinya suatu perikatan. Ambil contoh sederhana, cost konsumtif yang telah dikeluarkan seperti tenaga, bahan bakar, akomodasi, waktu, dan pemakaian bahan material yang bersifat amortatif, adalah tidak mungkin dikembalikan ke keadaan semula seperti tidak pernah ada pemakaian. Untuk itu, peran hakim menjadi krusial, sehingga tidaklah mungkin pula sebuah kontrak mengesampingkan / menderogasi (waive) ketentuan Pasal 1267 KUHPerdata yang mengatur:
“Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian dan bunga.”
Pasal 1267 KUHPerdata yang menjadi tujuan utama gugatan pembatalan perjanjian, yakni lewat perantara peran / fungsi hakim, akan diputuskannya sejumlah kerugian yang diderita, dimana nominal ganti-rugi sebagai pengganti dari keadaan yang tidak mungkin kembali ke keadaan semula seperti sebelum terjadinya perikatan.
Ibarat permainan biliard, menepuk bola satu dengan tujuan untuk mengenai bola yang lain. Mengajukan gugatan pembatalan dengan tujuan untuk mewajibkan pihak pelanggar kontrak untuk mengganti-rugi sejumlah kerugian yang diderita pihak lainnya. Teknik atau taktik ini potensial untuk berhasil, kecuali terhadap “potensi keuntungan yang hilang”. Tak-tik ini semata hanya untuk memulihkan kondisi dari pihak yang terlanggar hak-haknya dalam suatu perjanjian, dan paling tidak meminimalisasi kerugian yang diderita.
Karena peran hakim adalah sentral, oleh sebab adalah tidak logis dan dilarang oleh “kontrak sosial” untuk menghilangkan keberlakuan Pasal 1266 maupun Pasal 1267 KUHPerdata. Sebagai solusi, atau jalan tengah, ketika kontrak tidak mencantumkan suatu klausul spesifik definitif mengenai sanksi, sebagai contoh besaran nominal ganti-rugi, jangan ajukan gugatan “wanprestasi”, namun ajukan gugatan “perbuatan melawan hukum” karena perikatan tidak hanya lahir dari persetujuan—namun juga dapat lahir karena undang-undang (vide Pasal 1233 KUHPerdata).
Dalam Arrest Lindenbaum vs. Cohen tahun 1919 yang telah menjadi yurisprudensi tetap baik di Belanda maupun praktik peradilan di Indonesia, perbuatan tercela yang melanggar kepatutan dan moralitas sekalipun dapat diganjar dengan hukuman ganti-rugi, meski nyata-nyata tidak terdapat aturan hukum tertulis yang menyatakan demikian. Mengapa? Karena terdapat “kontrak sosial” dalam rangka “negara hukum”. Demikian kajian filosofis-yuridis sebagai solusi akibat demikian kakunya segregasi “wanprestasi” dan “perbuatan melawan hukum”.
Bila perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (pacta sunt servanda), maka “wanprestasi” itu sendiri memang merupakan “perbuatan melawan hukum”. Tidak pada zamannya lagi dibuat sekat pemisah antara gugatan perdata “wanprestasi” dengan gugatan perdata “perbuatan melawan hukum”.
“Kontrak sosial” maupun konsep “negara hukum” memang konsep abstrak. Siapa yang wajib mengkonkretisasinya jika bukan hakim di pengadilan. Dan, ketika hakim nenolak memutus ganti-rugi terhadap salah satu pihak dalam hubungan kontraktual yang tidak mengandung klausul mengenai hukuman sanksi, sama artinya hakim / pengadilan tersebut telah melakukan pelanggaran terhadap yurisprudensi Lindenbaum vs. Cohen sebagai salah satu sumber hukum formil.
Mengapa sesuatu yang berangkat dari hubungan kontraktual, dapat bergeser menjadi gugatan Perbuatan Melawan Hukum? Pengaturan dalam kontrak / perjanjian, bukanlah harga mati yang “saklek”. Hukum kontrak selalu “dibayang-bayangi” hukum negara dan kebiasaan niaga dan kepatutan dalam pergaulan hidup bermasyarakat; dalam artian, bila pengaturan dalam kontrak tidak mengatur, maka hukum negara lewat Pasal 1365 KUHPerdata yang akan berlaku.
Wacana demikian bukanlah retorika, namun telah lama dipraktikkan oleh lembaga peradilan, salah satunya dicerminkan dalam putusan Mahkamah Agung RI register Nomor 2169 K/Pdt/2015 tanggal 21 Desember 2015, dimana Hakim Agung membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Penggugat telah berhasil membuktikan kebenaran dalil gugatannya bahwa ternyata perbuatan Tergugat yang telah menyelewengkan modal dan tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian kerjasama antara Penggugat dengan Tergugat merupakan perbuatan melawan hukum, sebaliknya Tergugat tidak dapat membuktikan kebenaran dalil bantahannya, sebagaimana pertimbangan Putusan Judex Facti telah tepat dan benar serta tidak bertentangan dengan hukum.”
Akan banyak kita jumpai kejutan-kejutan dalam ulasan buku ini, seakan hendak menyampaikan, bahwa praktik peradilan telah selangkah lebih maju ketimbang teori-teori yang cenderung tertinggal dan usang. Praktik peradilan kadang merasakan urgensi untuk menerobos “kekakuan” dan “kebekuan”, untuk itulah konsep PMH yang demikian elastis dalam ranah hukum perdata, menjadi kaya akan argumentasi serta “penemuan hukum” yang “mendobrak” doktrin-doktrin klasik yang sudah tidak sesuai tuntutan zaman.
Sebagai contoh, apakah harus menunggu terbitnya kerugian terlebih dahulu, barulah seorang warga memiliki hak untuk mengajukan gugatan perdata PMH? Doktrin klasik menjadikannya sebagai unsur prasyarat mutlak gugatan PMH. Namun, praktik peradilan ternyata telah memiliki pendirian lain.
Adakah yang lebih tinggi dari alat bukti berupa akta otentik? Terlagi, teori klasik menjadikan akta otentik sebagai alat bukti tertinggi dalam ranah stelsel pembuktian perdata, yang konon pembuktiannya bersifat “formal” semata. Namun praktik peradilan telah membuat rasionaliasi alat bukti yang disebut sebagai “bukti argumentasi”, yang sifatnya dapat jauh lebih memiliki nilai “kualitas” ketimbang akta otentik, dimana akta otentik sekalipun dapat dipatahkan validitasnya lewat “bukti argumentasi” demikian. Mengejutkan? Tidak bagi mereka yang mendalami “hukum preseden”, ketimbang berkutat pada “hukum undang-undang”, terlebih “hukum doktrin” belaka yang tidak empirik.
