Preseden / Yurisprudensi sebagai Implementasi Prinsip Equal Treatment If Equal Circumstances

ARTIKEL HUKUM
Baik Mahkamah Konstitusi RI maupun Mahkamah Agung RI memiliki pendirian ataupun klaim bahwa mereka menganut prinsip “equal treatment if equal circumstances”, yang bila diartikan bermakna sebagai : perlakuan sama untuk kondisi yang sama. Namun, kerapkali antar putusan Mahkamah Konstitusi RI maupun Mahkamah Agung RI justru secara kontradiktif saling bertolak-belakang dengan putusan lembaganya sendiri sebelumnya (dengan disparitas yang mencapai 180 derajat), seperti putusan MK RI yang menyatakan “maximum security” menjelma amar putusan “relative security” dalam perkara pengujian Undang-Undang terkait importasi hewan ternak—patut menjadi pertanyaan bagi masyarakat umum, ada apa dengan Mahkamah kita?
Semua orang termasuk semua hakim, dapat berseru lantang “prinsip equal treatment if equal circumstances”, namun ketika pada praktiknya justru menggunakan pendekatan sebaliknya, maka semua “kegenitan intelektual” demikian menjelma “jargon” atau “slogan” omong-kosong belaka—yang lagi-lagi dihadapkan atau dibenturkan dengan pembenaran diri (justifikasi), bahwasannya hakim bebas dan independen, tidak terikat pada preseden, alias menerapkan “standar ganda”.
Dalam pandangan penulis, prinsip “equal treatment if equal circumstances” hanya dapat dimaknai sebagai penerapan norma / kaedah hukum bentukan preseden, secara kuat dan tegas, secara konsisten, tanpa toleransi terlebih penyimpangan, sehingga daya prediktabilitas dalam praktik hukum bersifat mutlak akibat penerapan daya ikatnya dalam derajat yang paling maksimum. Diluar konteks preseden, prinsip “equal treatment if equal circumstances” sama sekali tidak boleh dijadikan sebagai “alibi”. Mengapa? Itulah ulasan paling utama yang hendak penulis kaji dalam artikel singkat ini.
Prinsip “equal treatment if equal circumstances”, tidak seideal yang tampak di permukaan, mengingat jawabannya bisa sangat bias dan subjektif. Kesewenangan-wenangan seorang hakim, memiliki dasar argumentasinya semudah dengan menggunakan, merujuk, atau mengutip dalil “prinsip equal treatment if equal circumstances”. Diluar pemaknaannya sebagai daya ikat dan daya keberlakuan norma preseden, prinsip tersebut sejatinya menyerupai “prinsip karet” yang sangat elastis dan dapat disalah-gunakan guna melegitimasi kepentingan-kepentingan tertentu.
Semisal, antara buah apel dan tomat, keduanya apakah sama ataukah saling berbeda? Antara apel dan tomat, mereka sama-sama “buah”, sehingga menjadi sah saja membuat perbandingan antara keduanya (mengapa tidak?). Mengapa juga “jeruk hanya boleh dibandingkan dengan jeruk lainnya”, sementara tiada satupun jeruk yang dapat disebut sebagai jeruk yang paling asli dan jeruk yang lain sebagai bukan jeruk (di dunia ini terdapat ratusan jenis spesies jeruk, manakah jeruk yang otentik?). Masing-masing memiliki keunikan dan karakternya masing-masing, karenanya juga tidak tepat membandingkan antara “jeruk dan jeruk”, namun harus yang saling sejenis secara spesifik.
Begitupula antara seekor sapi dan seekor monyet, mereka sama-sama berada pada “kingdom” animalia alias hewan. Bahkan memperbandingkan antara “monyet dan monyet”-pun belum tentu tepat, karena masing-masing monyet memiliki sub-spesiesnya yang saling unik dan tidak dapat disamakan satu sama lainnya. Namun, apakah artinya antara si monyet dan si sapi tidak punya kesamaan sama sekali? Mereka sama-sama berbulu, memiliki dua mata, memakan tumbuhan dan buah, dsb.
