KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Mengenal Konsep HAK PERSONAL, PRIVASI Itu Sendiri

ARTIKEL HUKUM
Hak Cipta atas Wajah Kita sendiri, Hak atas PRIVASI setiap Warga Negara
Terdapat sebuah pertanyaan unik yang sangat relevan untuk diajukan dan disimak, karena tiada pengaturan tegas (atau terdapat aturan normatifnya, namun implementasinya senantiasa multitafsir atau “separuh hati”), yakni: apakah kita harus mendaftarkan Hak Cipta wajah kita sendiri terlebih dahulu, barulah dilindungi oleh negara dan mendapat perlindungan privasi sebagai seorang warga negara dari orang lain yang sewaktu-waktu dapat saja terjadi tiba-tiba merekam ataupun memotret wajah kita tanpa izin?
Bila kita merujuk substansi pengaturan dalam Undang-Undang tentang Hak Cipta, Hak Cipta bersifat unik dan istimewa ketimbang pengaturan perihal hak kekayaan intelektual lainnya seperti Merek maupun Paten. Merek maupun Paten, wajib terlebih dahulu didaftarkan sebelum mendapat pengakuan dan perlindungan hukum dari negara. Sementara Undang-Undang tentang Hak Cipta memiliki ketegasan dalam aturannya yang menyatakan bahwa pendaftaran Hak Cipta tidak menjadi syarat mutlak untuk dapat dilindungi Hak Cipta miliknya—dengan kata lain, pendaftaran Hak Cipta hanya sekadar demi penegasan hak, bukan menjadi syarat mutlak untuk dapat diakuinya Hak Cipta milik seseorang warga, dan sekaligus yang menjdi pembeda paling utama antara Hak Cipta dan Merek ataupun Paten.
Sebagai perbandingan, di luar negeri, pernah dikabarkan terdapat seorang atlet seni bela diri terkenal yang sampai harus mendaftarkan Hak Cipta atas wajahnya sendiri, mengingat kerap banyaknya perguruan dan dojo bela diri yang memasang poster wajah sang atlet pada tempat-tempat belajar bela diri tersebut yang sifatnya komersiel, sekalipun sang atlet tidak memiliki sangkut-paut terhadap perguruan atau dojo-dojo dimaksud. Dengan harapan, para pemilik dojo tidak menyalah-gunakan foto wajah dirinya untuk mengambil keuntungan mempromosikan dojo yang dikelola pemiliknya secara tidak patut dengan mencatut foto wajah sang atlet.
Pada sisi lain, berkelindan dengan hak masing-masing individu atas wajah, sidik jari, suara, maupun identitasnya yang patut mendapat perlindungan dari hukum, berkembanglah desakan masyarakat dari bangsa-bangsa beradab atas apa yang kini disebut sebagai “privasi” (the right of privacy). Konsep akan privasi, dikembangkan guna mengatasi kerapnya terjadi penyalah-gunaan hak-hak personal seseorang warga negara, seperti atas wajah mereka, suara mereka, tanda-tangan mereka, dan data-data pribagi yang bersifat sensitif maupun personal lainnya.
Karena itulah, ketika konsep perihal privasi dan Hak Cipta atas hak-hak personal masing-masing individu kita akui dan terapkan secara tegas, maka masing-masing warga tidak lagi perlu merasa cemas namanya dicatut, wajahnya dipotret tanpa izin lalu disalah-gunakan, maupun pelanggaran terhadap hak-hak personal lainnya dari atau terhadap seorang warga oleh warga lainnya secara tidak bertanggung-jawab—terlebih jika motifnya ialah untuk mengambil keuntungan ekonomi lewat upaya pencatutan secara melawan hukum dan tidak mengindahkan kaedah etika, atau bahkan untuk tujuan “cyber bullying” semata itu sendiri.
Pertama-tama, kita mulai perlu mengakui dan memberi penghargaan lewat medium aturan normatif yang lebih tegas, bahwasannya “hak-hak yang bersifat personal” seperti wajah, tanda-tangan, suara, dsb, adalah bagian dari hak privasi seorang warga negara yang wajib dilindungi oleh negara lewat penerapan hukum normatif perihal Hak Cipta yang lebih tegas dan eksplisit mengatur ruang-lingkup dan dalam implementasinya.
Sementara, bila tujuan merekam atau memfoto wajah dan suara seseorang, sekalipun itu dilakukan di depan umum, semata untuk tujuan alat bukti yang mungkin dibutuhkan dikemudian hari, baik untuk membuat tuntutan pidana maupun untuk mempertahankan diri ketika didakwa atau digugat, tanpa bermaksud untuk menyebar-luaskannya, akan tetapi sebatas merekam dan menyimpannya sebagai arsip pribadi, maka sanksi tidak perlu diterapkan.
