Kebijakan Kontraproduktif, Internet Shutdown, Pemerintah Gagal Merebut Hati Masyarakat

ARTIKEL HUKUM
Memutus jaringan internet secara spenuhnya (blackout), sangatlah tidak “pro” terhadap rakyat, terutama bila dilakukan tanpa menerapkan kebijakan indiscriminate, alias dilakukan secara merata, sehingga membuat perekonomian rakyat yang kini mulai bergantung pada platform media digital, dikembalikan seperti ketika zaman konvensional, media konvensional, dan tiada informasi maupun transaksi berbasis internet. Terlebih jalur bagi media berita alternatif.
Untuk meredam konflik laten internal suatu negara, tipe pemerintahan yang pro-rakyat tidak akan mempertunjukkan “betapa kuasanya” sang pemerintahan pusat. Pemerintah mendalilkan, sebagai langkah “cerdik” kontra-hoax, maka diberlakukan kebijakan “internet shutdown”, wujud Pemerintah Pusat yang sedang “pamer kuasa” untuk mengintimidasi dan menekan unjuk-rasa masyarakat lokal yang saat kini terjadi di Papua.
Cara-cara tidak kreatif demikian adalah jalan pintas sekaligus cerminan gagalnya pemerintah menjalankan fungsi edukasi dan pembuka akses informasi yang mendidik, bahkan memandang internet sebagai “sumber kejahatan”, “agen hoax”—seolah-olah internet hanya dapat dipergunakan untuk hal-hal negatif, sementara pendidikan modern saat kini justru bertopang pada basis media digital.
Apakah pemerintah ingin membuat rakyatnya sendiri menjadi terbelakang dan tidak “melek” informasi maupun teknologi? Mungkin pihak pemerintah berpikir dan berasumsi, rakyat yang dibuat tetap bodoh, akan mudah untuk dibungkam dan tidak akan banyak melakukan gerakan oposisi terhadap rezim pemerintahan yang saat kini berkuasa. Rakyat yang bodoh, cenderung menjadi rakyat yang “penurut”—betapa orthodoksnya paradigma berpikir pemerintah kita.
Bila negara berhaluan k0munisme seperti di China maupun Amerika Latin serta Rusia melakukan penutupan jalur komunikasi dan pembrendelan media berita formal maupun informal, dapatlah kita pahami. Namun ketika “internet shutdown” diambil sebagai kebijakan garda terdepan dalam membungkam dan meredam guncangan internal rakyat suatu bangsa dari suatu negara yang mengaku demokratis, maka nama “demokratis” menjadi sekadar jargon, kemasan belaka, namun minim esensi.
Pihak otoritas mendalilkan, janganlah rakyat berdemo menentang pemerintah, selalu berprasangka buruk terhadap pemerintah, akan tetapi mengepankan “duduk bersama untuk musyawarah mencapai mufakat”. Namun, disebut musyawarah dan “duduk bersama”, asumsinya ialah para pihak mau buka telinga, saling mau berkompromi.
Ketika salah satu pihak tidak bersedia untuk membuka telinga, terutama pihak yang merasa berkuasa (power tends to corrupt), hanya mau berbicara dan membuat aturan sepihak bagai diktator “top to down”, namun dengan telinga yang senantiasa tertutup rapat, untuk apa lagi saling berdiskusi? Dialog artinya dua arah, bukan satu arah. Ketika rakyat mulai sedikit membuka mulut dan bersuara, pemerintah lewat kekuatan kepolisiannya, seketika melakukan balasan “pukul mundur” berupa tembakan gas air mata. Sungguh menyentuh hati rakyat kita. Mengapa wujud praktik ketatanegaraan kita, menjadi sangat menyerupai aksi represif pemerintahan RRC terhadap demonstran di Hongkong?
Ada kalanya, rakyat mampu melihat itikad buruk pemerintah, sehingga dianggap menutup rapat ruang diskusi. Semisal saat merubah Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dengan semangat “menggembosi” KPK dengan klaim “menguatkan”, terlihat nuansa “korup” terbentuknya revisi UU KPK yang terindikasi:
1.) KPK selaku “user”, tidak dilibatkan, bahkan pemerintah “menutup pintu” untuk berdiskusi dengan pimpinan KPK yang telah memohon audiensi saat bergulir isu revisi UU KPK;
2.) UU KPK tidak masuk dalam Prolegnas (program legislasi nasional;
3.) hanya dalam tempo 40 hari langsung “ketuk palu” (terkesan dilakukan secara tersembunyi, tidak kasat-mata, terburu-buru, sekalipun banyak wacana di tengah masyarakat yang menentang keras upaya revisi mengingat kinerja KPK tergolong penuh prestasi ketimbang kepolisian, sementara masih banyak Rancangan Undang-undang lain yang lebih urgen untuk dibahas dan disahkan);
4.) rata-rata operasi tangkap-tangan (OTT) oleh KPK menyasar anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR RI), alias KPK itu sendirilah Dewan Pengawas dari DPR RI;
5.) calon pimpinan KPK yang pernah dipecat oleh KPK karena pelanggaran berat terhadap kode etik internal KPK, justru banyak dipuji dan dipilih oleh DPR RI—seolah tiada calon lain yang lebih layak dan lebih berintegritas untuk dapat dipilih;
6.) penyadapan masuk dalam tatanan operasi intelijen, dimana diskresi menjadi tonggak utama operasi intelijen—menjadi mengherankan ketika dipersyaratkan izin untuk melakukan operasi intelijen. Seorang intelijen yang perlu “diawasi”? Intel yang justru diawasi, bukan lagi agen intel namanya.
