Makna Tanggung Jawab Moril Vs. Tanggung Jawab Yuridis

ARTIKEL HUKUM
Apa yang menjadi maksud dari bahwasannya “tanggung jawab moril” bersifat lebih luas daripada sekadar “tanggung jawab yuridis”? Sejatinya, bila setiap anggota masyarakat kita memiliki “tanggung jawab moril” yang handal dan mumpuni, maka tiada perlu seseorang dituntut di muka hakim atau pengadilan untuk dimintai pertanggung-jawaban, namun akan “to respond” (akar kata responsibility) dengan kesadaran pribadi dan nuraninya—tanpa perlu untuk dimintakan sekalipun.
Namun sebelum membahas lebih jauh, penulis akan menguraikan apakah yang dimaksud dengan “tanggung jawab moril” dalam perbandingannya terhadap “tanggung jawab yuridis”. Kita mulai dengan mengurai, apakah yang dimaksud dengan “tanggung jawab yuridis”. “Tanggung jawab yuridis”, tuntutannya sangat menyerupai sebuah “robot” yang diprogram untuk sepenuhnya patuh dan taat, dimana segala peraturan yang dirancang regulator itulah yang kemudian ditanamkan ke dalam “kesadaran hukum” dan “keadilan hukum” ke dalam kepala sang robot. Sifatnya hanyalah kepatuhan belaka, tidak kurang dan tidak lebih. Singkat kata, untuk membuat patuh dan tertib, bukan untuk pemberdayaan (pemberdayaan selalu membutuhkan / mensyaratkan kehendak bebas untuk memilih dan berbuat).
Dengan demikian, “tanggung jawab yuridis” sifatnya ialah semata patuh terhadap aturan hukum, terlepas apakah aturan hukum dimaksud adalah baik atau bahkan sebaliknya, sangat buruk. Ketika zaman / era Nazi dimana rezim Hitler masih berkuasa, terdapat sebuah peraturan dimana suatu ras tertentu harus dimusnahkan (etnic cleansing, atau yang lebih lazim dikenal sebagai genosida). Maka, itulah yang menjadi “keadilan yuridis”-nya, dimana perihal benar atau tidak benarnya tidak lagi menjadi relevan, dimana tanggung-jawab untuk memusnahkan ras tersebut sifatnya ialah “wajib dijalankan”, suka ataupun tidaknya, terlepas dari hati nurani—karena dalam “tanggung jawab yuridis”, peran kesadaran nurani (conscience) setiap subjek pengemban hukum dinihilkan. Menentangnya, maka akan diancam pidana. Karena itu jugalah, ciri-ciri dari pemerintahan yang otoriter ialah selalu mengandalkan strategi pembentukan “tanggung jawab yuridis” ke pundak warga negaranya, dan membuat tabu diskursus perihal “tanggung jawab moral”.
Karena itulah juga, bicara mengenai adil atau tidaknya, benar atau tidaknya, baik atau tidaknya, etis atau tidaknya, bernurani atau tidaknya, estetis atau tidaknya, tidak lagi menjadi relevan. Namun, sekalipun demikian, bukan berarti “tanggung jawab yuridis” sama sekali tidak dibutuhkan. Dalam suatu masyarakat yang majemuk dari segi ras, suku, maupun agama, masalah “benar” atau tidaknya dapat menjadi demikian terbias, subjektif, penuh kepentingan, dan parsial. Karena itu, dan untuk keperluan mendasar itulah, negara perlu hadir dan menjalankan perannya ditengah-tengah masyarakat sebagai pembentuk seperangkat peraturan yang mengandung muatan “tanggung jawab yuridis”.
Membiarkan mekanisme “hukum rimba” berlaku dalam suatu bangsa yang majemuk tanpa intervensi “tanggung jawab yuridis”, sama artinya membuat “chaos” suatu negara—bukan sebuah potensi, namun sudah dapat dipastikan. Demokrasi tanpa hukum, sama artinya menjurus pada anarkhi. Bahkan, untuk ukuran negara-negara teokrasi sekali pun (negara dengan yang mengusung pemerintahan berlandaskan agama, bukan negara rechtsstaat), ternyata “tanggung jawab yuridis” pun dirasakan kebutuhannya dalam rangka untuk membuat ketertiban sosial (social order) warga masyarakatnya.
