SINOPSIS
E-Book NOVEL BASED ON TRUE STORY
Kisah dalam novel ini memiliki
keunikan berupa perpaduan romance dan
tragedi yang bersinggungan dengan permasalahan hukum dengan latar belakang
kisah nyata (based on true story) di
Italia pada akhir abad ke-19.
Gravin Linda Murri menikahi
Graf Bonmartini yang tidak dicintainya, sebelum kemudian berjumpa kembali
dengan pria yang dicintainya dikala muda. Status darah biru yang melekat pada
silsilah keluarga Linda, membuatnya tak dapat berjodoh dengan Carlo.
Sebagai suami yang
sewenang-wenang, Graf melakukan siksaan fisik maupun batin terhadap istrinya,
Linda. Meski Linda adalah wanita yang tegar dan kuat, ia terancam mati karena
Graf, sementara Linda tak berani menceraikan Graf karena suaminya mengancam
akan mengambil hak asuh kedua anaknya.
Tullio, adik Linda, mencoba
memeringatkan kelakuan Graf terhadap Linda. Ketika Linda diujung maut akibat
perlakuan lalim sang suami, Tullio terlibat pertengkaran mulut dengan Graf yang
berujung pada kematian Graf yang kemudian ditemukan menderita belasan bekas
luka tusukan.
Cinta segitiga antara Linda,
Carlo, dan Graf ini menuai petaka. Linda yang tidak tahu-menahu ataupun
terlibat pembunuhan suaminya, terseret sebagai terdakwa di persidangan, dan
dijadikan musuh seluruh rakyat Italia yang menilainya sebagai wanita penzina
yang selicik iblis.
Carlo yang tidak terlibat langsung
akan kematian itu pun, terseret dalam tuduhan persekongkolan pembunuhan, dimana
kemudian terjadi pengkhianatan Carlo terhadap Linda.
Perkara ini demikian kompleks,
berujung pada pemidanaan penjara bagi Linda yang membuat tubuhnya yang lemah
terancam kematian sebelum akhirnya dibuang dalam pengasingan.
Proses persidangan yang
menyimpang meski diliput wartawan berbagai negara, mengakibatkan orang-orang
tak bersalah akhirnya memakan korban dalam tragedi Bonmartini.
Seorang tokoh intelektual
Jerman bernama Karl Federn kemudian memberikan perhatian kepada kasus tragedi
Bonmartini ini, dan menemukan banyaknya cacat dibalik pemidanaan terhadap
Linda, meski proses persidangan ini melibatkan puluhan pengacara paling top di
Italia pada masanya.
Federn berusaha meluruskan
putusan yang menyimpang ini dengan kemampuan riset, analisis, serta karya
tulisnya yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku mengenai perkara
Murri-Bonmartini yang menggemparkan rakyat Italia yang mudah terhasut itu,
sehingga kemudian Raja Italia memberikan pengampunan kepada Linda meski ia sama
sekali tidak terlibat dalam pembunuhan suaminya.
Novel ini menggambarkan juga
perkembangan sejarah peradaban Eropa dengan segala kepelikan politik dan
sosialnya pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.
Kompleksitas karakter, drama
percintaan dan keriuhan hukum, kekuatan semantik dialog antar tokoh, serta alur
yang kaya akan melodrama tragis namun mengharukan ini cocok dijadikan bacaan
bagi kalangan muda-mudi maupun pasutri, sebagai bacaan yang sarat makna dan
bermanfaat.
Kisah nyata dalam novel ini
adalah kisah yang suram dan kelam, namun beruntung, berakhir dengan bahagia dan
penuh haru berkat kepedulian seorang tokoh bernama Karl Federn dikala
masyarakat Italia sendiri mencampakkan Linda—dimana novel ini sendiri penulis
angkat guna mengenang kembali jasa-jasa tokoh emansipatif tersebut.
Hanya garis besar kisah dalam
novel ini yang diangkat dari kisah nyata. Berbagai detail dan peristiwa rinci
merupakan hasil elaborasi serta improvisasi penulis secara pribadi.
Judul : GRAVIN LINDA
MURRI BONMARTINI—Iblis Berhati Malaikat
Penulis : Hery Shietra,
S.H.
Bahasa : Indonesia.
Penerbit : SHIETRA PUBLISHER
Tahun terbit : 2017
File E-Book : pdf, dapat dibaca dan dibuka pada berbagai
aplikasi, baik mobile, smartphone, tablet, maupun personal computer (PC).
Harga : Rp. 50.000;-. Bebas ongkos kirim, e-novel akan dikirimkan pada pembeli via e-mail. Dijual secara esklusif hanya oleh hukum-hukum.com.
Cara Pemesanan : hubungi kami pada email legal.hukum@gmail.com , selanjutnya kami akan
memberikan instruksi tata cara pemesanan serta syarat dan ketentuan. Paling lambat E-book akan
kami kirimkan 3 x 24 jam setelah klarifikasi penerimaan dana. Secara esklusif hanya dijual oleh hukum-hukum.com
Lisensi : "END USER AGREEMENT", HANYA DIJUAL KEPADA PEMBELI ORANG-PERORANGAN (Pembeli Individual), BUKAN UNTUK KEPERLUAN PERKANTORAN, PERPUSTAKAAN, ATAU SEJENISNYA. Lisensi 1 eBook HANYA UNTUK 1 ORANG PEMBELI. Dapat dibaca untuk SEUMUR HIDUP pembeli, kapanpun dan dimanapun.
Lisensi : "END USER AGREEMENT", HANYA DIJUAL KEPADA PEMBELI ORANG-PERORANGAN (Pembeli Individual), BUKAN UNTUK KEPERLUAN PERKANTORAN, PERPUSTAKAAN, ATAU SEJENISNYA. Lisensi 1 eBook HANYA UNTUK 1 ORANG PEMBELI. Dapat dibaca untuk SEUMUR HIDUP pembeli, kapanpun dan dimanapun.
IBLIS BERHATI MALAIKAT
Gravin Linda Murri Bonmartini
©
2017 Author by: Hery Shietra, S.H.
Hak Cipta Penulis dilindungi oleh undang-undang
Novel
ini dipersembahkan bagi Karl Federn atas jasa serta karya-karyanya.
PROLOG
Kisah yang mengangkat sosok
wanita bernama lengkap Gravin Linda Murri Bonmartini ini secara garis besar diangkat
dari kisah nyata dengan latar belakang Eropa pada akhir abad ke-19 hingga awal
abad ke-20, yang penulis adaptasi dari sebuah cerita pendek dari berbagai
cerpen yang dirangkum oleh Hermann Mostar dalam bukunya Peradilan Yang Sesat (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987).
Kasus Bonmartini, sebagaimana disebutkan Hermann Mostar, merupakan
perwujudan “cinta kasih melawan fitnah dan kebodohan”. Dikabarkan, Linda Murri
merupakan wanita tercantik pada abad kedua puluh. Tragedi yang dialaminya telah
menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat Italia yang bergelora dan
memang mudah tersulut, terjadi di negeri eksotik tempat lahirnya berbagai
seniman berbakat dunia, dan tercatat sebagai kejadian bersejarah yang
mengundang perhatian dunia.
Kerabat, rohaniawan yang mengenalnya, bawahan yang mengetahui kehidupan
Linda, mereka semua memandang dirinya sebagai malaikat hidup—kesucian,
ketulusan, ketegaran, dan cinta kasih seorang ibu yang sejati. Akan tetapi
rakyat Italia pada masa itu, kaum rohaniawan lainnya, begitupula pers, mereka
yang tidak mengenal dekat dirinya, memandangnya sebagai maha iblis penuh nafsu,
haus membunuh, wanita tak beriman, seorang sadistik. Sebagaimana dilukiskan Hermann
Mostar dalam menggambarkan kisah menyentuh ini:
“Baru lama
kemudian citra malaikat mengalahkan citra iblis. Baru lama kemudian para
pembencinya berbalik mencintainya, setelah kebenaran terungkap—dan kebenaran
murni selalu mengajarkan mencinta, bukan membenci. Tapi sebelum itu ia harus
menderita—penderitaan yang tak mungkin dialami oleh malaikat atau iblis,
melainkan oleh manusia. Namun demikian, baik kawan maupun lawan, mengakui
Gravin tersebut sebagai suri-teladan keindahan yang sempurna. Mereka melukiskan
wanita yang telah berumur empat puluh tahun itu sebagai ‘anak pucat yang
terperanjat’.”
Kekuatan utama karakter Linda Murri, ialah ketegaran jiwa ketika harus
menghadapi kenyataan ketika seluruh rakyat Italia memusuhi dirinya. Meski
bermula dari sebuah cerita pendek, tampaknya tetap relevan untuk para pembaca
di abad kedua puluh satu ini meski telah terpaut lebih dari satu abad lamanya
latar kejadian tragedi Bonmartini di sebuah negeri yang pernah menjadi
inspirator renaisans bernama Italia.
Secara garis besar, novel ini penulis angkat berdasarkan kisah nyata,
meski untuk detail-detail merupakan hasil improvisasi dan elaborasi penulis. Kisah
ini akan menyentuh siapapun pembacanya, baik kalangan muda-mudi, pria atau
wanita, maupun para suami-istri, karena kedalaman sosok Linda Bonmartini yang
mencoba bersikap teguh meski dikala perasaannya rapuh.
Novel roman ini merupakan perpaduan unik dari kisah nyata kehidupan cinta
kasih seorang wanita sekaligus seorang ibu, dengan tragedi yang menjadikan
dirinya pesakitan di depan persidangan dengan tuduhan pembunuhan terhadap
suaminya sendiri, yang terjadi pada tahun 1902 hingga tahun 1906.
Sebuah tragedi yang masih menyisakan kenangan pada setiap memori rakyat
Italia.
TOKOH-TOKOH
Gravin Linda Murri Bonmartini ... sang
iblis berhati malaikat dalam tragedi Bonmartini
Tullio Murri ... saudara
laki-laki Linda
Augusto dan Giannina Murri ...
orang tua dari Linda dan Tullio
Carlo Secchi ... pria yang dicintai Linda
Graf Francesco Bonmartini ... suami
Linda
Mainardi ... keponakan Graf Francesco
Maria dan Ninetto ...
anak-anak hasil perkawinan Linda dan Francesco
Rosina Bonetti ... gadis yang menyukai
Tullio
Tisa Borghi ... asisten Carlo
Secchi
Pio Naldi ... rekan aksi Tullio
Stanzani ... kepala penyidik Bologna
Karl Federn ... kolumnis dan
aktivis
1
PERJUMPAAN
Bologna—Italia, tahun 1880.
Dua anak remaja belasan tahun berjalan setengah berlari di tengah dataran
berumput. Cuaca sedang bagus saat itu.
“Tullio, percepat langkahmu!”
“Apa kau tak bisa bersikap layaknya seorang wanita? Gaya berjalanmu tak
anggun,” sahut sang adik, yang tiga tahun lebih muda dari sang kakak, Linda.
Setibanya di stasiun, mereka mencari-cari seorang pendatang baru di kota mereka
yang diminta oleh Prof. Augusto Murri, ayah mereka, untuk disambut
kedatangannya. Keriuhan stasiun pada pagi itu membuat Tullio ragu dapat dengan
cepat menemukan satu orang diantara ratusan penumpang kereta yang hilir-mudik.
“Menurutmu, seperti apa orang yang bernama Carlo Secchi?” tanya Tullio, anak
lelaki muda dengan rambut pendek coklatnya yang teracak-acak meski telah sering
mendapat teguran oleh ibunya yang penuh disiplin dan keras terhadap kedua
anaknya tersebut. “Aku malas selalu disuruh Ayah untuk mengantar kedatangan
tamu-tamunya.”
“Tak ada gunanya mengeluh, Tullio.”
Linda tidak menghentikan langkahnya seolah telah mengenal persis pria
yang bernama Carlo Secchi tersebut meski dirinya belum pernah bertemu dengan
pria yang akan menjadi mahasiswa ayahnya.
Sepasang mata Linda yang biru dipicingkan mencari-cari sesosok pria yang
diyakininya pasti tengah berdiri di depan halaman stasiun menunggu penjemputnya.
Dan benarlah, ia seakan mengenali orang yang sedang dicarinya.
“Mi scusi (permisi), apakah
Anda mengenal seseorang bernama Tuan Carlo Secchi?” gadis itu memanggil dengan
nada lembut sembari membungkuk memberi salam hormat secara santun.
Pria berperawakan tinggi berumur tiga puluh tahun dengan mantel coklat
yang menampakkan beberapa koyak tersebut menengok dan melihat seorang gadis
muda berkulit seputih gaun yang dikenakannya menatap dirinya sembari tetap
tersenyum dengan siung-pipitnya yang menawan.
“Oh, Signorina (nona) Murri.
Bagaimana kabar Profesor Augusto?”
“Kabar Ayah kami baik. Mohon perkenalkan, nama saya Gravin Linda Murri,
dan ini adik saya, Tullio. Benvenuto
(selamat datang).”
“Buon giorno (selamat pagi), Tuan.
Kami dapat memanggil Anda dengan sebutan Tuan Carlo ataukah Tuan Secchi?”
sambut Tullio, mencoba bersikap seramah yang ia mampu.
“Buon giorno, Tuan Tullio,”
sahut Carlo. “Apa saja.”
Tullio tampak cukup terkesan oleh sikap Carlo yang memanggil remaja ingusan
belasan tahun itu dengan sebutan ‘Tuan’.
Linda memaksa tamunya untuk mengizinkan dirinya membawakan satu koper
milik Carlo, meski Carlo sama bersikerasnya agar dirinya sendiri yang
membawanya, namun Tullio kemudian menimpali: “Anda jangan khawatir Tuan Carlo,
Linda memiliki otot yang cukup kekar untuk mengangkat ketiga koper ini.”
Bologna memang merupakan kota yang ramai dan aktivitas bisnisnya hidup.
Orang berlalu-lalang dengan tergesa adalah hal yang lumrah di Bologna, kontras
dengan para pengunjung kedai-kedai yang tampak memiliki banyak waktu untuk
dihabiskan.
Sepanjang perjalanan, Carlo yang terpaut dua puluh tahun lebih tua dari
Linda menceritakan bagaimana pertemuan dirinya dengan Prof. Augusto Murri dalam
suatu seminar umum mengenai teknik anastesi pembedahan yang dapat menolong
ribuan pasien dalam suatu operasi. Dari berbagai ceritanya tersebut, Linda
kemudian mengetahui bahwa pertemuan Carlo dengan ayahnya tersebut kemudian
memberi kesempatan Carlo untuk mengambil pendidikan tinggi kedokteran di
Bologna dengan rekomendasi dari ayah Linda.
“Tuan Secchi, darimanakah Anda berasal, jika saya tidak lancang dengan
pertanyaan tersebut,” Linda berjalan perlahan bersebelahan dengan Carlo,
bersikap tangguh seolah tidak merasakan nyeri pada jemarinya menenteng satu
dari tiga koper bawaan Carlo.
“Lahir di Venice dan tumbuh besar di Modena, demikianlah mengenai saya.”
“Venice, simbol demokrasi, sungguh kota nelayan yang ajaib dan indah.
Saya dan Tullio pernah mengunjungi tempat tersebut tahun lalu, Tuan.”
“Panggil saja aku Secchi, Oke, maka aku pun cukup memanggilmu Gravin.”
“Oke, kita sepakati demikian!” mereka terkekeh. Sejak saat itulah, Carlo
memanggil Linda dengan nama sebutan “Gravin”, sementara Linda memanggil Carlo
dengan nama sebutan “Secchi”.
Meski Carlo menyadari perbedaan kelas sosial antara dirinya dengan Linda,
Carlo tetap menampakkan sikap percaya diri. Cara berjalannya tegap dan bahunya
kokoh. Sebaliknya, Linda yang berasal dari keluarga bangsawan menengah, dengan
penampilannya yang terawat dan memikat, telah terbiasa bersikap bersahaja dan
bersahabat dengan semua kalangan.
Linda membiarkan Carlo terus bercerita sepanjang perjalanan itu. Matahari
yang persis berada di tengah langit tetap tidak mampu mengalahkan hawa musim
dingin Bologna. Sementara Tullio telah berjalan jauh di depan, nampak tidak
sabar. Dengan penuh minat Linda mendengarkan setiap patah kata Carlo, dan diam-diam
menikmatinya.
Mereka tiba pada permukiman dengan berbagai bangunan rapat bergaya gothic
menjulang tinggi dengan pilar-pilar yang tampak kokoh perkasa menahan beban
gedung-gedung berdinding susunan batu besar yang berderet di sepanjang jalan
itu.
“Secchi, inilah kediaman yang telah Ayah sewa untuk menjadi tempat
tinggalmu selama menempuh pendidikan di Universitas Bologna. Sederhana, namun
telah kupastikan sendiri cukup nyaman untuk ditempati. Jangan sungkan untuk
menyampaikan sesuatu yang Tuan butuhkan.”
“Umn, tempat ini lebih dari cukup untuk seorang bujang sepertiku.”
Carlo Secchi mengagumi berbagai karya seni yang tersebar di berbagai
sudut Kota Bologna. Patung-patung bergaya romawi maupun yunani yang
menggambarkan sosok para ksatria seakan menjadi prajurit yang tidak mengenal
letih mengawasi para penduduk. Burung-burung bertengger pada gedung-gedung yang
angkuh yang menyerupai deretan tembok kastil. Betapa elok kota ini.
“Kau lihat Manor di ujung jalan hook sebelah sana? Itulah kediaman kami.
Ayah beserta koleganya akan tiba malam ini. Ia memintaku untuk mengundang Anda
makan malam bersama kami malam nanti.”
“Suatu kehormatan, Gravin. Sampaikan salam saya untuk keluarga Murri.”
Carlo berdiri mematung di depan pintu masuk, menunggu Linda untuk berbalik
dan pergi menyusul Tullio yang telah terlebih dahulu berjalan pulang. Namun
Linda tetap berdiri di tempatnya sembari tersenyum kecil memandangi Carlo.
Namun keheningan itu segera dibuyarkan oleh teriakan Tullio dari
kejauhan. “Hei Linda, Ibu sudah menunggu di rumah!”
Dengan salah tingkah Linda seketika membalik badan, mengangkat gaunnya, dan
bergegas.
Namun seketika itu juga Carlo berseru seraya mengulurkan tangan seolah
hendak menjamahnya: “Eih..., Signorina Gravin!”
Linda memalingkan wajahnya setelah langkahnya terhentikan oleh panggilan
itu.
“Grazie (terimakasih).”
Kedua pasang mata itu saling menatap lekat.
“... Grazie.”
2
ASMARA
Carlo dengan cepat beradabtasi dengan kota eksotik dengan budayanya yang kerap
dipenuhi basa-basi. Kafe-kafe mudah ditemui di kota tersebut. Beberapa tahun
berjalan dengan cepat, dimana kemudian Carlo menjadi assisten kepercayaan Prof.