Apa yang dapat terjadi, bila seandainya Anda menusuk seseorang di bagian kakinya, sementara Anda hanya berdiam diri menyaksikan korban meninggal kehabisan darah tatkala hukum pidana mewajibkan setiap warga negara untuk mengambil langkah pertolongan segera bagi mereka yang membutuhkan pertolongan darurat, maka sebesar apakah tanggung-jawab yang akan dijatuhkan kepada Anda, dan sebagai kualifikasi delik apakah? Pembunuhan, ataukah sebatas penganiayaan? Dari contoh kasus ini, kita dapat memahami betapa berat bagi Majelis Hakim Pengadilan dalam memutus perkara pidana, meski sifat PMH dibatasi oleh “asas legalitas”, namun penerapan pasalnya tidak pernah demikian linear, kompleksitasnya berdimensi moral yang tidak terdapat sangkut-paut dengan bunyi undang-undang.
Contoh lainnya yang diangkat dalam buku ini, ialah kasus pidana dimana seluruh unsur-unsur pasal pidana terpenuhi oleh perbuatan terdakwa, namun apakah artinya seorang terdakwa selalu harus dijatuhi hukuman pidana? Dalam dialektikanya, dahulu pernah diwacanakan agar sifat PMH dalam ranah dipidana juga dapat diperluas keberlakuannya seperti konteks PMH perdata.
Namun karena terbentur “asas legalitas”, maka yang kemudian lebih berkembang ialah konsep pidana perihal “perbuatan melawan hukum materiil” fungsi negatif, dalam artian sekalipun seluruh unsur-unsur kualifikasi pasal pidana terpenuhi, namun terhadap terdakwa tidak harus selalu dijatuhi pidana, bila terdapat faktor lain diluar itu yang mampu meniadakan pemidanaan. Sebagai contoh, hutan kawasan lindung tidak boleh dijamah oleh kegiatan manusia. Namun bila tujuan menjamahnya untuk tujuan rehabilitasi, apakah pelakunya tetap juga akan dihukum pidana? Hukum itu murni, namun tidaklah naif.
Bukan pula berarti pembahasan konsep PMH dalam konteks hukum pidana yang terpaku pada asas legalitas, menjadi tidak menarik. Tiada undang-undang yang telah lengkap pengaturannya. Tiada bahasa lisan maupun tertulis undang-undang yang telah sempurna. Sehingga, seringkali ketentuan hukum pidana dihidupkan lewat praktik peradilan yang membentuk “judge made law”.
Salah satu contoh kasus yang penulis angkat, ialah sebuah isu yang tampak sepele namun penting dipahami, yakni: apakah terhadap istri dan anak hasil “nikah secara siri”, sang suami yang melakukan kekerasan dapat dikategorikan dan ditindak berdasarkan Undang-Undang tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)? Kita tidak akan menemukan jawabannya di undang-undang, atau justru bahkan hakim merasa perlu untuk mendobrak sifat kaku undang-undang.
Apakah bermain kartu, selalu dikonotasikan identik dengan “per-ju-di-an”? Kapan saat permainan kartu dianggap sebagai olah raga otak, dan kapan permainan kartu dikategorikan sebagai PMH?
Bagaimanahkan merumuskan pokok permohonan dalam gugatan (petitum) yang baik dan ideal? Dalam buku ini penulis mengurasi tips serta trik untuk meminimalisir ketergantungan terhadap peran seorang jurusita pengadilan. Kita tahu, dalam praktik, kendala paling utama bukanlah bagaimana memenangkan gugatan, namun bagaimana agar putusan perdata tidak menjelma “menang diatas kertas”. Ketergantungan terhadap peran jurusita, menjadi momok tersendiri yang selama ini menjadi kendala dalam hukum acara perdata. Kunci untuk mengatasinya, ialah merumuskan petitum yang meminimalisir pihak pemenang gugatan untuk bersentuhan dengan jurusita, atau bahkan menutup ketergantungan terhadap seorang jurusita. Memangkas birokrasi, sebagai solusi menutup celah kolusi.
Apakah, dalil “tidak tahu” dapat menjadi “alasan pemaaf” dari suatu kesalahan pidana? Banyak diantara kalangan masyarakat awam, yang tidak mengetahui bahwa terdapat sebuah adagium yang memang harus ditegakkan secara keras dan tegas dalam praktik hukum, yakni: semua warga negara dianggap tahu hukum. Ketidak-tahuan terhadap hukum, ialah PMH, dan dapat dijerat pidana penjara. Bukan sekadar teori atau bunyi pasal undang-undang, penulis mengupasnya secara lugas disertai ilustrasi kasus konkret untuk memudahkan pemahaman.
Bagaimana juga bila yang lalai oleh pihak korban itu sendiri, bisakah pihak lain yang dipersalahkan bila korban tewas akibat kelalaiannya sendiri, sekalipun korban tewas akibat tersengat listrik pihak perusahaan listrik? Bisakah, seseorang warga menyerobot suatu bidang tanah, dengan alasan dirinya merupakan pemilik paling sah atas bidang lahan, dan apa konsekuensinya bila merampas penguasaan tanah tanpa didahului gugatan perdata?
Dalam buku penulis yang mengupas Hukum Kontrak, telah diurai bagaimana praktik peradilan telah mengakui, bahwa hubungan PMH dapat timbul akibat undang-undang, juga akibat didahului pembentukan suatu perjanjian. Kini, apa resikonya, bila dalam suatu kontrak bisnis, disepakati forum penyelesaian sengketa berupa arbitrase, namun pihak penggugat mengajukan gugatan PMH, bukan gugatan wanprestasi terhadap rekan bisnisnya tersebut, maka apakah klausula arbitrase demikian tetap mengikat para pihak dalam gugatan PMH, ataukah gugatan PMH dapat tetap diajukan ke Pengadilan Negeri setempat?
Konsep yang kurang sempurna dalam PMH pidana terkait “luka berat”, dapat kita jumpai dalam kasus penusukan oleh seorang pelaku dengan menggunakan senjata tajam, dimana kita tahu bahwa senjata tajam sangatlah mematikan. Namun, ketika terlibat faktor eksternal dari si pelaku, semisal tubuh korban sangat kuat daya tahan serta metabolisme pemulihan dirinya, alih-alih divonis sebagai melakukan “percobaan pembunuhan”, maka apakah si pelaku akan dijatuhi pidana karena penganiayaan yang menyebabkan luka berat, ataukah bahkan hanya sebatas dakwaan “luka ringan”? Telah berabad-abad kita hidup dalam rezim KUHP yang sangat tidak ideal dalam merumuskan definisi “luka berat”. Ambiguitas demikian, penulis ulas secara utuh dalam bentuk studi kasus.