Singkat kata, “tanggung jawab yuridis” bukanlah sesuatu hal yang perlu ditabukan sepanjang dalam kapasitas dan ranah tertentu. Namun ada kalanya, “tanggung jawab yuridis” justru menjadi agen “pemberangus” kemajemukan suatu bangsa seperti kecenderungan saat kini dari berbagai daerah di Tanah Air dengan terbitnya berbagai Peraturan Daerah berbasis satu golongan agama tertentu yang diberlakukan secara umum bagi publik, apapun latar-belakang masyarakatnya.
Berbeda dengan perspektif dalam cara bekerjanya “tanggung jawab yuridis”, maka dalam menelaah “tanggung jawab moril”, justru perihal aturan normatif hukum tidaklah lagi menjadi relevan. Yang menjadi relevan satu-satunya tolak ukur dalam “tanggung jawab moril”, ialah kesadaran nurani masing-masing individu selaku pribadi yang bertanggung-jawab terhadap dirinya sendiri dan juga terhadap setiap warga negara lainnya.
Karena aturan normatif hukum tidak lagi menjadi relevan dalam berbicara perihal “tanggung jawab moral”, maka sifat tanggung-jawabnya menjadi bersifat sentrifugal, yakni dari dalam diri menuju keluar diri sang individu. Berlainan dengan “tanggung jawab yuridis” yang bersifat sentripetal, dari luar diri ke dalam diri masing-masing warga negara (top to down)—tiada pemberdayaan individu dalam konteks kedua ini.
Mengingat aturan normatif tidak lagi relevan ketika berbincang mengenai “tanggung jawab moral”, maka tidak lagi perlu seorang individu warga negara terjebak dalam dilematika wacana mengenai “celah hukum”, “kekosongan hukum”, ataupun terhadap aturan hukum yang bermuatan jahat (law as a tool of crime). Seorang individu, dengan demikian, tidak lagi bergerak atau bergerak berdasarkan ada atau tidaknya aturan hukum, namun membuat pilihan bebas berdasarkan kesadaran nurani dirinya sendiri. Pemberdayaan karakter, sebagai salah satu aspek edukasi, menekankan pada langkah pendekatan “tanggung jawab moral”.
Sebagai contoh, saat kini memang terdapat Peraturan Daerah (Perda) yang memberikan ancaman sanksi bagi warga negara yang membuang sampah sembarangan. Namun, tiada satupun aturan hukum yang mengancam sanksi bagi warga negara lain yang sekadar melintas dan melihat adanya sampah berceceran di jalan, tanpa memungut dan memindahkannya ke dalam tempat sampah. Adalah peran “tanggung jawab moral” kita pribadi, untuk memungutnya dan membuangnya ke tempat sampah yang semestinya. Sama seperti para relawan yang bergerak menyapu “ranjau paku” yang bertebaran di sepanjang ruas jalan ibukota.
Ada kalanya, “tanggung jawab yuridis” bersinggungan atau memiliki persinggungan dengan ranah “tanggung jawab moral”. Contohnya, pasal delik pembunuhan dengan ancaman pidana penjara. Membunuh bukan untuk tujuan “pembelaan diri yang terpaksa”, adalah suatu perbuatan yang jahat, baik secara moral maupun buruk dan terlarang / ilegal secara hukum. Namun, perihal eksekusi vonis “hukuman mati”, dapat menjadi tarik-menarik antara “keadilan yuridis” dan “keadilan moril” (yang bersumber dari “tanggung jawab moral”).
Begitupula tindakan medik seperti “suntikan mati” (euthanasia) yang dimohonkan oleh seorang pasien yang mengidap penyakit yang menyakitkan tanpa harapan dapat disembuhkan, masih menjadi perdebatan alot diakibatkan belum adanya titik-temu antara “tanggung jawab yuridis” dan “tanggung jawab moral”. Mengapa “titik-temu” demikian menjadi penting?
Belajar dari penolakan kalangan dokter dibawah Ikatan Dokter Indonesia untuk mengeksekusi menyuntik sejenis kimia untuk “mengkebiri” organ vital terpidana asusila terhadap anak dibawah umur, sekalipun aturan yuridisnya telah mengatur dan membolehkan eksekusi demikian, serta hakim pengadilan telah menjatuhkan vonis demikian dalam amar putusannya, namun ternyata mendapat penolakan oleh kalangan dokter berdasarkan alasan “tanggung jawab moral” kalangan profesi kedokteran.