Augusto Murri, klinikus sekaligus pengajar terkemuka di Universitas Bologna.
Sementara Tullio yang memberontak terhadap
kehendak sang ayah untuk dimasukkan pada sekolah kedokteran, dikirim ke Milan
untuk menempuh pendidikan teknik industri, sementara Linda tumbuh menjadi gadis
paling cantik di Bologna.
Setibanya Giannina Murri pulang dari kegiatan rutinnya di rumah ibadah,
sang ibu yang tekun beribadah meski penggugup dan keras ini segera mencari-cari
sang putri. “Linda, Linda, apakah sudah kau kirimkan paket-paket itu?”
Linda yang menekuni rancangan gaun cukup disibukkan dengan pesanan dari
berbagai kalangan bangsawan kenalan sang ibunda. Giannina menemukan putrinya
tengah memasak makan malam di dapur.
“Linda, Linda, mengapa kau belum mengantarkan paket-paket itu? Berapa
kali perlu kuingatkan agar kau mengirimkan paket-paket itu sebelum kantor pos
tutup!”
Tanpa menghiraukan perihal paket-paket yang teronggok di ruang tamu,
Linda menengok dan menatap sang ibunda dengan wajah polosnya sembari
menyunggingkan senyum polosnya.
“Belum Ibuku yang manis, besok pagi akan kuposkan. Dikau jangan marah ya,
ya... Tuh kan, muncul keriput!”
“Dasar, kau ini!”
Linda merangkul Ibunya dan mengelus bahunya dengan manja, “Iya, aku hanya
bercanda, Ibu jangan marah ya... Wah, keriputnya hilang!”
Sang ibu selalu luluh dengan sikap manis sang putri yang tumbuh dengan
sikap jenaka. Menanggapi wajah tak berdosa Linda, beliau tak punya pilihan
lain. “Mungkin aku terlalu lunak mendidikmu. Kau antarkan ransum ke tempat
ayahmu, ia tidak makan malam di rumah malam ini.”
“Baik, madame Ibundaku yang
baik hati,” sahut Linda senantiasa ceria menyelesaikan sentuhan terakhir pada salad
yang baru dibuatnya. Madame (nyonya)
Giannina hanya dapat menggumal.
Linda maupun Tullio mendapat didikan yang amat keras dari Giannina Murri,
sementara sang ayah jarang berada di rumah karena berbagai kesibukannya sebagai
guru besar maupun berpraktik di rumah sakit pusat kota Bologna, setimpal dengan
kemasyuran internasional yang menjadikannya sebagai warga kehormatan kota.
Karena itu, Tuan Augusto Murri merasa memiliki kewajiban profesi untuk
turut serta menghadiri berbagai konferensi-konferensi ilmiah di luar kota
bahkan tidak jarang di luar negeri.
Praktis, antara sang ayah dan sang anak jarang berkumpul. Sesekali Tuan
Augusto Murri berkunjung pulang membawa serta berbagai kolega yang harus
disambut dengan ramah oleh Linda sebagai tuan rumah.
Tuan Murri membiarkan sang istri, Giannina berkutat dengan peribadatannya
dan sekaligus simpatisan konservatif berbagai rumah ibadah di Bologna, dan
disaat bersamaan Giannina cukup menikmati ketenaran sang suami dan mendapat
kebebasan dalam mendalami kegiatan ibadahnya.
Tak mengherankan, anak-anak ini mencari dan mendapatkan kehangatan yang
selama ini tak mereka peroleh di rumah, pada orang lain dan pikiran-pikiran
lain.
Sang ayah yang mengirim Tullio menempuh pendidikan di Milan, justru
memberikan tempat bagi Tullio untuk menemukan minatnya, buku-buku karya tokoh-tokoh
besar komunisme yang kala itu memang sedang populer.
Tullio mulai merintis usaha percetakan bersama dengan kawannya. Dari
perkenalan dengan dunia percetakan tersebut, Tullio mendapat akses terhadap
berbagai buku-buku, baik terlarang maupun buku-buku lainnya, dan secara
diam-diam tanpa diketahui keluarga Murri, menjadi seorang penganut sosialisme.
Setelah memasukkan bekal makan malam dalam dua rantang, Linda memakai
topi lebar yang membuatnya tampil menawan. Sebagai seorang yang terlahir dari
kalangan bangsawan, dimana dirinya kini banyak disibukkan oleh kegiatan
merancang busana yang memang sudah sejak dahulu kala digandrungi para kaum muda-mudi
warga Italia yang sangat menggilai tren dan mode berpakaian.
Linda secara alamiah memang memiliki bakat bawaan kecantikan wajah dan
sikap yang jenaka namun tetap rendah hati.
Dengan dua rantang di tangan, Linda melangkah menyusuri jalan Bologna
yang diterangi dengan penerangan kedai-kedai dan tempat hiburan yang membuat
wajah kota Bologna yang eksentrik tampak lebih eksotis.
“Hai Ernst, anjingmu tampak makin gemuk, ia menderita obesitas.”
“Hai Linda, terimasih atas pujiannya.”
“Aku tidak sedang memuji.”
“Jika begitu besok akan kubawa anjing ini berolahraga.”
Dengan tidak segan Linda akan menyapa setiap pejalan kaki, anak kecil
maupun para lansia, dan setiap warga setempat yang dilihatnya. Tak terhitung
jumlah pemuda yang telah mencoba meminang Linda. Namun Linda telah menambatkan
hatinya pada seorang dokter miskin, yang kini menjadi asisten ayahnya, pria
bernama Dokter Carlo Secchi.
Carlo menjadi mahasiswa terpandai dari Universitas Bologna, sekaligus
asisten yang paling cakap.
Selama tinggal di Bologna sebagai mahasiswa, terkadang Carlo tidak segan mencari
sumber penghidupan dengan menjadi kurir. Linda menjalin hubungannya selama itu,
namun tidak pernah sekalipun memandang rendah pada dirinya, dan Carlo pun tidak
pernah bersikap rendah percaya diri.
Meski demikian, Carlo tidak pernah bertindak lancang. Sekadar menyentuh
bibir Linda pun belum pernah dilakukannya. Carlo menyadari hubungan dirinya
dengan Linda tidak mendapat persetujuan Tuan Murri, sehingga hubungan mereka
terjalin secara diam-diam, tidak tergesa.
Toh, keduanya saling menikmati kebersamaan yang berjalan secara perlahan
itu.
Baik Tuan Augusto maupun Giannina Murri tidak menyukai putri mereka
berhubungan dekat dengan Carlo. Umur keduanya terpaut dua puluh tahun,
disamping kondisi sosial Carlo yang bukan berasal dari kalangan bangsawan.
Carlo harus disibukkan oleh pergulatan hidup dalam mencari penghidupan
disamping kelas pergaulannya yang terbatas.
Linda tiba di rumah sakit Bologna yang megah di pusat Kota Bologna. Meski
telah menjelang malam, tempat itu tetap ramai oleh lalu-lalang pengunjung dan
perawat.
Linda menyapa beberapa suster dan penjaga, berbincang sambil berbasa-basi
dengan beberapa dokter yang dijumpainya, kemudian menaiki lantai tiga tempat
sang ayah berkantor.
“Hai Natalie, senang berjumpa kembali denganmu. Apakah saya mengganggu
Dokter Augusto?” sapa Linda pada seorang petugas tata usaha di ruang ayahnya.
“Cat kukumu bagus sekali.”
“Hai Linda, senang juga berjumpa denganmu. Sayang sekali, beliau baru
saja memasuki ruang bedah di lantai dua. Kutinggal dulu ya, aku harus kembali
bekerja.”
Linda menampilkan wajah kecewa yang sebetulnya sudah cukup sering ia
tampilkan di kantor itu. Meletakkan sebuah rantang di atas meja kerja sang
dokter, menuliskan secarik memo agar ayahnya tidak lupa untuk menyempatkan diri
makan malam, membersihkan meja kerja ayahnya, lalu sedikit membenahi ruang
kerja itu sembari bersenandung sebuah lagu yang lembut.
Tak lama kemudian, Linda duduk bersandarkan tepian meja,
mengetuk-ngetukkan jemarinya pada meja kerja kayu ayahnya, kemudian mengambil arloji
portabel dari sakunya. Arloji menunjukkan pukul 18.04.
Masih tersisa waktu satu jam baginya untuk bercengkerama di komplek rumah
sakit. Linda bergegas menuruni gedung, menuju bangsal perawatan pasien
kanak-kanak.
“Haloo, anak-anak!” sapa Linda sambil melambaikan tangan pada anak-anak
yang menjadi pasien di bangsal khusus anak itu. Linda menyapa satu per satu
nama setiap anak yang sudah dihafalnya. Anak-anak yang tidak dapat bangkit dari
pembaringan, mendapat perhatian dari Linda. Hanya pasien anak di ruang perawatan
khusus yang tidak berani Linda sambangi, agar tidak mengganggu istirahat
mereka.
Sontak anak-anak itu berseru riang atas kedatangan Linda. Tidak lupa,
Linda memberikan mereka beberapa bungkus permen yang dibelinya di toko dalam
perjalanan tadi.
“Heiii, apa kalian bersikap baik hari ini? Menurut pada nasehat dokter?
Bagus, itu baru adik-adik yang baik. Wah, kau sudah bisa berlari?”
Anak-anak sudah tidak sabar mendengarkan kelanjutan kisah dongeng yang
Linda banyak pelajari dari perpustakaan kota.
Sebagai penutup pertemuan dengan anak-anak itu, Linda terbiasa
menyanyikan lagu yang diciptakannya sendiri. Ketika Linda mulai bernyanyi,
lantunan itu mengundang para perawat untuk turut menyaksikan dan mendengarkan.
Meski tidak diiringi oleh orkestra apapun, suara merdu dan penuh kasih
Linda merupakan senar dawai itu sendiri.
Pokok pesan dari lagu yang dibawakan oleh Linda, agar setiap dari kita
memiliki sebuah cita-cita yang akan membuat kita tahu bagaimana melangkah,
tetap menjaga harapan dan berbagai kemungkinan yang terbuka di depan kita. Masa
depan penuh berbagai impian yang dapat diraih lewat pertualangan. Bertahanlah.
Bertahanlah terus. Bangkitkan semangat juangmu... tiada mengeluh.
Tepat pukul 19.00 Linda tiba di taman belakang komplek rumah sakit. Taman
itu luas dan disediakan tempat duduk pada setiap sudutnya.
Seperti biasa, Carlo telah tiba terlebih dahulu, dengan sabar mengamati
Linda dengan anggunnya melangkah mendekat. Linda melangkah perlahan dengan
langkah feminim menawan dengan senyumnya yang manis dari bibir tipisnya.
Satu-satunya sifat tomboi yang tersisa dari dirinya, Linda tak pernah
merias wajah. Namun pesona kecantikan alamiahnya tidak membutuhkan polesan
apapun. Carlo tanpa bersuara menikmati kedatangan Linda. Perlahan demi
perlahan.
Linda menghentikan langkahnya dalam jarak lima meter dari Carlo. Kemudian
diangkatnya sebuah rantang.
“Semoga Tuan Secchi bersedia untuk mencicipi masakan gadis yang tampaknya
kurang berbakat menjadi koki ini.”
Carlo tersenyum lepas. “Dapat melihatmu pun sudah membuatku puas, Signorina
Gravin.”
“Betulkan? Aduh, Tuan Carlo Secchi, kau sedang merayu ya? Sering-sering
ya.”
Setiap perawat dan penjaga di rumah sakit Bologna mengetahui hubungan
keduanya lebih dari sekadar pertemanan, namun keduanya tidak ambil pusing. Linda
menikmati momen-momen Carlo selalu melahap habis setiap masakan yang dibuatnya,
dan Carlo sudah puas ketika Linda memberinya perhatian.
Di sudut taman itu, Linda dapat tertawa lepas dengan berbagai lelucon
yang dilontarkan Carlo, seorang pria yang tampak lugu dan selalu antusias dalam
setiap momen kehidupannya yang sederhana.
Cahaya kehidupan bergelora dari sinar mata pria itu. Dan yang terpenting,
Carlo tidak pernah berkata ataupun bersikap kasar terhadap siapa pun.
Carlo tahu cara mengisi hati Linda yang kosong, dan Linda tahu cara
membesarkan hati Carlo yang membutuhkan pengakuan dan penghargaan.
“Gravin, kau tahu, hari ini ada seorang pasien, tentara yang sudah
malang-melintang di berbagai peperangan dan medan tempur. Berbagai medali telah
diperolehnya. Pernah tertembak peluru sebanyak dua kali, dan selamat. Namun
hari ini, ia menjerit sekeras-kerasnya ketika akan kusuntik.”
“Oh Secchi, bolehkah kutanyakan sesuatu padamu. Apakah kau berani bila
disuntik?”
“Hmnn, itu pertanyaan yang berat. Namun aku tidak keberatan bila kau yang
melakukannya untukku. Mungkin besok jika pasien itu kembali, aku akan memintamu
datang untuk memberinya satu tusukan yang mantap, tepat di bokongnya.”
Linda menampilkan wajah merengut nakal. Tidak mau kalah, Carlo turut
membalasnya dengan wajah merengut manja. Mereka pun melepaskan tawa.
Sungguh menyenangkan bila waktu tidak pernah berubah, dan tetap
ditempatnya berada.
Namun rembulan berganti matahari, sebelum kemudian tergantikan kembali
oleh rembulan. Terkadang bulan purnama, terkadang bulan gelap. Waktu terus
berjalan, dan berbagai peristiwa akan terus silih-berganti tanpa dapat kau
genggam erat. Ada yang menyebutkan, setiap zaman memiliki momennya sendiri.
3
PERGERAKAN
Sifat idealistis Tullio menjadi-jadi, berkat gelombang ideologi baru di
belahan Eropa akan pemikiran-pemikiran sosialisme. Tidak terdapat garis
keturunan sosialisme dalam silsilah keluarga Murri. Namun gambaran kehidupan
pada akhir abad ke-19 yang makin memberatkan kaum pekerja dan kalangan bawah, memberikan
sentakan bagi benak Tullio yang lugu namun menggebu-gebu untuk menyalurkan
hasrat idealismenya.
Kaum borjuis kian berkuasa, sementara kaum bawah termarjinalisasi
demikian lebar. Pemusatan kekayaan menimbulkan gelombang baru benih-benih
pembangkangan sipil terhadap struktur sosial-ekonomi.
Motor penggerak ekonomi berupa mesin-mesin produksi menjadikan
eksploitasi tenaga kerja terjadi secara masif dan menyebar dengan demikian
cepatnya merembet ke berbagai belahan Eropa bagaikan virus.
Pusat-pusat industri memang bertumbuhan, terlihat dari berbagai cerobong
asap mengepulkan asap hitam pekat pertanda aktivitas industri menggeliat secara
masif. Namun disaat bersamaan kesenjangan ekonomi membuat kehidupan warga
menjadi kontras. Kemajuan industri yang pesat membawa perubahan dalam hubungan
antar lapisan masyarakat. Kemajuan industri justru menjadi kehidupan demikian
keras bagi kalangan masyarakat tertentu. Apa yang dahulu dikerjakan oleh tangan
para pekerja, kini tergantikan oleh mesin. Daya tawar pekerja menukik turun.
Dimulailah apa yang disebut sebagai eksploitasi manusia oleh kaum kapitalis.
Eropa pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 dilanda gelombang besar
semangat “Laissez Faire-Laissez Passer”,
segala kegiatan ekonomi diserahkan pada mekanisme pasar, bebas dari campur
tangan otoritas negara. Paham ini menjadi slogan propaganda liberalisme ekonomi
pasar bebas Adam Smith dengan teori invisible
hand-nya.
Pemuda ini kini turut dalam gerakan bawah tanah perlawanan terhadap kaum
borjuisme setelah bisnis percetakannya tergerus oleh para pemodal yang lebih
kuat darinya. Kekecewaan ini membuatnya kian larut dalam sosialisme.
Kali ini yang menjadi target pergerakan bawah tanah ialah gurbernur pada
sebuah distrik, dan Tullio turut ambil serta dalam aksi ini.
Pada suatu siang, penawanan yang terorganisir secara rapih telah berhasil
menahan Tuan Damasio, sang gubernur, di dalam manornya sendiri. Penawanan itu
berlangsung secara efesien tanpa mengundang kecurigaan baik penjaga maupun para
pekerja di manor sang gubernur.
Untuk itu, rombongan ini bergerak hanya dengan menyertakan lima orang
anggota yang dipimpin oleh Luigi, seorang mantan marinir yang telah melumpuhkan
paling tidak empat penjaga manor sebelum rombongan ini dapat memasuki manor.
Tullio adalah anggota rombongan termuda yang ikut serta. Tanpa bekal
keterampilan khusus selain menyabotase mekanisme slot kunci pintu sehingga
dapat dibuka dan ditutup tanpa anak kunci, mungkin diizinkan ikut dalam misi
ini dalam rangka indoktrinasi atau kaderisasi pergerakan sosial mereka.
Kelimanya berdiri di sekitar Gubernur Damasio yang didudukkan dengan
tangan dan kaki terikat. Tullio dan ketiga rekannya mengenakan penutup wajah,
namun hanya Luigi yang dengan demikian berani bertatap muka dengan tawanannya
tanpa selembar pun penutup wajah. Percuma baginya menutup wajah, ia telah
menjadi ikon gerakan sipil melawan kaum kapitalis dan memang telah menjadi
orang yang paling dicari di kota itu.
Sungguh suatu kehormatan dapat beraksi menjalankan misi bersama dengan
sang legandaris ini.
Luigi memulai dialog tanpa basa-basi. “Tuan Damasio, Anda pastilah telah
mengetahui siapa kami dan apa tujuan kedatangan kami.”
Luigi memiliki suaranya rendah, perlahan, tenang, namun demikian dalam
dan memiliki suatu efek mistis bagi pendengarnya. Kaum ningrat dan borjuis mana
pun yang mendengar nama Luigi, pastilah akan lari pontang-panting.
Dengan bersikap seolah tiada takut, sang gubernur menantang lantang:
“Tiada negosiasi!”
Seketika secepat peluru disambut Luigi, “Eccellente (sangat baik)!”
Dengan sigap Luigi meraih dagu tawanannya, dan menekankan ujung jari
telunjuk dalam-dalam ke bagian bawah tengah rahang yang lunak dari tengkorak
Damasio, mengakibatkan sang gubernur tersesak-sesak seakan tenggelam kehabisan
nafas.
Siksaan yang dibuat Luigi menimbulkan perasaan ngeri bagi Tullio terutama
ketika tubuh tawanannya mulai mengejang.
Sebelum tawanannya tewas, Luigi melepaskan cengkeramannya.
“Ah, masih hidup rupanya,” ujar Luigi membersihkan tangannya dari
keringat sang tawanan yang wajahnya menjelma merah akibat tekanan darah. “Saran
saya, jadilah tuan rumah yang baik.”
