Menggugat Spiritual Quotient dan Menuntut Emotional Quotient, Tidak Lebih Baik dari Intelligence Quotient

ARTIKEL HUKUM
“Kecerdasan intelektual” (intelligence quotient, “IQ”) merujuk suatu pemahaman akan suatu tingkat kualitas daya pikiran yang meliputi kemampuan dalam menalar, daya tangkap konseptual maupun kecepatan memahami suatu mekanisme yang menuntut jalan berpikir runut maupun proses pembelajaran, ilmiah, merencanakan, memecahkan masalah, hingga daya berpikir abstrak, memahami gagasan dan mengeksekusinya, daya olah verbal, dsb.
“Kecerdasan intelektual” erat kaitannya dengan kemampuan kognitif yang dimiliki seorang individu, sehingga sifatnya amatlah personal. Beberapa kalangan menilai bahwa kecerdasan seorang manusia yang begitu kompleks dan saling terdiferensiasi talentanya, seolah dapat “diukur” oleh sebentuk alat ukur yang biasa digunakan oleh kalangan psikolog edukasi. Bila kecerdasan memang bersifat personal, maka mengapa ia dapat “diukur”?
Howard Gardner, seorang psikolog dari Universitas Harvard, menyatakan ada delapan kecerdasan yang dimiliki oleh manusia, dua diantaranya adalah “Kecerdasan Interpersonal” dan “Kecerdasan Intrapersonal”. Pribadi-pribadi dengan kecenderungan cerdas dalam “Kecerdasan Interpersonal”, biasanya pandai menjalin relasi baru dengan orang lain dan mempertahankan relasi yang sudah ada, seperti kalangan profesi diplomat maupun negosiator dan birokrat.
Sebaliknya, orang-orang dengan jenis “Kecerdasan intrapersonal”, memiliki kecerdasan pengetahuan mengenal dirinya sendiri dan mampu mengeksplorasi potensi dirinya sendiri berdasarkan pengenalan diri. Ciri-cirinya yaitu kerap kali bekerja sendiri secara soliter, cenderung “cuek” terhadap pandangan umum terhadap dirinya, sering mengintropeksi diri, dan mengerti kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya.
Melihat kedua jenis kecerdasan yang saling bertolak-belakang demikian, menjadi jelas bahwa masing-masing memiliki kelebihan dan keunggulannya masing-masing (namun kita tidak dapat menyebut bahwa masing-masing memiliki “kelemahan”). Tidak dapat disebutkan bahwa yang satu adalah lebih ideal daripada yang lainnya. Masing-masing hanya perlu menempati tempat yang paling cocok dan sesuai dengan karakter kecerdasan mereka masing-masing. Hanya saja, yang selama ini menjadi sorotan kritik, ialah bagaimana seorang pakar hendak “mengukur” kecerdasan seseorang. Sehingga, bukanlah teori tentang kecerdasan yang hendak digugat, namun “alat ukur” itu sendiri yang selama ini digunakan untuk mengukur seseorang partisipan.
Stephen Jay Gould dalam bukunya The Mismeasure of Man (Kesalahan Ukur Manusia), mengemukakan bahwa kecerdasan sebenarnya tak bisa diukur, dan juga mempertanyakan sudut pandang hereditarian atas kecerdasan. Kerap terjadi, seorang manusia di-“kerdilkan” menjadi sebatas alat tes kecerdasan intelektual, diberi vonis dan penghakiman sebagai “cerdas” atau “bodoh”, “berhasil” atau akan “gagal”—sementara alat ukurnya itu sendiri terlampau sempit, dangkal, dan terlampau kerdil.
Karenanya, menurut hemat penulis, membuat teori-teori tentang kecerdasan, adalah sah-sah saja, sepanjang tidak mencoba mengukur seorang manusia dengan alat ukur yang demikian sempit demikian. Kecerdasan seseorang adalah untuk didalami, bukan untuk diukur. Seorang manusia tidak dapat dinilai cukup dengan secarik kertas, mereka selalu memiliki pengalaman hidup dan kisah yang kaya dan penuh warna.
Sebuah penggaris, sebagai contoh alat ukur, bersifat dua dimensi. Mungkin saja seseorang memiliki lebar tubuh yang sempit, namun dirinya memiliki ketinggian yang tidak mampu diukur oleh alat ukur berupa penggaris yang hanya berukuran beberapa sentimeter. Karakter kecerdasan masing-masing individu, sangatlah kompleks dan multidimensional. Kita tidaklah berhak menghakimi seseorang hanya berdasarkan satu atau segelintir alat ukur yang bersifat “dua dimensi” demikian, sementara banyak dimensi lain dari dirinya yang bersifat unggul namun tidak mampu diukur ataupun terukur oleh alat ukur milik kalangan psikolog.
Bukanlah perihal “intelligence quotient” yang sejatinya hendak penulis ulas dan kritisi, mengingat sudah demikian masif karya tulis yang mengupas dan membuat kritikan pedat terhadap alat ukur bagi sebuah “intelligence quotient”. Seekor monyet, cukuplah ia cerdas dan pandai dalam memanjat pohon, ia tidak perlu dituntut untuk mempelajari kepandaian menyelam seperti seekor lumba-lumba atau ikan paus yang dapat menyelam dalam waktu yang lama. Sebaliknya, seekor burung bangau tidak perlu dituntut untuk memiliki kepandaian dalam berlari sprint semahir seekor kelinci.