Kini kita beralih pada bahasan yang lebih sensitif, yakni: apakah dibolehkan, membuat suatu aturan yuridis-normatif-imperatif bernama “hukum”, yang tidak mengandung muatan “moral”? Bila kita jawab, “boleh”, maka akan sangat ironis sekali bila terdapat aturan hukum yang bergenre “tidak bermoral”. Faktanya, dapat kita jumpai aturan hukum yang tidak sejalan dengan rambu moralitas, dan itulah yang tepatnya sering disebut dengan istilah populer sebagai “kriminalisasi”.
Kriminalisasi itu sendiri bermakna, terdapat “tanggung jawab moral” yang melatar-belakangi seseorang untuk berbuat atau untuk tidak berbuat sesuatu, namun sebaliknya, terdapat aturan / “tanggung jawab yuridis” yang mengatur justru sebaliknya. Namun demikian patut juga untuk dicatat, tidak semua “tanggung jawab yuridis” yang tidak bermuatan “moralitas” dapat disebut sebagai bertentangan dengan “tanggung jawab moral”—sebagai contoh aturan tertib lalu-lintas berjalan di sebelah kiri ruas jalan umum, semata untuk menciptakan ketertiban di tengah masyarakat itu sendiri. Biasanya juga berlaku dalam konteks kasus-kasus administratif, semisal syarat pendirian badan hukum Perseroan Terbatas.
Sebagai seorang warga negara, kita mungkin akan memilih “tanggung jawab moral”. Namun, dalam beragam kasus yang selama ini muncul di pemberitaan media massa maupun yang dapat dengan mudahnya kita temukan pada berbagai putusan pengadilan, tampaknya kalangan hakim hingga Mahkamah Agung RI masih menekankan pada penerapan “tanggung jawab yuridis”, sekalipun sang terdakwa tidak melanggar rambu-rambu “tanggung jawab moral”. Karena itulah, pabrik kriminalisasi berhulu dari lembaga Kepolisian, berlanjut pada Kejaksaan, dengan muaranya pada Mahkamah Agung RI.
“Keadilan moral”, berkelindang dengan “keadilan sosial” kemasyarakatan, yang cenderung dinamis. Ironisnya, “keadilan yuridis” cenderung rigid serta kaku dan “membuta”—bahkan dapat disebutkan cenderung kontraproduktif dan kurang mendidik. Sebagai contoh terakhir, meski bukan yang paling akhir, ketika “tanggung jawab moral” masyarakat kita sedang hendak melindungi upaya pemberantasan korupsi, tampaknya para penyusun aturan hukum kita hendak “menggembosi” prestasi prima lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kita lewat deregulasi yang memasung, melemahkan dengan judul kemasan “menguatkan” KPK. Pada titik itulah, “tanggung jawab yuridis” kalah derajat dengan “tanggung jawab moral”.
Akhir kata, bilamana setiap dari kita, seluruh warga negara kita, memiliki kesadaran nurani yang baik, tidak tumpul dalam hal moralitas, maka negara ini sejatinya cukup bertumpu dan mengandalkan ranah “tanggung jawab moral” belaka tanpa harus diperumit oleh “rimba belantara” aturan hukum alias “tanggung jawab yuridis” (yang patut diragukan kebenaran moralnya).
Tiada yang lebih ironis, daripada suatu bangsa yang membutuhkan sedemikian banyak perangkat dan aturan hukum—cerminan dari lemahnya “tanggung jawab moral” bangsa bersangkutan, sehingga “tidak membunuh”, “tidak menipu”, “tidak mencuri”, “tidak melakukan tindakan asusila”, dan “tidak mengkonsumsi makanan / minuman memabukkan” saja masih harus diatur lewat mekanisme aturan hukum pemidanaan yang berisi berbagai ancaman bagi para pelanggarnya.
Pada gilirannya, terjadilah kriminalisasi akibat over-regulated—yang penulis sebut sebagai buah simalakama. Sekalipun sudah sedemikian jelas buruknya perbuatan-perbuatan dimaksud, namun tetap saja masih terjadi masifnya pelanggaran terhadap “tanggung jawab moral”. Ada saatnya kita tidak lagi membutuhkan lembaga seperti Kepolisian, Kejaksaan, maupun Peradilan dan KPK, ketika seluruh masyarakat dan bangsa kita memahami dan memiliki sepenuhnya suatu “tanggung jawab moral”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.