Wanita Karir itu Seksi, Pengakuan Seorang Pria Modern

ARTIKEL HUKUM
ISTRI KORUPTOR TURUT DIPIDANA KARENA IKUT MENIKMATI HARTA HASIL KORUPSI
Tampaknya bila istri dan anak seorang koruptor turut dipidana penjara bersama sang koruptor, mungkin angka kejadian korupsi dapat ditekan hingga ke taraf paling minimun di Tanah Air. Betapa tidak, sang koruptor akan berpikir ribuan kali sebelum menyeret serta anak-istrinya “tercinta” bersama dirinya ke penjara akibat melakukan korupsi—dan sebaliknya, istri maupun anak sang koruptor akan berbuat sekuat tenaga untuk mencegah suami maupun ayah mereka dari perilaku korup semacam apapun. Apakah wacana oleh penulis demikian, memiliki kandungan moral hazard bila wacana sensitif demikian dilanjutkan pembahasannya, atau sebaliknya menjadi suatu urgensi tersendiri?
Dahulu kala, wacana agar istri koruptor turut dipidana bersama sang suami yang melakukan korupsi, pernah mendapat pertentangan keras dari penulis yang kala itu masih duduk di bangku pendidikan tinggi ilmu hukum—namun penolakan terhadap wacana demikian, adalah kejadian dahulu kala, tatkala penulis belum melihat banyaknya dan masifnya fakta empirik yang justru menunjukkan realita betapa kerapnya dijumpai kalangan ibu rumah tangga atau istri yang hidup dengan gaya hidup mewah, hedonistik, yang pada gilirannya mendorong dan menekan sang kepala keluarga untuk nekad melakukan aksi korupsi akibat berbagai tuntutan serta keinginan sang istri yang tidak bersedia hidup sederhana.
Para kalangan istri atau ibu rumah tangga tersebut, kerap tidak mau memahami betapa sukarnya bagi sang kepala keluarga untuk mencari nafkah, terlebih dipaksa dan didesak untuk memenuhi gaya hidup mewah sang istri—tanpa mau melihat keadaan ekonomi makro, terlebih keadaan dan keterbatasan dari sang suami itu sendiri. Fakta ironis demikian adalah realita yang dapat kita jumpai dengna mudah, bukan sekadar “hisapan jempol” ataupun gambaran klise semata.
Suatu fakta yang tidak dapat kita pungkiri, bahwa tidak tertutup kemungkinan faktor pendorong terbesar aksi korupsi dan kolusi, diwarnai oleh faktor dorongan dari pihak istri dari sang pelaku korupsi—tentu juga kita masih ingat pemberitaan seorang istri yang terjerat hutang sebesar 7 miliar Rupiah, kemudian menyewa pembunuh bayaran untuk menghabisi suaminya sendiri. Hutang sebesar 7 miliar Rupiah, ketika kita konversi dengan harga seporsi makanan semacam “gado-gado” atau “nasi uduk dan pecel”, maka dapat dipastikan tujuh-keturunan tidak akan mati kelaparan—namun ternyata dapat dihabiskan oleh seorang wanita bernama “istri”.
Jika saja seorang istri maupun anak-anak dari seorang kepala rumah tangga yang mencari nafkah, tidak memiliki banyak tuntutan dalam hidup berumah-tangga, merasa cukup dengan hidup sederhana dan kebutuhan hidup mendasar, maka tiada lagi alasan bagi sang kepala rumah tangga untuk mencoba-coba “berspekulasi” dengan melakukan aksi korupsi.
Istilahnya “beken”-nya, “desakan ekonomi”, alias terdesak untuk melakukan aksi korupsi “demi memenuhi” keinginan dan berbagai tuntutan gaya hidup mewah istri mereka sendiri. Seorang pria, pepatah menyebutkan, dapat menjadi jaya dan agung karena sosok seorang istri, namun bisa juga terjadi sebaliknya, jatuh terjungkal karena seorang istri. Kesuksesan seorang suami, dibaliknya terdapat sosok seorang istri—dan, prinsip yang sama berlaku sebaliknya.