Sang tawanan terengah-engah hampir mati. Luigi membiarkannya beberapa
saat menghirup udara segar, meski wajah tawanannya itu kini banjir oleh peluh.
Sang gubernur pada akhirnya dapat berbicara sebelum kembali
terbatuk-batuk, “Apa maumu?”
“Hanya berdialog,” tanggap Luigi. Anggota lainnya mengamati aksi Luigi sembari
memerhatikan jendela tempat mereka merayap masuk maupun memastikan keadaan
pintu ruang itu tetap terkunci rapat, agar dialog dapat berlangsung secara
aman.
“Tuan, wargamu kini kelaparan,” sambung Luigi. “Apa sajakah yang Engkau,
sang terhormat, lakukan selama ini di istana ini?”
“Tidak ada sangkut paut antara urusan bisnis kaum sipil dengan kami.”
“Aaaah... , betapa naifnya Anda, Tuan. Jika kami boleh mengetahui,
mengapa Anda, kaum birokrat aristokrat, dan para ningrat serta pemodal, selalu
menggunakan jargon yang sama terhadap berbagai aspirasi kami?”
“Aku pun tidak paham,” aku sang tawanan. “Ini memang sudah menjadi tradisi
pemerintahan Eropa. Kau sendiri tahu, semua ini berjalan secara alamiah.”
“Kau maksud, seleksi alam?”
Terjadi keheningan. Kening sang gubernur berkerut, memikirkan dalam-dalam
kalimat Luigi, terlagipula Luigi memberi tawanannya tersebut waktu yang ia
butuhkan untuk berpikir. Tak perlu terburu-buru, pikir Luigi, toh ini hanya
sebuah diskusi intelektual, meski agak sedikit menyakitkan pada awalnya.
Akhirnya sang tawanan berhasil menemukan jawaban yang menurutnya tepat
untuk ditawarkan. “Pemerintah menghormati kebebasan berkontrak antar warga
negara.”
Luigi tak seketika membantah. Ia tampak berpikir sembari berhenti
berjalan mengitari sang tawanan. Ia berdiri menghadap jendela, memandangi
dedaunan yang mulai menguning menyambut musim gugur.
“Anda sungguh naif, Tuan. Kebebasan berkontrak dicetuskan pada abad lampau
oleh Napoleon. Kini era industri yang dimotori lokomotif uap telah membuat
struktur pelapisan statifikasi masyarakat demikian berjenjang, dan mulailah
terjadi pemusatan kekayaan yang berujung pada ketimpangan daya tawar. Monopoli
usaha, pemerahan tenaga kerja. Lihatlah, Tuan, pengangguran telah mencapai
klimaks, dan akan menjadi puncak yang tak tertahankan lagi bila semua ini terus
dibiarkan berjalan apa adanya tanpa campur-tangan negara lewat otoritas
pemerintah. Revolusi proletar di Paris terjadi pada tahun 1871, Tuan. Saya
harap Anda dapat menangkap pesan ini.”
Tidak terjadi kekerasan pada sang gubernur. Luigi bukanlah tipe haus
darah. Ia segera memandu rombongan untuk bergerak tanpa suara meninggalkan
manor, meninggalkan sang gubernur yang tidak membalas sepatah kata pun.
Tullio tidak mengetahui apakah perjumpaan Luigi dan sang gubernur akan
mengubah kebijakan kota. Yang pasti, Tullio kian mantap pada visi misi
pergerakan. Menumbangkan kaum borjuisme yang telah menjadi raja kecil di dalam Kerajaan
Italia pada masa itu.
4
PENOLAKAN
Rumor menyebar diantara perawat, rekan-rekan dokter, dan pegawai rumah
sakit, namun Tuan Murri bukanlah tidak tahu-menahu akan isu-isu tersebut,
termasuk rumor mengenai hubungan dekat antara Carlo dan Linda. Perjumpaan
keduanya terlampau intens dan terlalu rutin untuk sekedar hubungan pertemanan
biasa.
Banyak yang mengatakan bahwa keduanya adalah pasangan yang serasi. Namun
tidak di mata Tuan Murri.
Kehidupan sosial pada akhir abad ke sembilan belas di Eropa masih
tersusun dari struktur kelas masyarakat, antara kaum bangsawan dan kaum rakyat
biasa. Sekat kelas sosial ini tetap tidak mampu ditembus oleh berbagai prestasi
Carlo selama menjadi mahasiswa maupun kini sebagai asisten Prof. Augusto yang
paling terampil.
Linda memiliki garis keturunan darah biru. Sementara Carlo berasal dari
kalangan rakyat biasa. Itu saja sekat pemisah yang tidak akan mampu diubah oleh
seorang Carlo sekalipun. Selama berabad-abad tradisi kelas ini telah berlangsung
dari satu generasi ke genearsi selanjutnya. Darah biru tetap melangsungkan
generasi darah biru, dan kelas pekerja tetap melangsungkan generasi pekerja.
Tuan Murri mencoba menggunakan langkah “diplomatis” dengan mengatakan
pada para perawat di rumah sakit, bahwa Dokter Carlo masih seorang lajang yang
cocok untuk dijadikan suami mereka. Dalam beberapa kesempatan bahkan Tuan Murri
secara personal memperkenalkan seorang perawat untuk dijodohkan kepada Carlo.
Upaya tersebut menemui kegagalan, Carlo tampaknya teguh menjaga rapat
relung hatinya bagi wanita yang tidak lain ialah putri mentornya tersebut.
Tidak habis akal, Tuan Murri meminta Madame Murri untuk menasehati sang
putri. Sehingga pada suatu petang, ketika sang ibunda duduk merajut di sebuah
sofa sementara Linda sedang menyetrika pakaian.
“Linda, mengenai Carlo.”
Seketika Linda menghentikan aktivitasnya, dan berpaling menatap lekat
wajah sang ibunda dengan rona wajah penuh curiga.
Linda menunggu ucapan Madame Murri untuk selanjutnya. Linda menyadari
bahwa hubungan dirinya dengan Carlo tak dapat selamanya ditutupi dari
penginderaan orang tuanya. Ia tahu hal tersebut cepat atau lambat akan
dihadapinya, dan ia memang telah memersiapkan diri untuk itu.
“Kami tahu tentang hubungan kalian.”
Sementara Linda masih bertanya-tanya arah tujuan pembicaraan. Ia sedikit
cemas.
“Ayahmu tidak merestui. Begitupula Ibu.”
Seolah dapat menerka, Linda kembali dengan kesibukannya tanpa
menghiraukan lebih lanjut.
“Linda, apa kau mendengarkan Ibu?”
Tak ada respon dari Linda.
Sang ibunda menghela nafas, tidak tahu bagaimana menghadapi kekerasan
hati sang putri yang mana tabiat itu memang telah diketahui sejak lama oleh
sang ibunda, selain karena memang tabiat keras hati itu diturunkan oleh sang
ibunda itu sendiri.
Linda bukanlah tipe pengkomplain maupun pengeluh. Ia memilih diam seribu
bahasa sebagai caranya mengungkapkan ekspresi. Kedua orang tuanya mengenal baik
sifat Linda, dan Madame Giannina Murri menangkap pesan non verbal tersebut. Tak
ada siksaan apapun yang dapat membuat putrinya itu mengendurkan kekerasan
hatinya.
Madame Murri beranjak pergi dan membiarkan putrinya itu seorang diri
dengan kesibukannya sendiri.
Terdengar bunyi pintu ditutup di kejauhan ketika ibunya meninggalkan
ruang, dan Linda segera mengusap wajahnya. Firasat kewanitaannya memberinya
suatu sinyal buruk.
Linda menghirup nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan. Hidup
terus berjalan, dan ia tahu perasaannya sendiri tanpa perlu diberitahukan oleh
siapapun kepadanya apa yang sedang ia rasakan.
Malam itu sunyi hening seperti biasa.
Lampu meja dinyalakan, dan Linda duduk di meja kerjanya. Linda teringat
kepada adiknya, Tullio. Sudah lama tiada kabar darinya. Linda menyempatkan diri
menulis surat kepada Tullio, mengenai alasan mengapa adiknya itu kini jarang
untuk sesekali pulang ke rumah, apakah ada kesukaran di kota tempatnya
berkegiatan saat ini, dan apakah ada yang dapat dilakukannya untuk membantu
adik yang sangat disayanginya itu.
“Di mana kau saat ini. Semoga kau baik-baik saja, Tullio,” ucap Linda
pelan. Ia mencemaskan adiknya, menghadap mereka sekeluarga dapat berkumpul
kembali.
Setelah memasukkan surat terlipat ke dalam amplop, menuliskan alamat tempat
tinggal adiknya, Linda membuat segel lilin pada tutup amplop sebelum kemudian
menguap karena mengantuk, dan untuk kesekian kali dirinya jatuh tertidur pulas
di meja kerjanya.
Sesibuk apapun Augusto Murri dengan karirnya, ia tetaplah seorang ayah
yang mencintai putra-putrinya. Malam itu Augusto mendapati kembali Linda
tertidur di meja kerjanya. Augusto tidak pernah membangunkan Linda yang
tertidur. Diambilnya selimut ringan yang kemudian diselempangkan pada pundak putrinya
itu agar tidak kedinginan.
Setelah menyingkirkan beberapa pernak-pernik di meja itu, Augusto
meninggalkan ruang kerja Linda. Menutup pintu perlahan dan beranjak tidur di
kamarnya sendiri. Giannina telah tertidur pulas terlebih dahulu, menyusul
Augusto.
5
PERPISAHAN
“Dokter Carlo!” seorang perawat menahan langkah Carlo di ujung tangga setibanya
ia di lantai tiga. “Dokter Augusto sedang mencari Anda. Kini beliau sedang
berada di kantornya.”
“Baiklah, grazie.”
Setelah tegur sapa yang ramah, kini Carlo duduk berhadap-hadapan di ruang
kerja Augusto.
“Bagaimana dengan kondisi pasien dengan komplikasi ginjal di ruang rawat
intensif?”
“Terpantau stabil. Operasi akan segera dilakukan dalam minggu ini sesuai
jadwal. Saat ini tim medis masih sedang berusaha menstabilkan tekanan darah
pasien tersebut.”
“Baik sekali. Carlo, dengarkan. Kini aku akan berbicara sebagai Ayah
Linda. Kuharap kau dapat memahami apa yang akan kusampaikan.”
Carlo hanya mendengarkan dengan badan menyender rapat punggung kursi.
Rasanya tidak nyaman, seperti sedang dinterogasi dan siap diterkam oleh singa
lapar.
Tanpa berbasa-basi, Augusto berterus-terang kepada Carlo, dengan harapan
semoga pria lajang ini dapat memahami duduk persoalan keluarga Murri.
“Linda mewarisi darah biru. Kuharap kau dapat memahami hal itu, Carlo,”
ujar Augusto yang kemudian juga menyandarkan punggungnya di kursi, membuat
jarak diantara dirinya dari Carlo. “Aku tak bermaksud untuk menyinggung
perasaan dirimu. Kau adalah siswa sekaligus asisten dengan rekam prestasi
terbaik yang kumiliki. Namun Linda adalah putriku, dan itu tidak membuat
perbedaan apapun adanya kau ataupun tidak, ia ditakdirkan berdarah biru, dan
akan tetap melangsungkan darah biru.”
Seakan didudukkan untuk merasa bersalah, Carlo hanya sanggup menundukkan
wajah. Saat ini ia hanya ingin menghindari bertatap mata dengan Augusto. Meski
mereka saling berbeda status, namun Carlo menyadari harga dirinya sendiri. Ia
tidak mau berdebat untuk sesuatu yang telah ia sadari akhirnya.
Setelah menumpahkan pokok permasalahan ini, Augusto membiarkan Carlo seorang
diri duduk di ruangan itu dengan masih dalam keadaan kepala tertunduk.
Malam harinya Linda kembali berkunjung ke rumah sakit. Kali ini ia dapat
berjumpa sang ayah yang memakan habis makan malam yang dibawakannya. Namun
tidak untuk Carlo, ia tidak menemukan Carlo.
Satu jam ia menunggu seorang diri di bangku taman belakang. Nihil. Dua
jam. Belum juga ada tanda-tanda kedatangan Carlo. Tidak pernah sebelumnya Carlo
terlambat dalam setiap perjumpaan dengan Linda.
Linda memutuskan untuk beranjak menemui resepsionis rumah sakit, dan
mendapati bahwa Carlo telah meninggalkan rumah sakit siang tadi, tanpa memberi
pesan atau kabar apapun pada Linda sebelumnya.
Linda berjalan pulang dengan berbagai pertanyaan di benaknya. Apakah ada
masalah mendesak sampai-sampai ia tidak sempat berjumpa dengan Linda. Mungkin
memang ada sesuatu hal mendesak yang harus diselesaikan Carlo.
Esok hari pada waktu yang sama. Linda mengalami hal serupa. Namun kali
ini ia mendapatkan kabar yang lebih mengejutkan dari resepsionis, Carlo telah
berhenti bekerja di rumah sakit Bologna, dan meninggalkan kotak berisi setangkai
mawar putih dengan secarik kertas kecil berisi pesan diikatkan di tangkaiya.
Tulisan tangan Carlo. Dengan sigap Linda membaca isi pesan tersebut, “Signorina Linda Murri, aku doakan yang
terbaik untukmu. Tiada lagi Carlo Secchi. Mohon maafkan aku.”
Linda menatap tidak percaya pada resepsionis yang memberi-tahukannya berita
kepergian Carlo.
“Di mana Dokter Carlo?”
“Dokter Carlo sudah meninggalkan rumah sakit sejak pagi dengan hanya
menitipkan kotak itu.”
Terdapat perasaan pedih yang sulit diutarakan namun demikian getir. Kepergian
Carlo demikian mendadak dan mengejutkannya.
Linda hampir tidak menyadari air matanya menitik. Ia merintih kecil lalu membalik
badan, mengangkat gaunnya dan berlari menyusuri jalan malam kota Bologna menuju
rumah persewaan Carlo.
Dengan nafas tersengal-sengal, Linda mengetup pintu kediaman itu. Tanpa
balasan ataupun jawaban dari penghuninya. Linda kembali mengetuk dan memanggil
nama Carlo.
Hening.
“Secchi, apakah kau di dalam? Secchi, ini aku, Linda. Kumohon kau
berbicaralah. Keluarlah, Secchi! Kumohon!”
Sepanjang malam gadis patah hati ini seorang diri berdiri menatap
kediaman itu.
Bergeming, baik Linda maupun pintu kediaman itu.
Tidak tersedu. Tampak tegar. Namun tetap saja sepasang matanya memerah.
Perasaannya terpukul. Air mata yang telah mengering terlihat dari wajahnya.
Linda berdiri menatapi pintu kediaman persewaan itu yang tetap tidak membuka.
Sebuah malam yang panjang dan misterius.
Apa salah Linda? Mengapa Carlo mencampakkannya tanpa sepatah kata pun
ucapan selamat tinggal dari mulutnya sendiri? Mengapa ia pergi bersama dengan
hati yang telah dicurinya?
Orang-orang melintas di ruas jalan itu. Sesekali pejalan kaki yang
melintas mengenali Linda, kemudian menyapa gadis itu yang berdiri mematung.
Linda tidak membalas sapaan juga tidak menoleh membalik badannya. Gadis pucat
ini tetap berdiri terpaku memandangi kediaman sewaan Carlo.
Mengapa Carlo memperlakukannya dengan cara menyedihkan seperti ini? Linda
sungguh ingin mengetahui jawabannya. Ia tulus mencintai. Namun tetap saja
perpisahan ini demikian menyakitkan.
Barulah keesokan harinya Linda mengetahui bahwa Carlo telah meninggalkan
Kota Bologna. Cinta pertamanya ini telah membuat bekas luka dalam pada hati
Linda.
6
KEBOHONGAN
Tahun berganti tahun, musim berganti musim.
Musim dingin telah berganti menjadi musim semi. Burung-burung berkicauan,
bunga-bunga liar bermekaran, tupai berlompatan keluar dari liangnya, sungai
kembali mengalir deras dengan jernihnya meski airnya masih sedingin es, dan
pancaran sinar matahari menyeruak lembut menyapu lorong-lorong pemukiman
Bologna yang disesaki rumah-rumah tinggi yang menjulang tegak demikian kokoh
dengan tembok dari susunan batu-batu besarnya yang angkuh.
Kehidupan telah kembali menunjukkan keriuhannya. Anak-anak berlarian dan
bercanda ria. Para dewasa sibuk dengan bisnis mereka. Para pelintas
hilir-mudik. Para penggosip sibuk dengan gosip mereka di kedai-kedai yang kian
menjamur. Pasar-pasar menjadi pusat keramaian dan keriuhan. Bengkel-bengkel
seni melahirkan berbagai seniman berbakat.
Kemajuan industri telah banyak mengubah wajah Italia maupun Bologna
menjadi kota modern, pendidikan, dan pusat fashion dunia. Arus masyarakat
menjadikan Bologna menjadi salah satu pusat wisata dunia. Kafe-kafe menjamur.
Kehidupan tidak pernah bergerak secepat itu sebelumnya. Meski berbagai kastil
dan menara tinggi kuno tetap dijaga kelestariannya sebagai cagar budaya. Wajah
arsitektur kota Bologna tetap dibiarkan eksotik dengan dinding batu besar,
ornamen-ornamen seni, dan jalan-jalan yang lebar dan tertata apik diperkaya
oleh deretan patung karya para seniman di setiap sudutnya.
Perubahan-perubahan itu turut membawa pengaruh terhadap hubungan
masyarakat tradisional Bologna. Namun kehidupan tetap terus berjalan. Augusto
Murri kian sibuk membenamkan diri dengan kariernya, sementara sang istri,
Giannina Murri menjadi simpatisan dalam berbagai kegiatan keagamaan lokal
setempat dan menjadi donatur berbagai kegiatan amal.
Beberapa perubahan terjadi pada diri sang putri, Linda Murri, gadis
jenaka yang kini menjelma pemuram. Hari tak sama lagi seperti dahulu. Musim
dapat berubah, seseorang pun dapat berubah.
Namun satu hal yang tidak pernah berubah dari dirinya sejak kepergian
Carlo secara mendadak, hatinya telah hilang bersama seorang kekasih yang tidak
pernah lagi mendapat kabar keberadaannya.
Gadis putus cinta ini masih kerap mengunjungi taman belakang rumah sakit,
menunggu, dan menunggu. Kemudian berjalan pulang dengan langkah perlahan, berharap
esok sosok Carlo Secchi akan kembali menjumpainya di taman tersebut. Terkadang
orang-orang akan melihat Linda menjadi sosok yang sering berjalan dengan wajah
melamun.
Umur Linda kini tak lagi bisa disebut muda untuk ukuran seorang gadis
seperti dirinya. Ia telah cukup umur untuk menikah. Tuan dan Madam Murri tidak
bisa membiarkan putrinya bermuram durja sepanjang tahun.