Banyak kalangan kemudian beralih mengagung-agungkan apa yang disebut sebagai “kecerdasan emosional” (emotional quotient) maupun “kecerdasan spiritual” (spiritual quotient). Namun ternyata teori yang mengusung dua kecerdasan yang disebut terakhir itu pun, tidak luput dari kritikan karena sifatnya yang terlampau diagung-agungkankan sehingga seolah kehilangan daya pesona dan sakralitasnya, tergelincir pada euforia “yang penting bukan IQ” yang semula diharapkan dapat cukup menghibur mereka yang divonis ber-IQ rendah dibawah rata-rata.
Betapa tidak, para birokrat di Indonesia dikenal memiliki jalinan relasi yang sangat menyerupai “gurita”. Sebutlah tokoh sekaliber Anas Urbaningrum, salah satu petinggi Partai Politik Demokrat yang tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena disangka dan didakwa melakukan tindak pidana korupsi, sesaat sebelum ditangkap ternyata Arnas Urbaningrum melakukan open house di kediamannya, dan betapa hebatnya sang koruptor dapat dikunjungi oleh banyak sekali relasi kerja yang memberinya dukungan moril.
Terbukti, Arnas Urbaningrum memiliki “kecerdasan emosional” yang sangat luar biasa dan tidak meragukan lagi, plus “kecerdasan interpersonal” (bagian dari “kecerdasan intelektual”) yang terbukti mahir alias jawara. Namun, apakah yang membuat seorang Arnas Urbaningrum kemudian jatuh terperosok dalam lembah perbuatan tidak terpuji sekaligus ilegal dan kriminal seperti korupsi? Teori yang digaungkan oleh pakar-pakar “kecerdasan emosional” yang semula dicetuskan oleh Daniel Goleman, tampaknya tidak mampu untuk menjawabnya.
Betapa tidak, Arnas Urbaningrum melontarkan janji kepada publik, bahwa jika dirinya terbukti korupsi, maka dirinya akan “gantung diri” di Monumen Nasional (Monas). Untuk menjaring empati dari masyarakat umum, tampaknya Arnas Urbaningrum memiliki kecerdasan dalam memainkan dan bermain dengan emosi khalayak ramai. Arnas Urbanigrum bahkan mampu menduduki jabatan strategis pada Parpol Demokrat sebelum kemudian dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, dan terbukti melakukan korupsi oleh Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi.
Siapa yang tidak mengenal sosok Setya Novanto, mampu mencapai puncak pucuk pimpinan Partai Politik Golkar hingga menduduki jabatan Ketua Parlemen, dengan “kecerdasan emosional”-nya mampu memiliki koneksi serta relasi bisnis maupun politik yang luar biasa cerdas. Ia layak menyandang gelar “jenius” dalam konteks “kecerdasan emosional” yang fenomenal ini. Namun, “kecerdasan emonional” ternyata tidak berkorelasi terlebih untuk dapat dinyatakan identik dengan keluhuran karakter. Sekalipun memiliki banyak “teman”, namun Setya Novanto sejatinya adalah musuh rakyat, hidup mewah dengan cara merampok hak-hak rakyat. “Kecerdasan emosional” menjelma kecerdasan untuk “membungkus wajah” dan memainkan “topeng”.
Seolah-olah, sebuah “kecerdasan emosional” merujuk pada kuantitas jumlah teman yang dimiliki ketimbang kualitas, maka hasil pengukuran alat ukur “kecerdasan emosional” akan menjadikan seorang introvert sebagai seorang “dungu” dalam hal peringkat emosionalnya. Mampu “membeli” teman, akan pula dianggap sebagai sebentuk “kecerdasan”. Menjadi soliter, independen, dan mandiri, mungkin akan diberi penilaian sebagai suatu “kecacatan emosional”.
Janganlah juga kita kemudian terlampau prematur mengagung-agungkan jenis “kecerdasan spiritual”. Sebagai contoh, sekadar mengungkap secara apa adanya, Indonesia dikenal sebagai negeri dengan penduduk serba “agamais”, namun menjadi pertanyaan besar bagi kita bersama : mengapa otoritas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kita mengklaim jumlah narapidana baru penghuninya telah over-kapasitas sehingga timbul desakan akan diberlakukan kebijakan “obral remisi”? Kurang bagaimana atribut keagamaan ditampilkan oleh bangsa kita dalam keseharian, namun tidak mencerminkan perilaku yang bermoral maupun suciwan.