Banyak diantara kalangan pelaku usaha berasumsi, bahwa ketika para pekerja mereka melakukan aksi mogok kerja secara tidak sah, maka otomatis hubungan kerja berakhir / putus demi hukum. Benarkah asumsi demikian, atau hanya sekadar asumsi fatalistis? Tentu, adalah sangat mahal harganya bila kita berspekulasi tanpa mau belajar dari pengalaman yang telah terjadi sebelumnya di Peradilan Hubungan Industrial atas parkara dengan karakter serupa.
Penulis juga akan membahas praktik Hukum Acara Perdata terkait gugatan PMH di peradilan, salah satunya isu perihal gugatan yang justru “kelebihan pihak Penggugat”. Sebagaimana telah kita ketahui, gugatan yang kurang dalam menarik pihak-pihak Tergugat, maka gugatan akan dinyatakan sebagai “kurang pihak”. Namun bagaimana bila sebaliknya, gugatan diajukan dengan banyak pihak Penggugat, adakah resiko hukumnya?
Andaikata dalam suatu duel dengan senjata tajam, dimana pihak-pihak yang saling serang-menyerang tersebut saling terluka, namun salah satunya kemudian tewas, apakah pelaku yang juga mengalami luka akibat senjata tajam korbannya, akan dikategorikan sebagai tindak pidana pembunuhan? Disayangkan, pihak yang melukai terdakwa telah tewas, sehingga tidak dapat dimintai pertanggung-jawaban, sementara terdakwa yang harus seorang diri dijadikan pesakitan di persidangan dengan dakwaan serta vonis yang sangat mengerikan.
Bagaimanakah cara membedakan, semisal dalam suatu hubungan kontraktual, pihak penjual tidak kunjung menyerahkan barang yang dijualnya meski telah dibayar lunas, apakah itu wanprestasi ataukah PMH? Bagaimana bila contoh kasusnya, penjual justru menjual kembali barang yang sudah dibayar pihak pembeli, kepada pihak ketiga? PMH, ataukah wanprestasi? Buku yang penulis susun ini, bukanlah buku teoretis yang tidak aplikatif, namun seluruh argumentasinya dilandasi contoh nyata yang terjadi dalam praktik dan implementasi hukumnya, dengan harapan dapat menjadi keterampilan praktis bagi pembaca untuk dipraktikkan.
Baik “gugatan wanprestasi” maupun “gugatan PMH”, dimungkinkan pihak Tergugat untuk mengajukan gugatan balik (rekonvensi) disaat membantah gugatan Penggugat. Namun banyak tidak diketahui masyarakat, bahkan diantara kalangan litigator di Tanah Air, terdapat syarat-syarat khusus agar hak untuk mengajukan gugatan-balik demikian tidak dinyatakan “tidak lagi berwenang untuk komplain”, oleh hakim pengadilan.
Dalam buku ini, penulis mengurai betapa pentingnya menunjukkan itikad baik dengan cara sederhana seperti memberikan jawaban terhadap berbagai surat somasi yang dilayangkan pihak seberang. Bila tidak demikian, konsekuensinya terbukti “sangat mahal” yang harus dibayar dikemudian hari.
Dalam norma hukum acara perdata, disebutkan bahwa beban pembuktian diletakkan pada pundak pihak yang menggugat. Namun, apakah selamanya harus demikian adanya dalam praktik peradilan, tanpa adanya sentuhan rasionalisasi dari kalangan majelis hakim agar praktik peradilan dapat lebih humanis terhadap pihak-pihak yang lebih lemah? Kita tahu dan sadari sepenuhnya, terdapat pihak-pihak tertentu yang memiliki posisi lebih dominan dan lebih berkuasa daripada pihak lainnya dalam suatu sengketa. Ibarat semut mencoba menggugat seekor gajah, maka apakah seorang hakim hanya akan duduk dan berdiam diri?
Dalam stelsel pemidanaan, kelalaian merupakan kesalahan. Namun, bukan berarti faktor kesalahan tidak dapat dikontribusikan juga oleh pihak korban. Sebagai contoh konkret yang penulis angkat dalam buku ini, seorang pejalan kaki tertabrak hingga tewas oleh pengendara kendaraan bermotor. Apakah artinya, pengendara harus divonis penjara oleh hakim?
Dalam rezim Hukum Tata Usaha Negera, aparatur pemerintahan yang tidak memproses permohonan layanan masyarakat, dikategorikan sebagai “PMH dalam lingkup tanggung-jawab pemerintah dalam melayani masyarakat”, sehingga menimbulkan hak bagi warga untuk menggugat pemerintah yang melalaikan permohonannya.
Masalah timbul, meski Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan menegaskan bahwa sikap diam pemerintah diartikan sebagai keputusan yang mengabulkan permohonan (fiktif-positif), namun dalam praktiknya bandul justru bergerak kembali ke rezim “fiktif-negatif”, sebagaimana penulis urai dalam bentuk contoh kasus konkret.
Membeli tanpa membayar, maka kriterianya sebagai ingkar janji, perdata. Namun bagaimana bila pihak pembeli saat melakukan transaksi menggunakan identitas palsu, sehingga pihak penjual tidak dapat melakukan penagihan karena nama dan alamatnya ternyata tidak benar? Untuk membedakan antara wanprestasi dan PMH Pidana, fakta-fakta hukum menjadi penting dan menjadi elemen paling substansiel.
Kristalisasi dari rasionalisasi kalangan hakim di pengadilan, itulah yang lebih tepatnya disebut sebagai preseden, termasuk preseden yang menyimpangi kekakuan norma peraturan perundang-undangan. Salah satu contoh kasus preseden jenis kedua yang penulis sebutkan dimuka, ialah perihal ketidak-bolehan untuk menceraikan pasangan dalam hukum agama Kristiani. Tampak akan sangat fatalistis bila hakim memegang kaku kaedah hukum agama, dirasa memasung kebebasan pasangna untuk memilih saling bercerai. Agar tidak lagi mengundang kontraproduktif dimana pasangan yang hendak menceraikan harus mendalilkan bahwa pasangannya telah berzina untuk dapat memohon perceraian, maka apakah yang kemudian menjadi pendirian praktik peradilan terhadap ketentuan hukum agama?