Dalam suatu festival tahun baru yang biasa dihadiri keluarga Murri
sebagai warga kehormatan kota, Augusto berbicara pada sang istri, Giannina.
Sembari menikmati pesta kembang-api diiringi musik orkestra, Augusto berkata
dengan nada rendah:
“Mungkin adalah suatu kekeliruan memisahkan Linda dan Carlo.”
Sang istri tak segera menjawab. Mereka sedang memikirkan hal itu, dengan
hati-hati Giannina menimpali, “Kupikir juga demikian, Augusto. Aku mencemaskan
Linda. Kau tahu, sudah banyak pria melamar baru-baru ini, namun Linda bersikap
dingin. Kau tahu apa maksud sikap diam Linda. Ia mewarisi sifat keras kepala
kita.”
“Aku tahu,” timpal Augusto. “Apa yang dapat kita lakukan sekarang?”
“Apa kau pernah mendapat berita tentang Carlo?”
Kini seorang seniman tampil diatas panggung melantunkan puisi yang
menggelora di hadapan para hadirin. Orang Italia memang punya bakat alamiah
untuk mengeluarkan suara bernada tinggi yang memekakkan telinga.
“Entahlah, kami hilang kontak sejak terakhir kali aku memintanya menjauhi
Linda dari Bologna.”
“Carlo sudah pergi, tampaknya tak mungkin kembali. Augusto, aku memiliki
pendapat. Bagaimana jika kau sebarkan rumor bahwa Carlo telah pergi bersama
seorang perawat magang dari tempatmu, sementara aku akan mengatakan pada Linda
betapa ia telah dibodohi oleh pria itu.”
Augusto menunjukkan wajah terkejut akan ide sang istri, namun setelah
diam sejenak mencernanya, Augusto toh, mengikuti juga saran sang isteri. Untuk
sementara biarlah mereka berdua menikmati pertunjukkan festifal Bologna yang
penuh warna.
Rumor tersebut kemudian menyebar dengan cepat, dan sampai juga di telinga
Linda.
Carlo Secchi adalah cinta pertamanya. Ia merasa mengenal benar karakter
Carlo yang penuh percaya diri namun lembut dan polos. Ia takkan percaya begitu
saja dengan kabar angin yang dibiarkannya berlalu seiring hembusan angin. Linda
cukup keras kepala untuk ukuran seorang gadis.
Dalam suatu makan malam, yang kebetulan suami-istri Murri dapat berkumpul
bersama di Manor Murri untuk santap malam bersama sang putri, Giannina
melontarkan kata-kata yang membuat nafsu makan Linda menyurut.
Sang ibunda tahu akan karakter serta reaksi yang akan terjadi pada Linda,
sehingga kata-kata itu baru diluncurkannya ketika Linda hampir menyantap habis hidangan
di piringnya.
Augusto menyantap makan malamnya dengan lahap sementara Giannina sibuk berceloteh
mengenai kegiatannya siang tadi di pertemuan amal yang ia selenggarakan.
Sementara Linda makan tanpa bersuara.
Sang ayah menyendokkan sup untuk putrinya. “Kau makanlah lebih banyak,
agar badanmu tidak menjadi kurus.”
“Terimakasih, Ayah. Ayah dan Ibu juga makanlah yang cukup.”
“Sudah kau dapat kabar mengenai si anak badung, adikmu itu?”
Linda menggeleng. “Aku tak tahu pesan yang kukirim sampai padanya atau
tidak. Tapi kurasa ia baik-baik saja. Bulan lalu ia mengatakan sedang
berpindah-pindah tempat menjadi teknisi lepas.”
“Rupanya ia kurang keras kudidik,” timpal Giannina.
“Ia seorang pria, Giannina,” ujar Augusto. “Biarkan ia tumbuh menjadi
pria dewasa. Apa kau ingin ia tumbuh menjadi pria pesolek yang hanya terpekur
di rumah?”
“Oh ya, pria bernama Carlo itu, Augusto, telah mempermainkan hati putri
kita. Sebenarnya ini tak ingin ku-ungkapkan. Setahun lalu aku mendengar ibu-ibu
kelompok penggalang dana kami yang pernah mengenal Carlo, mengatakan hal yang
aku sendiri tidak percaya. Mereka mengatakan dengan demikian serius, bahwa pria
bernama Carlo tersebut telah mengejek putri kita sebagai anak bodoh yang
mengejar-ngejar dia. Putri kita mengejar-ngejar pria penipu itu? Yang benar
saja. Tapi, apakah mungkin Carlo telah mengambil keuntungan dari sifat lugu
putri kita?”
Dengan berlagak tetap menikmati hidangan sup kentang, Augusto berkomentar
ringan, “Aku juga sudah lama mengetahui kabar itu. Ia mencoba mencari ketenaran
dengan mencoba menaikkan kelas sosial dirinya. Aku tak tahu apa motif
sebenarnya dari pria murid didikku satu itu, yang jelas kini tiada kabar lagi tentang
Carlo. Sementara kehidupan di rumah sakit harus terus berlanjut, dengan atau
tanpa pria itu.”
Linda tak mengucapkan sepatah kata pun. Ia tidak meledak-ledak, tidak
menggerutu, tidak mengajukan komplain ataupun pembelaan diri. Sikap diam
membisunya telah dikenal benar oleh orang tuanya sebagai suatu ekspresi tidak
setuju.
Linda mampu mengontrol emosinya dengan baik. Tahun-tahun yang berjalan
belakangan ini telah mengajarkan dirinya untuk bersabar dan tegar.
Namun Linda adalah gadis cerdas yang cukup rasional. Apakah artinya seorang
Carlo sehingga memenjara pikiran dan jiwanya untuk seumur hayatnya? Carlo telah
melupakan dirinya, dan inilah saatnya untuk membuka lembaran baru.
Linda memikirkan masak-masak untuk menghapus memori kenangan mengenai
Carlo. Kebetulan disaat bersamaan, kabar mengenai kecantikan Linda sang bunga
desa, menyebar hingga kota tetangga, sampai akhirnya tiba pada keluarga
bangsawan Bonmartini.
Graf Francesco Bonmartini, seorang pria sepuluh tahun lebih tua dari
Linda, bertubuh besar dan tambun, yang senantiasa tampil eksentrik dan penuh
percaya diri. Tubuhnya terawat dengan baik, seorang pria pesolek meski jelas
gagal menjaga berat badannya.
Graf masihlah seorang lajang yang sedang mengincar gadis muda untuk
dipinangnya. Ia seorang pemilih, dan sekali telah memilih, sukar baginya
melepaskan apa yang sudah dikehendakinya.
Jadilah, Graf mengirim utusan untuk menyampaikan kehendaknya untuk
meminang putri keluarga Murri. Pria ini sebetulnya tidak secerdas penampilan
necisnya. Namun dengan latar belakang kelas sosialnya sebagai bangsawan kelas
atas, ia dapat menjalin relasi dengan politikus maupun para borjuis.
Kekayaannya bersumber dari tanah-tanah perkebunan anggur dan peternakan di
daerah selatan Italia yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Bonmartini
memiliki silsilah nama keluarga terpandang yang dikenal sebagai bangsawan tuan
tanah partikelir sejak berabad-abad lampau.
Satu kelebihan dari Graf, ia sangat percaya diri bahwa penampilan dirinya
mampu mempesona gadis manapun, seperti yang selama ini terjadi, meski semua
orang tahu bahwa itu terjadi bukan karena penampilan postur tubuhnya.
Dengan penuh keyakinan akan mampu memberi kesan mendalam bagi gadis yang
dipinangnya, Graf mengirim berbagai hadiah beserta figura foto lukisan tangan
seniman sewaan, yang membuat sosok seorang Graf Bonmartini tampak berwibawa.
Seorang laki-laki sejati bertubuh tegap perkasa.
Bukankah lukisan memang dibuat untuk memberikan ilustrasi sosok yang
lebih ideal dan lebih sempurna? Tentu dengan perut dalam lukisan yang dibuat
sedatar mungkin.
Utusan kembali dengan tidak membawa hasil. Apalah artinya seorang Graf
bila lusinan pria sebelumnya telah gagal meminang gadis itu.
Graf pada mulanya mencak-mencak, temperamennya persis seperti anak
perengek. “Dia pikir siapa dirinya berani menolak Graf Francesco Bonmartini
yang berwibawa ini! Sungguh sombong dan bodoh! Bah, dirinya pikir hanya ia
seorang gadis di muka bumi ini? Kurang apa dari pria tampan seperti diriku ini!?”
Tidak habis akal, Graf menuliskan sendiri surat bagi Linda Murri.
Dilanjutkan dengan surat berantai berikutnya karena tiada balasan apapun dari
Linda. Graf yang memaknai sikap tak acuh Linda, mencoba sekeras mungkin untuk
menurunkan sedikit kesombongan dirinya.
Dengan pilihan tutur kata manis Graf menyusun kata-kata dalam suratnya
yang kelima:
“Rispetto (dengan hormat), Signorina Gravin Linda Murri. Saya harap
Anda, Tuan Augusto Murri, serta Madame Giannina Murri, senantiasa sehat dan
penuh sukacita. Izinkan saya untuk kembali memperkenalkan diri. Graf Francesco
Bonmartini, Signorina boleh
memanggilku dengan nama sebutan Graf bila kau menghendaki. Tentunyalah suatu
kehormatan dapat menjalin jodoh yang baik dengan Signorina Linda, jika Anda tidak berkeberatan saya menyebutkan
demikian. Sudah saatnya bagi saya untuk membangun rumah tangga, dan untuk itu
pilihan saya telah jatuh pada pesona diri Anda, Signorina Linda. Harus saya akui, Signorina Linda, saya tergila-gila pada diri Anda meski kita belum
pernah berkesempatan berkenalan secara langsung. Pada suatu parade musim panas
kemarin, kebetulan saya pernah sekali melihat Anda dari kejauhan kerumunan
penonton parade. Namun itu telah cukup membuat hatiku senang. Terdengar
janggal, namun inilah keputusan saya yang dengan penuh harap dapat Anda
kabulkan. Dapat kusebutkan ini sebagai cinta pada pandangan pertama. Dengan sangat
berharap, surat balasan dari Signorina
Gravin Linda Murri akan sangat berarti bagi pria sepertiku. Salam hangat. Graf
Francesco Bonmartini.”
Graf sudah hampir memupuskan harapannya ketika kemudian secara tiba-tiba
kediamannya dikunjungi seorang tamu yang tak terduga, seorang gadis yang telah
setengah mati diincarnya, Linda Murri.
Linda mengenakan gaun kuning, gaun sederhana tersebut tidak mengurangi
pesona kecantikan sosok yang mengenakannya.
Ketika pintu diketuk dan seorang pelayan yang membukakan pintu menanyakan
apa keperluan kedatangan sang tamu, Linda menyebutkan nama dirinya, dan
menyatakan tujuannya datang untuk bertemu sang tuan muda, Tuan Graf Bonmartini.
Manor itu sangat besar, dipenuhi berbagai ornamen dari negeri-negeri
eksotik tempat Graf sering berkunjung ke luar negeri. Meski menawarkan aneka
kemewahan, namun tidak mampu membuat terkesan dirinya yang memang terbiasa
hidup bersahaja.
Linda setelah menunggu beberapa saat di ruang tamu, pada akhirnya
berjumpa dengan Graf, yang menyambutnya dengan sopan meski nada suara sombong
dirinya tetap tidak dapat dhilangkan.
Dengan sopan dan lembut Linda memberi hormat dan memperkenalkan dirinya.
Kini Graf benar-benar mabuk kepayang oleh bidadari hidup di hadapannya ini.
Graf mengajak Linda berjalan menyusuri koridor-koridor manor yang lebih
menyerupai istana mungil penuh benda-benda koleksi yang dapat dijadikan museum.
Diceritakannya berbagai tempat destinasi yang pernah dikunjunginya dalam
memperoleh ornamen-ornamen hiasan dinding yang memenuhi kediaman itu, betapa ia
menjalin relasi dengan berbagai kalangan aristokrat di negeri itu, mengenai
kebun-kebun anggur dan peternakan yang dimiliki keluarga besar Bonmartini,
namun sama sekali gagal membuat gadis berambut coklat keemasan tersanggul itu
terkesan dengan berita-cerita hebatnya.
Sikap ayu Linda memiliki kekuatan mistis yang memikat Graf. Linda menolak
permintaan Graf yang mengajaknya untuk santap sore bersama setelah Graf
memperkenalkan anggota keluarga besarnya di manor tersebut.
“Tuan Graf Bonmartini,” akhirnya Linda mengucapkan kata-kata, suara yang
menyihir Graf yang termabuk oleh nada selembut sutera dan tatapan murni Linda.
Linda memiliki watak tulus yang memikat siapa pun yang mengenalnya. “Kedatangan
saya hanya untuk menyampaikan pada Anda, tanpa mengurangi rasa hormat saya,
saya berterimakasih atas segenap perhatian dan kebaikan hati Anda.”
Linda kembali diam sejenak, namun Graf bergeming dan menunggu kelanjutan
kata-kata Linda yang bagaikan dawai senar surgawi di telinganya. Dewi yang
turun dari surga ini tidak boleh terlepas, tekadnya membatin. Jika perlu
sayapnya akan ia putuskan agar bidadari ini tidak dapat kembali ke kahyangan.
“Saya pernah mencintai seorang pria,” Linda akhirya melanjutkan secara
serius, “yang hingga kini belum sepenuhnya dapat saya lupakan.”
Kembali hening. Linda menunggu untuk melihat reaksi sang tuan rumah.
Namun air wajah Graf tidak menampakkan perubahan berarti.
Aih, pikir Graf, itu pastilah hanya cinta monyet dikala kanak-kanak. Apa
yang harus diambil pusing? Yang pasti dewi dari kahyangan ini telah berada di
kediamannya, harus ditaklukkan, dan sudah diputuskan secara bulat, ialah
pilihan tepat untuk menjadi Madame Graf Bonmartini.
Setelah berbasa-basi seringkas mungkin oleh Linda, dirinya mohon pamit.
Graf memaksa Linda agar berkenan diantarkan oleh dirinya pulang. Namun watak
Linda yang sekeras batu, setelah menolak berulang-kali sesopan mungkin,
berjalan dengan langkah cepat keluar meninggalkan manor Bonmartini.
Graf menyandar pada kusen pintu, dengan tersenyum puas memandangi gadis
itu berjalan pergi hingga tidak lagi nampak di tengah embun sore. Tidak ada
bidikan yang pernah lolos darinya.
“Graf Francesco siap beraksi!” serunya ketika berbalik badan dan menutup
pintu dengan kencang.
7
PERNIKAHAN
Tahun 1891.
Jauh di kota lain, Carlo Secchi tampak sedang menulis secarik surat di bawah
penerangan cahaya bulan yang menyinari masuk ruangan itu dari balik kaca
jendela. Surat itu entah surat yang sudah kesekian ratus kali ditulisnya, untuk
kekasihnya nan jauh di sana, Gravin Linda yang dikasihinya.
Untuk kesekian ratus kalinya juga, surat yang telah ditulisnya dengan
penuh perasaan tersebut dimasukkan dalam koper yang berisi surat-surat untuk
Linda yang tidak pernah diposkannya.
Ia merasa bahwa dengan menulis mampu mengisi kekosongan hatinya. Ia
merasa begitu bersalah dan ada suatu rasa penyesalan yang menyesakkan. Ingin
rasanya ia kembali tampil dan hadir di hadapan Linda, namun mengingat
pernyataan terakhir yang disampaikan ayah Linda bertahun-tahun lampau, membuat Carlo
enggan untuk kembali ke Bologna.
Kini Carlo kerap berpraktik sebagai dokter di berbagai rumah sakit besar
pemerintah, terkadang menjadi dokter tamu di beberapa kota. Perlahan namun
pasti, ia akan menyamai bahkan melampaui kemasyuran Prof. Augusto Murri yang
pernah menjadi mentornya selama di Bologna.
Akan tetapi tetap saja, pria itu masih menyimpan relung kosong di lubuk hatinya.
Kini ia memiliki karir yang sukses, namun jika dapat memilih Linda, ia akan
rela meninggalkan segalanya. Carlo tidak mencoba menenggelamkan diri pada judi
ataupun alkohol, namun pada karir, yang ternyata tidak juga mampu melupakan
gadis Bologna satu itu.
Sementara itu di Bologna. Linda menghendaki resepsi pernikahan yang
sederhana, namun Graf bersikeras mengadakan resepsi yang meriah dan megah.
Setiap wanita di kotanya menikah ketika umurnya telah matang. Linda hanya
mengikuti ritual kehidupan ini, sebagaimana selalu didesak oleh kedua
orangtuanya. Graf bersuka cita telah mendapatkan mangsa buruannya.
Setelah Linda melangsungkan pernikahan bersama Graf, mereka pindah dan
berumah tangga di sebuah apartemen yang lebih kecil, namun masih tetap di Kota
Bologna, kota yang menjadi kampung halaman Linda.
Tak lama kemudian lahirlah dua orang anak hasil dari perkawinan tersebut,
seorang anak perempuan bernama Maria, dan seorang anak laki-laki bernama
Ninetto. Kedua buah hati inilah yang kemudian mengisi hati Linda, dimana ia
dapat mencurahkan welas asihnya.
Linda Murri Bonmartini sibuk mengurus rumah dan anak-anak, sementara Graf
menyibukkan diri untuk urusan-urusan yang tidak pernah diketahui Linda. Graf
memberi istrinya itu segala kemewahan yang tidak pernah diminta Linda.
Perkawinan itu tampaknya bahagia dan sempurna, menurut penglihatan orang-orang
di luar rumah tangga ini. Tapi sebenarnya tidaklah demikian.
Graf Francesco Bonmartini berbadan gempal nan besar. Berat badannya
mencapai seratus dua puluh lima kilogram. Semangat dan kegembiraan hidupnya
meluap-luap, dapat dikatakan agak kekanakan, gemar bertualang, namun jauh lebih
dangkal dan kurang terpelajar ketimbang istrinya yang mulai sakit-sakitan,
perasa, dan kian dalam dengan sifat dingin membatunya.
Tidak ada masalah dengan anak-anak. Linda sangat mencintai anak-anaknya
dengan sepenuh hati, dan anak-anak itu pun sangat dekat dengan sang ibunda.
Linda mengurus rumah tangga itu dengan telaten, memasak makanan sendiri yang
acapkali tidak dihadiri oleh sang suami saat makan malam dan baru akan kembali
tengah malam dalam keadaan mabuk sempuyungan, terlebih disertai sikap tak
karuan.
“Graf, kurangi kebiasaan meminum alkohol,” ucap Linda membantunya
menyadarkan diri dengan handuk basah hangat.
“Kau hanya seorang wanita, dan cukup jadilah istri yang melayani suami
bukan bertugas menceramahi suami!”