Mencuri untuk tujuan mengisi perut yang kelaparan dan pencurian untuk tujuan menghimpun dana besar guna hidup mewah, tentulah saling berbeda, meskipun terkena delik pasal pidana yang sama perihal “pencurian”. Daya lenting yang diakomodasi sistem hukum pidana di Indonesia, hanya berupa pasal yang berlainan untuk “pencurian dengan pemberatan” seperti pencurian pada malam hari atau pencurian dengan menggunakan alat seperti anak kunci palsu, maupun dalam ancaman sanksi pidana penjara minimum dan maksimum. Sehingga, pada dasariahnya selama ini kita sedikit-banyaknya telah pula menerapkan “prinsip equal treatment if equal circumstances”—hanya saja, dalam aspek tertentu dijalankan secara tidak konsisten sehingga terjadi disparitas antar putusan dengan karakter serupa dengan putusan-putusan sebelumnya.
Kembali sejenak pada persoalan “jeruk”, yang belum tuntas penulis urai dan bahas bersama. Kita ambil contoh ketika kita mengamati perbandingan antara dua buah jeruk dari spesies atau jenis yang sama, ternyata faktor subjektivitas pengamatnya yang paling amat dominan. Sebagai contoh, bila pengamatnya adalah seorang pencinta buah-buahan, ia akan memilih jeruk dengan kondisi kulit yang justru tidak mulus akibat banyaknya bekas gigitan serangga pertanda buah jeruk tersebut manis isi buahnya, sebagai jeruk dengan predikat kualitas terbaik. Sebaliknya, pengamat yang hanya pandai menilai dari kulit luarnya, buah jeruk yang paling mulus-lah kulitnya yang akan dianugerahi sebagai jeruk paling berkualitas dan unggulan. Unggul atau tidaknya, bukan sang “buah” yang menentukan, namun subjektivitas para pengamatnya itu sendiri yang paling mendominasi faktor penentunya.
Sehingga, dalam kesimpulan penulis, bukanlah objeknya yang terpenting, namun kualitas dan kualifikasi para pengamatnya itu sendiri yang harus seragam. Pengamatnya haruslah sesama “pecinta buah”, sebagai contoh, untuk dapat menentukan manakah jeruk terbaik. Contoh lainnya, seseorang dengan lidah yang menyukai rasa asin, sekalipun disuguhkan masakan dengan menu yang sama oleh beberapa koki, akan memberikan penilaian yang berbeda dengan seorang juri lainnya yang kebetulan memiliki selera rasa manis dan asam. Karenanya, kualitas dan kualifikasi para pengamatnya yang harus seragam, barulah penilaian yang objektif dapat tercipta. Dengan kata lain, bukanlah objek pengamatannya yang penting, namun sisi subjektivitas pengamatnya yang paling harus diperhitungkan.
Namun, praktik hukum tidak boleh menganalogikan “selera” layaknya seorang “selera” seorang juri pada kompetisi masak-memasak. Guna menerapkan secara tegas prinsip akuntabilitas dan objektivitas hakim ketika memeriksa dan memutus suatu perkara, tidak bisa tidak hakim perlu diikat oleh norma-norma bentukan preseden / yurisprudensi yang selama ini telah terbangun, agar terbentuk kepastian hukum sebagai faktor pembentukan hukum nasional, terlepas apapun “selera” dari sang hakim.
Tolak-ukur maupun parameter dan kriterianya menjadi sangat jelas, dan instrumen guna menilai kinerja seorang hakim pun menjadi mudah untuk diberlakukan sebagai cara mengawasi kualitas kerja seorang hakim—yakni konsisten atau tidaknya sang hakim pada kaedah bentuk preseden / yurisprudensi yang telah diputus sebelumnya. Karenanya, dalam negara-negara dengan Budaya Hukum Common Law, “menyuap” seorang hakim adalah hal yang percuma, mereka terikat oleh sebuah “blangko” putusan bernama preseden itu sendiri (the binding force of precedent).