Ketika seorang allet direkrut dan dikontrak oleh sebuah organisasi olah-raga, dan beberapa waktu kemudian cedera dalam sesi latihan yang diselenggarakan organisasi, namun sang atlet tidak segera mendapat penanganan medis secara memadai, maka jika sang atlet kemudian mengalami cacat permanen, maka apakah sang atlet hanya berhak menggugat wanprestasi kepada organisasinya tersebut, ataukah gugatan PMH? Tidak ada organisasi atlet manapun, yang dalam kontraknya membuka celah untuk digugat wanprestasi oleh atlet mereka.
Apakah dimungkinkan, menggugat class action / citizen lawsuit ke hadapan PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara)? Class action, atau gugatan kelompok warga ke hadapan Pengadilan Negeri, sudah lazim kita jumpai. Namun bagaimana bila lawan yang hendak digugat ialah pihak pemerintah oleh sekelompok warga? Jika memungkinkan, syarat mutlak apa saja yang harus diperhatikan agar “gugatan kelompok” demikian tidak menjadi mubazir?
Pasal 1365 KUHPerdata menjadi dasar menggugat ganti-rugi karena kesengajaan pihak Tergugat, sementara yang menjadi dasar hukum gugatan PMH akibat kelalaian pihak yang menimbulkan kerugian bagi pihak Penggugat, ialah Pasal 1366 KUHPerdata: “Setiap orang bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.”
Sementara dasar hukum dapat digugatnya pihak pemberi kerja selaku majikan dari pelaku maupun kepala dari suatu instansi yang mengawasi anak-buahnya (vicarious liabilities) terdapat pengaturannya dalam Pasal 1367 KUHPerdata. Maka, mungkinkah menggugat untuk meminta ganti-kerugian dari pihak Kepolisian yang telah, sebagai contoh, salah menembak sehingga menimbulkan korban jiwa dari warga setempat yang tidak bersalah?
Membuat dan menyepakati perjanjian, adalah ranah tanggung jawab kontraktual (contractual liabilities). Namun, ketika perjanjian tersebut kesepakatannya dibuat berdasarkan paksaan ataupun dibawah ancaman kekerasan, maka hal tersebut masuk dalam ranah tanggung jawab PMH (tortious liabilities).
Selama ini, banyak diantara anggota masyarakat yang berpandangan bahwa pencemaran nama baik adalah ranah pidana, tanpa mengetahui  bahwa pencemaran nama baik juga masuk ranah perdata sebagai PMH. Seperti apa dasar hukum serta implementasinya dalam praktik peradilan di Tanah Air? Tidak jarang terjadi, “pembunuhan karakter” terjadi menggunakan medium media massa. Seperti apa bentuk pemulihan yang dapat dituntut di hadapan pengadilan perkara perdata?
Gugatan PMH dapat diajukan ke hadapan PTUN, Pengadilan Negeri, maupun Pengadilan Agama. Namun, mungkinkah dalam praktiknya, gugatan PMH dapat juga diajukan ke hadapan Pengadilan Niaga? Bagaimana dengan gugatan PMH perihal pembatalan merek?
Pernah terbit Landmark Decision oleh Mahkamah Agung di Belanda (Hoge Raad), dalam arest “cerobong asap”. Kisahnya bermula saat sseorang pemilik rumah membangun cerobong asap diatas rumahnya, namun mengundang gugatan PMH oleh sang tetangga, karena cerobong asap tersebut dibangun tepat di depan jendela rumah Penggugat, sehingga pemandangan luar terhalang oleh cerobong asap yang baru dibangun oleh sang tetangga. Saat proses di persidangan, terbukti bahwa cerobong asap yang dibangun oleh Tergugat, adalah berdasar itikad tidak baik, karena tidak memiliki fungsi sebagai cerobong asap, namun semata dibangun untuk menghalangi pandangan tetangganya.
Hoge Raad lalu membuat yurisprudensi yang kini menjadi preseden tetap gugatan PMH, bahwa gugatan PMH tidak harus semata adanya pelanggaran terhadap undang-undang oleh pihak Tergugat, cukuplah bila perbuatan Tergugat menimbulkan kerugian bagi pihak Penggugat, dimana perbuatan yang menimbulkan kerugian tersebut bersifat tidak patut. Kini, bagaimana dengan bila seseorang membangun gedung persis di depan halaman untuk keluar-masuk rumah seorang penduduk setempat? Dalam buku ini penulis menguraikan ilustrasi kasus konkret, dimana “penyalah-gunaan hak” dapat melahirkan hak mengajukan gugatan PMH.
Terdapat juga kasus menarik yang penulis angkat, perihal diberikannya hibah wasiat berupa separuh bidang tanah. Namun ahli waris dari pemberi hibah, menolak memberikan sertifikat hak atas tanah untuk dipecah sehingga dapat dialihkan sebagian bidang tanah dalam sertifikat tersebut ke atas nama penerima hibah. Tidak kooperatifnya pihak ahli waris pemberi hibah yang memegang sertifikat hak atas tanah, apakah artinya menyandera pihak penerima hibah?
Apakah kekerasan selalu identik dengan kekerasan fisik? Bagaimana dengan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga, apakah juga tergolong PMH dalam ranah pidana? Bagaimana juga dengan ketika seseorang keliru mentransfer sejumlah dana kepada nomor rekening orang yang “salah tujuan”, meski kemungkinan untuk terjadinya salah transfer demikian adalah hampir mustahil, sebab sistem komputerisasi akan menampilkan data pra-konfirmasi berisi verifikasi nama pemilik rekening yang akan menerima dana transfer. Terlepas dari fakta empirik demikian, maka apakah masih terbuka upaya hukum untuk memulihkan dana yang “salah tujuan transfer” demikian?
Apa konsekuensinya, bila pihak perusahaan terus menunda-nunda penisun pekerjanya yang telah memasuki usia pensiun 10 tahun lampau? Apakah artinya, pihak pengusaha memiliki kewenangan untuk terus membiarkan pekerjanya bekerja tanpa kepastian usia pensiun, hanya karena Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur perihal usia pensiun. PMH, kadang bersumber dari kewajaran dan kepatutan, sebagai landasan paling utama memaknai dan mengimplementasi hukum.
Apa yang dapat terjadi, ketika debt collector menagih lewat cara-cara intimidasi dan teror, yang mengakibatkan sang debitor meninggal dunia akibat ketakutan atau penyakit jantungnya terpicu saat diintimidasi oleh pihak penagih utang, bisakah digugat ganti-rugi perdata atas dasar PMH?