Bila kita metilik dari ilmu peraturan perundang-undangan konteks pidana, maka bagi setiap subjek hukum yang turut menikmati uang ataupun harta-kekayaan hasil kejahatan, maka keseluruh pihak tersebut dapat dijerat oleh sanksi pidana—bahkan frasa demikian sejatinya dapat kita jumpai dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Justru menjadi suatu moral hazard itu sendiri, ketika terdapat rumah tangga yang terdiri dari tiga pihak, yakni suami (kepala rumah tangga), sang istri (ibu rumah tangga nonkarir), dan anak-anak, dimana keseluruhnya turut menikmati harta yang didapat dari hasil ilegal seperti penadahan maupun uang hasil korupsi, namun ternyata praktik peradilan kita hanya menjerat satu pihak saja yang dijatuhi vonis pemidanaan—yakni sang suami.
Sebagai contoh, seorang istri dari seorang suami yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil, dengan gaji bulanan yang hanya setingkat Upah Minimum Kabupaten / Kota, lalu ternyata dapat membeli kendaraan mewah, berbagai aset properti, dan berjalan-jalan ke luar negeri. Adalah mustahil bila sang istri mendalilkan tidak mengetahui bila segala dana tersebut berasal dari hasil kejahatan seperti korupsi ataupun kolusi terkait jabatan sang suami—“patut diduga dan menduga”, itulah dasar dakwaan yang dapat dipakai oleh Jaksa Penuntut Umum dalam menjerat serta seorang istri dari terdakwa koruptor.
Dalam konteks ini, tampaknya penulis akan lebih mengedepankan pendekatan ilmu sosio-kriminologi ketimbang ilmu hukum yang “kering kerontang” falsafah empirik sosiologisnya. Terdapat suatu istilah yang dikenal dengan sebutan “faktor kriminogen”, yakni faktor-faktor yang menjadi latar-belakang penyebab dan pendorong timbulnya niat untuk melakukan suatu aksi kejahatan yang kemudian konkretisasinya dilakukan oleh sang pelaku.
Berbicara perihal “faktor kriminogen”, maka suka atau tidak suka kita akan memasuki ranah metafisika berupa alam batin seorang individu—yang tidak berbentuk dan tidak berwujud, namun dapat kita rasakan dan “sentuh”. Kejahatan dan niat jahat untuk berbuat jahat, bisa jadi bersifat laten sifatnya, namun pemicu dan pendorongnya, bisa jadi bersifat eksternal—seperti faktor tuntutan keluarga yang menghendaki dipenuhinya gaya hidup mewah sementara gaji resmi sang pencari nafkah tidak memadai untuk menutupinya.
Seorang istri memang ternyata dapat menjadi demikian “berdarah dingin”—bukannya tidak mampu memahami dan melihat sukarnya keadaan ekonomi nasional hingga global maupun keterbatasan sang pencari nafkah dalam mencari nafkah, namun lebih hanya cenderung untuk berminat mendengarkan keinginan pribadi dirinya sendiri (sang istri) ketimbang mau mendengarkan bebagai kesukaran yang dihadapi oleh seorang kepala keluarga / pencari nafkah.
Untuk sekadar mendapatkan Upah Minimum Regional, bukanlah perkara sukar, sekalipun harus bekerja “serabutan”. Namun jika tuntutannya ialah “lebih dari itu” dan selalu meminta “lebih dari itu”, maka tekanan mental demikian dapat mendorong seorang suami yang secara sosiologis memang dituntut untuk menjadi pencari nafkah bagi keluarga, untuk “mengandalkan segala cara”—sekalipun itu dengan cara-cara yang tidak benar, atau cara-cara “potong kompas” untuk “cepat kaya raya” secara materi demi memenuhi segala keinginan sang istri. Dengan kata lain, sang istri-lah yang telah merubah sosok sang suami dari warga negara yang baik dan patuh hukum, untuk kemudian menjelma sebagai kriminil, koruptor, dan ironisnya : sang istri kemudian turut menikmati uang hasil kejahatan demikian dengan wajah tersenyum puas.
Sebenarnya, setiap individu, bilamana mau menyadari bahwa terdapat perbedaan besar antara “kebutuhan” dan “keinginan, dapat menyesuaikan gaya hidup mereka dengan tingkat penghasilan sang pencari nafkah, tidak lagi menekan mental sang kepala keluarga untuk menutupi “lebih besar pasak daripada tiang” yang selama ini dipertontonkan oleh gaya hidup sang istri. Banyak kalangan istri yang seolah tidak mampu mengontrol “nafsu” ketika menyaksikan iklan pariwara produk-produk yang menawarkan gaya hidup mewah, menjadi demikian penuntut, manja, dan hedonis—sekalipun suami mereka sendiri hidup demikian serba berkekurangan, semata demi kemakmuran “gaya hidup” sang istri, yang bahkan untuk membeli sandal pun menuntut sandal yang dijual di Mall yang seharga separuh gaji bulanan sang suami.
