Moral Hazard Monopoli Hak Menuntut Profesi Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri, Mengamputasi Hak Korban untuk Merumuskan Dakwaan dan Tuntutan terhadap Pelaku Kejahatan

ARTIKEL HUKUM
Sudah sejak lama, masyarakat mengeluhkan layanan lembaga kepolisian yang seolah menindak-lanjuti laporan pelapor yang mengalami aksi kriminil—sementara disaat bersamaan sang korban maupun warga dilarang untuk “main hakim sendiri”. Menyelidiki dan menyidik, seperti menggeledah, menangkap dan menahan, hingga menggunakan senjata api, dimonopoli kalangan penyidik dan kepolisian.
Sudah sejak lama pula, kalangan sipil dari kalangan aktivis hak asasi manusia menuntut agar diberi hak untuk mengajukan tuntutan pidana terhadap tersangka pembunuhan Aktivis HAM Munir yang meninggal akibat operasi intelijen di atas pesawat yang ia tumpangi, mengingat dakwaan Jaksa Penuntut Umum dinilai penuh celah, tidak sempurna, dan sarat bias kepentingan. Alhasil tuntutan menjadi lemah, tidak optimal, dan terkesan memberi celah dan kesempatan pelaku untuk bebas dan “bersih” secara hukum.
Beberapa waktu lampau, salah seorang klien dari penulis juga pernah mengajukan keluhan serupa. Dirinya menjadi korban penipuan, dimana setelah melalui serangkaian laporan kepolisian yang meletihkan secara mental, pihak Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri justru merumuskan dakwaan dan tuntutan yang sangat mengejutkan, sebagai berikut : “Menghukum untuk melepaskan Terdakwa dari seluruh tuntutan hukum. Kedua, menyatakan Terdakwa terbukti melakukan apa yang didakwakan, namun bukan termasuk ranah pidana.”—anti klimaks dari segala jirih-payah menghukum seorang pelaku aksi kriminil.
Alhasil, karena dituntut agar Terdakwa “dilepaskan”, pada tingkat Pengadilan Negeri sang Terdakwa delik “penipuan” diputus dengan vonis pidana pemenjaraan selama beberapa tahun, alias ultra petita dari apa yang dituntut oleh sang Jaksa Penuntut. Karena, sebagaimana preseden yang sudah-sudah menyebutkan, sifat kejahatan dari “penipuan” itu sendiri sudah merupakan faktor yang memberatkan kesalahan Terdakwa.
Namun, dalam tingkat banding, sang Terdakwa dibebaskan dari penjara, dan mengubah amar putusan dari vonis “pidana penjara” menjadi “dilepaskan” (onslag). Majelis Hakim Pengadilan Tinggi berpikir, jika memang itu yang menjadi tuntutan Jaksa Penuntut, yakni agar “dilepaskan”, mengapa juga pengadilan bersikap “kepo” dengan mempidana penjara sang Terdakwa?
Merasa terkejut, klien penulis yang menggunakan jasa profesi Pengacara (lawyer, atau yang beken menyebut profesi “mencari-cari perkara” dirinya tersebut sebagai Advokat) mengajukan upaya hukum kasasi dalam upaya hukum perdata setelah kalah pada tingkat Pengadilan Negeri akibat belum terbit sebuah putusan pidana yang menyatakan betul bahwa pihak Tergugat telah melakukan penipuan, maka Akta Otentik tidak dapat dipersangkakan hasil penipuan untuk dapat dibatalkan.
Yang lebih mengejutkan, permohonan kasasi ditolak panitera pengadilan, dengan alasan telah melampaui batas waktu mengajukan kasasi. Ketika kemudian klien penulis mengadukan hal tersebut kepada penulis dan meminta nasehat hukum, penulis berkomentar bahwa bagaimana mungkin, seorang pengacara tidak tahu aturan prosedural dan tenggang waktu limitatif imperatif permohonan upaya hukum kasasi, sekalipun itu sudah “makanan” seorang pengacara sehari-hari?
Klien penulis menanggapi, mahasiswa yang mencari tahu tentang permohonan kasasi dari internet saja sudah tahu tenggat waktu mengajukan permohonan kasasi, sehingga apa motif dibalik “kesengajaan” sang pengacara yang mengakibatkan Terdakwa kini “melenggok” bebas dan menghirup udara segar? Bukan lagi rahasia umum, bila kalangan pengacara kerap “berdiri dengan 4 kaki”—yakni dua kaki seolah memihak sang klien, namun dua kaki lainnya melindungi lawan dari sang klien.