Begitupula dalam ranah pidana, ternyata ganti-rugi akibat PMH dapat dimintakan oleh korban atau oleh keluarga korban, dengan istilah restitusi. Bagaimanakah mekanismenya? Buku ini mengulas regulasi yang relevan untuk itu, sehingga persinggungan antara ranah pidana dan perdata, mendapat korelasinya dalam hal konsep PMH perdata perihal ganti-kerugian.
Banyak kalangan, termasuk diantara kalangan Sarjana Hukum, yang belum memahami bahwa Perbuatan Melawan Hukum dapat terbit dalam proses pembentukan kontrak maupun dalam implementasi perjanjian tersebut. Sebagai ilustrasi konkret, penulis mengupas suatu kasus dimana perusahaan penerbit polis asuransi telah bersikap tidak jujur pada pihak tertanggung / pembeli polis, maka pada saat itulah ranah PMH dapat digunakan dalam rangka menggugat ganti-rugi, karena kontrak polis asuransi tidak lagi dapat diandalkan dan dijadikan dasar berpijak oleh hakim saat mengadili. Pembuatan kontrak, tidak boleh bertentangan dengan hukum / PMH.
Hukum sangat kental akan nuansa prosedural. Dilanggarnya suatu prosedur, sekalipun bertujuan baik, maka bisa jadi berujung pada pidana. Penulis mengangkat kasus mengenai digugurkannya kandungan demi menyelamatkan keselamatan sang ibu, namun pelaku pengguguran bukanlah pejabat yang berwenang untuk itu. Apakah perbuatan demikian dapat dinyatakan sebagai PMH, sehingga dipidana?
Apakah di undang-undang, dapat kita jumpai aturan yang secara leterlijk menegaskan bahwa mutasi ke perusahaan yang berbeda badan hukumnya, adalah sebagai PMH? Apabila pihak perusahaan menghapus data pekerjanya pada mesin presensi sidik jari, apakah itu dikategorikan sebagai PMH oleh undang-undang? Banyak hal yang tidak terdapat pengaturannya secara spesifik dalam suatu undang-undang, dan pada titik itulah, konsep PMH memainkan peranan yang penting dan paling utama. Itulah juga sebabnya, belajar hukum tidak pernah dapat dimaknai sebagai belajar undang-undang—salah kaprah yang selama ini terjadi di berbagai perguruan tinggi hukum di Tanah Air.
Terkadang, terdapat koneksitas PMH antara perkara pidana dan perkara perdata. Sebagai contoh, untuk mengamputasi perkara pidana, disaat bersamaan dapat diajukan gugatan perdata, dengan tujuan untuk membuat pengadilan perkara perdata menyatakan bahwa perbuatan Penggugat tidaklah merupakan PMH. Ketika terbit putusan perkara perdata yang menyatakan perbuatan Penggugat tidak dikategorikan sebagai PMH, yang justru sebaliknya: perbuatan Tergugat / Pelapor sebagai telah melakukan PMH, maka dokumen putusan perkara perdata dapat dijadikan sebagai alat bukti otentik untuk kemudian dihadirkan dalam perkara pidana, meski stelsel pembuktian perkara perdata bersifat formil semata.
Tentunya, penulis tidak hendak berwacana, sebab dalam buku ini akan dibedah kasus konkret sebagai sebentuk preseden. Diharapkan, setelah membaca buku ini, pembaca dapat mulai memahami bahwa PMH dapat menjembatani antara perkara perdata dan perkara pidana.
PMH ranah perdata bukan hanya dapat terbit karena pelanggaran terhadap norma undang-undang, namun juga dapat terbit akibat pelanggaran terhadap “norma otonom”, yakni norma yang dibentuk oleh internal suatu organisasi yang mengikat seluruh anggota organisasi bersangkutan. Apa saja contohnya? Salah satunya ialah Peraturan Perusahaan. Seorang karyawan, dapat saja di-putus hubungan kerja (PHK) tidak hanya melanggar ketentuan undang-undang, namun juga dapat ditindak berdasarkan “norma otonom” demikian. Bagaimana implementasinya, dan seperti apakah praktik paradilan menyikapi “norma otonom” demikian?
Terdapat sebuah karakter kasus yang cukup menarik perhatian penulis, yakni perihal perbedaan esensial antara wanprestasi dan PMH. Secara falsafah, sifat dari hubungan tanggung-jawab kontraktual adalah hubungan antara “business to business” yang entitas bisnisnya saling “setara” antar para pihak yang mengikatkan diri di dalamnya. Sementara, dalam kasus pihak pemerintah selaku penyelenggara pengadaan jasa, kemudian tidak kunjung membayar pihak pemenang tender, meski seluruh pengadaan jasa telah diselesaikan sepenuhnya, apakah hal demikian dapat dikategorikan sebagai wanprestasi ataukah PMH?
Dari segi teoritis, karakter perkara demikian tampak seperti wanprestasi, namun dalam hemat penulis, karena entitasnya saling tidak seimbang, maka penulis tetap memasukkan kasus konkret demikian dalam buku tematik bertema PMH ini. Esensinya sama sama, ujungnya ialah menuntut pemulihan kerugian (baik gugatan wanprestasi maupun PMH, tujuan utamanya ialah untuk menuntut ganti-rugi / memulihkan kerugian), sekaligus memperlihatkan betapa rancunya perbedaan antara wanprestasi dan PMH, sehingga sudah sewajarnya kita tidak lagi terjebak dalam logika biner. Segregasi demikian dalam praktik kontemporer di peradilan umum, telah tidak lagi menjadi momok sebagaimana beberapa dekade lampau.
Bagi yang meremehkan fungsi “kode etik profesi” bernama SOP (Standard Operation Procedure), maka bersiaplah untuk masuk penjara. Pilih mana, menuruti perintah manajer Anda yang memerintahkan Anda untuk menyimpangi SOP perusahaan, ataukah tetap tunduk pada SOP sekalipun harus menolak perintah sang manajer? SOP dibentuk oleh direksi, memilih untuk menyimpangi SOP sama artinya membangkang direksi, dimana dalam buku ini penulis mengupas kasus konkret dipidananya seorang staf perseroan akibat menuruti perintah manajer, dimana disaat bersamaan dirinya melanggar SOP yang berlaku di perusahaan tempatnya bekerja.
