Ketika Ibukota Diimpin oleh Gubernur yang Tidak Visioner, Teladan yang Buruk bagi Warganya, Kebijakan yang Tidak Mendidik

ARTIKEL HUKUM
Tatkala dunia global terus berkembang dan berkompetisi menghadirkan kota yang modern dan kreatif serta cerdas, seperti membangun infrastruktur skytrain, tempat landas pesawat luar angkasa, membangun laboratorium penelitian futuristik yang menyedot perhatian dunia, namun pada salah satu ibukota di Indonesia ternyata masih dapat kita jumpai seorang gubernur “primitif” yang lebih sibuk mengatur perihal becak, jalur khusus pesepeda, dan kini membuat wacana blunder baru yang hendak membuat trotoar di-okupasi oleh pedagang informal yang kerap disebut sebagai “Pedagang Kaki Lima” (PKL).
Sang gubernur yang “kekanak-kanakan” tersebut mendalilkan, sekalipun di belakang diri sang gubernur berdiri berbagai staf “ahli”, bahwa Pedagang Kaki Lima sama derajatnya dengan pejalan kaki, boleh jualan di trotoar. Maka, yang patut kita repons dan tanggapi : Ya sudah, para PKL tersebut berjualan saja di badan jalan, toh PKL juga setara dengan para pengendara mobil dan motor di jalan raya.
Bila kita tarik lebih jauh “logika cacat” dari sang gubernur, maka mari kita persilahkan saja pengendara kendaraan bermotor untuk juga melintas saja di trotoar, di jembatan penyeberangan orang, parkir di trotoar, parkir dan “ngetem” di badan jalan, toh sama derajatnya dengan pejalan kaki. Jangan pula bangun fasilitas bagi penyandang cacat / disabilitas, toh baik yang cacat maupun yang normal, sama derajatnya, sehingga untuk apa juga memberi keistimewaan khusus bagi pejalan kaki yang memiliki disabilitas? Sungguh suatu wajah kota yang tidak ramah terhadap pejalan kaki, terlebih terhadap kaum dengan disabilitas.
PKL berdagang dengan memakan lebar seluruh lebar dari trotoar, sangat berbeda dengan pejalan kaki yang hanya memakan lebar jalan selebar lebar tubuh pejalan kaki, sehingga tidak akan terjadi bottle neck atau bahkan menutup akses lintas trotoar sama sekali. Cara berpikir sang gubernur adalah menggunakan cara berpikir orang curang, hendak memakai bagian dari jalan milik umum secara instan, namun tidak bersedia keluar biaya untuk menyewa ruko—justru ditengarai dilatar-belakangi niat buruk untuk mematikan para pebisnis kompetitornya yang tertib berjualan dengan menyewa ruko yang tidak mengganggu hak pejalan kaki atas trotoar, yakni semudah dan semurah dengan berjualan secara liar (yang kini akan dilegalkan oleh sang gubernur yang “kerdil” cara berpikirnya) di depan trotoar ruko-ruko kompetitor para PKL tersebut.
Dari berbagai pengamatan penulis, para pedagang formal mengeluhkan ulah para pedagang informal yang berjualan dengan “jalan pintas”, yakni memasang lapak pada trotoar di depan ruko mereka, sehingga alhasil tempat dagang para pengusaha di ruko tersebut menjadi tampak kumuh, jorok, tertutup, dan para pelanggan mereka beralih menjadi konsumen PKL. Parkir liar pun menjadi merajalela, dimana para gilirannya para preman mulai tertarik untuk menguasai lokasi dan menjadi semacam “bodyguard” sang pedagang PKL yang membayar “upeti” pada para preman dimaksud.
Semua oang ingin menjadi presiden karena semua warga negara berhak menjadi presiden, namun tidak setiap orang dapat menjadi presiden. Sama halnya, semua pedagang ingin berdagang pada tempat-tempat strategis, tapi tidak semua pedagang dibolehkan untuk itu secara bebas sebebas-bebasnya melanggar ketertiban umum dengan berdagang secara “liar” terlebih merampas hak pejalan kaki.
Di Jakarta, sebagai cerminan konkret, bukanlah para warga yang malas untuk bepergian dengan berjalan kaki, namun kondisi jalan dan trotoar yang TIDAK MEMADAI dan JAUH DARI KATA RAMAH, sehingga mengakibatkan tiada warga yang berminat untuk berjalan kaki, dan memilih untuk membeli serta mengendarai kendaraan bermotor. Kebijakan sang gubernur, kontraproduktif terhadap dorongan untuk beralih dari kendaraan pribadi menuju “berjalan kaki” seperti budaya sosial di Jepang.
Jadinya, bila hal-hal ilegal justru kemudian dilegalkan oleh kebijakan “blunder” sang gubernur yang seolah kerap mencari “sensasi” demikian, maka tiada lagi wajah kota yang diwarnai ketertiban, dan menjelma menjadi semrawut, mirip hukum di “zaman rimba” kembali, seolah tanpa aturan, dimana pedagang-pedagang liar dan aksi premanisme menjadi meraja-lela. PKL adalah orang-orang kecil? Survei dari manakah yang menyebut demikian?
Para pedagang PKL tersebut banyak diantaranya berasal dari luar kota. Kedua, apakah seluruh pejalan kaki adalah berlatar belakang ekonomi mapan, tidak kalah “miskin” dengan sang PKL? Jika pejalan kaki tersebut memang mapan secara ekonomi, mengapa mereka tidak memilih untuk membeli dan mengendarai kendaraan pribadi?