Orasi dan unjuk-rasa yang dilakukan rakyat sipil dan jelata, adalah wujud simbolisasi respons terhadap sikap pihak pemerintah yang cenderung menutup diri dari ruang diskusi, memutus akses komunikasi, dan tidak memberi kesempatan bagi rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri. Pemerintah seolah hendak menyiratkan pesan, besok-besok bisa jadi pasokan bensin dan listrik akan diputus, mencabut subsidi bahan bakar dan gas, mencabut subsidi listrik—bila sekarang saja pemerintah mampu dan sanggup untuk memutus jaringan internet secara total. Itulah sinyal tersirat yang pesannya ditangkap oleh masyarakat, termasuk oleh penulis.
Kita tahu bahwa media konvensional (mainstream) cenderung berhaluan yang sama dengan kebijakan pemerintah, bahkan sebagian diantaranya merupakan media pers yang disponsori oleh pimpinan partai politik koalisi pemerintahan. Karena itulah, rakyat selalu membutuhkan informasi alternatif berupa media-sosial, dimana rakyat saling berbagi informasi satu sama lain. Edukasi serta praktik “internet sehat”-lah yang semestinya digalakkan oleh pemerintah, bukan memandang internet sebagai sumber masalah yang perlu dimusuhi—suatu pola pikir yang sangat dangkal dan cenderung terbelakang diambil oleh pimpinan-pimpinan pemerintahan yang kuno cara berpikirnya.
Citizen journalistic, dapat menjadi berita pembanding dari pemberitaan media massa konvensional. Menutup keran akses informasi digital, sama artinya melecehkan perasaan rakyat, dimana rakyat akan menjadi merasa lemah, terlemahkan, tidak berdaya sama sekali, hingga “terzolimi” oleh sikap pemerintah pusat yang seolah sedang tertawa penuh kebanggaan dan menikmati kemenangan telak melawan rakyatnya sendiri saat mengumbar “pamer” kekuasaan dengan memutus seluruh jaringan internet pada suatu daerah yang sedang terjadi konflik komunal dan sektarian.
Kita tidak boleh memandang aksi-aksi unjuk rasa sebagai suatu “jaringan tumor”. Bila dalam dunia medik, saluran dan pasokan oksigen maupun darah harus diputus jalurnya dari jaringan sehat ke jaringan yang mengalami kelainan seperti tumor dan kanker, agar sel-sel tumor itu mati secara sendirinya tidak mendapat pasokan makanan, maka memutus pasokan informasi digital dalam menghadapi aksi unjuk-rasa dan demonstrasi massal, sama artinya memandang rakyat yang melakukan orasi dan unjuk-rasa sama seperti menghadapi sebuah sel-sel jaringan kanker, si “rakyat tumor” yang perlu dimatikan dan dibungkam untuk selamanya.
Pemerintahan yang baik menjalankan roda pemerintahan secara etis, dimana kode etik tidak hanya berlaku bagi profesi kalangan sipil, namun juga pemerintah perlu dibekali dan dipedomani rambu-rambu etis agar beretika saat membuat kebijakan serta penerapannya. Orasi dan berbagai unjuk-rasa yang dilakukan oleh rakyat, semua itu adalah “akibat”, bukan “sebab”.
Tiada api maka tiada asap. Sumber masalahnya, ialah “api” itu sendiri, bukanlah dapat kita menyalahkan “asap” yang tampak membumbung tinggi dan menyesaki atmosfer. Ketidakpuasan masyarakat, perlu diakomodir lewat jalur ruang diskusi dan dialog, bukan sekadar jargon klise membuka ruang komunikasi namun akses menuju ruang komunikasi tersebut dihalangi segala macam rintangan prosedural birokratis yang penuh lika-liku nego-nego politis dan konspirasi yang jauh dari kata “friendly”.
Bagaimana cara bagi masyarakat dalam melakukan negosiasi, bila tiada negosiator itu sendiri yang disediakan oleh pihak pemerintah sebagai juru bicara resmi, mengingat selama ini pintu ruang kerja dan telinga para penyusun kebijakan seolah demikian “berjarak” dari masyarakat? Rakyat adalah konstituen dari segala kebijakan yang diambil pemerintah bersama parlemen, karena itu adalah wajar bila rakyat merasa berkepentingan terhadap setiap kebijakan yang diambil pemerintah dan parlemen. Rakyat bukanlah objek, namun subjek itu sendiri yang harus didengar dan diberi ruang untuk beraspirasi dan berdaya. Kedaulatan ada di tangan rakyat, itulah amanat konstitusi Republik Indonesia. Apakah tidak malu, polisi dan tentara yang bersenjata lengkap, hanya berani menghadapi rakyat sipil yang tidak bersenjata api?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.