Belum lama mereka menjadi suami-istri, Graf telah mengeluhkan perihal
sifat dan watak istrinya. Kepada kawan-kawannya ia suka mengadu: “Istriku tak
suka kepada cinta badani. Jika dipeluk ia seperti orang mati. Ia lebih mirip
koleksi porselen yang bisu seperti batu.”
Graf sebetulnya mencintai Linda, namun dirinya frustasi karena gagal
mengisi hati Linda. Karena egonya, ia merasa terluka dan terhina diperlakukan
layaknya suami beristerikan gadis berhati beku dan diam sedingin es.
Meski sebetulnya Linda istri yang baik, selalu melaksanakan semua tanggung-jawabnya,
tidak pernah mengeluh, tidak merong-rong, tidak menuntut, dan sangat pendiam
terhadap Graf. Mungkin juga justru karena itulah ia merasa tidak dihargai
sebagai seorang suami. Sifat kekanakan Graf membuatnya banyak mengambil
tindakan bodoh.
Leluhur-leluhur pendahulu kita mengatakan, pernikahan tak selalu harus
didahului oleh percintaan antara calon suami-istri. Banyak contoh suami-istri
yang menikah karena dijodohkan, dan dapat berlangsung secara harmonis dan
langgeng hingga akhir hayat. Namun pepatah tersebut tampaknya tidak berlaku
dalam rumah tangga Linda dan Graf.
Maka Graf yang bergelora itu seperti mendapat alasan untuk mencari
hiburan kepada wanita lain dari kalangan terhormat yang mudah menanggapi dan
digauli, namun tidak terkecuali kepada wanita yang tak terhormat.
Tak hanya sampai di situ, bangsawan kaya raya ini ternyata berubah
menjadi demikian kikir pada Linda. Ia selalu menyalahkan Linda, bahwa
kekurang-hangatannya telah menyebabkannya harus mencari kehangatan di tempat
lain, dan itu berarti pengeluaran sejumlah “biaya” untuk pelayanan yang tidak
didapatkannya dari Linda.
Sikap terus-terang Graf yang kasar tak mengenal kebijaksanaan sama
sekali, tidak juga setelah kelahiran Maria dan Ninetto. Justru sifat kekanakan
Graf kian menjadi-jadi.
Bukan Linda yang berhasil dibuat cemburu akan kelakuan Graf, justru Graf
yang menjadi luar biasa tersulut cemburu buta oleh sifat dingin Linda di tempat
tidur bila sedang bersamanya. Linda tak pernah menolak hubungan badaniah ketika
Graf menghendaki, namun Linda juga tak pernah menunjukkan ekspresi apapun.
Seperti bercumbu mayat hidup, pikir Graf, sang suami.
Jika ada yang dapat membuat Linda menunjukkan ekspresi marah pada diri
Graf, itulah yang tepatnya pasti akan dilakukan Graf. Namun kekerasan hati
Linda terbukti hanya membuat Graf kian tenggelam dalam obsesinya sendiri
menguasai kedalaman relung hati Linda yang tidak akan pernah terjamah olehnya.
Dengan riang Graf menceritakan pada Linda ketika malam itu dirinya
menyetubuhi istrinya, pengalaman-pengalaman yang menurutnya hebat bersama
dengan perempuan lain. Namun Linda tetap dingin tiada ekspresi.
Graf mendapatkan tubuh Linda, namun ia terbukti gagal mendapat hati Linda
karena sikap kekanakan yang ditunjukkan oleh sang suami, bocah besar manja yang
belum juga dewasa.
Tak lama kemudian Graf seakan mendapat inspirasi yang jatuh dari langit.
Ia akan mencoba berbuat mesum di rumahnya itu sendiri saat Linda sedang berada
di rumah!
Suatu ketika tamu Graf datang berkunjung, dan Graf menyampaikan minatnya
agar dicarikan seorang “guru wanita” untuk menemaninya dan yang haruslah tahu
bagaimana cara “menyenangkan laki-laki”.
Tamu tersebut lantas menawarkan seorang gadis yang dipujinya sebagai
sosok tepat untuk memuaskan kehausan tersebut.
“Ia tahu bahasa Prancis, Inggris, dan Jerman, serta dapat bermain piano.
Pokoknya mempunyai semua kepandaian untuk menjadi guru anak-anak Tuan. Tapi ia
juga mempunyai potongan tubuh dan wajah yang sempurna. Dan sejauh ini ia hanya
bergaul dengan beberapa orang pria. Agaknya ia cocok untuk menempati jabatan
yang hendak Tuanku Yang Mulia peruntukkan baginya.”
Sengaja diperdengarkan perbincangan itu tatkala Linda sedang membersihkan
dapur.
Linda tak berkomentar apapun. Tidak juga ketika “guru bahasa dan piano”
itu benar-benar muncul dan diajaknya bermesraan di dalam rumah sementara Linda memberikan
respons diam dengan mengajak anak-anak untuk berkunjung ke perpustakaan kota.
Graf menjadi demikian penuh amarah sejak saat itu, serta menjadi emosional yang
terkadang bersikap kasar.
Linda tak pernah mengeluhkan tentang suaminya kepada siapa pun, kecuali
kepada orang-tuanya ketika Linda berkunjung ke Manor Murri. Perempuan pendiam
ini mencurahkan seluruh perhatian serta cintanya kepada Maria dan Ninetto,
anak-anak yang ia puja-puja dan anak-anak yang juga memuja-muja sang ibunda.
Pada suatu musim gugur, keponakan Graf yang bernama Mainardi, seorang
pria yang sopan, berumur belum genap dua puluh tahun, datang berkunjung.
Terjadi percakapan antara Graf dan keponakannya itu yang tak sengaja tertangkap
oleh telinga Linda yang sedang berbenah di ruang sebelah.
“Paman, ayah sedang mengalami kesulitan. Setelah badai menghempas kapal ekspedisi
kami, kini perusahaan logistik kami terancam gulung tikar. Sehingga saya datang
berkunjung mewakili ayah untuk menanyakan apakah Paman Francesco bersedia untuk
meminjamkan kami sejumlah kredit untuk membeli kapal-kapal baru atau setidaknya
untuk mereparasi kapal-kapal kami untuk sementara agar dapat tetap beroperasi.”
“Aku tak akan berbasa-basi, Mainardi. Jadi dengarkan, perkebunan anggur belakangan
ini sedang diserang hama sehingga gagal panen. Bukan perkara mudah untuk
mencari pinjaman dana lunak sekarang ini.”
Linda cukup mengenal Mainardi. Keponakan Graf tersebut memiliki perangai
yang jauh berbeda dari tabiat Graf. Mainardi memiliki satu kemiripan dengan
Linda, ia seorang yang bersahaja, mandiri, dan ramah.
Linda datang menyuguhkan secangkir teh untuk Mainardi sebelum kemudian
kembali ke ruangannya. Mainardi mencoba sebaik mungkin meyakinkan Graf agar berkenan
meminjamkan sejumlah dana, meski bukan tabiat Mainardi untuk banyak berbicara.
Sekitar satu minggu sebelumnya ayah Mainardi secara pribadi datang
mengunjungi Graf guna meminta bantuan pinjaman, namun mendapati dirinya pulang
tanpa hasil.
“Kami akan mengembalikan dana pinjaman secepatnya.”
“Kau dan ayahmu memang sama saja!” gumam Graf sebelum dirinya beranjak
pergi ke ruangan lain meninggalkan Mainardi yang masih berharap-harap cemas.
Linda amat mengenal karakter Graf. Ia dapat sangat kikir bila menyangkut
keuangan, bahkan terhadap keluarga besarnya sendiri.
Linda dengan sigap menemui Mainardi, kemudian dengan nada rendah Linda
berbisik, “Mainardi, kotak ini berisi perhiasan yang mungkin bisa membantu
Ayahmu. Jarang kugunakan, jadi jangan sungkan kau terima.”
“Tapi, ...”
“Tak perlu sungkan, ya.”
Linda secara cekatan membungkus kotak perhiasan itu bersama kotak makanan
dalam satu buntelan dan menyerahkannya kepada Mainardi sebelum Graf kembali ke
ruangan tamu dengan suara langkahnya yang bongsor berisik.
Setelah kembali berbasa-basi, Mainardi mohon pamit. Ia meminta izin Graf
untuk mengucapkan salam pamit pada Linda di dapur.
Ketika menjumpai Linda di daput, Mainardi mengucapkan terimakasih atas
ketulusan Linda dan berjanji tidak akan melupakan kebaikan hatinya.
Namun Linda yang tenang itu hanya membalas, “Tidak masalah Mainardi,
lagipula aku tak membutuhkan perhiasan itu. Ayahmu lebih memerlukannya.
Berhati-hati dalam perjalanan pulang dan salam untuk orang-tuamu.”
Setelah memberi hormat, Mainardi pun pamit. Digenggamnya bungkusan itu di
tangannya secara hati-hati dan berjalan pergi berbaur memasuki kerumunan Kota
Bologna yang padat dari gedung-gedung dan lalu-lalang pengguna jalan.
Mainardi sebelumnya agak sungkan menanyakan mengapa istri pamannya
tersebut memiliki banyak memar bekas luka lebam di pipi serta pelipis matanya.
Namun Linda selalu menjawab, kepada siapapun yang menanyakan hal tersebut
kepadanya, “Hanya akibat terjatuh tidak disengaja.”
Sekalipun ia mengalami kesukaran ketika melahirkan Ninetto, dan kendati
badannya lemah, ia menyusui sendiri putranya itu. Namun demikian sudah terang
ia menderita tubuh-jiwa-serta batinnya. Penderitaan yang luar biasa, tak
berkesudahan dan tiada habisnya.
Kini, rasa penghargaan Linda terhadap suaminya hilang sama sekali. Linda
menjelma istri yang sakit-sakitan karena tekanan mental dan kurangnya
perawatan. Graf merasa perlu menyiksa istrinya dengan mendiamkan sakit istrinya
menuju kronik, dengan harapan agar istrinya memelas dan memohon kepada dirinya.
Namun siapa yang mampu mengalahkan sifat keras hati diri istrinya. Graf
karena sifat arogannya, berpikir mampu menaklukkan apapun yang dikehendakinya
dengan status sosialnya, dan selalu membohongi dirinya sendiri akan berhasil
menguasai hati dan pikiran Linda.
Setidaknya, bila tak mampu mendapat cinta Linda sang isteri, ia dapat
menarik perhatian Linda dengan membuatnya membenci diri suaminya. Inilah cara
membalas dendam seorang suami, sejak zaman prasejarah hingga zaman modern. Otak
limbik peninggalan evolusi masih menyisakan fungsi otak primitif itu dalam otak
setiap spesies makhluk bernama homo sapiens.
Satu hal yang membuat Graf kian terpuruk secara emosi. Ia selalu fokus
pada kekurangan emosi Linda, yang dipandangnya sebagai kelemahan istrinya. Ia
tidak memandang berbagai sifat baik istrinya. Ia begitu terobsesi pada
“kelemahan” istrinya, sementara disaat bersamaan tidak mampu untuk menghargai
sifat baik-sifat baik istrinya.
Setelah Linda terserang tifus, menyusul radang paru-paru diidapnya.
Secara maraton berbagai penyakit mulai menyerang wanita ini. Setelah radang
paru-paru, menyusul kolik ginjal yang menahun. Namun tidak juga mampu membuat
sang suami berpikiran dewasa. Tiada sedikit pun empati ditunjukkan oleh Graf
terhadap Linda.
Kini Graf yang terobsesi, mendapat kepuasan baru dengan melihat istrinya
tersiksa.
Dengan tabungannya yang terbatas, Linda telah mencoba mencari pengobatan.
Para dokter yang menangani pasien bernama Linda ini, melihat bahwa penderitaan
batinnyalah yang menjadi penyebab penderitaan jasmaninya.
Daerah distrik tempat Linda hidup adalah daerah wilayah dari Kota Bologna
yang kecil, dimana rumor dan gosip sekecil apapun akan tersebar demikian cepat,
tak terkecuali sang dokter yang menangani Linda yang juga mengetahui kabar
mengenai kehidupan di dalam unit apartemen kediaman Graf Bonmartini di kota
mereka itu.
Dokter-dokter Linda berulang-kali memberi saran kepadanya, agar dirinya
mengambil tindakan segera untuk bercerai dengan Graf Francesco.
Linda tak pernah mengeluh ataupun menyampaikan kabar penderitaan dirinya
kepada orang lain, namun semua warga setempat tahu kelakuan seperti apa Graf
selaku seorang suami lalim terhadap istrinya.
Namun perceraian tersebut tak pernah terjadi, karena Graf menuntut hak
asuh anak-anaknya, sementara Linda tak dapat membiarkan Maria dan Ninetto
dirawat oleh Graf yang pasti akan ditelantarkan oleh ayah mereka.
Titik nadir sampai pada suatu hari ketika putra bungsunya, Ninetto, pada
malam hari terbaring di tempat tidur karena sakit dimana Linda sendiri telah
kehabisan tenaga sama sekali.
Alih-alih menunjukkan sikap kebapakan untuk mencemaskan kesehatan
Ninetto, Graf justru memaksa Linda supaya mau rujuk, setidak-tidaknya secara
lahiriah.
Linda untuk kali pertama menunjukkan sikap berontak. Ketika Graf mulai
menyeruduk Linda dan menggerayangi tubuhnya, Linda segera meronta melepaskan
dirinya.
Linda terdiam menatap tajam sang suami yang kesetanan, namun kemudian
Linda bergerak menjauh sambil tetap mengawasi Graf yang menggila.
Tanpa mau menyadari kondisi tubuh Linda yang layu dan kuyub, Graf kembali
membekap Linda, sontak Linda berteriak: “Tidak, lepaskan!”
Graf terkejut Linda kini berani menolak perlakuan Graf. Namun Linda yang
menyadari kegilaan Graf malam itu, segera meraih benda tajam apapun yang ada di
dekatnya, menggenggamnya untuk kemudian mengarahkan ujung tajam garpu itu ke
lehernya sendiri.
Nafas Linda terengah-engah. Sepasang mata Linda tetap terbelalak tanpa
berkedip mengawasi Graf.
Beruntung Graf masih memiliki akal sehat. Tak lama kemudian ia menjauh
dan meninggalkan kamar itu dengan sikap tak puas. Linda terduduk lunglai,
tampak dehidrasi. Meriang masih menyisakan panas-dingin dengan peluh membanjiri
tubuhnya.
Setelah merasa aman, dengan sigap Linda bangkit untuk mengganti air
hangat untuk bahan kompresan Ninetto yang masih terbaring tidur.
Beberapa hari kemudian, ketika kesehatan Ninetto telah pulih dan Linda
telah sedikit lebih bugar, ia mengumpulkan keberanian diri untuk menghadap Graf
yang pada pagi itu kebetulan sedang baik mood-nya.
Tanpa berbasa-basi, Linda menyatakan dirinya hendak bercerai. Dengan
ringan Graf menanggapi tanpa memalingkan wajah pada Linda yang berdiri di
sampingnya, bahwa ia akan memasukkan Ninetto ke dalam sebuah asrama yayasan dan
Maria ke dalam biara.
Linda yang paham akan ancaman itu, bersabar diri. Tak ada lagi kata-kata
yang terucap dari bibir Linda. Ia berbalik dan berjalan meninggalkan pria yang
masih sibuk mengecek pembukuan di ruang kerjanya.
“Dasar wanita sinting!” gerutu Graf sambil tetap asyik mengamati angka-angka
kemudian menuliskan sesuatu pada buku catatannya.
Graf benar, cepat atau lambat Linda, istrinya itu, akan menjadi gila oleh
berbagai perlakuan tidak manusiawi suaminya tersebut.
Maka meraka tetap hidup satu atap, makan bersama, tapi kamar tidur Linda
terhalang selamanya bagi sang suami. Lagi pula sudah sejak Juli 1898 tak ada
hubungan mesra antara suami dan istri Bonmartini ini.
Namun Graf, pria yang menggemari hubungan badani, sama sekali tak
menyukai hubungan seperti itu.
Alhasil, Graf sebagai balasannya, selalu mencoba mencari-cari kesalahan
istrinya di mana pun, kapan pun. Kesalahan mana acapkali merupakan fantasi Graf
sendiri dengan tuduhan-tuduhan kekanakannya. Perilaku tidak sehat Graf
membuatnya menjadi haus perhatian dan perlahan namun pasti mengantarkannya
kepada perilaku neurotik.
Graf tidak segan memecat orang-orang yang dekat dengan istrinya, namun
untuk hal tersebut Linda merasa tidak dapat tinggal diam. Ia akan menemui Graf
dan siap berperang secara verbal terhadap Graf. Graf menanggapi bahwa
orang-orang yang dipecatnya ialah orang-orang yang digaji Graf, sehingga dengan
itu pula Graf berhak memecat mereka sesuka yang ia mau.
Linda menuduh Graf telah berbuat lalim. Tidak terima dengan perkataan
tersebut, Graf meraih sebuah kursi dan mengangkatnya mengancam akan menimpakan
kursi itu pada Linda.
“Wanita sialan! Coba kau katakan sekali lagi!”
Namun Linda bergeming, bahkan memejamkan matanya dengan wajah menengadah,
siap untuk segala kesadisan Graf.
Graf mendengus, membuang kursi itu yang terbanting menderak di lantai, dan
kembali mendengus sebelum pergi berlalu.
Linda menutup mulutnya dengan tangan. Dirinya seakan hendak menjerit
namun tak mampu bersuara. Urat-urat di lehernya menegang. Tekanan jiwanya
demikian mengguncang. Mata Linda memerah dengan beberapa titik air mata
menetes. Linda kemudian berjongkok dan merangkul lututnya.
Menangis tanpa suara.
8
REUNI
Sore itu hujan turun cukup deras. Linda sedang mengajarkan materi
pekerjaan rumah dari sekolah Maria dan mengajarkan Ninetto cara berhitung ketika
didengarnya bunyi ketukan pada pintu apartemen.
Linda membuka selot pada pintu untuk melihat siapakah tamu yang
mengunjungi kediamannya.
“Tullio!” girang sekali dirinya melihat kedatangan sang adik.
“Hai, lama tak berjumpa.”
Hampir Linda tidak lagi mengenali sosok sang adik. Selama ini ia hanya
berkirim pesan lewat surat. Terakhir kalinya ia berjumpa Tullio saat resepsi
pernikahan Linda dan Graf.
Entah apa kegiatan Tullio belakangan kini. Dalam surat ia mengaku
berprofesi sebagai insinyur lepas dan menjelajah dari Brescia, Parma, hingga Alessandria.
Linda memekik girang dan seketika memeluk Tullio meski jas yang dikenakan
adiknya itu basah kuyub oleh hujan, sebelum kemudian menyambutnya masuk ke
dalam.
Linda tidak mengetahui bahwa Tullio, adik tersayangnya ini, pernah hijrah
ke negeri tetangga, Perancis, untuk mempelajari sejarah dan bergaul dengan kaum
revolusioner di negeri tersebut.