Ketika sang suami akhirnya terjerat dalam “lingkaran gelap” bernama korupsi dan kolusi, lalu sang istri justru turut menikmati, merasa bergembira, dan bahkan menyemangati sang suami seolah itulah langkah yang benar dan tepat untuk terus dilakoni, maka sama artinya kian mendorong sang suami untuk memasuki lembah petaka kemerosotan—sementara kita ketahui, sistem delik pemidanaan saat kini hanya menjerat pidana sang koruptor, tidak menyeret serta istri ataupun anak-anaknya. Mungkin sang suami akan berpikir, bahwa sekalipun harus melakukan korupsi, setidaknya dirinya tidak lagi mendengarkan “ocehan” sang istri yang menuntut uang “lebih banyak lagi”—entahlah, namun demikianlah yang penulis amati dalam realita maupun dari penuturan sejumlah pihak.
Dari segi itulah, seorang istri yang hanya mencari “zona nyaman” dengan menjadi seorang ibu rumah tangga belaka, tanpa mau bersusah-payah mencoba betapa sukarnya mencari nafkah, sekalipun itu hanya bertaraf Upah Minimum Kota, lantas hanya mampu menuntut dan meminta dari sang pencari nafkah, penulis nilai sebagai suatu moral hazard itu sendiri—dengan kata lain, bias gender bahwa hanya seolah suami / pria yang dapat dituntut untuk mencari nafkah, kerap “disalah-gunakan” oleh kalangan istri yang hanya sekadar bersantai dan berpuas diri dengan statusnya sebagai seorang “ibu rumah tangga” (mohon maaf atas kejujuran dan kelugasan penuturan penulis, dengan kerendahan hati penulis memohon maaf sebesar-besarnya kepada kalangan ibu rumah tangga sekaligus pernyataan keprihatinan yang tulus bagi kalangan “suami takut istri”), dengan berlindung dibalik “bias gender” demikian. Anggaplah, tulisan singkat ini sebagai gugatan moral penulis terhadap “bias gender”—yang justru lebih kerap disalah-gunakan kalangan wanita / perempuan.
Itulah sebabnya, bagi kalangan pria yang tidak ingin terjebak dalam “lingkaran gelap” perilaku korupsi dan kolusi, ada baiknya menikahi seorang wanita karir, atau setidaknya mengizinkan dan mendorong istri mereka untuk mencari nafkah sendiri bila memang tuntutan mereka melampaui apa yang mampu disanggupi oleh sang suami. Kita patut bersyukur dan mensyukuri, pada era modern ini sudah banyak dapat kita jumpai kalangan wanita karir yang sangat penulis hargai dan hormati. Mengasuh dan mendidik anak, memang tugas mulia. Namun, tidak menjerumuskan seorang suami, dan tidak menambah beban seorang suami, adalah tidak kalah mulianya. Wanita karir, bukanlah lagi sesuatu yang patut ditabukan sebagaimana paradigma lawas para pria “kuno” zaman “tempoe doeloe” yang belum open-minded.
Namun yang menarik, zaman digital saat kini telah membuat banyak anak muda sukses dengan karir pribadi mereka yang bertajuk “start-up”, sehingga mereka mampu “bebas secara ekonomi” tanpa membawa banyak beban bagi seorang kepala keluarga untuk mendanai berbagai keinginan anak muda atas gadget maupun biaya pertualangan khas ala “anak muda”. Namun, mental kalangan istri di Indonesia masih sangat orthodoks dan konvensional.
Seorang suami, terutama yang berkarir sebagai pengusaha swasta, dapat berpotensi mengalami keuntungan, dan sebaliknya, dapat berpotensi mengalami kerugian, atau bahkan mencetak kebangkrutan. Namun, pernahkah seorang istri akan “cuti” meminta uang belanja, “curi” menuntut ini dan itu, “cuti” dari merengek dan “ngembek” karena berbagai keinginannya tidak dipenuhi? “Cuti” memasak, tinggal pesan, dan makanan pun akan diantarkan langsung hingga ke depan pintu rumah. Namun, lagi-lagi sang pencari nafkah yang harus merogoh kocek kantung sakunya. Bila Anda berpikir “bias gender” kerap menguntungkan kaum pria, maka tampaknya Anda perlu mempertimbangkan ulang asumsi Anda, karena melawan realita.