Siapa pula yang tidak pernah mengenal sosok fenomenal “luar biasa” Mario Teguh, yang oleh banyak penggemarnya dianggap memiliki “kecerdasan spiritual” menyamai seorang “nabi” karena mengenal dan sangat dekat dengan Tuhan, sehingga bila tiada “tragedi” seorang “anak luar nikah” muncul untuk meminta pengakuan dari Mario Teguh selaku ayah biologisnya, dimana pada mulanya Mario Teguh sempat berkilah dan hendak mengajukan tuntutan hukum terhadap klaim anak kandungnya sendiri, mungkin kini Mario Teguh akan mengklaim dirinya sebagai seorang “nabi” pencetus agama baru.
Menyebut-nyebut nama Tuhan, mengutip ayat-ayat kitab suci, berbicara perihal kata-kata bijak dan kata-kata mutiara, memberi nasehat wejangan yang tampak memotivasi dan menggugah, tampak luhur dan suciwan, seolah-olah bersih dan lurus, “agamais”, namun mengapa perilaku mereka dibalik layar, justru mencerminkan sebaliknya?
Bila kita membuat semacam alat ukur untuk mengukur tingkat “kecerdasan spiritual” seseorang, keyakinan “membuta” pastilah akan dinilai sebagai faktor positif (plus), sementara bersikap kritis terlebih mempertanyakan suatu ayat-ayat kepercayaan maka akan menjadi nilai minus (karena melanggar “tabu”), maka sikap fanatisme hingga radikalisme akan dinilai sebagai sebentuk “kecerdasan spiritual” yang tinggi. Semakin fanatik, semakin radikal, maka semakin “cerdas”.
Dari berbagai contoh di atas, kita dapat mulai memahami, membuat teori tentang jenis-jenis kecerdasan, adalah yang sah-sah saja dan lumrah untuk dipetakan. Namun, barulah menjadi masalah ketika kita mencoba membuat alat ukur guna mengukur tingkat dan jenis kecerdasan dari seseorang. Bila sang pembuat alat uji ukur suatu “kecerdasan emosional”, sebagai contoh, kebetulan bertipe ekstrovert, tentunya semua individu pribadi dengan karakter introvert akan dinilai sebagai “cacat karakter” dalam emosionalnya. Seorang akuntan mungkin pandai dalam dunia hitung-menghitung, namun belum tentu mahir dalam hal seni dan cita-rasa dalam keterampilan mengukir dan memahat patung. Masing-masing adalah seorang spesialis, bergantung pada talenta mereka masing-masing.
Sebagai penutup, penulis mencoba memperkenalkan apa yang penulis sebut sebagai “rational quotient”, atau “kecerdasan rasional”, dimana rasio akal-sehat menjadi tumpuannya, secara tidak tanggung-tanggung dan tidak secara separuh-separuh. Mereka yang hanya pandai memainkan kalkulasi bisnis, namun sejatinya sedang “menggali lubang kuburnya sendiri” dengan melakukan berbagai modus atau tipu-daya yang mengorbankan atau merugikan hak-hak orang lain, sejatinya adalah orang paling bodoh dalam kacamata “kecerdasan rasional”—alias kecerdasan dalam memakai rasio, namun rasional yang diterapkan bersifat tidak secara tanggung-tanggung.
Antara generasi tua dan generasi muda, sebagai contoh, memiliki semacam “mental gab” dalam memandang suatu karakter individu. Sebagai ilustrasi konkretnya, generasi tua cenderung berfokus pada kelemahan dan kekurangan para generasi muda—sebaliknya, generasi muda hanya berfokus pada kelebihan dan keunggulan potensi talenta mereka, sehingga berbagai bakat mereka dapat tergarap dengan optimal. Itulah sebabnya, “kecerdasan rasional” generasi pendahulu selalu tertinggal dari generasi “zaman now”.
Tokoh-tokoh yang penulis uraikan dan sempat singgung di muka, merupakan cerminan orang-orang yang memiliki banyak penggemar, kekuasaan, relasi, serta pangkat dan kedudukan maupun berlimpah ekonomi sebagai cerminan bahwa mereka memiliki baik “kecerdasan intelektual”, “kecerdasan emosional”, maupun “kecerdasan spiritual”. Namun, khusus dalam hal “kecerdasan (dalam memakai) rasio”, mereka adalah contoh yang sama sekali buruk dan gagal total.
Si “dungu” berpikir adalah menguntungkan (mengambil keuntungan), dengan cara merugikan atau mengorbankan hak-hak warga negara lainnya. Sementara mereka yang benar-benar cerdas, mampu melihat bahaya dibaliknya, menghindarinya, dan mencari jalan-jalan lain yang lebih benar dan lebih kreatif, tanpa harus menjerumuskan dan “menggali lubang kubur sendiri”.
Mereka yang betul-betul patut disebut sebagai cerdas, akan memilih jalan dan cara-cara yang “tidak merugikan orang lain dan juga tidak merugikan orang lain”, “tidak melukai orang lain dan juga tidak melukai diri sendiri”, menghindari perbuatan buruk, dan memperbanyak perbuatan bajik, disamping mensucikan hati dan pikiran. Perbuatan buruk sebagai merugikan, dan perbuatan baik sebagai hal yang menguntungkan. Rasio itulah, rasio yang tertinggi dari segala jenis rasio yang dimiliki oleh mereka yang hanya unggul dalam IQ, EQ, maupun SQ.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.