Tullio tidak datang hanya untuk sekadar bertandang. Dalam surat terakhir
kakaknya, Linda sempat menceritakan pada adiknya itu bagaimana dirinya tengah menyusun
rencana untuk melarikan diri bersama Maria dan Ninetto keluar dari Bologna,
membebaskan diri dari kelaliman Graf, sang suami.
Perangai dan teror dari Graf yang senantiasa merong-rong, tulis Linda dalam
suratnya yang diterima Tullio dan telah dibacanya berulang kali secara cermat,
tak baik untuk perkembangan Maria dan Ninetto. Untuk itu Tullio merasa
terpanggil untuk mencari tahu kehidupan dan alasan kakaknya menulis surat
dengan bahasa seperti itu.
“Siapa yang mengetuk pintu?” mendadak Graf muncul. Ia dan Tullio kemudian
saling berpandangan. Tak lama bagi Graf untuk berhasil mengenali wajah itu,
ternyata adik Linda.
Dengan mencoba bersikap ramah, Graf mempersilahkan Tullio masuk
beristirahat di ruang tamu. Tullio memberi hormat dan bersalaman dengan Graf.
Menyadari setelan Tullio yang kuyub, Graf meminta Tullio untuk berganti pakaian
dengan setelan miliknya yang pastilah akan kedodoran di tubuh Tullio, dan
menawarinya untuk bermalam di kediaman mereka malam itu.
Beberapa kali Linda sempat menanyakan kondisi Tullio yang penuh dengan balutan
perban di tangannya, yang menurut pengakuan Tullio adalah luka yang didapatnya
sebagai konsekuensi dari pekerjaannya selaku mekanik lepas.
Begitupun sebaliknya, ketika Tullio menanyakan pada Linda, mengapa
kakaknya ini demikian pucat kurus kering, ia hanya mendapat jawaban berupa
kepala Linda yang tertunduk muram. Tullio sudah tahu jawabannya dari surat itu,
meski Linda tak mengatakan apapun padanya secara lisan.
Ini kali pertama ia dapat berjumpa dengan Maria, gadis berperawakan elok
dengan potongan rambut pendek, kini telah berumur delapan tahun, serta adiknya
Ninetto yang berusia enam tahun. Linda memperkenalkan paman mereka. Tullio
meminta maaf baru dapat mengunjungi mereka saat ini.
Tullio tampak cepat akrab dengan Graf. Saat makan malam mereka
membicarakan banyak hal, serta kegemaran mereka yang sama perihal pertandingan
sepak-bola dan tim yang mereka dukung. Sesekali mereka membicarakan bisnis,
namun tidak soal politik.
Sore itu Linda bersama anak-anak mengajak Tullio bercengkerama di
alun-alun kota. Linda menitipkan Maria dan Ninetto yang sedang bermain-main
dengan anak-anak lainnya di taman itu sementara Linda berbelanja bahan makan
malam di toko sekitar.
Tullio kini memelihara kumis dan janggut untuk sedikit menyamarkan
wajahnya yang menjadi buronan kepolisian akibat keterlibatannya dalam aksi
pemberontakan terhadap rezim kekaisaran Italia.
Di Bologna ini, Tullio tampaknya dapat duduk tenang, karena daerah tersebut
sepertinya cukup damai dan aman.
Mendadak Tullio dikejutkan oleh Maria yang terjatuh ketika sedang bermain.
Diperhatikannya Maria mengernyit menahan sakit akibat mendapat luka di kakinya.
Namun gadis kecil itu tidak menangis ataupun merengek. Sungguh mirip
ibundanya, pikir Tullio. Ia harus cepat mengobati luka gadis cilik itu sebelum
ibunya akan menjadi panik mendapati anak gadisnya terluka.
Hingga beberapa hari kemudian Tullio tetap tinggal bersama di kediaman
Bonmartini. Adiknya itu rupanya sangat cocok dengan Graf, sang kakak ipar. Belum
juga sempat disinggung mengenai surat itu secara privat antara Tullio dan
Linda.
Pernah suatu hari Tullio bermain gulat dengan Graf di suatu tempat
peristirahatan milik Graf, dan anak-anak bersuka-cita menyaksikannya.
Hingga tiba saat Tullio akan pamit, ketika ada kesempatan baginya
berbicara empat mata dengan Linda, Tullio barulah membahas perihal isi surat terakhir
Linda padanya.
Dengan berbagai bujukan Tullio mencoba menasehati agar Linda tidak
berpikiran pendek, agar ia mau bersabar hingga anak-anak tumbuh dewasa, dan
berjanji pada kakaknya bahwa ia akan ada bila Linda membutuhkan pertolongannya.
Linda menjadi pucat sehingga Tullio berusaha menenangkan dirinya,
meyakininya bahwa semua akan berjalan baik. Meski orang tua mereka Augusto dan
Giannina Murri adalah pasangan yang cukup harmonis, namun pertengkaran
suami-istri adalah hal yang wajar dan akan dialami oleh semua pasangan, bujuk
Tullio sembari memegangi dan menepuk-nepuk tangan kakaknya guna menenangkan hati
Linda.
Sebelum pamit, Tullio bertanya pada Linda, “Apakah kau memerlukan seorang
penjahit untuk membantumu menjahit, Linda?”
Tullio menawarkan seorang yang dikatakannya sebagai kawan dekat Tullio
yang dapat dipercaya Linda untuk membantu dan menemani dirinya, yang mungkin
dapat dipekerjakan Linda di tempat itu, yakni seorang wanita bernama Rosina
Bonetti.
9
PERGOLAKAN
Kehidupan Tullio tidak kalah kompleks dengan sang kakak. Ia bukan pria
dengan tipe perengek yang senang mencari zona nyaman, meski kemapanan hidup
dapat dengan mudah dilakoni Tullio. Seorang kawan yang merupakan seorang bankir
menawarinya menjadi pengelola kantor cabang bank yang menjadi jaringannya,
namun Tullio merasa profesi di balik meja demikian kurang sesuai dengan
karakternya. Sejak muda ia dikenal memiliki jiwa ksatria dan pemberani, meski
tubuhnya tidak terlampau besar.
Tullio pun memiliki perjalanan hidup serta kisah-kisah asmaranya sendiri,
walaupun pertualangan asmaranya dalam memperlakukan wanita-wanitanya secara
lebih hormat dan lebih baik ketimbang Graf, kakak iparnya terhadap Linda.
Tullio pun suka kepada kehidupan dan penyelesaian pertikaian secara
damai. Maka ia akan memilih mengambil peran sebagai penengah antara
rumah-tangga Linda dan Graf yang sudah hampir retak sama sekali.
Merukunkan suami-istri itu kini menjadi konsen perhatiannya.
Tullio dikenal Linda sebagai pria dewasa yang penuh tanggung-jawab. Namun
yang tak diketahui Linda, kini Tullio sedang dalam masa pelarian. Adiknya itu,
putra bungsu Keluarga Murri, bangsawan menengah yang kaya dan terkemuka, telah
dengan sepenuh hati membela kaum pekerja.
Maka ketika pemberontakan pada tahun 1898 mendapati kegagalan, ia harus menemukan
dirinya harus berliang dalam persembunyian terhadap kejaran dan pencarian
polisi Italia selama berbulan-bulan.
Itulah sebabnya Tullio harus menghindari diri dari tengah masyarakat maupun
keramaian, dan putus kontak selama sekian tahun dengan keluarganya.
Setiap negara berperadaban pernah memiliki masa keemasan serta kisah
suramnya sendiri dalam sejarah. Tidak terkecuali Negeri Italia, yang juga tidak
luput dari gejolak politik dan sosial.
Regno d'Italia (Kerajaan Italia) terbentuk pada tahun 1861
hingga 1878 dibawah bekas Kerajaan Sardinia, dengan Victor Emmanuel II duduk
sebagai raja pertama dari Kerajaan Italia yang mencakupi seluruh semenanjung
Italia, dilanjutkan oleh kepemimpinan bertangan besi Raja Umberto I yang pada
akhirnya terbunuh pada tahun 1900 oleh Gaetano Bresci saat Milan dilanda
gelombang demonstrasi massa para pekerja yang kelaparan. Sebelum kemudian
tahkta diwariskan oleh Victor Emmanuel III (1900—1946), yang menjadi Raja Italia
terakhir ketika Perang Dunia Pertama meletus dan mengesahkan Fasisme bersama
Benito Mussolini sebagai perdana menterinya di kemudian hari.
Industrialisasi menjadi motor penggerak
ekonomi, sekaligus mulai memunculkan konflik antar kelas ekonomi. Gelombang
liberalisme melanda Eropa pada awal abad ke-19. Sementara itu doktrin Marxisme
sebagaimana diusung Marx dan Engels ialah re-definisi akan “negara” yang
diartikan sebagai “proletariat yang terorganisasi sebagai kelas yang berkuasa.”
Sementara itu yang menjadi semangat dibalik
revolusi kelas buruh (proletar), adalah mengangkat proletariat (kaum buruh)
menjadi kelas yang berkuasa. Sementara negara kemudian akan digunakan sebagai
alat perlawanan terhadap kaum penghisap (borjuis) yang selama ini dinilai telah
mengeksploitasi tenaga kerja.
Ideal-ideal dalam komunisme demikian menjadi
propaganda yang sangat berkesan bagi sebagian warga Eropa pada pertengahan abad
ke-19 karena mendapat relevansinya dengan kehidupan sosial-ekonomi mereka saat
itu meski peperangan antar negara terjadi dimana-mana demi perluasan teritori
kekuasaan untuk mendapat sumber daya alam dan juga pasar baru, tidak terkecuali
dengan Italia yang hingga paruh pertama abad ke-20 dengan sistem pemerintahan
feodalismenya.
Komunisme dianggap sebagai hantu yang
berkeliaran di Eropa. Gerakan anti-komunisme berpendapat bahwa golongan komunis
yang jika berkuasa akan cenderung menjadi intoleransi terhadap oposisi.
Pemerintahan komunis kerap dituduh menciptakan kelas penguasa baru, dengan
kekuasaan dan hak istimewa yang lebih besar daripada yang sebelumnya dinikmati
oleh kelas atas sebelum rezim non-komunis mereka tumbangkan. Mereka berpendapat
bahwa negara Marxis adalah bentuk lain dari penindasan.
Prinsip komunisme, ialah redistribusi faktor
produksi, sumber daya, faktor modal, serta redistribusi tanah, sehingga
dianggap sebagai penjagal kemajuan ekonomi dan perdagangan bebas. Komunisme
berpandangan, pemusatan kekayaan akan melahirkan kelas penguasa baru yang
bahkan sejajar dan bahkan menandingi otoritas negara sehingga seakan kaum
borjuis memiliki kedaulatannya sendiri dalam mengeksploitasi sumber daya dan
tenaga kerja. Saat itu terjadi, masyarakat kelas bawah menjadi demikian
bergantung pada kelas penguasa modal dan kekayaan untuk bertahan hidup,
menggadaikan tenaga mereka untuk sekadar mencapai taraf kehidupan paling
minimum.
Namun bahwa sifat manusia membutuhkan motivasi
dengan insentif pribadi, sehingga motivasi dibalik latar belakang semangat
komunisme pun kerap dipertanyakan, atau dapat disandingkan dengan kemunafikan,
bahkan kedok belaka, sebagaimana sejarah memperlihatkan kaum proletar yang
telah berhasil menjadi penguasa kemudian menjelma penguasa lalim baru yang
korup. Sebagaimana diutarakan Lord Acton: “Power tends to corrupt. Absolute
power, corrupts absolutely.”
Fasisme itu sendiri lahir sebagai reaksi
terhadap pemberontakan kaum komunis dan sosialis di Eropa, tidak terkecuali
fasisme Italia dibawah kepemimpinan Mussolini beberapa dekade kemudian.
Kini, Tullio tampaknya telah sepenuhnya
memahami hal ini, setelah beberapa waktu dalam pelariannya pasca mengalami kegagalan
dalam revolusi, membuatnya berpaling pada sosialisme, paham yang lebih moderat
dari komunisme yang digaungkan Marxisme.
Mungkin ini jugalah sebab dirinya tidak lagi
demikian alergi terhadap bangsawan kelas atas dan tuan tanah seperti Graf
Bonmartini yang kini menjadi kakak iparnya.
Pada tahun 1898 itu, kenaikan harga kebutuhan
pokok telah menjadi motor penggerak domonstrasi para pekerja kelaparan yang
sepanjang demosntrasi terjadi penjarahan terhadap toko-toko roti. Ketika arus
huru-hara mencapai kerajaan, tentara dibawah perintah Jenderal Bava-Beccaris
diperintahkan untuk menembak para demonstran, secara brutal mengenai kerumunan
itu.
Sebagai responnya, kaum anarkis kemudian
mencoba menumbangkan raja, namun gagal, menyebabkan Tullio dan rekan-rekannya
harus melarikan diri dari sekitar Milan dan menyembunyikan diri.
Selama masa persembunyiannya, dengan bantuan
seorang wanita penjahit bernama Rosina Bonetti, yang dengan antusias mendukung
dan melindungi Tullio, merawat luka-lukanya, dimana kediaman Rosina kemudian
menjadi alamat surat-menyurat Tullio dengan kerabat dan orang luar.
Rosina berbadan kecil, hidup sederhana, namun
demikian penurut dan tampak tidak memiliki ego. Gadis itu mencurahkan
perhatiannya secara total. Ia memberikan semua kebutuhan Tullio, teman pria
yang demikian dicintainya, mengorbankan diri sendiri, rela berbuat apa saja
untuknya.
Rosina yang naif, bahkan tidak mengeluarkan
uang sepeser pun bagi keperluan diri sendiri—apapun yang dilakukannya ialah
demi dan untuk Tullio semata.
Berbagai macam karakter manusia dapat kita
jumpai di tengah masyarakat pada zaman apa pun dan di negara mana pun. Namun
sifat penurut Rosina memiliki keunikan karakter tersendiri. Selalu ada saja
manusia-manusia dengan sifat yang lain dari pada yang lain.
Setelah perjumpaan kembali Linda dan Tullio di
kediaman Graf, Tullio teringat pada Rosina. Rosina sang gadis penurut yang
besar dalam mencintainya itu, dapat menjadi jiwa yang baik bagi kakak
perempuannya, kakak yang menjadi sosok yang dipujanya.
Untuk itulah Tullio kemudian melanjutkan
langkahnya dalam perjalanan menuju tempat kediaman teman wanita penurutnya itu.
Rosina dengan antusias menyambut kembali
kedatangan Tullio, dengan sigap memasakkan makanan baginya, melayaninya,
menawarkan segala sesuatu yang dibutuhkan Tullio.
Setelah Rosina dapat duduk diam berhadapan
dengan Tullio, Tullio menyampaikan suatu permintaan yang dirinya ketahui pasti
akan dipenuhi Rosina sekalipun itu permintaan untuk menyeberangi hutan
belantara ganas sekalipun.
Dengan penuh minat Rosina mendengarkan cerita
Tullio mengenai sosok Linda, sang kakak yang kini membutuhkan dukungan moril,
seseorang yang mampu merawatnya, menghiburnya, dan menjaganya.
“Kau mau aku pergi untuk menjaga dan membantu Linda?”
tanya Rosina, yang tampaknya cukup cerdas untuk menerka maksud tersirat dari
apa yang disampaikan Tullio.
Apakah Tullio sedang memanfaatkan dirinya?
Entahlah, dan biarlah. Rosina tampak gembira dapat membuat Tullio bahagia.
Rosina sendiri yang telah menawarkan diri.
Terkadang kita menemui tipe manusia yang tidak
lazim. Ada pribadi yang sensitif sehingga akan bersikap defensif ketika
seseorang mencoba memanfaatkan dirinya. Namun dapat pula kita jumpai manusia
yang senang bila dirinya dapat dimanfaatkan dan diperalat demi orang yang
disukainya.
Tullio akan senang bila Linda bahagia,
sehingga membahagiakan Linda sama artinya menyenangkan hati Rosina. Jadi apa
yang salah memintanya membantu melayani kakaknya, pikir Tullio.
Tullio yang masih belum menjawab, mendapat
isyarat bahwa Rosina takkan keberatan, tampak dari ekspresi wajah Rosina yang
selalu riang dan berseri. Membuat Tullio menjadi sedikit sungkan.
Bagaimana pun Tullio perlu bersikap tahu diri.
Telah banyak pengorbannan Rosina bagi sang Tullio-nya.
Namun Rosina dengan wajahnya yang mungil putih
bersih meski sedikit berhidung pesek itu kemudian menyampaikan, seakan bila itu
demi kepentingan Tullio, maka dirinya tak perlu mempertimbangkan apapun. “Aku
akan melayani Linda. Kapan aku bisa ke sana?”
Tullio tampak tak enak hati. “Aku tak
memaksamu, Rosina.”
“Aku tahu bahwa kau tahu aku akan senang bila
dapat membuatmu senang, Tullio.”
Rosina menumpu kepalanya dengan kedua kepalan
tangannya yang disandarkan di atas meja, memandangi Tullio yang lahap memakan
pasta saus brokoli yang dibuatkannya dengan resep khusus untuk Tullio
tersayang.
“Makanlah yang banyak, Tullio, nanti akan kumasakkan lagi untukmu.”
“Sudah cukup, kini kau layanilah dirimu sendiri.”
10
NOSTALGIA
Dimulailah perkenalan Linda dengan Rosina yang masuk ke dalam rumah
tangga Linda. Rosina gadis yang bersahaja serta cekatan, dan ia memenuhi
harapan Tullio. Ia memanjakan Linda serta anak-anak, sebaliknya ia pun
dimanjakan oleh Linda, yang selanjutnya tak punya siapa-siapa yang dapat
dipercayainya selain gadis dari kalangan kaum buruh ini.
Pada awal perkenalan, Linda sempat bertanya, “Rosina, bagaimana kau mengenal
Tullio?”
Tentu saja, Rosina sang penurut mengikuti pesan Tullio agar
menyembunyikan aktivitas Tullio yang saat itu sebagai anggota revolusioner.
“Kami berjumpa di sebuah perkampungan dekat perbatasan Siena dan Florence. Tampaknya
Tullio cukup tergila-gila mengejarku dengan seikat bunga lili,” tutur Rosina,
jelas berbohong.
Linda tersenyum, “Terdengar sangat romantis.”
Linda menikmati kemewahan yang telah lama tidak dirasakannya, perawatan
wajah dan rambut oleh Rosina yang dipelajarinya dengan cepat dari Linda,
sebelum kemudian Linda pun akan merias Rosina yang juga sangat menikmatinya.
“Aku belum pernah merias diri.”
“Kau akan tampil cantik dengan rambut keriting, Rosina. Saat ini sedang
menjadi tren di kalangan gadis-gadis.”
“Terimakasih Linda, nanti akan kuperlihatkan pada Tullio. Menurutmu dia
akan suka?”
