Membela / Menjaga Diri Vs. Cari Ribut, Cari Gara-Gara, dan Cari Gaduh

ARTIKEL HUKUM
Entah mengapa dan bagaimana, masyarakat kita dewasa ini kian tidak mampu memilah sesuatu hal dan kerap mencampur-adukkan satu hal dengan hal lain yang sejatinya bertolak-belakang, bahkan memutar balik dari “sebab” menjadi “akibat” dan “akibat” sebagai “sebab”. Dengan menggunakan logika akal sehat yang paling sederhana, sebagai orang dewasa sejatinya kita mampu memilah mana “sebab” dan mana “akibat”—sehingga sebenarnya artikel ini tidak perlu sampai harus penulis ulas, angkat isunya, serta membahasanya. Entah benar-benar tidak tahu, ataukah “tahu namun pura-pura tidak tahu”.
Kerap kali penulis merasa keheranan tanpa habisnya, bagaimana mungkin, hanya sebatas membela diri dan menjaga hak-hak pribadi sebagai sesama warganegara dari perilaku buruk warganegara lainnya, seketika akan dijuluki sebagai seorang tukang “cari ribut”, bahkan dijuluki pula sebagai “tukang ribut” atau seperti “tukang onar”?
Sejak kapankah, membela dan memperjuangkan harkat dan martabat diri kita, kita perlu meminta izin dari orang lain? Sejak kapankah, menjadi korban adalah aib, bahkan seorang korban tabu untuk melawan, sementara sang pelakunya yang melakukan perbuatan buruk terhadap warga lainnya dipandang sebagai semacam perilaku yang “membanggakan” yang tidak perlu dicela? Apakah korban bullying pun, dilarang untuk mengajukan komplain tatkala privasi dan perasaannya diganggu? Siapa juga yang merasa berhak untuk melarang?
Sejak kapan jugakah, membela hak-hak keperdataan dan hak-hak pribadi dari tindak kriminal, disebut sebagai “tidak sopan”, “tidak santun”, serta ditabukan? Membela dan menjaga diri, adalah sebentuk “hak”, bukan sesuatu hal yang membutuhkan izin dari negara atau oleh siapapun. Sebagai seorang warganegara yang cerdas dan “melek hukum”, bersikap “diam seribu bahasa” bukanlah sebuah opsi. Itulah sebabnya, sudah saatnya hak untuk membela diri dimasukkan ke dalam konstitusi kita sebagai salah satu bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia—sebagai bagian dari “the right of self determination”.
Dengan akal sehat yang paling sederhana, semestinya kita mampu memilah secara mudah, bahwasannya “yang cari ribut” itu ialah mereka yang sedang melakukan “pembelaan (terhadap hak-hak) dirinya” ataukah orang-orang yang “bikin gara-gara”. Jika kita justru menuding pihak korban sebagai “biang gaduh”, maka tudingan si penuding demikian tidak ubahnya perilaku buruk sang pelaku pelanggar hak-hak warga lainnya. Seseorang menjadi “marah” itu ialah “akibat” semata (reaksi), bukan merupakan “sebab”-nya. Yang “cari ribut” itu ialah seseorang yang menjadi penyebabnya, bukan reaksi orang lain yang menjadi korban dari si pelaku yang membuat sebab, sebagai contoh yang kerap kita jumpai di keseharian.
Sederhananya, berikut penulis rumuskan formula untuk kita tanamkan ke dalam memori dan cara berpikir kita agar dapat memilah secara mudah dan tepat: “cari ribut” itu sebagai sebab, sementara “bela diri” selalu merupakan akibat dari sebab—keduanya saling berbeda, proses rangkaiannya tidak dapat dibalik sebagai “cari ribut” sebagai reaksi, namun selalu sebagai sebab sehingga reaksinya ialah seseorang akan melakukan apa yang disebut sebagai “upaya membela diri” atau “upaya mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya”.
Saat ulasan ini disusun, seorang mantan Gubernur DKI Jakarta diwacanakan akan menduduki jabatan tertinggi pada salah satu Badan Usaha Milik Negara Nasional yang digerogoti oknum-oknum nakal, namun oleh seorang komentator dinilai sebagai seorang tokoh tukang “cari gaduh” alias seolah berkata kepada publik : sang si pembuat gaduh hendak menduduki jabatan pada korporasi “pelat merah”—yang dalam hemat penulis, sang komentator yang justru sedang membuat kegaduhan dengan melontarkan stigmatisasi secara “salah alamat”.