Kehidupan layak bagi PKL, seolah menjadi dalil dan alibinya, namun mengapa justru dimaknai secara “kerdil” oleh sang “gubernur kerdil” dengan mengorbankan hak-hak pejalan kaki, serta hak-hak pedagang formal yang menguarkan biaya investasi dengan menyewa ruko? Maka, dimanakah letak keadilannya kebijakan “salah kaprah” demikian? Kebijakan sang gubernur adalah kebijakan yang sangat tidak mendidik untuk sekelas warga ibukota yang semestinya beradab, tertib, terdidik, dan berbudaya.
Pejalan kaki selama ini sudah demikian tersisih dari perkotaan kita yang tidak ramah terhadap pejalan kaki (pengecualian hanya berada pada beberapa ruang jalan pusat bisnis semata), kondisi trotoar yang tidak layak karena penuh lubang, penuh iklan dan spanduk dengan kawat berjuluran, ranting-ranting pohon tidak terpangkas, harus pula waswas karena potensi terancam pengendara kendaraan roda dua yang arogan, kondisi pedestrian yang tidak terawat dan harus berebut ruang dengan PKL dan pengendara “Ojol” (ojek online), kondisi bahu jalan yang penuh ranting-ranting dan objek berbahaya lainnya melintang ke badan jalan yang sewaktu-waktu dapat melukai mata pejalan kaki.
Jika PKL dibolehkan untuk berjualan di trotoar, artinya mematikan pedagang legal yang tertib menyewa dan berjualan di ruko-ruko. Karena itulah, para pedagang formal selalu kalah dari segi harga dengan barang jualan PKL, yang pada gilirannya menjelma “lingkaran setan” bagi pedagang formal yang terancam merugi dan “gulung tikar” akibat biaya sewa tidak tertutup hasil laba usaha.
Dampak tidak langsung berantainya, sang gubernur seolah hendak mematikan jiwa kreatif warga negaranya sendiri. Hari gini, berjualan “offline”? Gubernur yang beradab akan menerapkan kebijakan yang memberdayakan warga negaranya, bukan kebijakan “potong kompas” dan terlebih mengandalkan jalan serba “instan” ala sang “gubernur kerdil” yang lebih sibuk mengurusi soal “becak” sementara gubernur di negara-negara maju sibuk mengurusi kecanggihan teknologi kota, kemudahan akses, dan wajah yang humanis bagi para pejalan kakinya.
Jika PKL dilegalkan berdagang di trotoar, lantas pejalan kaki harus berjalan di manakah? Berebut jalan dengan pengendara kendaraan bermotor di badan jalan? Jika pejalan kaki sampai terluka akibat terserempet atau bahkan tertabrak kendaraan bermotor karena harus terpaksa berjalan di bahu jalan, maka apakah sang “gubernur kerdil” tersebut akan bersedia untuk bertanggung jawab? (Penulis pernah menjadi korban kejadian demikian, terutama keberadaan lapak PKL maupun kendaraan yang diparkir liar di pinggir jalan sehingga pejalan kaki harus berjalan ke badan jalan untuk melintasinya) Sang gubernur mengaku sebagai “mantan menteri pendidikan”, namun kebijakannya justru tidak mendidik, jauh dari nuansa cerdas. Penulis menyebutnya, sebagai kebijakan “pembodohan publik” secara massal.
PKL berhak hidup layak, lantas menjadi pembenaran diri untuk merampas hak-hak warga negara lainnya, seolah pejalan kaki tidak berhak atas trotoar. Seolah, selama ini para pejalan kaki menikmati kondisi jalan yang layak untuk berjalan kaki. Pedagang manakah, yang tidak ingin berjualan di tempat-tempat paling stategis bernama “trotoar”. Kini, mari penulis ungkap fakta empirik, mengapa para PKL tersebut sangat mati-matian ingin berjualan di trotoar.
Secara ilmu marketing (jangan berasumsi para PKL tersebut tidak memahami ilmu marketing dan bisnis tentang lokasi stategis, otak mereka tergolong “melek” soal ekonomi dan laba usaha), lokasi paling marketable di ibukota bukanlah Jalan Sudirman ataupun Jalan Thamrin, tidak lain tidak bukan ialah “TROTOAR”. Itulah sebabnya, tidak pernah ada sejarahnya PKL yang berjualan di trotoar mengalami kerugian sampai-sampai harus “gulung tikar”.
Mengapa? Rasanya tidak perlu bagi penulis untuk menjelaskannya secara panjang-lebar mengapa dapat demikian. Mungkin hanya sang gubernur yang “kelewat kerdil” tersebut yang masih harus diberi penjelasan hal yang bagi kalangan orang dewasa pada umumnya sudah cukup demikian jelas tanpa perlu lagi harus diberi penjelasan apapun.
Jika para PKL tersebut diberi kesempatan untuk memilih, untuk berdagang sekalipun secara tanpa iuran sewa, di ruko ataukah di trotoar, menurut Anda, dimanakah yang akan dipilih oleh sang PKL? Sebagai penutup, sebuah peribahasa Belanda pernah secara relevan menyampaikan: “Een goed verstaander heeft maar een half woord nodig.” Artinya, orang yang pandai memahami, (cukup) membutuhkan separuh perkataan. Jika masih belum jelas, tahu berbuat apa yang diharapkan dari dia.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.