Kini kita kembali kepada Graf, yang terampil menghadirkan teror bagi
istrinya.
Secara kreatif yang tidak sehat, Graf masih melangsungkan hobinya meneror
Linda. Linda akan dapat tenang mengurus Maria dan Ninetto hanya ketika Graf
pergi berdinas ke luar kota. Setidaknya kini Linda memiliki seorang teman baru
yang dapat berbagi beban dan cerita, meski Linda tidak dapat melibatkan Rosina
dalam percek-cokan rumah tangganya. Perkembangan psikologi putra-putrinya yang
paling dicemaskan Linda.
Kini kita putar balik waktu beberapa tahun lalu saat Ninetto baru saja
dilahirkan.
Jauh di tempat lain, Carlo Secchi merintis karir yang membuatnya cukup terkenal.
Belasan tahun berlalu sejak perpisahannya dari Linda. Carlo berpraktik sebagai
salah satu dokter di Tivoli, sebuah kota dekat Roma di belahan selatan Italia.
Carlo direncanakan akan menghadiri konferensi yang diadakan di Monza,
kota di dekat Milan, untuk itu ia akan melakukan perjalanan panjang.
Dalam perjalanan dari Tivoli, rute mengharuskan ia melewati Bologna yang
memang menjadi pusat jalur ekspedisi darat. Bologna menjadi kota yang strategis
karena menjadi jalur penghubung utama dari Roma menuju Milan, sekaligus kota
yang penuh kenangan.
Penampilan Carlo telah jauh berbeda dari waktu pertama kali dirinya ke
Bologna. Dahulu ia hanya seorang pemuda miskin, kini setelan jasnya berkelas
dan kehidupannya telah mapan. Jenggot tipisnya tercukur rapih. Tidak ada lagi
jaket yang lusuh. Sepatu pantofelnya selalu tersemir mengkilat. Kini ia menjadi
dirinya sendiri.
Carlo memutuskan untuk menyempatkan diri berkunjung sesaat di Bologna,
dan dengan berjalan kaki ia menyinggahi beberapa tempat di kota berseni itu,
tempat yang telah dikenal baik olehnya.
Sekadar nostalgia, pikirnya. Akhirnya ia tergoda juga untuk memberanikan
diri bertandang ke manor keluarga Murri. Carlo telah menjadi dokter ternama,
pastilah perlakuan Prof. Augusto Murri tidak lagi akan memandang rendah
dirinya. Bagaimana pun ia masih memiliki rasa hormat terhadap mentornya
tersebut.
Carlo sangat penasaran akan kabar Linda. Ia dapat merasakan jantungnya
berdebar kencang saat memikirkan Linda. Mungkinkah Linda masih berada di
Bologna? Seperti apa ia sekarang? Bagaimana keadaannya? Apakah Linda masih memikirkan
Carlo? Apa yang harus dikatakan Carlo saat berjumpa kembali dengan Linda?
Gedung-gedung berdinding batu besar dan tembok-tembok tinggi masih
menampakkan keangkuhan masa lalu Bologna. Namun kehidupan di tempat itu telah
banyak berubah. Setelah makan siang di sebuah kedai sederhana yang dahulu
menjadi tempat favoritnya, dimana pemilik kedai ternyata masih mengenal
pelanggan lamanya ini, Carlo menikmati nostalgia wafer panggang yang renyah
namun murah-meriah, sebelum kemudian Carlo melanjutkan langkah menuju manor
Murri.
Ia menikmati setiap udara Bologna yang ia hirup, dan menikmati perjalanan
menyusuri jalan itu menuju kediaman Murri. Kenangan masa lalu tidak dapat
terbendung. Sensasi itu membuat langkah Carlo demikian ringan.
Seperti yang telah diduga olehnya, Tuan Augusto tidak sedang berada di
rumah. Carlo disambut oleh Madame Giannina Murri. Kini ibunda Linda tersebut
tidak lagi menampakkan sikap angkuhnya terhadap Carlo, dan Carlo pun tidak
menunjukkan suatu kebencian apapun terhadap madame yang telah menunjukkan
tanda-tanda penuaan itu.
Tiada perseteruan diantara keluarga Murri dan Carlo. Yang ada hanyalah
kesalahpahaman akan budaya yang telah diturunkan dari generasi ke generasi.
Carlo dapat melihat mimik wajah Giannina yang menyiratkan keterkejutan
dirinya berjumpa kembali dengan Carlo. Namun sang nyonya rumah kemudian
menyambut Carlo dengan ramah.
Setelah memberi hormat, berbasa-basi sejenak, dan menjelaskan tujuannya
sekadar singgah sementara sebelum menempuh kembali perjalanan panjangnya, Carlo
mengamati keadaan manor tersebut yang tampak sunyi. Ia tidak melihat
tanda-tanda keberadaan gadis yang sangat ingin dijumpainya kembali, setidaknya
untuk dapat ia pandangi sekali lagi.
Masih teringat parfum aroma sejenis pohon pinus yang biasa digunakan Linda.
Masih terbayang senyum usil Linda. Sepasang bola mata besarnya. Sikap
jenakanya. Kelincahannya. Antuasismenya. Ingin sekali ia kembali ke masa
lampau. Ingin sekali.
“Bagaimana kabar Tuan Augusto?” tanya Carlo dengan kerendahan hati.
“Augusto dalam tiga hari kedepan berada di San Marino,” urai Madame
Murri, juga dengan menunjukkan kerendahan hati yang sama. “Kini Augusto lebih
banyak memberikan kuliah di berbagai universitas. Penjuru Italia. Baru-baru ini
kami mendengar mengenai reputasi praktikmu pada jurnal yang dimiliki Augusto.
Saya mewakili Augusto mengucapkan selamat untukmu.”
“Grazie, Madame Murri. Harus
kuakui Prof. Augusto memberi peran penting bagi keterampilan klinik yang saat
ini saya praktikkan.”
“Bagaimana dengan istri dan anak-anakmu, Carlo?” tanya Giannina,
menduga-duga bahwa diri pria yang hampir mencapai usia paruh baya tersebut
pastilah telah memiliki rumah-tangganya sendiri.
Carlo mengangkat bahu kemudian mengibaskan tangan. “Saya masihlah seorang
dokter bujangan, Madame.”
Tampak terkejut, atau mungkin sengaja membuat ekspresi terkejut, Giannina
menegakkan tulang punggungnya dan mengamati Carlo dengan saksama. Tampak jelas
di mata Carlo bagaimana Madame Murri seakan hendak terlonjak sambil menjerit:
Astaga!
Setelah memalingkan muka seakan tak acuh, memandangi kebun samping manor,
Carlo memberanikan diri menanyakan hal yang sudah dinanti-nanti olehnya, yang
pastinya juga sudah diduga Madame Murri akan ditanyakan oleh Carlo.
“Sungguh kebun yang indah. Apakah Linda yang merawatnya? Sungguh taleten
merawar bunga-bunga itu.”
Jantung Carlo berhenti berdenyut, agar telinganya mampu mendengar jawaban
yang terucap dari bibir Madame Murri dengan sejelas-jelasnya.
Madame Murri tak lekas menjawab pertanyaannya. Ia duduk mematung dengan
pandangan jauh ke tempat lain. Carlo menjadi penasaran dan sedikit gelisah tak
nyaman. Namun tampak olehnya, kerut di kening Madame Murrni makin tertarik ke
dalam.
Madame Murri membuka mulutnya hendak mengutarakan banyak hal, namun tak
satupun terlontar. Setelah satu atau dua menit hening, pada akhirnya ia
berhasil mengucapkan sepatah dua patah kata.
“Linda telah menikah, dengan dua orang anak.”
Carlo menatap dirinya lekat-lekat, menunggu kisahnya lebih lanjut. Namun
tiada hal lain lagi yang terlontar dari mulut Madame Murri. Ia hanya terdiam,
begitupula Carlo yang tak tahu harus bagaimana menanggapi.
Berdeham dan memperbaiki postur duduknya, Carlo mengusahakan diri agar
tampak tidak acuh. “Saya rasa itu kabar yang baik. Saya turut bersuka-cita
baginya. Apakah kini Linda masih di Italia?”
“Linda masih tinggal di Bologna.”
Carlo menyimak dengan cermat. Akhirnya ia mendapat satu petunjuk, yang
tidak diketahui untuk apa petunjuk tersebut baginya. Namun setidaknya kini ia
tahu bahwa Linda masih di Bologna, di kota itu, Linda masih ada di kota itu, alam
bawah sadar Carlo berbisik. Linda dapat berada sudut atau distrik mana saja
yang ada di Bologna, namun setidaknya gadis itu masih berada di Bologna. Di
kota yang sama dengan kini Carlo kembali berada.
Secara mengejutkan Carlo mendengar suatu ucapan terlontar dari Madame
Murri.
“Saya dan sekaligus mewakili Augusto menyampaikan permintaan maaf untuk
kau dan Linda, Carlo,” ucapnya tulus. Kelopak matanya dipicingkan sembari
menatap lekat Carlo. Matanya tampak berkaca-kaca.
“ ... Untuk dan atas apa?” Carlo bertanya sepolos mungkin.
Namun Madame Murri tak mampu membendung perasaannya lagi. Ia pun
menangis, dan Carlo menyodorkan sapu tangan.
Rumah sakit Bologna, masih dengan gedung yang sama, hanya saja cat dan
penampilannya telah jauh berbeda dari sejak Carlo meninggalkan Bologna.
Rumah sakit Bologna kini memiliki pagar yang mengitari komplek rumah
sakit. Namun tidaklah sukar bagi Carlo untuk menemukan kembali taman belakang
rumah sakit yang dahulu sering dipakainya untuk berjumpa dengan Linda.
Taman itu telah jauh berubah. Namun atmosfer yang melingkupinya masih
sama seperti dahulu.
Selama beberapa saat Carlo duduk pada salah satu kursi taman di bawah kerindangan
pohon besar. Duduk seorang diri, dan menikmati kenangan kembali menggelayapi
pikirannya.
Kini aku sudah kembali, Gravin. Secchi telah kembali.
11
KEJUTAN
Setelah perjumpaan terakhir kalinya Carlo dengan Madame Giannina Murri
enam tahun lampau, Carlo memutuskan untuk membuka kliniknya sendiri. Bologna
telah penuh oleh berbagai klinik. Maka ia mencari kota terdekat dari Bologna
untuk menjadi tempat barunya membuka praktik pribadi.
Pilihannya jatuh pada daerah cukup ramai bernama San Giovanni. Demi
pembukaan perdana kliniknya, Carlo merekrut seorang asisten terampil bernama
Tisa Borghi.
Tidak sampai lima tahun membuka klinik sendiri, ia mampu membuat nama
klinik itu menjadi terkenal, kemasyurannya bahkan terdengar hingga telinga
penduduk Bologna.
Disamping keterampilannya, pada dasarnya penampilan Carlo tetap memikat
meski telah berumur paruh baya sehingga tidak heran bila banyak wanita yang
tertarik padanya dan diperebutkan.
Namun, pria ini tetap melajang dan menenggelamkan diri dalam karir.
Sementara nama Carlo kini kian bersinar, hubungan suami-istri Linda dan
Graf mencapai titik nadir. Tekanan mental membuat Linda sering jatuh pingsan
secara mendadak. Tekanan darahnya tidak stabil, dan secara jangka panjang hal
ini dapat mengancam keselamatan dirinya.
Suatu hari Linda bersama kedua putra-putrinya berkunjung ke kerabatnya di
San Giovanni. Melihat wajah Linda yang pucat dan kesehatannya yang sering turun
secara mendadak, kerabatnya membawa Linda datang ke sebuah klinik.
Klinik itu tidak terlampau besar, namun cukup apik dan bersih. Klinik itu
hasil rintisan yang dibangun oleh Carlo. Seorang dokter kolega Carlo yang
kemudian memeriksa Linda, memberikan hasil diagnosa yang sudah sering didengar
Linda, stres berlebih yang membuat tekanan darahnya labil dan merusak fungsi
ritmik jantungnya.
Setelah diberikan resep, mereka beranjak keluar.
Ketika mereka akan melangkah meninggalkan klinik itu, seorang pasien yang
berkunjung bertanya pada resepsionis mengenai jadwal pertemuannya dengan Dokter
Carlo Secchi.
Pendengaran Linda yang masih baik menangkap bagaikan radar sensitif, Secchi!
Carlo Secchi!
Adakah mungkin dua orang dengan satu nama yang sama?
Sontak Linda berbalik dan meminta klarifikasi. Linda memberikan deskripsi
ciri-ciri Carlo yang terakhir kali dilihatnya belasan tahun lalu, yang ternyata
masih dapat dikenali dari sosoknya kini sebagaimana ciri-ciri itu dibenarkan
oleh sang resepsionis.
Linda ingin bertemu dengannya. Seketika semua perasaan dan memori itu
bangkit kembali bagaikan arus deras yang mendera jiwanya. Ia harus bertemu Secchi
dan menanyakan alasan kepergiannya secara misterius setelah mempermainkan
hatinya. Rupanya hingga kini pikirannya masih tertambat pada pertanyaan itu.
Linda meminta bertemu Dokter Carlo Secchi, namun tidak dipenuhi sang
resepsionis sebab beliau sangat sibuk hari itu dan harus mencari jadwal diwaktu
lain saat dokter yang terkenal itu dapat ditemui.
Linda pun menyerah. Ia hanya meminta secarik kertas dan menuliskan sebuah
pesan diatasnya: “Tuan Dokter Carlo Secchi, maaf atas kelancangan saya
mengganggu kesibukan Anda. Saya hanya ingin menanyakan mengapa Anda telah
mempermainkan keluguan seorang gadis yang tulus mencintai Anda. Gravin.”
Linda menatap sejenak klinik itu, menyeka matanya yang mulai membasah,
dan pergi berlalu.
Beberapa waktu kemudian pesan itu pun tiba di meja kerja Carlo. Berbagai
tumpukan dokumen memenuhi meja itu, seperti lazimnya seorang profesional yang
sibuk. Namun Carlo adalah tipe efesien yang seketika melahap habis setiap
dokumen yang masuk ke atas meja kerjanya.
Ia bagaikan mampu menelan setiap dokumen dengan sekali pandang, namun
tidak bagi satu lembar kecil memo bertuliskan tangan itu. Terutama sebuah nama
yang tercantum dibawahnya, Gravin.
Sungguh nama yang sangat familier!
Dengan pesan yang masih di tangannya, tak sekalipun dirinya berkedip.
Lama ditatapnya lekat-lekat tulisan tangan itu, goresan yang sama dan masih
dikenalnya dengan sangat baik.
Tidak mungkin orang lain. Ia tahu siapa penulis pesan itu, dengan sangat
pasti.
Jantungnya berdegup keras. Ini suatu kejutan. Carlo mengantungi kertas
memo tersebut, menuruni tangga, menanyakan kepada petugas jaga perihal memo
tersebut, kemudian bergegas menemui dokter koleganya yang pada waktu itu
memeriksa Linda.
Dari arsip rekam medis, Carlo melihat hasil diagnosis atas pasien dengan
nama tercantum “Linda Murri Bonmartini”.
Carlo memanggil Tisa, sang asisten yang memiliki potongan tubuh muda
segar dan sempurna, dan memintanya untuk menyelidiki perihal nama Bonmartini.
“OK, bos-ku, Tisa siap berangkat!” seru Tisa dengan nada centil. Dirinya
memang energetik dan cukup memikat. Pastilah tidak akan membosankan bekerja
bersama gadis seksi satu ini. Tunggu sampai kau lihat cara berjalan Tisa yang
selalu mengenakan sepatu hak tinggi, sorotan mata para lelaki tidak akan lepas
dari gadis itu.
Tisa adalah warga setempat, sehingga tidak sukar baginya mengidentifikasi
ketenaran nama Bonmartini di Bologna.
Tak butuh waktu lama baginya untuk mengetahui keberadaan Linda. Setelah
mengetahui pasti alamat kediaman Linda, Carlo terjun sebagai investigator bagi
dirinya sendiri untuk mengetahui lebih dekat kehidupan Linda.
Jadilah Carlo harus membagi waktu antara profesinya di San Giovanni
menuju Bologna untuk mencari dan melihat tanda-tanda kehidupan dari Linda.
Carlo bukanlah tipe yang terburu-buru. Ia menikmati setiap momen
pengamatan yang dilakukannya ketika Linda mengantar Maria dan Ninetto ke
sekolah, mengawasi dari kejauhan saat Linda berbelanja bagaikan bodyguard yang tidak kasat mata,
mengamati bagaimana kebiasaan Linda di keseharian tinggal di apartemennya dari
taman depan komplek apartemen.
Untuk beberapa waktu kesemua ini menjadi rutinitas baru Carlo, hingga
suatu hari warga Bologna yang masih menjaga hubungan erat antar warga setempat
tersebut memberitahu Linda agar waspada terhadap seorang pria misterius yang
setiap hari membuntuti Linda.
Sampai pada suatu pagi, Linda sengaja berjalan keluar apartemen, tanpa
suatu tujuan tertentu, kemudian berhenti di sebuah sudut kota, dan berseru
dengan nada agak tinggi. “Keluarlah, aku tahu kau berada di sana.”
Sesuatu mendesir dalam jiwa Linda. Firasatnya mengatakan ada seseorang
yang samar-samar pernah dikenalnya. Perasaan ini membuatnya gundah.
Carlo pun menampakkan diri dari persembunyiannya. Linda belum dapat
melihat kemunculan Carlo yang datang dari arah belakang punggung Linda.
Setelah Carlo berjalan cukup dekat, langkah kaki mendekat tertangkap
pendengaran Linda namun tidak membuatnya berbalik badan. Linda menunggu.
“Mi dispiace (maafkan saya),
Madame Linda Bonmartini.”
Nada suara itu, tidak banyak berubah. Tidak salah lagi, Linda yakin
sekali, pria itulah orangnya!
Pria yang sangat dicintainya pada masa belia, tapi yang belum pernah
menciumnya walau sekali. Pria yang sama dengan pria yang telah lama membawa
lari hatinya. Pria yang menghilang tanpa mengucapkan perpisahan.
Linda dengan penuh keberanian membalik badan, namun dengan wajah menatap
lantai, membungkuk memberi hormat layaknya wanita terhormat, kemudian berdiri
mematung. Linda tidak berani menatap wajah Carlo.
Ia hanya dapat menatap sepasang kaki Carlo, dan meski begitu dirinya tetap
dapat mengenalinya.
Batinnya berkecamuk. Seperti apakah wajah Secchi sekarang ini. Apa yang
Carlo pikirkan. Apa yang harus ia katakan pada Secchi. Perjumpaan ini begitu
mendadak dan mengagetkan dirinya. Betapa sungguh mengejutkannya Secchi kembali
berada di Bologna dan secara kebetulan saat ini berhadap-hadapan dengannya.
Carlo berjalan mendekat. Linda memejamkan mata, menggenggam erat buku
jari tangannya, berusaha kuat tetap berdiri. Ia tidak dapat memikirkan apa-apa.