Bila suatu putusan pengadilan belum resmi berkekuatan hukum tetap, meski dirinya dimenangkan oleh pengadilan, namun kemudian dirinya langsung melakukan “main hakim sendiri”, bisakah kemudian dirinya digugat atas dasar PMH akibat perbuatannya yang “main hakim sendiri” demikian? Apa pula akibatnya bila “berpura-pura” atau “bermain-main” dengan hukum? Dalam kacamata hukum, tidak ada yang yang namanya “pura-pura”. Bersikap “pura-pura”, selalu dimaknai sebagai suatu itikad tidak baik yang patut diganjar hukuman.
Apabila telah dipidananya suatu pihak akibat PMH, apakah terhadap PMH tersebut masih dapat digugat secara perdata pelakunya? Sebagai contoh, suatu pihak yang telah dipidana akibat delik “pencemaran nama baik”, maka masih dapatkah pihak korban menggugat secara perdata terhadap PMH tersebut, untuk meminta ganti-rugi? Apakah dengan telah ditegakkannya ranah pidana, maka menghapus tanggung jawab perdata?
Kasus sebaliknya juga pernah terjadi, dimana seorang Terdakwa dinyatakan dibebaskan karena tidak bersalah oleh Majelis Hakim, namun pihak Kejaksaan / Kepolisian tidak kunjung membebaskan sang Terdakwa. Apakah sang Terdakwa yang dibiarkan terus mendekam di penjara, dapat memohon ganti-rugi atas “perampasan kemerdekaan” yang dialaminya, lewat gugatan perdata PMH?
Biasanya, kalangan litigator maupun Sarjana Hukum hanya mengenal istilah “Kerugian Materiil” dan “Kerugian immateriil” dalam konsep gugatan PMH. Dalam praktik peradilan, telah berkembang jenis kerugian ketiga terkait PMH, yakni “Kerugian Yuridis”. Bagaimanakah relevansi dan implementasinya? Sekali lagi, buku ini bukanlah buku teoretis maupun wacana, namun mengupas praktik yang relevan, dengan harapan pembaca akan memiliki keterampilan praktis setelah membaca uraian-uraian dalam buku aplikatif ini.
Apakah biaya pengacara / advokat dalam mengajukan gugatan ke pengadilan, maupun fee Balai Lelang Swasta yang melakukan jasa pra-lelang eksekusi Hak Tanggungan, dapat dibebankan kepada pihak debitor tereksekusi? Pada hakekatnya, setiap subjek hukum dapat mengajukan gugatan ke pengadilan tanpa difasilitasi oleh jasa seorang pengacara. Sama halnya, setiap kreditor dapat mengajukan permohonan Lelang Eksekusi ke hadapan Kantor Lelang Negara, tanpa jasa pihak swasta seperti Balai Lelang. Penulis mencantumkan pula preseden tentang isu hukum tersebut, akibat masih kerap dijumpai salah-kaprah mind-set banyak anggota masyarakat yang awam hukum.
Apabila seorang gadis berusia 17 tahun sudah melakukan kegiatan sebagai seorang mucikari, dimana para pekerja s*ks komersial-nya melakukan pekerjaan ilegal demikian berdasarkan keinginan sendiri tanpa unsur paksaan, apakah menjadi “alasan pemaaf” bagi sang mucikari? Apakah yang dapat diberlakukan jikalau pun dinyatakan bersalah, KUHP ataukah Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang?
Menyalah-gunakan kepercayaan, dapatkah digugat atas dasar PMH? Salah satu contoh kasus yang diulas dalam buku ini akan memberi pemahaman, bahwa terdapat korelasi erat antara dilanggarnya norma kepatutan dengan PMH. Sebagai contoh, pihak kreditor yang menyalah-gunakan surat kuasa membebankan Hak Tanggungan atas agunan yang diberikan debitornya, namun ternyata objek jaminan diagunkan kembali oleh sang kreditor kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan sang debitor, maka apakah kemudian melahirkan hak gugat wanprestasi ataukah gugatan PMH, bagi sang debitor terhadap kreditornya tersebut? Atau pertanyaannya diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: bolehkan kreditor yang hendak mendapat likuidasi dana dari pihak ketiga, mengagunkan aset jaminan milik debitornya tersebut kepada pihak ketiga?
Apa juga yang dimaksud dengan “rezim perizinan sebagai domain publik”? Dapatkah pemerintah dinyatakan telah melakukan PMH karena tidak memberi ruang akses bagi publik dalam mengetahui berbagai perizinan yang telah diterbitkannya? Ternyata, kewajiban berdasarkan apa yang diamanatkan oleh hukum sebagai tugas penyelenggara pemerintahan, melahirkan hak gugat oleh warga.
Namun, ketika perundang-undangan saling tumpang-tindih (kerap terjadi), maka bahkan Majelis Hakim pada PTUN sekalipun kerap melakukan “partial judicial review” terhadap regulasi yang dinilai bermasalah—suatu telaah yang sangat menarik tentunya, karena terkesan seakan PTUN pun memiliki hak untuk menguji materiil peraturan perundang-undangan. Namun bukan satu atau dua kali penulis jumpai, praktik PTUN melakukan “judicial review” demikian, akibat suatu kebutuhan yang tidak dapat tidak disegerakan untuk diputuskan.
Pernahkah pembaca mendengar istilah “PMH berganda”? Tentu saja tidak, sebab hanya buku ini yang mengulas kasus perihal “PMH ganda” demikian. Salah satu contoh kasus yang penulis angkat, ialah ketika pembeli telah melunasi harga pembelian tanah, namun oleh pihak pengembang belum juga di-balik-nama-kan ke atas nama pembeli, yang justru kemudian oleh pengembang sertifikat hak atas tanah yang telah dijualnya diagunkan kepada pihak perbankan.
Mengupas tataran praktik, tidak pernah se-“kering” tataran teori yang menjemukan dan belum tentu sesuai dengan tuntutan zaman. Praktik memang harus selalu satu langkah lebih maju dari tataran teoretis. Dalam buku ini, pembaca akan dapat memahami maksud penulis pada akhirnya.
Untuk mengajukan gugatan wanprestasi, dalam praktik tidak dijumpai kendala yang berarti, sebab identitas subjek hukum yang hendak digugat serta alamat domisili / kedudukan telah tercantum secara jelas dalam komparasi surat perjanjian. Namun bagaimana dengan gugatan PMH yang tidak memiliki dokumen identitas apapun dari pihak yang akan digugat? Semisal kerancuan antara Badan Hukum dan Grub Usaha (Company Group), apakah Grub Usaha dapat digugat? Jangan katakan Anda tidak tergiur untuk menggugat sebuah badan hukum di Indonesia bila yang telah merugikan Anda adalah entitas perusahaan asing di luar negeri, yang kebetulan memiliki anak usaha di Indoensia berupa perusahaan tersebut.