Undang-undang-nya boleh sama, konstitusinya boleh sama, teorinya boleh sama, lulusan fakultasnya boleh sama, akademinya boleh sama, gelarnya pun juga sama, namun mengapa antar putusan dan antar hakim maupun antar pengamat hukum, saling memiliki opini yang beragam hingga saling bertolak-belakang dan sampai pada ajang debat-mendebat? Pernahkah Anda bertanya, mengapa dapat terjadi demikian?
Prinsip “equal treatment if equal circumstances”, tampaknya masih sekadar “mantra” yang mengisi buku-buku teks ilmu hukum (kegenitan intelektual belaka), namun belum benar-benar dipraktikkan dan dihayati dalam praktik berhukum di negeri kita selama ini. Prinsip “equal treatment if equal circumstances” tidak akan pernah dapat kita temukan ataupun andalkan pada peraturan perundang-undangan, mengingat kerap kali antar putusan saling berdisparitas sekalipun dasar hukum rujukannya tidak lain tidak bukan ialah undang-undang dan konstitusi yang sama—ingatlah selalu, bukan perihal objek pengamatannya, namun subjek pengamatnya itu sendiri yang memiliki faktor subjektivitas sebagai penentu, sebagaimana telah penulis urai di muka.
Prinsip “equal treatment if equal circumstances” hanya dapat dipahami dan dipelajari lewat pendekatan kasus, yakni bedah yurisprudensi itu sendiri guna mendapatkan kaedah (hukum dalam) preseden yang wajib diterapkan secara tegas dan konsisten. Prinsip “equal treatment if equal circumstances” diharapkan dapat menciptakan keadilan bagi semesta rakyat—namun yang menjadi pertanyaan paling mendasar bagi kita bersama, mungkinkan tercipta sebentuk keadilan, bila tiada kepastian hukum yang menjadi pilarnya?
Kini, akan penulis ungkap “rahasia” dibalik asas preseden, yakni kata kunci yang terletak pada apa yang penulis garis-bawahi sebagai berikut: “equal treatment if equal circumstances”. Kondisi dan situasi, terletak pada apa yang disebut sebagai “konteks”. Norma peraturan perundang-undangan, adalah sebatas “teks”, tidak mengandung “konteks”.
Untuk dapat menemukan “konteks”, mau tidak mau suka tidak suka kita harus membedah dan mempelajari kaedah-kaedah bentuk preseden. Bila seseorang lulusan fakultas hukum ternyata belum pernah mengkonsumsi hingga bilangan “ribuah” buah putusan pengadilan, maka dirinya belum layak mengaku atau menyebut diri sebagai seorang Sarjana Hukum—terlebih untuk berpraktik hukum.
Ironisnya, rata-rata Sarjana Hukum di Indonesia dicetak dan diluluskan setiap tahunnya meski hanya mengantungi “jam terbang” mengeksaminasi tidak lebih dari hanya lima buah putusan pengadilan. Apakah yang dapat masyarakat harapkan dalam pembentukan hukum nasional, dari sarjana-sarjana hukum “karbitan” demikian? Kita semua mengetahui, sumber formal hukum terdiri dari “undang-undang” dan “yurisprudensi”, namun seberapa banyak dari mereka yang benar-benar mempelajari dan mendalami keduanya? Keduanya, antara undang-undang dan yurisprudensi, bukanlah produk hukum yang substitusi sifatnya, namun saling komplomenter, tidak dapat terpisahkan satu sama lainnya.
Ketika kita telah menemukan “konteks” dari suatu kaedah hukum bentukan preseden, maka barulah kita mampu menerapkan prinsip “equal treatment if equal circumstances”. Bagi yang bersikeras mampu menerapkan prinsip “equal treatment if equal circumstances” semata dari peraturan perundang-undangan tanpa mempelajari dan menguasai ilmu preseden, maka yang menjadi pertanyaan besar bagi mereka, dimanakah cara kita menemukan sebuah “equal circumstances” dalam suatu “teks” peraturan perundang-undangan? Itulah sebabnya, cukup menggelikan ketika Sarjana Hukum di Indonesia yang tidak menjadikan preseden sebagai supremasi hukum menyebut-nyebut perihal prinsip “equal treatment if equal circumstances”—pandai mengutip, namun diragukan pemahamannya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.