Setelah penulis berikan jasa Legal Opinion terkait permasalahan hukum yang dihadapi sang klien agar dapat mengajukan permohonan PK atas perdata perdatanya tanpa menggunakan jasa pengacara agar tidak kembali dikecewakan oleh kalangan pengacara (yang menurut pengakuan sang klien : tarifnya mahal namun hasilnya tidak jelas), klien penulis tersebut kemudian melontarkan sebuah ide dengan pertanyaan, apakah bisa bila hak monopoli Jaksa Penuntut Umum dalam merumuskan dan mendakwa serta menuntut seorang Tersangka dan Terdakwa, kewenangan monopoli Kejaksaan tersebut dapat dimohonkan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi RI agar dibatalkan sehingga sipil juga berwenang mengajukan tuntutannya sendiri tanpa bergantung pada itikad Kejaksaan yang belum tentu memihak pihak korban?
Terhadap lontaran pertanyaan penuh ingin tahu demikian oleh sang klien, Penulis langsung memberi tanggapan tegas, sebaiknya mengurungkan niat demikian, mengingat belum ada gelagat tanda-tanda keberpihakan dan kemauan politik untuk menanggalkan dan mendobrak budaya “monopolistik” kalangan profesi Jaksa Penuntut pada Kejaksaan.
Monopolistik penuntutan kalangan Kejaksaan, merupakan “lahan empuk” bermain kolusi—sebagaimana kerap kalangan profesi Jaksa tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akibat melakukan kolusi “kongkalikong” dalam “jual-beli” pasal yang akan didakwakan. Modus “jual-beli” pasal dengan kalangan profesi Kejaksaan, bukanlah mitos, juga bukan “rahasia umum”, namun adalah fakta adanya dan masif terjadi.
Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap kalangan Kejaksaan, hanyalah contoh kecil yang segelintir dari masifnya aksi kolusi kalangan Kejaksaan sebagaimana telah banyak penulis lihat sendiri. Ada gula (manisnya hak monopoli kewenangan menuntut dan merumuskan tuntutan kalangan Kejaksaan), maka ada semut (para mafia kasus). Bila Jaksa Agung RI berkeberatan terhadap pernyataan penulis, maka siap-siaplah sang Jaksa Agung akan ditertawai rakyat yang sudah tahu betul aksi kolusi kalangan profesi Kejaksaan.
Salah satu aspek yang kerap menjadi ruang “negosiasi” antara mafia kasus dan kalangan Kejaksaan, ialah apakah akan digunakan pasal dari suatu undang-undang “lex generalis” ataukah pasal dari suatu undang-undang “lex spesiali” yang lebih menguntungkan pihak pemberi suap. Bila ketentuan sanksi dalam undang-undang “lex generalis” ternyata lebih berat dalam ancaman vonis hukuman bagi pelanggar, maka jika pemberi suap ialah sang Terdakwa itu sendiri maka akan digunakan undang-undang “lex spesialis” oleh sang Jaksa Penuntut Umum.
Namun, bila sang pemberi suap ialah korban pelapor, maka akan digunakan undang-undang “lex generalis”. Tidaklah mungkin penulis mengetahui modus demikian bila penulis tidak tahu betul segala “bau busuk” kalangan profesi Kejaksaan yang hidup bergelimang kemewahan berkat “menjual” kewenangan monopolistik profesi mereka untuk menjadi transaksi suap-menyuap.
Memang betul, bahwa Undang-Undang tentang Kejaksaan tidak melarang seorang Jaksa Penuntut Umum untuk merumuskan tuntutan berupa agar seorang Terdakwa dinyatakan “dilepaskan”. Namun, dalam praktik peradilan, amar putusan berupa “dilepaskan” menjadi hak prerogatif hakim dalam memutus, bukan hak prerogatif seorang Jaksa Penuntut untuk menuntut “dilepaskan”. Mendapati rumusan tuntutan demikian dalam berkas putusan, tidak bisa tidak dapat dipastikan telah terjadi transaksi politis antara sang Jaksa Penuntut Umum dan sang Terdakwa.
Ketika sang Terdakwa diputus “dilepaskan” dalam tingkat banding, maka apakah Jaksa Penuntut akan mengajukan upaya hukum kasasi? Klien penulis kemudian menanggapi, jika yang menjadi tuntutan saja ialah agar Terdakwa “dilepaskan”, dan hakim sudah mengabulkan demikian, maka untuk apa lagi dan apa alasannya mengajukan kasasi, hukuman terlampau ringan? Kami, antara sang klien dan penulis pun saling tertawa mempertawai segala “kegilaan” yang terjadi secara vulgar di ruang peradilan.
Dimanakah Komisi Kejaksaan, yang semestinya dan seharusnya mengawasi kinerja para aparatur Kejaksaan? Apakah mungkin, sumber daya manusia KPK yang demikian minim, mampu mengawasi dan menindak seluruh lembaga negara mulai dari hakim, jaksa, polisi, anggota parlemen, menteri, pejabat birokrat, pengurus BUMN/D, dan berbagai luasnya bidang lingkup urusan negara ini? Kemana jugakah para polisi kita yang sudah demikian “gemuk” itu?
