Kebenaran Norma Hukum, Bersifat Nisbi & Tentatif Belaka

ARTIKEL HUKUM
KEBENARAN HUKUM, KEBENARAN NISBI, TENTATIF SIFAT KEBENARANNYA, TIDAK ABSOLUT
Baik ilmu hukum maupun ilmu pengetahuan lainnya seperti kedokteran maupun medik-farmasi, sama-sama bersifat nisbi semata nilai validitasnya. Kebenarannya, dengan demikian, tidaklah mutlak, namun tentatif belaka—alias sewaktu-waktu dapat berubah dari yang “baik” atau “benar” menjelma “buruk” dan “salah”, gradasinya bergeser dengan menukik tajam 180 derajat bagai “menjungkir-balikkan” dunia. Namun, terdapat sebuah perbedaan kontras antara sifat nisbi dari ilmu hukum dan sifat nisbi dari ilmu-ilmu diluar ilmu hukum, dan pokok bahasan itulah yang menjadi sentral dari bahasan dalam artikel singkat ini.
Saat ulasan ini disusun, perilaku seperti perundungan (bullying) belum diancam hukuman pidana sekalipun korbannya meninggal “bunuh diri” akibat deraan perundungan—asas “legalitas” hukum pidana. Jika suatu waktu, pada suatu ketika dimasa mendatang, praktik bullying demikian diancam sebentuk sanksi oleh pasal pemidanaan, terlebih jika korbannya sampai mencoba melakukan “bunuh diri”, maka tetap saja pelaku bullying yang saat kini melakukan praktik perundungan tidak dapat dijerat pemidanaan. Norma hukum pemidanaan, berlaku “prospektif”, bukan “retroaktif”.
Sangat kontras dengan sifat tentatif ilmu nonhukum, sebagai contoh mudahnya akan penulis angkat isu hukum medis, semisal sebuah obat yang dahulu kala dapat diperoleh dan diperjual-belikan secara bebas di pasaran oleh konsumen, namun ternyata penelitian terbaru saat kini membuktikan “obat” tersebut justru adalah “racun” yang mengancam kesehatan konsumennya, maka tetap saja sekalipun fakta demikian baru terungkap saat kini, para konsumennya telah terpapar “racun” karena selama ini mengkonsumsinya dan harus menghadapi konsekuensi “keracunan”.
Bila kita membuat sebuah kesimpulan sederhana, sifat perubahan terhadap pendirian dalam normatif ilmu hukum, sifatnya tidak “berlaku surut” ke belakang (non-retroaktif). Sebaliknya, dalam ilmu-ilmu pengetahuan diluar ilmu hukum, keberlakuan perubahan yang terjadi bersifat “berlaku surut” (retroaktif). Masing-masing, dengan demikian, memiliki konsekuensinya sendiri, antara “konsekuensi yuridis” dan “konsekuensi medik”.
Namun, yang mungkin membuat kita patut merasa prihatin, seringkali produk-produk medik-farmasi “dibentengi” dan “berlindung” dibalik dalil “konsekuensi yuridis”. Sebagai contoh, sebuah produsen farmasi, selama puluhan tahun memproduksi dan menjual “obat” kepada konsumen, yang saat kini terbukti bahwa “obat” dimaksud sebetulnya ialah “racun”.
Namun, berhubung peraturan norma hukum dibidang Obat dan Makanan belum mengatur bahwa zat dalam “obat” tersebut adalah berbahaya bagi kesehatan konsumen, maka konsumen dari “obat” dimaksud sekalipun akibatnya mengalami konsekuensi medik “keracunan”, tidak dapat menggugat secara perdata maupun menuntut secara pidana sang produsen—kecuali norma hukumnya telah sejak dahulu kala menyatakan melarang edar “obat” tersebut dan sang produsen ternyata melanggar dengan tetap memproduksinya dan menjual ke pasaran atau tidak segera menariknya dari peredaran di pasar (recall).
Sebelum kita bahas lebih lanjut, penulis hendak pula menyinggung satu isu hukum yang selama ini mengganjal di benak penulis. Aturan hukum kefarmasiaan di Indonesia melarang produsen produk farmasi untuk menjual produk farmasi produsen mereka ke pasaran, kecuali melalui pihak “Pedagang Besar Farmasi” (PBF). Namun, seringkali pihak PBF merupakan anak usaha ataupun “sister company” dari sang produsen, sehingga “beneficial owner” atau pengendalinya adalah “aktor intelektual” yang sama sehingga menjelma regulasi “sama saja bohong”. Pihak produsen dapat berkilah, “bukan kami yang menjual”, sementara pihak PBF akan “lepas tangan” dengan mendalilkan “bukan kami yang memproduksinya”.