Sang kepala keluarga pencari nafkah selalu berada pada sisi dilematis, pada satu sisi berada di ujung tanduk dan di sisi lain berdiri ringkih di atas jurang yang terjal—dirinya dapat mengalami kerugian sewaktu-waktu, dan pada sisi lain sang istri yang hanya berdiri dalam “zona aman” akan memborbardir sang suami yang gagal membawa pulang dana untuk membuat “dapur ngebul” dan “gaya hidup mewah ala wanita manja” (sekali lagi penulis memohon maaf, namun tulisan dan kritik ini bukan ditujukan bagi wanita karir yang mandiri secara ekonomi yang sangat penulis hormati dan kagumi dari lubuk hati terdalam seorang pria).
Singkat dan akhir kata, siapa pun boleh-boleh saja memiliki dan menghendaki gaya hidup mewah, sepanjang dipenuhi oleh dan dari keringat sendiri, bukan meminta dan menuntut pihak lain, terlebih membebani beban-beban akibat pola hidup mewah tersebut kepada seorang pencari nafkah, ditumpukan semua beban itu ke pundak seorang pencari nafkah. Penulis menyebutnya, sebagai “perbudakan modern” secara finansial, suatu KDRT itu sendiri—namun suami dan pria mana yang ingin mengakui demikian, bila bukan penulis ungkap dalam artikel singkat yang sekarang sedang Anda baca ini?
Penulis percaya dan meyakini dengan penuh keyakinan, sepanjang seorang istri mampu menahan dan mengontrol dirinya dari gaya hidup yang “suka seenaknya sendiri”, maka tiada lagi masifnya kalangan suami pencari nafkah yang terjebak dalam arus pusaran korupsi dan kolusi di Tanah Air ini yang sudah bergelimpangan “korban-korban” suami dari para istri ibu rumah tangga demikian (sekali lagi penulis memohon maaf sebesar-besarnya).
Pepatah klasik yang masih relevan hingga saat kini mengatakan, untuk mengubah dunia ini, harus dimulai dari lini paling privat dari seorang individu, yakni bermula dari keluarga dan rumah tangga kita sendiri. Pemberatasan korupsi, menjadi salah dalam penerapan strategi bila menggunakan pendekatan sebaliknya—ingat, akar masalahnya ada di rumah, rumah-tangga, bukan di kantor. Namun, ketika seorang wanita non-karir menyatakan, “Ada uang Abang disayang, tidak ada uang Abang ditendang”, maka sejatinya yang dicintai oleh sang istri bukanlah lagi sosok seorang suami, namun “uang”, “uang”, dan “uang”—all about “money”—penulis menyebutnya sebagai “eksploitasi” berkedok “penikahan”.
Jika sang istri demikian cinta pada “uang”, mengapa tidak dirinya menikahi saja si “uang” dan merelakan untuk menceraikan sang suami? Sekali lagi penulis memohon maaf sebesar-besarnya bagi setiap istri non-karir, dan menyatakan turut prihatin bagi seluruh kepala keluarga dari seorang istri yang tidak mencari nafkahnya sendiri untuk memenuhi keinginan hidup mewah mereka.
Namun, kini saatnya penulis balik menantang, beranikah para istri-istri “ibu rumah tangga” tersebut keluar dari “zona nyaman” dan “zona aman” mereka, tanpa mengeluh, dan mulai mencari nafkahnya sendiri selain membebani semua itu pada pundak orang lain? Bila para istri tersebut tidak berani menerima tantangan penulis, maka tiada gunanya lagi bagi penulis untuk memohon maaf atas ulasan singkat ini. Akhir kata, “wanita karir” itu “seksi”—itulah pernyataan penulis yang merupakan seorang pria, yang perlu Anda ingat sepanjang hayat, wanita karir itu seksi, melampaui segala jenis wanita pesolek. Sekarang tahulah Anda, mengapa penulis tidak menjadikan sub-judul artikel ini sebagai judul utamanya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.