Sebaliknya, ketika wajah, suara, dan sebagainya dari seseorang yang notabene merupakan bagian dari hak-hak personal warga negara bersangkutan, direkam atau difoto tanpa seizin PEMILIKNYA (yakni sang pemilik wajah dan sang pemilik suara itu sendiri), terlebih dalam suatu forum rapat tertutup “empat mata” dengan sang perekam yang diam-diam dan sembunyi-sembunyi melakukan perekaman, kemudian menyebar-luaskannya kepada khalayak ramai, maka menurut hemat penulis hak demikian termasuk pelanggaran Hak Cipta dimana Undang-Undang tentang Hak Cipta mengatur pula ancaman delik sanksi pidana penjara bagi pelaku pelanggar Hak Cipta milik orang lain—terkecuali selalu ada, yakni bila suara atau wajah orang yang direkam memiliki niat buruk untuk melakukan tindak pidana ataupun kejahatan lainnya sehingga memang wajar dan patut untuk direkam. Namun, tidaklah pernah dibenarkan bila pelaku kejahatan yang justru merekam korbannya, karena falsafah fungsinya menjadi terbalik.
Analogi hukumnya ialah sebagai berikut. Ketika kita mengunjungi suatu pameran seni desain maupun seni lukis, kita boleh dan dapat menikmati pemandangan berbagai produk karya seni maupun karya lukis yang dipajang, namun bukan berarti kita berhak untuk meniru dan membuat replika atas Hak Cipta pelukis maupun Hak Cipta sang perancang yang karya-karyanya dipajang pada suatu pameran. Sementara itu, membuat rekaman ataupun foto wajah dan suara maupun hak-hak personal seorang warga lainnya, hal tersebut sama artinya membuat plagiarisme atau pembajakan secara otentik Hak Cipta milik orang lain.
Betul bahwa mata kita dapat melihatnya dan otak kita dapat merekamnya, namun sifatnya hanya untuk diri pribadi yang bersangkutan, bukan untuk direkam dalam bentuk perangkat elektronik kemudian disebar-luaskan. Analogi kedua berikut ini dapat lebih menjelaskan, dimana para penonton / pengunjung sebuah cinema / bioskop, dilarang oleh pihak produsennya untuk merekam terhadap video maupun suara yang ditayangkan oleh pihak pengelola bioskop. Mengapa? Akal sehat Anda sendiri tentulah telah mampu untuk menjawabnya tanpa harus penulis uraikan secara berpanjang-lebar.
Begitupula ketika pengunjung konser menghadiri acara konser seorang penyanyi, betul bahwa telinga mereka berhak untuk mendengar dan otak mereka untuk mengingatnya, namun bukan artinya mereka berhak untuk membuat rekaman kemudian menyebar-luaskan suara, lagu, dan musik sang artis yang melakukan konser. Tidak terkecuali sebuah aara seperti seminar, pelatihan, dan sebagainya, sepanjang tidak diizinkan sebaliknya, perekaman adalah ilegal karena melanggar Hak Cipta pihak penyelenggara.
Terdapat hak-hak dibalik sebuah perlindungan Hak Cipta, diantaranya ialah Hak Moril, Hak Ekonomi, dan Hak untuk Mencipta / Mereproduksi atas sebuah Hak Cipta. Dilanggarnya Hak Cipta milik orang lain, sama artinya melanggar Hak Moril, Hak Ekonomi, maupun Hak Mencipta dan Mereproduksi milik orang lain. Sebetulnya, pengaturan yang ada saat kini tersebut masih tergolong minim, karena mengingat bila kita mengakui konsepsi perihal hak atas privasi yang juga bersifat personal, maka perlu juga diakui dan dilindunginya hak untuk bebas dari “pencatutan” terhadap Hak Cipta milik orang lain.
Pencatutan dapat dilakukan lewat berbagai cara, seperti pencantuman nama seseorang tanpa seizin ataupun sepengetahuan pemiliknya yang sah, hingga pencantuman foto dan suara yang notabene merupakan hak personal milik orang lain, tanpa seizin ataupun sepengetahuan pemilik wajah ataupun pemilik suara yang sah. Pencatutan, motifnya dapat berupa pelanggaran terhadap Hak Ekonomi pemilik Hak Cipta, aksi perundungan (bullying), hingga berbagai perbuatan melawan hukum lainnya.