Ilustrasi konkret berikut, penulis harapkan dapat cukup mewakili dan menggambarkan sebagai cerminan nyata. Obat tukak / asam lambung ranitidine, saat kini ternyata disinyalir menjadi pemicu kanker. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) telah melarang beredarnya produk Ranitidine dari pasaran di Indonesia yang terdeteksi mengandung N-nitrosodimethylamine (NDMA), yang disinyalir sebagai zat yang bisa menyebabkan kanker karena bersifat karsinogenik.
Dikutip dari penjelasan BPOM RI tentang penarikan produk Ranitidine yang tekontaminasi NDMA, ranitidin sebetulnya telah mendapatkan persetujuan dari BPOM untuk pengobatan gejala penyakit tukak lambung dan tukak usus sejak tahun 1989—alias hingga saat ulasan ini diungkap oleh media massa, artinya telah 30 tahun lamanya masyarakat kita mengkonsumsi “obat” yang ternyata adalah “racun” pemicu kanker.
Pemberian izin tersebut, pada tahun 1989, pada mulanya didasari oleh kajian evaluasi “keamanan”, “khasiat” dan “mutu”. Namun, pada 13 September 2019, BPOM Amerika Serikat (FDA) dan BPOM Eropa (EMA) mengeluarkan peringatan tentang adanya temuan cemaran NDMA dalam kadar rendah pada sampel produk yang mengandung bahan aktif ranitidin.
NDMA merupakan turunan zat Nitrosamin yang dapat terbentuk secara alami,” demikian siaran pers resmi dari BPOM, 4 Oktober 2019—alias terlambat 30 tahun untuk membuka fakta demikian kepada publik yang selama ini ternyata 30 tahun lamanya telah terlanjur mengkonsumsinya. “Aman untuk dikonsumsi”, dengan demikian dalam terminologi medik, sangatlah tentatif sifatnya, karena ternyata “tidak pernah aman dikonsumsi dari dahulu kala, dari semula, maupun saat kini”—bila tidak dapat kita sebut sebagai “spekulatif” (Kebenarannya bersifat Nisbi belaka).
Yang mengherankan, mengapa kalangan medik maupun farmasi menyebut atau membuat label “aman” untuk dikonsumsi, sementara sifat Kebenaran Nisbi mensyaratkan pencantuman informasi secara jujur dan terbuka, “BELUM TENTU AMAN”. Tiada yang “BENAR-BENAR AMAN”, karena sifatnya bukanlah Kebenaran Mutlak.
Kini kita beralih pada ilustrasi lainnya. Saat artikel ini disusun, sedang viral kembalinya jatuhnya korban jiwa akibat perundungan, yang kini menimpa artis bintang film yang juga sekaligus penyanyi K-Pop asal Korea Selatan, Choi Jin-ri atau kerap disapa dengan nama populer “Sulli”, ditemukan meninggal dunia di rumahnya di Seongnam, Seol, 14/10/2019, pada usia 25 tahun.
Sulli memulai karirnya sebagai aktris sejak tahun 2005. Selanjutnya, Sulli bergabung dalam girlband “f(x)” pada 2009. Saat kembali ke panggung hiburan setelah sempat vakum, ia memfokuskan dirinya dalam karir berakting. Namun Sulli kemudian mengalami pengalaman pahit karena kerap mendapatkan komentar bernada tidak simpatik dari kalangan netizen yang tidak mau memahami sensitifitas perasaan sang aktris, sampai akhirnya meninggal dunia sebagai salah satu korban bullying alias perundungan.
Perundungan, dapat menjelma “pembunuhan secara berjemaah”—meski, sayangnya, saat kini belum terdapat pengaturan hukum normatif yang mengatur ancaman sanksi bagi pelaku perundungan, sekalipun sang korban perundungan mengalami nasib tragis sebagai akibatnya. Secara teori ilmu hukum pidana, para pelaku praktik perundungan sejatinya dapat dipidana, karena adanya teori “kesengajaan sebagai kemungkinan”, namun terbentur asas “legalitas” yang mensyaratkan dibentuknya terlebih dahulu aturan hukum normatif yang mengancam sanksi pidana bagi pelakunya.