Bagaimana juga, bila terdapat pihak-pihak yang mendaku sebagai pemilik sebidang lahan, dengan cara memasang plang bertuliskan “tanah ini milik ...” diatas tanah yang sudah bersertifikat hak atas tanah atas nama pihak lain? Jika digugat PMH terhadap penyerobot demikian, ganti-kerugian semacam apa sajakah yang dapat dituntut oleh pemilik sah atas tanah?
Bila karyawan Anda secara proaktif atas inisiatifnya sendiri melakukan suatu kebijakan dalam lingkup perusahaan, sementara Anda selaku supervisor-nya mengetahui niat karyawan Anda tersebut dan membiarkannya untuk tetap melaksanakan rencananya demikian, maka apakah artinya Anda berhak untuk menuntut pidana terhadap karyawan Anda tersebut, dengan alasan penggelapan atau sejenisnya?
Terdapat sebuah kasus nyata, dimana pengadilan memaknai sikap “tahu dan mendiamkan” sebagai izin serta pembenaran bagi sang pegawai bersangkutan. Banyak akan kita jumpai berbagai landmark decision yang dilahirkan oleh berbagai hakim di Pengadilan Negeri di berbagai sudut luar Pulau Jawa yang jarang mendapat perhatian, sehingga bukan hanya Mahkamah Agung RI.
Dalam banyak putusan pengadilan, Penggugat yang tidak dapat merinci kerugiannya dinyatakan sebagai “gugatan kabur / tidak jelas” (obscuure libel). Namun apakah kerugian selalu harus dibuktikan secara terinci dan sedemikian mendetail? Tidak bisakah akal sehat saja sudah cukup sebagai bukti logisnya? Dalam buku ini penulis mengupas isu hukum demikian dalam korelasinya perihal PER SE RULE ILLEGAL dalam Prinsip-Prinsip Persaingan Usaha.
Penting juga untuk turut penulis angkat dalam buku ini, yakni isu hukum perihal jasa profesional, semisal jasa seorang konsultan pajak yang membantu pihak pengusaha dalam “menggelapkan” beban wajib pajak, apakah dapat digugat perdata maupun dituntut pidana secara renteng bersama beban pajak sang wajib pajak?
Penulis juga menguraikan trik / tips praktis “Cara Mengubah Norma Primer Tanpa Sanksi Menjadi Bersanksi”. Dalam rezim hukum pidana, adanya Norma Primer (berisi larangan ataupun perintah) tanpa disertai Norma Sekunder yang berisi ancaman hukuman, pada pelaku pelanggar tidak dapat dipidana. Namun “momok” demikian, bila terdapat adanya Norma Primer tanpa disertai Norma Sekundair, tidak berlaku selamanya dalam ranah perdata, berkat keberadaan konsep PMH dalam stelsel hukum perdata yang penentuan Norma Sekundairnya cukup dirangkum dalam kalimat berikut: ‘Siapa yang mengakibatkan terbitnya kerugian, diwajibkan mengganti-rugi kerugian tersebut’—dimana Norma Sekundair dijewantahkan saat Majelis Hakim menjatuhkan amar putusan condemnatoir perkara PMH perdata—tanpa perlu disepakati terlebih dahulu berapa besar nilai kerugian dimaksud.
Untuk menggambarkan betapa efektif serta kaya-nya konsep PMH dalam hukum perdata, dikupas juga contoh kasus “potential loss” akibat pencatutan merek, yakni dapat dikabulkannya gugatan ganti-rugi “immateriil”. Kerugian immateriil artinya ialah kerugian yang bersifat moril, bukan kerugian nyata. Meski jarang dikabulkan, untuk tataran potential loss ternyata masih dapat dapat diakomodasi oleh praktik peradilan yang ada, sebagaimana diulas secara utuh dalam buku ini.
...
Judul eBook : KAEDAH-KAEDAH MENARIK PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Penulis : Hery Shietra, S.H.
Bahasa : Indonesia
Penerbit : SHIETRA PUBLISHER
Tahun terbit : Oktober 2018
File E-book : “.pdf, dapat dibaca pada berbagai aplikasi PDF Reader perangkat digital seperti Komputer PC, Laptop, ataupun Tablet.
Harga : Rp. 95.000;-. Bebas ongkos kirim karena eBook akan dikirimkan kepada alamat email pembeli.
Lisensi : END USER AGREEMENT. HANYA DIJUAL KEPADA PEMBELI ORANG-PERORANGAN (Pembeli Individual), BUKAN UNTUK KEPERLUAN PERKANTORAN, PERPUSTAKAAN, ATAU SEJENISNYA. Dilarang untuk digandakan ataupun disebarkan tanpa seizin penulis dengan maksud apapun. Lisensi 1 eBook HANYA UNTUK 1 ORANG PEMBELI. Dapat dibaca untuk SEUMUR HIDUP pembeli, kapanpun dan dimanapun.
Cara Pemesanan : kirimkan pemesanan Anda pada alamat email legal.hukum@gmail.com , selanjutnya kami akan memberikan tata cara pemesanan serta 'syarat dan ketentuan'. Paling lambat eBook akan kami kirimkan 3 x 24 jam setelah klarifikasi penerimaan dana. (PERINGATAN : Menyalahgunakan alamat email ini ataupun nomor kontak kerja kami untuk peruntukan lain diluar pemesanan eBook, akan kami kategorikan sebagai pelanggaran terhadap “syarat dan ketentuan” dalam website profesi kami ini. Hanya klien pembayar tarif jasa konsultasi yang berhak menceritakan ataupun bertanya tentang isu hukum, karena Anda pastilah menyadari serta telah membaca keterangan sebagaimana header maupun sekujur website ini bahwa profesi utama kami ialah mencari nafkah sebagai Konsultan Hukum dengan menjual jasa berupa konseling seputar hukum.)