Sebuah manajerial pemerintahan maupun korporasi mana pun, ketika budaya kerja aparatur sipil negara didapati oleh pimpinannya berkinerja buruk, tidak efisien serta tidak efektif dalam pelayanannya terhadap warga masyarakat, maka wajar saja bila seorang pemimpin harus “berceloteh”, “bercuap-cuap”, dan siap untuk membuka mulutnya lebar-lebar. Adalah cerminan kegagalan seorang pimpinan bila hanya berdiam diri melihat kinerja aparatur pegawainya menampilkan watak karakter yang tidak produktif.
Mendapati aparatur yang melakukan korupsi, baik korupsi waktu, korupsi anggaran, hingga korupsi gaji (karena kerapkali “makan gaji buta”), wajar saja bila seorang pemimpin instansi ataupun rakyat menjadi marah dan berang sejadi-jadinya, karena kesalahan yang dilakukan masuk dalam derajat “parah”. Semakin parah, semisal korupsi yang menguras uang hak-hak rakyat, maka wajar pula bagi rakyat untuk berorasi menentang pemerintahan—itu adalah hak bagi rakyat, dimana rakyat tidak perlu meminta izin atas apa yang menjadi hak mereka untuk “membela diri” serta “memperjuangkan hak-haknya”.
Kini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai “cari rbut” dengan mengganggu “tidur tenang” para koruptor. Padahal, yang sejatinya sedang “cari-cari masalah” ialah kalangan para koruptor itu sendiri dengan melakukan aksi korupsi yang notabene melawan hukum dan sudah dilarang oleh hukum lengkap dengan segala ancaman pemidanaannya.
Bahkan, seorang pegawai penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang bernasib malang karena menjadi korban aksi kriminal penyiraman air keras ke wajah sang penyidik bersangkutan, dimana setelahnya sang korban menjerit dan berteriak di media dengan mengkritik keseriusan serta sebagai tanggapan terhadap kinerja buruk penegak hukum untuk mengusut tuntas dan mencari pelaku utama yang paling bertanggung-jawab dibalik tragedi yang dialami olehnya, dinilai sebagai “tidak sopan” oleh sebagian kalangan. Dirinya adalah korban, sejak kapan korban dikategorikan sebagai “cari ribut” dan “bikin gaduh”? Aturan manakah yang menyebutkan dan mewajibkan seorang korban untuk hanya boleh “bungkam” alias upaya pembungkaman itu sendiri terhadap pihak korban?
Ketika para pelaku terorisme “mencari gara-gara” dengan merencanakan ataupun melancarkan aksi terorisme, kemudian tertangkap bahkan dieksekusi tembak mati di tempat oleh pasukan detasemen khusus antiteror, disebutkan bahwa negara telah “cari ribut” dengan lembaga pengusung hak asasi manusia, bahwasannya hak untuk hidup ialah hak asasi seorang manusia yang tidak dapat disimpangi oleh alasan apapun.
Sementara, bila kita berpikir secara lebih logis dengan “akal sehat” (bukan “akal sakit” milik orang-orang sakit), sang para pelaku aksi terorisme itu sendiri yang sejatinya sedang “cari mati”—yang bila kita pilah sesuai kategorinya, maka diri mereka dikategorikan sebagai “sebab” atau penyebab, dimana sebagai reaksinya ialah hukum negara tampil dalam menindak tegas perbuatan melanggar hukum demikian dengan cara penggunaan senjata api dan peralatan canggih lainnya, dalam rangka “bela negara” dan “bela rakyat”. Seolah-olah, korban tiada punya hak asasi manusia untuk hidup, sementara para pelaku terorisme punya hak demikian.
Mengapa, stigmatisasi tidak pernah kita alamatkan kepada lembaga atau institusi semacam kejaksaan sebagai “tukang tuntut”, kepolisian sebagai “tukang tangkap”, dan hakim pada lembaga peradilan sebagai “tukang penjara”?  Mengapa juga para korban yang melapor pada pihak berwajib, tidak kita stigmatisasi sebagai “tukang lapor” atau “tukang mengadu”? Jika perlu, parlemen selaku regulator kita beri julukan sebagai “tukang atur-atur”.