Dapat pula kita tarik kesimpulan, yang tidak atau belum diatur hukum normatifnya, bukan berarti itu bukanlah hal yang ilegal untuk dilakukan, namun lebih tepatnya kita sebut sebagai “BELUM ilegal”—mengingat, sifat ilmu hukum sejatinya hanya merupakan Kebenaran Nisbi, tentatif keberlakuannya. Sebaliknya, yang dahulu kala diatur dan diancam sanksi dalam suatu pasal undang-undang, namun kemudian dibatalkan dalam regulasi terbaru yang mengubahnya, maka kita dapat pula menyebutnya sebagai “BELUM dilegalkan”.
Akan tetapi, apakah artinya sejatinya tiada yang betul-betul legal maupun yang betul-betul ilegal? Tentu saja perubahan norma hukum patut mengikuti rambu norma moril. Tiada akan pernah terjadi, suatu kebijakan kriminalisasi terhadap pelaku perencanaan pembunuhan ataupun korupsi, yang dapat disebut sebagai “BELUM dilegalkan” sekalipun sifat ilmu hukum adalah tentatif belaka karakteristiknya.
Tidak akan pernah aksi pembunuhan berencana maupun aksi seperti perampokan maupun korupsi akan dibenarkan dan dilegalkan, karena rambu-rambu moril bersiat absolut sifatnya. Itulah kabar baik dari ilmu hukum, ia senantiasa dirambu-rambui oleh rambu-rambu moralitas paling mendasar. Terdapat perbuatan-perbuatan kriminil tertentu yang tidak akan pernah dapat diberlakukan kebijakan dekriminalisasi.
Sebaliknya, sebagai kabar buruknya, tiada rambu moril dalam penentuan kesimpulan dalam ilmu medik-farmasi, namun semata objektifitas ilmiah—yang sayangnya, tidak akan pernah sempurna. Namun tetap saja, timbul pertanyaan yang mengganjal dan patut untuk kita pertanyakan, mengapa 30 tahun baru diadakan penelitian evaluasi untuk mengetahui kebenaran dibalik produk farmasi dimana artinya selama tempo 30 tahun tersebut, korban jiwa sejatinya telah berjatuhan secara masif?
BPOM mengacu pada studi global yang memutuskan ambang batas cemaran NDMA sejumlah 96 ng per hari. Hal ini didapat dari penemuan US Food and Drug Administration (FDA) serta European Medicine Agency (EMA) terhadap obat mengandung Ranitidin yang tercemar N-Nitrosodimethylamine, yang merilis laporan terbaru bahwa NDMA diklasifikasikan sebagai zat karsinogenik (menyebabkan kanker) pada manusia berdasarkan studi-studi pada hewan.
Yang tidak kalah menggelitik untuk kita selami lebih jauh lagi, mengingat sifat kebenaran sains ialah Nisbi serta Tentatif belaka, maka bisa jadi dimasa yang akan datang, tidak tertutup kemungkinan apa yang dahulu kala dianggap “aman untuk dikonsumsi”, lalu saat kini berubah menjadi “dilarang dan tidak aman untuk dikonsumsi”, namun dimasa mendatang justru kesimpulan kembali bergeser bandulnya menjelma “legal dan aman untuk dikonsumsi”.
Siapa yang akan tahu? Kita tidak pernah dapat benar-benar menjamin suatu produk farmasi adalah aman ataukah berbahaya. Itulah dilematika dibalik Kebenaran Nisbi dalam sains—sebaliknya dalam ilmu hukum, sejak dahulu kala hingga kini dan dimasa yang akan datang, perilaku seperti korupsi dan menyakiti individu lainnya, adalah hal yang buruk dan terlarang, alias ilegal, tidak terkecuali praktik perundungan yang entah mengapa hingga kini belum juga dibuat pengaturan ancaman sanksinya bagi pelaku praktik perundungan demi melindungi dan mencegah jatuhnya korban-korban yang sudah sangat meresahkan para korban potensial dimana era digital kian masif dan tidak lagi terbendung dimana perundungan dapat dilakukan semudah memainkan handphone dengan jari-jari Anda, cyber bullying.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.