Hery Shietra Konsultan Hukum

DAFTAR ISI
BAB 1 : PROLOG ... 7
BAB II : STUDI KASUS ... 33
- Hukum Mencegah Kerugian, Bukan Menunggu Kerugian Terjadi ... 34
- Akta yang Dibuat Notaris Tidak Dapat Diasumsikan Selalu Benar Adanya ... 40
- Perbedaan Pidana Penyiksaan dan Penganiayaan ... 48
- Perbuatan Melawan Hukum Fungsi Negatif, Lahiriah Versus Batiniah ... 52
- Pidana Pemukulan Istri (Nikah Siri), Sekalipun hanya Mengakibatkan Luka Memar ... 58
- Permainan Kartu Tanpa Taruhan Uang, Apakah Merupakan Perjudian? ... 65
- Hukum Bersifat “Seharusnya Tahu” (Ought to Know), Bukan Membenarkan Kelalaian Seorang Warga untuk Tahu Hukum yang Berlaku ... 71
- Ketika Korban Sendiri yang telah Berbuat Lalai sehingga Mengabibatkan Dirinya Tewas ... 76
- Merampas Tanah sebagai Perbuatan Melawan Hukum ... 84
- Perjanjian Arbitrase dalam Gugatan Perbuatan Melawan Hukum ... 88
- Ambiguitas Luka Berat Akibat Penganiayaan ... 92
- Mogok Kerja Tidak Sah dan Tanpa Panggilan untuk Kembali Masuk Kerja ... 100
- Resiko Dibalik Penggabungan Pihak Penggugat dalam Satu Gugatan ... 108
- Duel Bersenjata Tajam yang Mengakibatkan Kematian ... 111
- Menjual Kembali Barang yang Telah Dijual ... 114
- Tidak Merespon Somasi, Menutup Hak Rekonpensi ... 121
- Rasionalisasi Beban Pembuktian, Hakim Wajib Memaklumi Pihak yang Lebih Lemah ... 128
- Pejalan kaki Tertabrak Hingga Meninggal Akibat Kecerobohannya Sendiri saat Menyeberang Jalan ... 135
- Keputusan Fiktif-Positif Bernuansa Rezim Fiktif-Negatif, Sikap Status Quo Keputusan Tata Usaha Negara ... 139
- Membeli dengan Nama Palsu, Bukan Wanprestasi, Namun Penipuan ... 150
- Tersandera oleh Hukum Agama Perkawinan ... 155
- Tanggung Jawab Organisasi atas Keselamatan Atlet yang Diabaikan ... 160
- Class Action di PTUN ... 169
- Menggugat Polisi Republik Indonesia (POLRI) dan Tata Cara Pembayaran Ganti Rugi oleh Negara bagi Korban Sipil ... 173
- Dipaksa Tanda-Tangan Karena Diancam / Adanya Ancaman ... 184
- Gugatan Perdata Ganti-Rugi akibat Pencemaran Nama Baik ... 190
- Gugatan Pembatalan Merek di Pengadilan Niaga ... 203
- Penyalahgunaan Hak (Misbruik Van Recht), Telaah Kasus Penguasaan Tanah ... 211
- Hibah Tanah yang Dipersulit Ahli Waris Lainnya ... 219
- Psikologi Hukum dalam Dakwaan Pidana ... 224
- Salah Mentransfer Dana ke Rekening Milik Orang Lain ... 228
- Pengusaha Menunda-Nunda Kebijakan Pensiun Pekerja yang Telah Lanjut Usia ... 230
- Menagih Secara Tidak Patut, Kreditor dapat Digugat Debitor dan Dihukum Ganti-Rugi oleh Pengadilan karena Dinilai Perbuatan Melawan Hukum yang Terbit dari Hubungan Kontraktual ... 236
- Hak Korban Tindak Pidana Atas Restitusi ... 247
- Pemegang Polis Terkecoh Tawaran Layanan Asuransi ... 256
- Kebenaran Hukum Bersifat Kebenaran Nisbi, Ambigu yang Dilematis ... 262
- Mutasi Pekerja ke Badan Hukum Lain, Ilegal ... 268
- Melawan Status Tersangka, lewat Upaya Hukum Perdata ... 277
- Melanggar Norma Otonom, adalah Perbuatan Melawan Hukum ... 284
- Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa ... 292
- Pegawai Melanggar Prosedur Perusahaan, Berujung Pidana ... 298
- “Pura-Pura” yang Berujung Maut ... 307
- Pidana Berlanjut Gugatan Perdata Pencemaran Nama Baik ... 313
- Penahanan Tidak Sah = Perampasan Kemerdekaan yang dapat Digugat Secara Perdata ... 320
- Antara Kerugian Yuridis, Kerugian Materiel dan Immateriel ... 325
- Biaya Pengacara, Beban Siapa? ... 331
- Kredit yang Telah Dinikmati, Perjanjian Hutang-Piutang Tidak dapat Dibatalkan ... 336
- Pidana Mucikari & Perdagangan Tubuh Wanita untuk Dieksploitasi ... 342
- Data Perizinan Merupakan Domain Publik, Hak Warga Sipil untuk Mengakses ... 349
- Perbuatan Melawan Hukum secara Berganda ... 355
- Memahami Hubungan Hukum dengan Entitas Badan Hukum Grub Company ... 360
- Memasang Plang Nama Mengaku sebagai Pemilik Diatas Tanah Milik Orang Lain ... 366
- Tahu & Mendiamkan, artinya Menyetujui & Membenarkan, Tiada Pidana ... 370
- Petitum Gugatan yang Sumir, Menghasilkan Putusan Pengadilan yang Non-Executeable ... 377
- Konsekuensi Hukum Membantu Kejahatan, Dihukum Renteng ... 392
- Norma Primair Tanpa Norma Sekundair ... 400
- Gugatan Ganti-Kerugian Imateriil terhadap Potential Loss ... 403
BAB III : EPILOG ... 410
- Amar Putusan Pengadilan yang Baik, Bersifat “Executable”. Sementara, Surat Gugatan yang Ideal Bersifat “Dapat Dieksekusi”  Secara Mandiri oleh Pihak Penggugat ... 411
...
Untuk membaca uraian selengkapnya mengenai KAEDAH-KAEDAH MENARIK PERBUATAN MELAWAN HUKUM, kirimkan order / pemesanan Anda kepada surel kami pada alamat legal.hukum@gmail.com
Paling lambat 3 x 24 jam setelah dana pembelian eBook kami terima, eBook akan kami kirimkan kepada alamat email pembeli.
Mengapa eBook menjadi evolusi modern media sastra? Karena sifatnya praktis serta mobile, mudah dan dapat dibawa kemana pun sebagai teman bacaan via gadget, tidak rusak termakan kutu buku, disamping tidak memakan ruang / tempat. Dengan membeli eBook, berarti kita telah turut menjaga kelestarian lingkungan. “Go Green ... !!!
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.

Arsip Artikel HUKUM-HUKUM.COM (Dropdown Menu)

Artikel yang Paling Populer Minggu Ini