Kulit putih Linda. Bibirnya yang tipis. Rambutnya yang keemasan terkepang
panjang. Rahang yang mungil. Jemari yang lentik. Pesona kecantikan itu tidak
pula luntur seiring waktu meski tanda-tanda keletihan tampak di wajah itu.
Carlo Secchi menemukan kembali Gravin-nya yang telah lama ia tinggalkan. Dengan
hati-hati Carlo mengeluarkan secarik kertas memo dari saku jasnya, kemudian
menyodorkannya kepada Linda.
Linda secara perlahan membuka kelopak matanya, dan melihat memo yang
dituliskannya saat berada di San Giovanni.
“Izinkan saya untuk berbincang sebagai seorang dokter terhadap
pasiennya.”
12
PENJELASAN
Kedai minuman di sudut jalan itu tampak cocok untuk berbincang-bincang
tanpa mengundang gunjingan para warga.
Ia dapat melihat kegugupan Linda. Wanita rapuh yang tetap berusaha tampil
kuat. Setelah memesan dua gelas teh-susu, minuman yang masih diingat Carlo akan
kesukaan Linda, Carlo memulai perbincangan.
“Bagaimana kabarmu, Gravin?”
Linda tak menjawab, ia tak mau menjawab.
“Aku agak sedikit cemas dengan hasil diagnosis klinikku sewaktu kau berada
di San Giovanni.”
“Terimakasih, dokter, saya baik-baik saja.”
Kini Carlo yang dengan cermat memikirkan kata-kata yang tepat untuk
disampaikan. Amat naif dan lancang bila ia pergi begitu saja dan tiba-tiba
muncul kembali di hadapan wanita ini sambil mengatakan maaf.
Orang-orang berkata, seorang wanita menyukai diperlakukan hormat dan
berharga. Tidak berbeda dengan seorang laki-laki ingin diperlakukan. Baik pria
maupun wanita pada dasarnya memiliki watak dasariah yang sama.
“Secchi tak pernah bermaksud mempermainkanmu, Gravin.”
Linda menengadah dan menatap wajah Carlo yang memandanginya secara serius.
Sementara wajah Linda tetap saja menampakkan kemungilan dengan rahang yang
kecil itu.
Namun terdapat sekelebat emosi di balik pancaran mata Linda.
“Tulus aku memberikan hatiku, darimana pun kau berasal. Tidak dapat
seorang gentiluomo (gentlement)
meninggalkan seorang gadis dengan hati terluka dan terus menunggu kedatangannya
kembali.”
“Secchi tak pernah mempermainkan ketulusan delle fate (peri) Gravin.”
Tidak ada nada mengejek dari ucapan Carlos yang lembut. Ingin sekali ia
membicarakan banyak hal, namun tak tahu bagaimana memulai ataupun
mengutarakannya. Ia tahu Linda tampak tegar namun sebenarnya sangat sensitif.
Ia tidak ingin mengambil resiko rusaknya percakapan ini hanya karena ucapan
yang tidak terkontrol.
Mungkin ini adalah momen yang paling kritis dari perjumpaan kembali
keduanya.
Linda hanya menatap Carlo. Terus menatapnya. Lama mereka duduk mematung
seperti itu. Meski telah menunjukkan tanda-tanda penuaan, namun postur Carlo
tetap memancarkan antusiasme, kegagahan, dan kehangatan.
“Secchi masihlah sama dengan Secchi yang dahulu dikasihi Gravin, dan Secchi
pun mengasihi Gravin. Secchi yang sama, hati yang sama. Secchi yang melajang
ini tidak pernah melupakan Signorina Gravin
Linda Murri. Tidak barang satu hari pun.”
Kini tahulah Linda bahwa orang tuanya telah berdusta. Dokter itu tidak
pernah bermaksud mencuri dan mempermainkan hatinya.
Meski demikian pertemuan mendadak ini tak membuat Linda lupa akan segalanya,
tidak juga untuk kembali menyerahkan segenap jiwanya pada sang dokter. Ia
bahkan tidak pernah menyentuhnya, dahulu, maupun kini.
13
RAHASIA
Tahun 1900.
Kekacauan seantero Negeri Italia mulai melanda. Namun kekacauan surut
seiring waktu.
Dokter Carlo secara rutin pulang-pergi San Giovanni—Bologna dalam kurun
waktu tertentu yang lama-kelamaan menjadi rutinitas. Carlo masih menjelaskan
pada kolega-koleganya, bahwa hubungan dekatnya dengan Linda adalah dalam rangka
perawatan sebagai dokter terhadap pasiennya.
Barangkali itu karena penyakit-penyakit Linda yang tak kunjung sembuh,
terutama karena sebutir debu batu bara yang masuk ke dalam matanya. Debu itu
mengakibatkan peradangan yang memerlukan operasi yang nyeri, dan kemudian
mengakibatkan mata itu terancam buta.
Siang itu yang datang menjenguk ialah Tisa Borghi, asisten seksi sang
dokter. Penampilannya berkelas, dan tampak jelas wajahnya terawat dengan
pewarna bibir yang berani. Sorot matanya tajam, namun sedikit nakal.
Rosina membukakan pintu, dan menanyakan tujuan kedatangan sang tamu.
“Buon pomeriggio (selamat
siang),” jawab Tisa, nada suaranya manja dan nakal. Perempuan mana pun dengan
insting kewanitaannya akan tahu bahwa Tisa cocok menjadi wanita penggoda.
“Mohon perkenalkan, nama saya Tisa Borghi, asisten Dokter Carlo Secchi.”
Gaya tubuhnya ketika berbicara, intonasi, serta logatnya tegas, namun dilontarkan
secara perlahan, elegan disempurnakan oleh senyum dan mata berbinar.
Sungguh menggoda betul wanita produk kemajuan modernisasi bernama Tisa Borghi
ini. Selera pakaiannya kelas tinggi, melebihi seorang asisten perawat semata.
Laki-laki mana yang cukup kuat untuk tidak bertekuk-lutut padanya.
Yang jelas, mata lapar Graf Bonmartini tidak boleh melihat kedatangan
wanita dengan lekukan tubuh dan lingkar pinggang sempurna itu, yang pastilah
akan melahap wanita itu bulat-bulat di kediamannya sendiri.
Rosina mempersilahkan masuk. Suara ketukan sepatu hak tinggi Tisa
bergemetuk di lantai. Tisa menunggu di ruang tamu, melihat-lihat sekeliling.
Berbagai lukisan karya para seniman ternama Italia bergantung berjejer di
dinding ruang tamu. Kesemuanya ialah lukisan foto Graf bersama dengan berbagai
wanita yang berbeda dalam setiap figura. Namun yang manakah nyonya rumah
bernama Linda yang menjadi pasiennya itu?
Tisa berdiri memandangi lukisan-lukisan itu, sembari menggigiti ujung
bingkai kacamatanya. Ia sudah menjelajahi lukisan-lukisan foto yang terpampang
di ruang itu dengan sepatu hak tingginya bergemetak dalam setiap langkahnya
yang seksi.
Akan sangat menarik sekali bila foto lukisan dirinya menjadi salah satu
dari jejeran lukisan foto itu, pikir Tisa.
Tubuh tinggi padat berisinya itu cocok benar menjadi manekin koleksi
Graf.
Entah bagaimana Carlo dapat mengenalnya, namun Tisa selain berpenampilan
seksi, juga tampak cukup berotak sehingga dapat mengundang perhatian Carlo
untuk menunjuk Tisa sebagai asisten pribadi kepercayaan sang dokter yang kini
menjadi utusan pembawa pesan kasih hubungan dokter-pasien ini.
Tak lama kemudian Tisa mendengar suara terbatuk-batuk dari arah koridor.
Akhirnya berjumpa jugalah ia dengan sosok sang pasien yang berjalan lunglai
dipapah oleh Rosina. Linda masih berumur tiga puluh, namun cara berjalannya
sudah menyerupai seorang nenek-nenek.
Sungguh pasien aneh yang anehnya juga dapat mengundang perhatian luar
biasa dari Carlo, atasannya.
Mereka berdua saling memberi salam, lalu Linda memperkenalkan diri,
sementara Tisa memandangi Linda sambil tersenyum. Manis benar pasien Dokter
Carlo ini.
Umn, rasanya tak satupun dari gadis-gadis dalam foto lukisan tadi yang
menyerupai pasien mungil ini! Lagi-lagi Tisa menyunggingkan senyum nakalnya.
Linda diarahkan duduk pada salah satu kursi kayu. Setelah Tisa mengganti
perban yang membalut mata kiri Linda, Linda menanyakan kabar Dokter Carlo.
“Dokter Carlo sehat dan sangat sibuk oleh berbagai jadwal operasi yang
akan dilakukannya hari ini. Karena itulah ia memintaku datang untuk memantau
keadaan Anda, Madame Linda,” jelas Tisa, menikmati kebersamaannya dengan pasien
yang baru dikenalnya itu yang bernada suara lembut dan hangat. “Dokter Carlo
tampak sangat konsen terhadap radang di mata Anda. Ia sampai banyak meluangkan
waktu berkorespondensi dengan teman-teman sejawat dokternya serta meneliti
jurnal medis internasional untuk menemukan perkembangan terbaru perawatan medis
untuk mengobati infeksi mata Madame Linda.”
Oh, sungguh pandai benar wanita satu ini mengambil hati. Tapi tentunya
Linda hanya tersenyum. Memercayakan matanya mendapat perawatan sang perawat ini.
Dua hari sekali Tisa datang mengunjungi Linda. Setelah memeriksa dan
memberi obat, kini Tisa memberikan sebuah surat dengan amplop tersegel yang
dibisikinya kepada Linda khusus untuk Linda dari Carlo.
Ketika Linda berada di ruangnya seorang diri, Linda membaca isi surat itu
sebanyak lima kali. Kini tampaknya Carlo menjadi pandai menulis puisi. Linda
membacanya perlahan dan menikmati momen itu. Untuk menghilangkan jejak, Linda
akan membakar setiap surat dari Carlo di perapian.
Kenaifan Linda, yang hanya tahu mencintai seorang pria secara rohaniah,
membuatnya tidak menyadari, bahwa antara Carlo dan wanita asistennya itu, Tisa
Borghi, berlangsung atau pernah berlangsung hubungan yang lain selain hubungan
yang bersifat hubungan pekerjaan semata.
Linda yang naif dan polos, tidak merasa ada yang salah ketika mengenal
Tisa yang demikian telaten membawa dan mengantar surat-surat serta berbagai
bingkisan hadiah pulang-pergi antara kedua orang yang saling mencinta itu.
Tisa memang telah teruji telaten dalam melayani Dokter Carlo, baik untuk
urusan relasi kerja, maupun untuk urusan diluar jam kerja. Meski tak pernah
secara resmi dinyatakan sebagai kekasih, namun Carlo yang tidak menolak
dilayaninya secara total sudah cukup bagi Tisa untuk menikmati hubungan yang
tak jelas itu.
Biarlah, lelaki dengan otak secerdas Carlo tentu pada akhirnya tidak akan
menyia-nyiakan wanita sesempurna dirinya, pikir Tisa, sang “penjerat”, yang
memberikan umpan, kail, serta jaring yang menjerat perlahan demi perlahan.
Carlo memasuki usia lima puluh tahun, lajang serta telah memiliki semua
kehormatan yang patut didapatkannya. Namun ia tidak akan menolak bila seseorang
dengan penuh perhatian memberi pelayanan baginya dikala ia dilanda rasa
kesepian bertahun-tahun lampau, memberinya semangat dan kekuatan.
Serta kehangatan.
Apakah Tisa munafik, dan apakah Carlo picik? Siapa perduli, bila semua
ini membahagikan semuanya.
Kini Tisa memiliki rutinitas yang lucu namun bagaimana pun bisa
dinikmatinya juga untuk dijalankan setelah cukup terbiasa. Menjadi merpati
pembawa surat-surat cinta dan hadiah-hadiah pulang-pergi antara kedua
dokter-pasien yang saling mencinta itu.
Sembari menyenandungkan lagu yang sedang tren di zamannya, Tisa berjalan
menuju apartemen Linda. Seperti biasa, dan tidak aneh baginya, bila para lelaki
di sepanjang perjalanannya akan men-siuli tubuhnya yang molek dengan setelan
rok pendeknya, disempurnai cara berjalannya bersepatukan hak tinggi yang
mengeluarkan bunyi menderetak ketika ia berjalan di jalan batu conblok.
Satu hal yang membuat aura Tisa demikian menarik perhatian lawan jenis:
kepercayaan diri Tisa yang penuh dalam setiap langkahnya, setiap
gerak-geriknya, setiap tatapannya, setiap senyumnya, dan setiap perilakunya.
Adalah alamiah bila seorang wanita menikmati keindahan dirinya mengundang
perhatian, serta pengakuan. Adalah alamiah pula setiap pria tertarik pada
pemandangan indah itu. Memang buat apa lagi keindahan itu diciptakan bila bukan
untuk dinikmati? Begitulah Tisa, sang penggoda.
Tiba juga ia di kediaman Bonmartini. Tisa sudah tidak heran bila mendadak
Linda muncul ke ruang tamu dengan berbagai luka lebam dan memar baru di
tubuhnya. Linda bahkan sudah familier dengan obat-obatan yang akan diterimanya.
Beberapa waktu hal tersebut terus berlangsung. Secara diam-diam. Dan
semua pihak menikmatinya. Namun berbagai luka dan penyakit baru yang diterima
Linda membuat Carlo gundah juga.
Carlo mengontak kenalan, seorang pengacara, dan kecewa mendapati bahwa
peraturan mengenai kekerasan dalam rumah tangga belum diatur di negeri itu,
sehingga seorang suami yang menganiaya istrinya dianggap pemerintah cukup
diatasi sebagai urusan domestik rumah tangga bersangkutan. Pemerintah tidak
ikut campur perihal urusan demikian.
Jika Carlo dapat memutar balik waktu, sudah akan diculiknya gadis malang
itu pergi bersamanya ke Tivoli bertahun-tahun lampau.
14
OBSESI
Tengah malam Graf kembali ke rumah dalam keadaan mabuk tak karuan. Berbagai
pengalamannya semasa dalam pelesiran dikumandangkan dalam mabuknya itu, membuat
risih para tetangga yang mendengarnya.
Mereka sudah tidak asing lagi dengan kehebohan serta kegemparan yang
dibuat Graf dalam mencari gara-gara dengan istrinya yang malang. Namun lebih
baik bagi mereka bila tidak ikut-campur urusan rumah tangga orang lain.
Cukup disayangkan, kulit wajah Graf tampaknya cukup tebal sehingga tidak
memiliki rasa malu telah bersikap lalim terhadap istrinya sendiri. Baginya
bersikap “tegas” terhadap seorang istri adalah hak seorang suami. Pandangan
konservatif yang masih kerap dijumpai bahkan hingga zaman modern.
Setelah Graf yang berteriak-teriak tak karuan melorot di depan pintu karena
tidak dapat memasukkan anak kunci secara tepat ke lubang kunci, segera digotong
masuk Linda dengan bantuan pelayan.
Kini Graf yang baik dalam kendali alkohol maupun dalam keadaan sadar, kembali
menyalahkan Linda yang dituduhnya menjadi penyebab dirinya kini menjadi pria
hidung-belang yang merana.
Graf kemudian tertawa-tawa histeris seperti sudah hilang kewarasan. Linda
sungguh malu atas sikap suaminya tersebut, namun para tetangga tetap bersabar
dan dapat memaklumi tekanan batin yang dialami Linda.
Terkadang bila ada kesempatan para tetangga akan mencoba memberi
penghiburan pada Linda yang cukup mengundang simpatik para tetangganya.
Bagaimana pun tegarnya wanita satu itu bersikap, tetaplah ia seorang manusia
yang dapat terluka dan merasakan sakit.
Di hari-hari lain, jika Graf setengah mabuk, ia akan menubruk Linda,
mengguncang-guncang dirinya, dan berteriak-teriak: “Katakan, katakan bahwa kau
mencintaiku! Katakan!”
Linda hanya mematung. Satu dua tamparan sudah biasa diterima olehnya. Ia
bahkan pernah dijambak dan dicekik hingga hampir tewas oleh Graf jika bukan
karena suara Ninetto yang memanggil-manggil ibunya dari ruangan sebelah.
Graf tidak memperlakukan istrinya sendiri secara manusiawi, seakan istrinya
haanyalah patung yang tidak memiliki harkat dan martabat. Lama kelamaan, ia
mencandu terhadap rutinitasnya menyakiti Linda.
Mendapati berbagai siksaan fisik tidak mempan terhadap Linda, Graf mulai
mencari cara-cara melukai istrinya secara jiwa dan batin.
Jelaslah, betapa besar rasa takut Linda yang melampaui rasa benci dirinya
terhadap suaminya sendiri.
Graf mendapatkan apapun yang diinginkannya sebagai seorang bangsawan jutawan,
dan berdasarkan statusnya sebagai seorang bangsawan atas. Kehormatan, status
sosial, jaringan sosial, kedudukan, serta segala kemewahan seorang bangsawan
tuan tanah.
Namun tidak atas hati dan jiwa Linda. Dahulu, kini, maupun dimasa yang
akan datang. Graf telah gagal menempatkan dirinya sebagai peran seorang suami.
Kian terobsesi Graf menundukkan Linda, kian frustasi dan menggila
dirinya.
Para pujangga mengatakan, manusia selalu diliputi rasa tidak puas, dan
akan terus menjadi budak ketidakpuasan. Graf tidak mampu menyadari
keberuntungan hidupnya, sebagaimana terbukti dikemudian hari akan melahirkan
petaka bagi orang-orang di dekatnya.
Setiap kepulangan Graf, Linda maupun anak-anak merasakan satu perasaan
yang sama: jantung berdebar dan menanti-nanti dalam penuh kecemasan akan
kemungkinan kekerasan verbal maupun fisik yang dapat dilakukan Graf tanpa dapat
diduga.
Namun, atas perlakuan Graf yang bertubi, Linda sudah tidak mampu lagi
menitikkan air mata. Ia bahkan siap mati di tangan Graf. Hanya keberadaan
anak-anak yang membuatnya merasa penting untuk tetap menjaga kelangsungan nafas
serta kewarasannya.
Dan menjadikan kisah rahasia asmaranya sebagai suatu pelarian.
...

Paling lambat 3 x 24 jam
setelah dana pembelian E-Book kami terima, E-book akan kami kirimkan pada email
Anda.
Mengapa E-Book menjadi evolusi
modern media sastra? Karena sifatnya praktis dan mobile, mudah serta dapat
dibawa kemana pun sebagai teman bacaan via gadget, tidak rusak termakan kutu
buku, terjangkau karena memangkas komponen biaya cetak, go green, serta tidak memakan ruang/tempat. Dengan membeli eBook, berarti kita telah turut menjaga kelestarian lingkungan hidup.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.