Justru, tuduhan-tuduhan demikian perlu kita putar-balik pada jalur logika yang semestinya, menjadi : Sejatinya, para pelaku pelanggar hukum yang sedang “cari-cari masalah” dan “cari gara-gara” (sebab) sehingga dilaporkan sebagai “akibat”-nya. Sejatinya, sang pelaku melawan hukum itu sendiri yang sedang “mencari-cari tuntutan dan dakwaan pidana”. Sejatinya, para pelaku pelanggar itu sendiri yang “mencari-cari penjara” serta “mencari-cari (ditangkap) polisi”. Para koruptor dan pelanggar hukum lainnya itu sendiri, yang sejatinya sedang memasukkan diri mereka sendiri ke balik jeruji penjara—itulah paradigma berpikir yang lebih sehat untuk ukuran orang-orang sehat yang “berakal sehat”.
Bila secara normatif hukum pidana saja, kita selaku warga negara punya kewajiban untuk menolong seseorang yang sedang dalam bahaya atau tertimpa musibah, semisal seorang warga yang tidak kita kenal tampak tercebur ke dalam sungai sementara dirinya tidak dapat berenang, namun kita lalai untuk menolong sehingga sang warga tewas kehabisan nafas dan tenggelam, maka kita dapat diancam pidana penjara—maka mengapa juga membela dan menolong diri kita sendiri dengan bersikap “reaktif” dengan cara “membela diri” ataupun “memperjuangkan hak-hak dan martabat diri sendiri”, menjadi hal yang ditabukan terlebih dilarang?
Menolong orang lain yang sedang dalam terancam jiwanya dari mara bahaya, diwajibkan oleh hukum pidana. Maka, menjunjung dan memperjuangkan harkat serta martabat diri sendiri, mempertahankan hak-hak keperdataan dan kepemilikan maupun properti dari segala gangguan warganegara lainnya, serta untuk menolong dan menjadi “pengacara bagi diri kita sendiri”, mengapa seolah ditabukan, dilarang, serta semudah diberi cap-stigmatisasi sebagai “tukang ribut”, “tidak sopan”, “cari gara-gara”, atau segala tuduhan “salah alamat” lainnya? Mengapa para pengacara di luar sana, tiada satupun diberi stigma dan labelisasi demikian? Sementara jelas, mereka yang lebih cocok untuk menyandang label demikian—namun mengapa juga pihak-pihak yang bermasalah dengan hukum, justru mencari-cari si “tukang ribut” bernama pengacara? Itulah ilustrasi konkret, betapa irasional bangsa kita dalam berpikir dan berlogika.
Logika yang cacat, menggiring sang komentator untuk membuat komentar-komentar secara “salah alamat”, analisa yang menyimpang dari lajurnya, dimana korban yang justru dicela dan dihujat, sementara para pelaku pelanggar hukum justru didiamkan dan dibenarkan lewat membiarkan dan pembiaran—sehingga seolah-olah justru membela para pelaku alih-alih membela sang korban, terlagi-lagi “salah alamat”.
Entah apa dan bagaimana, untuk hal paling sederhana dan paling mendasar sebagaimana yang telah penulis ulas di atas itu saja, sampai-sampai penulis harus meluangkan waktu menuliskan artikel dan publikasi ini. Bagaimana dengan nasib cara berpikir yang lebih kompleks dan lebih rumit dalam menilai setiap fenomena sosial yang terjadi di keseharian kita? Bila untuk hal sesederhana ini saja masyarakat kita kerap gagal menempatkan duduk perkara pada tempat semestinya, maka mis-manajemen bangsa sejatinya tengah kita pertaruhkan. Hendak dibawa ke mana, nasib negeri dan peradaban kita bila wajah bangsa kita demikian “tidak logis”, dimana untuk berlogika secara sesederhana itu pun masih harus penulis urai secara panjang-lebar?
Bila kita hendak menjadi bangsa yang beradab, maka terlebih dahulu kita perlu memperbaiki cara dan kebiasaan kita dalam berpikir dan membuat komentar, dari yang semula tidak rasional menjadi lebih logis dan berakal sehat—dengan kesediaan untuk melepaskan “akal sakit” milik orang-orang “sakit akal”. Tiada bangsa beradab di luar sana, yang warganya menampilkan cara-cara berpikir yang irasional, “tidak logis”, terlebih mempertontonkan secara vulgar paradigma berpikir ala “orang sakit” dengan “akal sakit”-nya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.