Rakyat sipil berhak melapor kejadian tindak pidana yang dialami olehnya kepada pihak berwajib, namun yang berhak dan berwenang menyidik ialah hanya (monopolistik) Kepolisian atau Penyidik dari Pegawai Negeri Sipil tertentu, sementara yang pada gilirannya menyusun dakwaan dan merumuskan tuntutan, ialah monopolistik Kejaksaan, demikian Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengaturnya.
Power tends to corrupt—maka, kewenangan monopolistik yang absolut, corrupt absolutely. Selebihnya, rakyat sipil hanya diberi hak “gigit jari”, atau biarkan “hukum karma” yang akan mengambil-alih dan menindak sang pelaku plus aparatur penegak hukum yang mengabaikan hak-hak sang korban pelapor. Hingga kini, bahkan Jaksa Agung RI masih menyisakan “hutang moril” kepada Suciwati, istri Almarhum Munir atas konspirasi pembunuhan berencana terhadap aktivis HAM tersebut. Keberhasilan Pollycarpus dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, menjadi monumen “sisi negatif kewenangan monopolistik penuntutan” kalangan Kejaksaan yang sudah sejak lama mendapat kritik dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan penggiat HAM.
Yang juga perlu kita mulai pahami, divonis penjaranya seorang terpidana, bukanlah akhir dari episode pertunjukkan aksi kriminal “berjemaah” ini, karena bagaikan Setya Novanto yang mampu makan di restoran padang dan menyambangi toko material selama masa menjalankan hukuman pidana penjaranya, atau seperti kasus Gayus Tambunan yang mampu menjadi penonton sebuah pertandingan olah-raga selama masa tahannya, maka bisa jadi divonis pidananya seorang pelaku kejahatan, adalah aksi “cuci dosa” itu sendiri.
Kasus Setya Novanto maupun Gayus, adalah sekadar contoh kasus yang terungkap berkat pengawasan publik, yang tidak terkuak bebas berkeliarannya para narapidana lain diluar sel mereka, ditengarai jauh lebih masif, seperti kasus tertangkapnya Kepala Lapas Sukamiskin oleh KPK karena aksi kolusi bersama seorang narapidana.
Kita selama ini berasumsi bahwa aparatur Lembaga Pemasyarakan (Lapas) kita adalah orang-orang berintegritas, sipir dan Kepala Lapas yang tidak mampu disuap, sehingga dipidana penjara seorang pelaku kejahatan ialah “the ultimate goal” yang patut disasar dan diperjuangkan apapun taruhannya. Namun, fakta realita kembali bercerita lain.
Dipidananya pelaku kejahatan seperti pengedar obat terlarang, bukanlah akhir dari segalanya, justru itulah lembaran baru aksi pengedaran obat terlarang dengan demikian tersistematis dimana otak pelakunya justru beroperasi dan mengendaliikan dari balik jeruji penjara. Ketika harapan ideal kita “pupus” oleh asumsi kita yang berbeda dengan fakta, maka penegakan hukum tidak lagi dapat kita andalkan sepenuhnya. “The ultimate goal” dalam stelsel pemidanaan demikian, adalah sebuah “omong kosong” yang demikian mahal, meletihkan, dan PHP (pemberi harapan palsu).
Bila sudah seperti itu, melihat realita praktik penegakan hukum di Indonesia, kita patut apatis terhadap itikad para aparatur penegak hukum kita, dan akan lebih masuk akal untuk menyerahkannya pada eksekutor dari Hukum Karma, yang tidak perlu disuap untuk mengeksekusi, dan tidak dapat disuap untuk meringankan sanksi hukumannya, bahkan akan menindak pula para aparatur penegak hukum yang tidak menegakkan hukum secara semestinya.
Selama masih suatu lembaga mengemban kekuatan monopolistik, maka beban KPK selamanya tidak akan pernah tuntas, never ending stories, dan para korban sipil akan terus berjatuhan tanpa keadilan. Itulah kodrat yang harus kita bayar mahal dari sebuah kekuasan monopolistik pada suatu lembaga negara tanpa alternatif lain yang menjadi opsi bagi masyarakat sipil terkait hak-hak sipilnya.
Kekuasaan monopolistik penyelenggara negara, tidak akan pernah ramah terhadap rakyat jelata—amun selalu ramah, terbuka untuk negosiasi dan transaksional, terhadap kalangan “pemodal besar”. Bila Jaksa Agung RI bersedia menerima tantangan penulis untuk melepaskan kewenangan monopolistik lembaganya, maka dapat dipastikan Kejaksaan RI akan “gulung tikar”. Tanpa kekusaan monopolistik penuntutan, tiada lagi yang dapat dinegosiasikan, tidak ada lagi pasal-pasal yang dapat ditransaksikan, tiada lagi deal-deal politis rumusan penuntutan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.