Saat kini, ditengah menjamurnya perangkat digital dimana perangkat gadget seperti handphone sekalipun dapat dengan mudah merekam dan memfoto hak-hak personal milik orang lain, maka potensi pencatutan demikian dapat terjadi secara mudah dan marak, tanpa disadari dan tanpa diketahui oleh pemilik hak personal demikian—bahkan tak jarang terjadi beredarnya perekaman video maupun foto-foto dimana pemilik hak-hak personal berkeberatan terhadap beredarnya video maupun foto-foto tersebut karena direkam tanpa izin pemilik hak personal, namun ternyata amatlah sukar untuk mengatasi, membersihkan, terlebih menuntut sang perekam dan pengedar. Pelakunya yang merupakan penyelenggara negara sekalipun, kerap melakukan pelanggaran terhadap hak-hak personal / privasi seorang warga negara demikian, maka terlebih bila pelakunya berlindung dibalik status “anomin”.
Lantas, bagaimana dengan “hukum kebiasaan” kalangan pers yang senantiasa meliput berita disertai foto maupun rekaman video yang kadang kala mengandung unsur-unsur hak-hak personal seorang warga negara yang diliput? Dalam konteks ini, maka tanggung jawab moril para pekerja pers dan peliput untuk menilai, apakah foto dan mereka yang mereka himpun tanpa seizin pemilik “hak personal” tersebut, sekalipun diedarkan dalam bentuk media massa offline maupun online, apakah akan melanggar hak-hak privasi dari warga negara bersangkutan?
Jawabannya, sudah pasti melanggar hak-hak personal milik warga bersangkutan yang diliput—terkecuali berdasarkan seizin yang diliput. Pada mulanya, ketika media televisi belum hadir ke tengah-tengah kita dan percetakan koran masih sangat sederhana teknologinya ala Gutenberg, insan pers meliput berdasar teks belaka, tiada satupun foto maupun video yang disajikan beredar luas ke tengah-tengah masyarakat. Kini, di era digital, pelanggaran hak-hak personal warga negara terjadi secara meluas dan masif, seolah tidak terbendung.
Seorang peliput yang dikemas dengan nama diri sebagai pers sekalipun, sejatinya cukup meliput dengan teks semata, dimana foto dan video yang mereka rekam hanya sebatas sebagai arsip untuk pembuktian bila sewaktu-waktu terdapat pihak-pihak yang berkeberatan terhadap konten pemberitaan lalu mencoba memperkarakan lembaga pers dimaksud. Ironisnya, media pers saat kini mewartakan berita tanpa video ataupun foto, akan dianggap ketinggalan zaman, dan ditinggalkan oleh konsumennya. Betapa masyarakat kita begitu haus akan tayangan dan gambaran-gambaran yang melanggar hak personal milik warga negara lainnya, menjelma semacam “tuntutan” bagi kalangan pers untuk bersikap pragmatis.
Katakanlah, suatu waktu media pers dapat ditertibkan agar menghormati dan menghargai hak-hak personal warga negara lainnya, karena bagaimana pun hak-hak personal demikian adalah bagian dari Hak Cipta warga negara pemilik hak personal. Namun, bagaimana cara mengatasi dan menertibkan media sosial seperti medium digital dunia maya bernama “internet”?
Jangankan tuntutan agar menghapus konten dari berbagai sumber website yang tidak memiliki otoritasi resmi yang jelas terlebih membuka medium korespondensi bagi warga, lembaga-lembaga resmi negara yang mempublikasi hak-hak personal milik seorang warga negara sekalipun kerap kali sangatlah sukar untuk mau memahami dan menghargai hak-hak personal milik orang lain dan tetap mempublikasikannya secara meluas tanpa bersedia untuk menghapus dan menghormati. Praktik demikian terus berlangsung hingga saat kini.
Alhasil, jejak-jejak digital maupun konten-konten digital yang bermuatan pelanggaran terhadap hak-hak privasi warga negara lainnya, sangat sukar dibersihkan terlebih untuk ditertibkan. Kesadaran masing-masing warga negara tampaknya belum terbentuk, terutama perihal penghormatan dan penghargaan terhadap hak-hak personal maupun terhadaap privasi milik warga negara lainnya. Antara pelanggaran terhadap hak-hak personal warga negara lain dan praktik yang menjurus “bullying”, ternyata berkelindan erat dan kadang tidak saling terlepas satu sama lainnya.
Bagaimana pun, mulailah dari diri kita sendiri terlebih dahulu, barulah kita dapat mengharap wajah dunia ini akan turut berubah menjadi lebih humanis dan lebih ramah bagi penduduknya, sedikit ataupun banyaknya, setidaknya kita tidak menjadi pelaku yang melanggar hak-hak personal maupun privasi milik orang lain—karena akan ada pembalasan dari Hukum Karma bagi mereka yang tidak mengindahkan dan meremehkannya. Hargai dan hormati privasi milik orang lain sebagaimana hak-hak personal dan pribadi Anda ingin dihargai dan dijaga, itulah prinsip resiprositas yang perlu kita kenalkan dan budayakan sejak sedini mungkin, sebelum segala sesuatunya benar-benar akan terlambat.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.